6 SAHABAT PART 3

Gio secara refleks menahan badan Revi yang terpeleset di tanjakan itu. Mereka kemudian tertawa dan melanjutkan perjalanan ke kawah Domas, Minggu ini sesuai rencana mereka pergi berdua ke Tangkuban Perahu. Ada rasa tidak enak sebetulnya yang dirasakan oleh Revi, namun sedikit dalam hatinya senang dia pergi berdua dengan Gio.

Beberapa bulan terakhir, disela-sela waktu mereka belajar, Gio selalu menjadi pendengar dan pemberi nasehat yang baik. Revi sangat berterima kasih untuk itu. Tanpa terasa matahari mendekati titik tertingginya, dan mereka memutuskan untuk kembali ke parkiran. Di tengah perjalanan yang menanjak, Revi mengajak Gio untuk istirahat sebentar.
Tempat duduk itu masih sama, beberapa tahun kebelakang Revi pernah duduk di tempat yang sama dengan mantannya. Gio menyadari perubahan di diri Revi, “Kenapa Vi? Ko jadi Murung?”
“Engga. Mmm, cuman dulu pernah kesini berdua ama mantan. Duduk di sini.”
“Wah, gak enak kalo gitu, mau ganti posisi?”
“Gak usah Mas, di sini juga gak apa-apa. Dulu ke sini, awal kelas akhir kelas X. Dan, hehehe, tau gak? Dia ngebawa Revi ke balik pohon di sana.” Revi menunjuk ke arah kumpulan pohon yang lumayan lebat.
“Ngapain ke sana Vi?” Gio bertanya walaupun dia tau ceritanya mengarah kemana.
“Ya biasa Mas, ciuman. Hehe, lumayan lama, sejam. Mas pernah ciuman di tempat umum ama Ima?”
“Pernah sih, di tempat makan, tempat sate kelinci. Kebeneran lagi sepi, di lantai dua. Sampe bisa buka kancing seragam Ima malah, mayan, dapet maenin puting dia yang mancung dan seger. Hahahaha.”
“Ih, dasar.”
Mereka masih duduk, namun lama kelamaan, posisi dukuk mereka semakin dekat. “Vi.” Gio memanggil nama Revi, mata mereka saling menatap. Revi menunduk sambil tersenyum manis, namun matanya masih menatap mata Gio. Wajah mereka seling mendekat, Revi sendiri sudah pasrah, perasaannya tidak menentu, peperangan batin dia rasakan, antara jangan karena Gio adalah kekasih sahabatnya, dan antara kenyataan bahwa dia butuh ini, keadaan ini, bukan untuk Gio menjadi kekasihnya, hanya sebatas perasaan yang sudah lama tak dia rasakan. Semua ketegangan ini, sebuah kecupan.
“Boleh saya cium Vi?” Revi hanya tersenyum, dan bisbir mereka kemudian bertemu, “Empuk, nikmat, manis, gak seperti punya Ima.” Pikir Gio. Dan itu menambah semangatnya, semakin ganas dia melumat bibir Revi sampai, “Udah ah, tar ada yang lewat.”
Nafas mereka berdua terdengar, pandangan mereka lurus ke depan, tegang di wahaj mereka jelas terlihat. Tiba-tiba Gio menangkap tangan Revi, dan menariknya ke arah pepohonan yang tadi ditunjuk Revi. Jauh ke dalam lagi. Gio menyandarkan Revi di salah satu pohon. Dia kembali menciumi bibir Revi, keduanya saling melumat, menghisap dan menggigit. Suara desahan Revi terdengar jelas. “Hmmm, oohhhhh.”
Tidak puas dengan bibir, Gio mencium telinga Revi dari luar jilbabnya, “Aaah, geli Mas.” Suara desahan Revi yang menggairahkan menambah nafsu Gio, disibakkannya sedikit jilbab Revi, dijilatnya leher putih Revi dan terus turun. Bibirnya menemukan gundukan daging kenyal, melumatnya, menggigitnya dengan gemas. “Aaaahhhhh, haah.”
Tangan kanan Gio menjamah dada kanan Revi, meremasnya. Nafas mereka semakin memburu, jantung mereka berdetak sangat kencang, badan Revi sendiri gemetar tidak terkontrol. Bibir Gio kembali melumat bibir Revi, pinggulnya menekan lebih keras ke badan Revi, kemudian Gio mengatur agar penisnya menekan vagina Revi. Masih dengan celana jeans mereka.
“Ngapain aja sampe sejam dulu di sini Vi? Ciuman aja?” Bisik Gio di telinga Revi.
“Aaaahh, nggaaaak. Dia ngemutin dada Revi juga.”
“Terus?”
“Ah, jilatin puting Revi, hah, geli Mas.”
Mendengar itu Gio langsung mengangkat atasan Revi, menemukan BH nya yang juga dia angkat, dan terlihatlah benda yang sangat ingin di lihat Gio, sepasang buah dada yang besar dan bulat. Lebih besar dari punya Ima, lebih bulat, dengan puting yang lebih kecil dari ima.
Tanpa menghabiskan banyak waktu, Gio langsung melumat dada kanan Revi, menyedotnya, memainkan putingnya. “Sssshhhh, ahh, aaaahhhh.” Revi semakin mendesah keenakan, lalu Gio membuka mulutnya lebar-lebar, dan menyedot seluruh buah dada kanan Revi, masuk ke dalam mulutnya.
“Aaaaaaahhhhh!!!!” Revi berteriak cukup keras, namun dengan wajah yang mengisyaratkan rasa nikmat. Namun teriakan itu menbuat Gio berhenti, takut ada orang lain disekitar situ. Gio kemudian merapihkan pakaian Revi, mencium bibirnya lalu keningnya, “Bibir kamu dahsyat Vi, nikmat, empuk, jauh lebih enak dari pada Ima.”
Mendengar nama Ima disebut, rasa bersalah datang lagi. “Kamu gak apa-apa Vi?”
“Harusnya kita gak boleh kaya gini.”
“Ya, saya tahu, tapi kamu bener-bener ngebuat saya gak bisa berfikir jernih. Bibir kamu, wajah kamu, suara kamu, badan kamu, dada kamu.” Berkata begitu sambil tangan Gio meremas buah dada Revi. “Bener-bener ngalihin dunia saya.”
Revi terdiam, tersenyum manis, dan bibir mereka kembali bertemu.
============================
Perjalanan pulang dari mengantar Revi membuat Gio berfikir. Kejadian tadi membuat dia senang, bahagia namun juga takut. Suara SMS membuat dia meminggirkan motornya. Ima meminta dia maen kerumahnya.
 ====================
Bima duduk di tepian kasur, merenung. Terdiam. Dua buah tangan memeluk Bima dari belakang. “Mikirin apa Bim?” Yuni bertanya. Bima menoleh ke kiri, tersenyum. Bibir mereka bertemu. Mereka baru bermain satu ronde. Namun yang membuat Bima tidak meneruskan ke ronde sebelumnya ialah kenyataan bahwa Bima memikirkan Ima ketika dia dan Yuni bercinta tadi.
Badannya berbalik, menidurkan kembali Yuni ke kasur. Bima tersenyum, lalu posisinya berpindah ke bawah Yuni, mengangkankan kakinya, lalu menenggelamkan kepalanya di selangkangan Yuni. Bima kemudian menjilati vagina Yuni.
“Ahh, sshh, aaahhh.” Yuni hanya medesah, dan berteriak kecil kala Bima menemukan klitoris Yuni. Tangan Yuni menjambak rambut Bima. Pinggulnya diangkat, ditekankan kepada kepala Bima. “Terus sayang, ya, gituuu. Ahhhhhh.”
Bima menghentikan jilatannya, “Kenapa berhenti Bim?”
Bima terkekeh, membalikan badan Yuni “Bima perawanin ini ya?” Sambil memegang anu Yuni.
“Sakit Bim.”
“Gak akan sayang, Bima pake pelumas deh.” Bima kemudian mengambil lotion dan menunjukannya ke Yuni. “Gak akan sakit deh, ya?”
Yuni terdiam beberapa saat, lalu berkata “Ya sok, tapi pelan-pelan. Punya kamu itu gede Bim. Masuk memek Yuni aja suka masih kerasa sakit, apalagi ke pantat Yuni yang masih perawan.”
“Lah Yun, waktu kamu diperawain Satrio sakit ga?”
“Sakit lah.”
“Tapi jadinya enak kan?”
“Hehehe, iya. Ya sud, pelan-pelan ya?”
Bima menindih Yuni dari belakang, menciumi tengkuk Yuni, menjilati telinga kanannya, kemudian mencium pipi untuk berakhir melumat bibir Yuni. Mereka beriuman beberapa saat sampai Yuni merasakan sesuatu yang dingin pada anusnya. Rupanya Bima mulai memasukan pelumas dengan jari-jarinya.
“Siap Yun.” Dan perlahan Bima menekankan penisnya ke anus Yuni. Awalnya baru kepalanya yang masuk. Itupun dibantu oleh jari-jari Bima.
“Sssssss….. ah. Pelan Bim, sakittt….”
Bima terus menusuk. Tidak mempedulikan rintihan dan air mata yang keluar dari pinggir mata Yuni. Semakin dalam, hingga setengah penis Bima sudah masuk. Bima berhenti, mengeluarkan penisnya, Yuni hanya bisa merintih. Bima kemudian memasukan lagi penisnya sampai setengahnya. Kemudian mencabutnya lagi, terus berulang ulang sampai Yuni merasa tenang sedikit, bahkan menikmati.
“Ah, ya, geli juga Bim.” Desah Yuni.
Bima masih melakukan hal sama, sampai akhirnya tanpa ba bi bu lagi menenggelamkan seluruh penisnya ke dalam anus Yuni.
“Aaaaahhh! Bima, jahat, aaakh, sakiiitttt … aduh. Pelan Bim. Bimaaa!!! Pelan. Ah, mmpphh.” Teriakan Yuni dihilangkan oleh kuluman bibir Bima pada bibirnya.
“Bima jahat, sakitt Bim.” Yuni mulai menangis, tapi Bima mencium keningnya, “Maaf sayang, habis kamu bener-bener nafsuin.” Bima menjawab, “Saya terusin ya?” Lanjut Bima. Kemudian Bima mulai memompa penisnya, pelan, lalu semakin cepat. “Ah, ah, ahhh, aahh.” Lama kelamaan Yuni mulai bisa menikmati. Apalagi ketika jari tangan kanan Bima mulai bermain di klitorisnya. Menggesek-gesekan jarinya dan sesekali mencubit klitorisnya.
“Bima, ah, keluar Bim.”
“Bareng sayang, pantan kamu bener-bener sempit, ah ah, gak kuat, saya keluar sekarang, aaahhhhhh.” Bima memuncratkan spermanya dalam anus Yuni, menancapkan penisnya dalam-dalam, baru kemudian Yuni meraih orgasme, “Ah, keluar Bim.”
Keduanya langsung menghempaskan badannya ke atas kasur. Nafas mereka ngos-ngosan. “Gila, enak banget pantat kamu Yun. Mantep, hah hah, lebih dari pantatnya Lia lo.”
Yuni tidak menjawab, nafasnya masih berat, pantatnya terasa sakit dan panas. Bima memeluk tubuh Yuni dari belakang. Badan mereka menyatu, keringat mereka saling bercampur. “Ma kasih sayang, maaf kalo tadi saya kasar.” Bima lalu mencium kepala belakang Yuni. Dan sekali lagi hatinya merasa terganggu, ketika tadi dia memasukan seluruh penisnya ke anus Yuni, Bima memikirkan Ima.
===================================
Malam itu Revi susah tidur. Kejadian siang tadi dengan Gio benar-benar mengganggunya. Revi menikmati, amat sangat malah, akhirnya rasa yang dia ingin rasakan kembali dia dapatkan. Namun rasa bersalah tetap ada, walaupun masih kalah dengan kenyataan bahwa dia membutuhkan yang tadi.
Khayalannya terhenti ketika HP nya berbunyi. Rian. Perlahan dia mengambil HP nya, membalas WA Rian dengan perasaan kosong. “Rian, maaf.”
====================================
Gio menghentikan kulumannya pada dada Ima. Jari-jarinya kemudian memainkan puting Ima. Tanpa sadar, Gio membandingkan puting Ima dengan puting Revi. Cepat-cepat dia hilangkan pikiran itu, Gio kemudian melumat bibir Ima, sedangkan tangan kanannya turun ke bawah. Bagian atas Ima sudah tidak mengenakan pakaian. Jilbabnya pun sudah terserak di lantai. Ima dan Gio bermain di atas sofa ruang keluarga, kebetulan keluarganya sedang tidak di rumah.
Tangan kanan Gio turun lebih bawah, berhenti di selangkangan Ima, dan mulai menekankan tangannya pada vagia Ima, tekanan tangan Gio dirasa oleh Ima, sakit, linu, tapi lama-kelamaan terasa enak. Jari Gio perlahan membuka kancing celana Ima, berusaha membukanya, Ima sendiri kini mulai membantu, mengangkat pantatnya, membuat Gio lebih mudah menurunkan jeans yang digunakan Ima.
Celana Ima turun sampai lutut, terlihat jelas celana dalam Ima yang berwarna biru, Gio terus meulumat bibir Ima, namun tangannya kini masuk ke dalam celana dalam Ima.
“Aaaahhh, Masssss…. “ Ima hanya bisa merintih, geli terasa, apalagi ketika jari-jari Gio mulai bermain di lubang kewanitaannya.
******************************************************
“Udah basah sayang.” Seru Gio ketika merasakan tangannya berlumuran cairan kewanitaan Ima.
“Sssssshhhhh. Ahhhh.” Ima tidak menjawab, melainkan mendesah sejadinya. Hal ini malah membuat Gio merasa di atas angin. Dilepaskannya celana dalam Ima, kini terlihatlah rambut vagina Ima yang halus dan bersih. Juga terlihat vagina Ima yang terawat dan berwarna merah muda. Permainan jari Gio di vagina Ima semakin menggila, klitoris Ima pun menjadi sasaran.
“Masssssss….. gak lama lagi, ah, Ima mau keluar mas, ah, massss…… “ Mendengar itu, Gio semakin bernafsu, dilahapnya buah dada kanan Ima, sementara jari tangan kananya tetap bermain di klitoris kekasihnhya itu. “Mmmm,,,, slurpp.”
Lidah Gio teru bermain di puting Ima sampai akhirnya Ima berteriak, dan melepaskan orgasme yang dahsyat. Memberi waktu untuk beristirahat sebentar, Gio melepaskan jarinya dari vagina Ima. Kemudian dia melorotkan celananya sendiri. Penisnya sudah sangat tegang, dan disodorkan kepada mulut Ima.
Ima kali ini tidak menolak, dia membuka bibirnya yang tipis itu, dan perlahan, penis Gio memasuki mulutnya, “Uhuk, uhuk.” Terbatuk pada awalnya, namun lama kelamaan Ima mulai terbiasa, kepalanya dia maju mundurkan, posisi Ima duduk di sofa, sedangkan Gio berdiri dihadapan Ima. Mata Ima dengan genit namun sayu melirik ke arah Gio, seakan-akan meminta lebih. Karenanya, tak puas hanya berdiam diri, Gio pun mulai memaju mundurkan pinggulnya. Terus, sampai akhirnya “Akh, Ima sayang, keluarrrr … “ Cairan sperma Gio muncrat dengan cepatnya tanpa persiapan dari Ima. Hanya bisa kaget, Ima menerima semua sperma Gio. Tertelan semua.
“Aaaahhhh, iikh, apaan, hueekk, ah Mas mah, gak enak. Uhuk, huek.” Ima kemudian minum. “Ah, masih ada di sini.” Sambil menunjuk ke arah tenggorokannya. Gio hanya tertawa, hari itu, dia mendapatkan dua hal indah. Bibir Revi yang dilumatnya, dan bibir Ima yang melumat penisnya.
==============================
Ujian Nasional semakin dekat, ke enam sahabat itu semakin jarang bertemu. Namun tanpa sepengatahuan siapapun Revi masih bertemu dengan Gio. Kadang mereka menyempatkan waktu untuk sekedar makan bareng, keliling-keliling dengan motor Gio atau nonton.
Hari ini pun sama, hari ke dua UN, setelah Fisika terlewati, Revi setuju untuk nonton bareng Gio. Sebetulnya perasaan Revi masih tidak menentu, namun, karena perhatian dan kasih sayang Gio untuknya sangat dia butuhkan, dahaga akan perasaan itu biarlah sementara dia dapatkan dari Gio. Ya, sementara, karena toh, Revi belum sepenuhnya jatuh hati kepada Gio. Lagi pula, ciuman Gio yang hangat dan lembut menghanyutkannya.
Gio menempelkan kartu itu ke alat pembaca RFID, memilih film, tempat duduk, dan mencetak tiketnya. Rupanya tidak telalu banyak penonton. Sengaja dia memilih bangku paling atas. “Yuk, udah dapet.” Ajaknya pada Revi.
==============================
“Saya suka sama kamu.” Bima mengucapkannya dengan pasti. Ima hanya terdiam. Mata mereka saling bertemu. “Saya gak suka nyimpen di hati Ma. Kamu tahu itu kan. Ya, Cuma pengen ngomong itu aja.”
“Kenapa Bim? Kenapa Ima?”
“Kamu baik, cantik, in control, dan saya buta, selama ini kamu ada di depan mata. Tapi saya gak sadar, mungkin karena kita udah deket.”
“Nah, karena kita udah deket pula, Ima hanya bilang, makasih. Lagian Ima udah ada Gio.”
“Ya, beruntung Gio dapetin kamu Ma.”
Tanpa mereka sadari, Udin dan Rian mendengar pembicaraan mereka. Dalam hati, Udin hanya tertawa, melihat sahabatnya yang satu itu. Namun Rian berfikiran lain, Rian mereasa kecil. Pengecut. Ketika Bima berani mengucapkan perasaannya, dia sendiri takut dan lebih memilih menjauh. “Andai saya bukan pengecut Vi.”
“Hei, ngapain lu pade di sini?” Gusti tiba-tiba muncul dari belakang, Udin dan Rian otomatis kaget dan panik, namun sepertinya, Bima dan Ima tidak mendengar. “Ah, gak ada apa-apa, yu, kita menuju pemuas dahaga beuteung aing.” Udin mengalihkan. Dan mereka berjalan ke arah kantin.
Di belakang kelas, Ima masih tertunduk, dan Bima sendiri masih memandangi wajah cantik Ima.
==============================
Film itu sudah setangah jalan ketika Gio mulai menciumi leher Revi, dibalik jilbab putihnya. “Ah, geli Mas.” Cegah Revi. Namun dia tetap diam, menikmati setiap ciuman dan jilatan Gio di jilbabnya.
Gio kemudian memeluk Revi yang ada diseblah kanannya. Tangannya langsung menuju buah dada kanan Revi yang bulat indah itu, meremasnya. Tersenyum, Revi menoleh ke samping yang langsung disambut oleh lumatan bibir Gio pada bibirnya.
“Mmmmmppp, slurrp. Hmmm. Ahhh.” Tidak peduli dengan tempat di mana mereka berada, keduanya tetap berciuman. Tangan Gio semakin bermain, dilepasnya dua kancing seragam Revi paling atas, dan ditelusupkannya tanganke dalam seragam Revi, tujuannya sudah pasti, puting Revi yang imut itu. Namun sebelumnya, kembali Gio meremas dengan gemas buah dada Revi yang bulat. Keras. Sampai Revi meringis dan mendesah.
Pandangan mereka berdua kembali kepada film, namun Gio tetap memainkan buah dada Revi, bahkan tanagn kirinya mengelus-ngelus paha kiri Revi yang entah sejak kapan, rok nya sudah dia angkat, sehingga paha Revi yang putih mulus terbuka.
Lama-kelamaan, tanpa dikomando, tangan kiri Revi mulai bermain di atas penis Gio, meremasnya, mengelusnya, mempermainkannya. Terus, sampai bagian akhir film. Ketika anti klimaks film itu, aktifitas mereka berhenti, Revi mulai merapikan pakaiannya. Dan sepanjang perjalanan pulang, Revi memeluk Gio dari belakang. Pulang ke tempat Gio.
==============================
“Ya Atika gak tau, coba kalo Rian bilang, hehe.”
“Yasud lah, entar saya kasih tau deh. Saya SMSin tar malem, okeh?”
“Janji ya?”
“Iyaaaaaaaaa neng cantik. Janji.”
“Ya udah, Atika ke kelas dulu.”
“Cieeeeee, neng cantik.” Gusti mengejek Rian. “Gelo, sejak kapan maneh ngagoda perempuan Yan? Biasana juga kamu mah ngegoda mang Encang.” Udin menambahkan.
“Jrit, kudu ada kemajuan bro. Si Gusti aja bisa, masa seorang Rian gak bisa?” Dan mereka tertawa. Sedangkan mata Rian terus memandang Atika yang berjalan menjauh. Pantatnya. Bodinya yang bagaikan gitar spanyol. Kecantikannya selevel dengan Ima. Malah mungkin lebih, mengingat bodi Atika yang lebih seksi dibanding Ima. Hanya saja, kulitnya memang tidak seputih Ima.
Terlintas di pikiran Rian untuk menyerah dengan Revi. Atika pun sudah lebih dari cukup. Namun bayangan wajah Revi dengan senyumnya yang khas itu kembali. Revi, terpatri dalam hati.
==============================
Satu demi satu kancing seragam Revi terbuka. Hingga akhirnya seluru kancing telah terbuka. Bibir Gio masih rakus melumat bibir Revi. Desahan Revi terdengar keras tak terkontrol. Gio duduk bersandar pada tembok kamarnya, sedangkan Revi duduk mengangkang dipangkuan Gio. Tangan kanan Gio meremasi kedua buah dada Revi silih berganti, sedangkan tangan kirinya meremasi pantat Revi.
Secara insting, Revi menekankan selangkangannya kepada penis Gio. Pantatnya maju mundur, apalagi dengan dorongan tangan kiri Gio yang kini bukan hanya meremasi, namun langsung meremasi pantatnya di balik celana dalam yang dikenakan Revi. Jari-jari tangan kanan Gio masih bermain di puting, sedangkan bibirnya tak puas melumat bibir indah Revi.
Merasa pegal, Gio kemudian merabahkan badannya, Revi kini di atas, rok seragamnya diangkat sampai ke perut. Sedangkan celana dalamnya setengah terbuka, akibat tangan kiri Gio yang terus meremas pantan bulatnya. Peting dalam posisi ini terus mereka lakukan sampai tiba-tiba Revi menegang, “Hmmmppp, aahhhhhhhh.” Revi keluar.
Gio membalikan badan Revi, tak mau menunggu sampai orgasme Revi hilang, dia meremas buah dada kanan Revi dengan kedua tangannya, keras, sampai ada bekas bwerwarna merah, dan mulutnya tidak tinggal diam menyedoti buah dada itu, dilumat, disedot, digigit.
“Aaahh, ahahhhhhhh, Mas, aaaaaaaahhhhhhhhhhhhhhhhh.” Revi berteriak, kesakitan dan keenakan. Gio ingin lebih dari itu, mulutnya mulai turun, menciumi perut Revi, dan langsung dilahapnya selangkangan Revi. “Aaah, jangan disitu, geli. Masss, aaaahhhhhhhhhhh.” Gio tidak peduli, bahkan kini dipelorotkannya celana dalam Revi.
Revi berfikir, belum pernah sebelumnya sampai seperti ini, bahkan dengan mantannya dulu. Celana dalamnya selalu berada pada tempatnya, namun kini, kekasih sahabatnya telah berhasil melepaskan celana dalamnya, dan kini, bibirnya sudah ada di depan vaginanya.
“Cup, slurp, muach, slurpp.” Gio mulai menjilati dan mencium vagina Revi. Bahkan punya Ima saja belum pernah, pikir Gio. “Aaaaaaaaaaaaaaaaah, memek Revi diapain masss? Enakk banget, ahhh, ssssssssssssss …. “
Revi memang berisik jika sedang bermain, namun ini keterlaluan, batin Gio. Namun dia tidak peduli, justru hal ini menambah gairahnya. Disedotinya terus vagina Revi. Kedua tangannya kini bergerak ke atas, meremasi kedua buah dada bulat Revi. Remas, keras. Hingga kembali, tubuh Revi menegang. Orgasme yang dahsyat, yang lebih dari apa yang pernah dia rasakan sebelumnya melanda Revi. Ngos-ngosan dan telentang lemas. Dengan baju seragam yang acak-acakan, jilbab yang juga acak-acakan dan rok yang terangkat, membuat Gio semakin naik. Dilepaskannya celana jeans yang dia kenakan beserta boxernya. Penisnya langsung mengacung. Ditindihnya badan Revi. Dan mulailah, digesek-gesekan penisnya diantara belahan vagina Revi. Otomatis, Revi kembali merintih, mendesah dan bibir mereka kembali saling lumat.
Vagina Revi yang sudah sangat basah menambah permainan ini semakin nikmat, Gio sendiri baru merasakan peting tanpa celana dalam. Penis bertemu vagina. Begitupun dengan Revi. Dan ini kembali membawa Revi ker orgasme berikutnya, disusul oleh Gio, yang memuntahkan lahar panasnya ke perut Revi.
Namun rupanya belum cukup. Nafsunya masih naik, begitu pula penisnya, belum turun. Kemudian Gio bangkit, naik, dan menduduki perut Revi, penisnya disimpan diantara buah dada Revi yang memang besar dan bulat menantang. Mulailah dia melakukan breast fuck, perlahan kemudian cepat, dan tanpa ijin, Gio langsung memasukan penisnya ke dalam mulut Revi yang sensual itu.
“Mmmmppppfff. Hmmmmmm. Ahhhhh.” Revi kembali merintih dan mendesah, membuat Gio semakin mempercepat entotannya di mulut Revi, dan “Aaaaahhhhhhhh.” Muncrat sudah sperma Gio dalam mulut Revi, tidak sebanyak yang pertama tadi di perut Revi, dan semuanya habis di telan Revi. Dibiarkan penis itu berada di mulut Revi sampai mengecil, Revi sendiri kemudian menjilatinya beberapa kali, dan ini membuat Gio bertanya, “Vi, sori, tapi beneran kamu baru sekali ngemut punya mantan?”
“Hahahaha, sebenernya sih enggak. Hehe.”
“Jiah, dasar.” Sambil berka begitu, Gio membalikan tubuh Revi, dan kembali menekankan penisnya. Kali ini ke pantat Revi.
“Hah, mas, masih pengen?”
“Gak tau Vi, padahal ama Ima kalo sekali ya udah, ama kamu, ini adek bangun lagi.”
“Dasar. Habis deh ini badan.”
Dan mereka kembali melakukan peting. Tangan kiri Gio meremasi buah dada Revi. Disuruhnya Revi menoleh kesamping, untuk kemudian dilumatnya dengan rakus bibir Revi. Dan tangan kanan Gio bergerilya mengkobel vagina Revi. Sedangkan penisnya, dia tekan dan gesekkan di pantat Revi. Kali ini Revi tidak sampai orgasme, walaupun cairan vaginanya sudah sangat banjir, Gio lah yang merasakan orgasme, dimuncratkannya air mani ke punggung Revi. Masih lumayan banyak. Lalu, kecapean, Gio merebahkan badannya di samping Revi, Revi sendiri tetap tengkurap. Lemas. Baru kali ini dia orgasme lebih dari dua kali berturut-turut.
==============================
Bima berjalan lesu ke arah kantin, pandangannya tertunduk ke bawah, langkahnya terhenti ketika dia melihat sepasang kaki indah berkulit putih. Dia tau itu kaki siapa.
“Jadi, rupanya Ima yang ada di hati kamu ya Bim?”
Yuni memandang wajah Bima. Cemburu, lega, iri, bahagia bercampur.
***************************
Ima termenung. Ucapan temannya tadi benar-benar membuat terhenyak. “Mas Gio dan Revi? Gak mungkin.” Pagi tadi dia salah seorang temannya mengatakan bahwa dia melihat Gio dan Revi lagi berduaan, berjalan saling berpegangan tangan.
Ima tidak mau percaya, hanya saja perasaannya sebagai seorang wanita berkata lain. Beberapa waktu belakangan ini, Gio memang tampak berbeda. Tapi dia menganggap itu sebagai hal biasa.
Tapi pegangan tangan?
Dan Ima memutuskan untuk bertanya ke sahabatnya yang sering jalan-jalan berdua dengan Revi. Rian.
=============================
Rian bengong. Tidak percaya. Tapi sikap Revi akhir-akhir ini memang beda. Lebih sering sendiri dan menjauh.
“Revi. Memang gak ada perasaan sedikitpun buat saya.”
=============================
“Sialan, pada ada apaan sih barudak?” Udin menggerutu, hari ini ingin sekali dia karaoke menghilangkan stress, tapi semua sahabatnya gak bisa diajak. Berdua saja dengan Icha gak asik. Tapi apa boleh buat, akhirnya dia pergi berdua dengan Icha.
Mereka memutuskan untuk jalan-jalan di mall yang ada di jalan Cihampelas. Lagi asik berjalan berdua, Udin meilihat sosok yang dia tau. Perempuan cantik berambut sebahu, Lidya. “Hei, sendiri aja Lid?”
“Eh, kamu Din, gak lah, ama Gusti. Nah, ini makhluk cantik disebelah siapa?” Lidya menunjuk ke Icha. Sore itu, Icha menggunakan kemeja berwarna pink dengan jeans biru dan sepatu kets kesayangan. Terlihat cantik dan menggemaskan. Lidya sendiri menggunakan rok mini, menunjukan pahanya yang kuning langsat dan panjang.
“Kenalin, pacar Udin. Icha.” Udin memperkenalkan.
“Icha.”
“Lidya. Eh, mau pada nonton?”
“Gak.” Icha menjawab. “Tadinya mau karaokean, tapi cuman bedua mah kurang asik.”
“Ya hayu lah, karaokean ama gadis cantik kayak kamu ditemani dua lelaki, yang satu kekar dan yang satu, kamu kaya gimana ya Din?” Lidya menimpali.
“Ganteng surenteng jauh lebih ganteng dari pada Justien Bebek.” Sambil nyengir mempertontonkan giginya yang putih terawat Udin menjawab.
“Idiiihhhh.” Dan Lidya tertawa. Icha sendiri terbahak-bahak.
“Halah, ngapain ada makhluk ini di sini?” Gusti keluar dari lorong di belakang mereka. WC.
“Lah, ente sendiri ngapain Betawi? Ganggu aja.”
“Udah, kaya anak kecil aja. Kita karaokean Gus.” Lidya menegaskan.
“Gak jadi nonton?”
“Gak ah, males, palingan di dalem juga kamu cuman ngeremesin ini dada ama maenin meki.” Dengan enteng Lidya menjawab.
Gusti terdiam, raut kecewa terlihat jelas di wajahnya, Icha sendiri tersipu dan tertunduk. Sedangkan Udin nyengir sambil merasakan adeknya yang di bawah bangkit.
“Kita karaokean aja.”
Dan mereka memutuskan karokean. Ruangan yang mereka ambil yang small. Ruangannya terletak di bawah, namun karena lobinya di atas, seolah-olah mereka turun ke basement. Dapat ruangan paling pojok di belakang. Satu jam sudah mereka bernyanyi. Sepanjang satu jam itu, Udin sering mencuri pandang ke paha Lidya. Dan ini disadari oleh Icha, Icha yang merasa cemburu, mulai merapatkan posisi duduknya di sebelah Udin, memeluk Udin dan mulai menggoda Udin. Gusti tidak sadar akan hal ini, karena sejak beberapa menit yang lalu dia tertidur. Memak anak yang satu ini tidak begitu suka bernyanyi dan tidak keberatan dengan suara bising sebagai teman tidur. Padahal, suara Udin benar-benar bising.
Melihat perlakuan Icha, akhirnya Lidya berkomentar. “Makin nembpel aja Cha, cium aja sekalian.” Icha termakan oleh tantangan Lidya, dan dia langsung mencium bibir Udin. Udin yang beneran tidak menyakngka Icha bakal seberani ini gelagapan, namun lama kelamaan mulai menikmati. Tangan Udin bahkan sudah meremasi dada Icha, dari luar kemejanya dan perlahan membuka kancing bagian atas.
Lidya sendiri melongo tidak menyangka hal ini, namun dia mulai panas. Diciumnya Gusti yang sedang tidur sampai dia terbangun. Panik, Gusti merasa malu, namun akhirnya jengah juga, terutama ketika melihat pemandangan di kanannya, Udin memangku Icha. Icha sendiri duduk di pangkuan Udin, membelakanginya. Tangan kanan dan kiri Udin mempermainkan buah dada Icha yang BH nya sudah disingkirkan ke atas. Bibir mereka saling melumat, dan lidah mereka melilit.
Gusti gelagapan saat Lidya kembali menyerangnya, dan berteriak, “Stop. Hey, kalian gila apa? Gimana kalo ada kamera. Sarap lu pada.”
“Yeee, Lidya yang nantangin.” Saut Icha. “Icha sih gak takut.”
“Lu nantang apa sih Lid?”
“Nantang berani ga Icha nyium Udin di depan saya, gila ni anak. Udah gituan belum kalian?”
“Gituan apa Lid?” Ujin berusaha mengelak.
“ML lah. Pernah?”
“Peting doang, belum ampe ML. Icha gak mau.” Udin menjawab.
“Nah Cha, bernai gak kalian peting di depan saya. Ama depan Gusti juga. Berani ga?” Tantang Lidya kembali.
Icha diam, gak langsung menjawab, namun melihat kondisi dia sekarang dimana sepasang buah dadanya yang ranum sudah terpampang jelas dia menjawab, “Boleh, tapi gak disini. Terus, kamu mau ngasih apa kalo berani?”
“Gak ngasih apa-apa. Cuman nantangin kamu aja.”
“Oke, mau di mana?”
“Di kostan saya aja, sekarang, mumpung belun telalu malem.”
“Heh, kalian itu kayak apa aja, belum tentu si Udin itu mau. Dan ngapain juga gue liatin burung item si Udin, gedean gua malah. Ogah ah gua.”
“Jrit, maneh belum liat nu saya. Lebih gede dari punya lo Betawi. Dan enak aja item, paling juga lebih item punya lo.” Udin sewot menimpali.
“Ah kagak mungkin, okeh, gue ikut. Gua bakal saksiin, mana yang lebih gede, punya lo ato punye gue. Ayo cabut say, kamu ikutin motor gue.” Tantang Gusti ke Udin.
“Nah, gimana cara mastiinnya? Lo juga harus maen ama Lidya. Baru kita bisa tau. Tul ga Cha?” Tantang Udin pada Gusti.
Gusti melihat Lidya, dan Lidya hanya mengangguk, “Okeh, yang kalah traktir nonton. Yang Premiere. Plus makannya. Gimana?
“Aing tidak pernah takut. Apalagi ama lo Betawi edan. Kita liat siapa yang paling gede.”
Kini giliran Lidya dan Icha yang saling pandang melihat dua sahabat itu beradu mulut, kemudian keduanya tersenyum. Manis.
=============================
Revi melihat jam tangannya, jam 19:30. Memandang ke luar rumah, masih sepi. Gio janji dateng ke rumahnya malam ini. Perasaannya kini tak menentu, benih-benih sayang mulai tumbuh di diri Revi, seiring waktu yang mereka habiskan bersama.
Revi masih merasa bersalah, namun apa yang dia rasa bukanlah sepintas, dia memang mulai menyayangi Gio. Suara motor terdengar memasuki pelataran rumahnya, dengan cepat dia turun dan menuju pintu, membukakannya. Gio tersenyum.
“Masuk Mas, lama amet, katanya jam tujuh.”
“Kenapa? Kangen yaaaaa??”
“Idih, sapa juga yang kangen?” Revi memasang wajah cemberutnya, namun yang ada hanya menambah kecantikannya.
Lalu mereka bercengkrama di ruang tamu. “Si mamah dimana Vi?”
“Di dalem, lagi nonton OVJ. Kenapa?”
“Gak, cuman pengen ini aja.” Gio langsung mencium Revi, dan dibalas dengan lumata khas Revi, benar-benar melumat bibir Gio, kadang menggigitnya sampai Gio kesakitan. Tangan Gio sendiri sudah memainkan selangkangan Revi.
“Coba liat dulu gih, lagi ngapain si mamah.” Perintah Gio. Revi langsung bangkit, membenahi jilbabnya lalu masuk ke dalam. Tak lama, dia keluar lagi sambil tersenyum.
“Tidur.”
Giliran Gio yang tersenyum, dan ketika Revi hendak duduk, Gio memeluk Revi dan memposisikannya di depan dia. Memeluk Revi dari belakang. Dengan begitu, dia bebas memainkan kedua gunung kembar Revi yang kenyal. Diangkatnya kaos yang dikenakan Revi, disingkirkannya BH Revi ke atas, dan dimulailah remasan-remasan pada dada Revi. Lalu tangan kanannya turun ke bawah, masik ke balik piyama yang dikenakan Revi, masuk lebih dalam, dan mulailah Gio memainkan vagina Revi, dikobelnya, di geseknya sampai Revi mengeluarkan desahan dan rintihan yang lumayan keras. Gio langsung menyumbal bibir Revi dengan bibirnya.
“Aaahhhhh, hhhmmpppfff. MMmmmmmmm.”
“Berisik sayang, entar ketauan.”
“Hah hah, abis enaaaakkkkkkkkk, aaahhhhh. Ya mas, terus. Ah, mau keluaaarrr.”
Namun Gio berhenti. “Ah, kenapa berhenti, mau keluar tadi.” Protes Revi dengan nafas memburu.
“Hehe, pengen ngemut punya kamu Vi, yang ini.” Gio menekan jarinya di vagina Revi.
“Ah, hmmm, ke kamar aja kalo gitu.”
“Gak apa-apa?”
“Gak, pelan-pelan aja naekya.”
Kedua insan yang dilanda nafsu itu kemudian bergandengan perlahan naik ke atas. Revi memastikan kakaknya tidak ada. Kemudian keduanya masuk ke kamar Revi. Setelah mengunci kamar, Revi langsung dipeluk Gio. Mereka kembali berciuman, tangan Gio perlahan mulai mengangkat jilbab Revi, perlahan dibukanya jilbab putih yang Revi pakai, dan terlihatlah rambut panjang Revi. Hitam. Diciumnya perlahan, dihirup wanginya rambut Revi, dan tangannya tetap bergerak, melepas kaos Revi, kemudian BH Revi.
“Hmm, mau nelanjangin ni Mas?”
“He eh.”
Dan Gio benar-benar menelanjangi Revi. Kini tak ada sehelai benangpun di tubuh gadis cantik ini. Buah dadanya yang bulat indah menggantung sempurna. Puting kecilnya yang berwarna merah muda menantang mulut Gio untuk segera melahapnya. Rambut kemaluan Revi yang tidak begitu lebat terpampang, dan Gio sudah tidak tahan. Dia kemudian melucuti pakaiannya sendiri.
“Kita 69 yu?” Ajak Gio. Revi tersenyum “Kenapa, mau nyumpal mulut Revi pake punya Mas ya?”
“Iya, habis kamu berisik Vi.”
Merekapun mengambil posisi, saling menyamping, Revi mulai melumat penis Gio, sambil mengocoknya dengan tangan juga.
“Aaahh, Masss, aaahhhhhh, sssssssssss, owwhhh, mmhhhhpppff.” Desahan dan rintihan Revi tertahan oleh penis yang terbenam di mulutnya, Gio sendiri mulai menjitati vagina Revi, sambil jari-jarinya berusaha melebarkan vagina Revi agar lidahnya lebih leluasa memainkan klitoris Revi.
“Hah hah, hheeeuuugg, wennnkk. Trus aooohhh. “ Setelah dipermainkan selama 30 menitan, akhirnya Revi klimaks, cairan vaginanya deras dan tetap disedot oleh Gio, Gio sendiri sudah hampir sampai. Dia mendorong tubuh Revi hingga Revi tertlentang. Dan Gio mulai mengentot mulut Revi, sampai, “Aaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhh.” Muncratan sperma Gio sangat banyak, terlihat dari beberapa masih bisa mengalir di sela-sela mulut Revi.
Tiba-tiba HP Revi berbunyi, ada telephon masuk. “Ima Mas.”
“Angkat aja Vi.”
“Halo, ya Ma, kenapa?”
“Kamu kenapa Vi? Ngos-ngosan gitu?”
“Gak kenapa-kenapa. Ada apa?”
“Gak, pengen ngobrol aja. Gak ada temen ngobrol.”
“Loh, Mas Gio kemana?” Revi bertanya pertanyaan yang jawabannya sudah jelas.
“Ada arisan keluarga katanya, jadi dari kemaren di luar kota.”
“Oh, bentar atuh ya, saya mau ke aer dulu, mau cuci muka dulu, tar di sambung lagi.”
“Iya.”
Dan Revi terdiam, memandang ke arah Gio, rasa bersalah kembali merasuk.
“Kenapa Vi?”
“Enggak. Revi harus nelepon Ima. Mas gak apa-apa kalo pulang sekarang?”
“Hmmmm, boleh minta satu kali lagi gak? Singkat ko.”
“Hmmm, cepet tapi ya?”
Tidak menjawab, Gio langsung menidurkan Revi, tangan kanannya memegang penisnya, kepala penisnya dia arahkan ke mulut vagina Revi, dan dia mulai menggesekkan kepalanya naik turun di bibir Vagina Revi yang mulai mengering.
“Hmmmm, aaaaaahhhhh, ooohhhh, geli, enak masssssss.”
Gio semakin cepat memainkan kepala penisnya, lama kelamaan agak masuk, namun dia masih berfikiran sehat untuk tidak memasukan seluruh penisnya ke dalam vagina Revi, hanya butuh 3 menit sampai akhirnya Gio memuntahkan spermanya di perut Revi.
=============================
Sepanjang perjalanan pulang Gio berfikir, kenapa sekarang, kenapa Revi, apa kurangnya Ima. Lebih cantik Ima ko. Lebih baik Ima ko. Apa dia akan menyia-nyiakan gadis cantik yang telah meluluhkan hatinya dengan sifat, sikap dan penampilan yang cantik seorang Ima?
Kesal dengan perasaannya sendiri, Gio mulai mempercepat laju kendaraannya.
=============================
“Tika, hmmm, bisa nemenin saya besok?”
“Kemana Yan?”
“Nemenin liat layar gede yang ada gambarnya.”
“Ahahahaha, ngajak nonton nih?”
“Iya. Mau gak?”
“Dengan kamu sih, ayo.”
“Ya udah, saya jemput besok jam 11 ya?”
“Oke”
**********************************************************************
“Oke, sok”
“Sok sok sok, lo yang duluan, kan pertamanya juga kalian pada yang mau nunjukin.”
Udin dan Icha saling pandang. Kini mereka mulai merasakan panik yang teramat sangat. Malu dan tegang.
“Lah, katanya tadi berani Cha?” Lidya menambahkan dengan nada merendahkan dan senyum sinis di bibirnya.
“Okeh, siapa takut?” Icha langsung memeluk Udin dan mencium bibirnya. Udin juga mungkin berfikir jalanin aja, toh nanti dia bisa melihat Lidya tanpa busana. Dan dia mulai membalas ciuman Icha, dengan lebih bernafsu. Namun kemudian Udin berhenti. “Serius nih harus buka-bukaan?”
“Yaelah, serius dodol. Sana.”
“Awas siah mun ada kamera.”
“Kagak bakal. Nyantey aja bro. Maen sana.”Kemudian Udin kembali menciumi Icha, dibawanya Icha menempel ke tembok kostan Lidya. Diremasinya buah dada Icha keras.
“Hmmmppp. Ahhhssss…. “ Icha mulai merintih dan mendesah tidak menentu. Tangan Icha mulai melepas kancing celana Udin, dan dengan cepat melorotkan celana panjang Udin, tidak tinggal diam, Udin melepaskan semua kancing kemeja Icha, dan juga BH yang Icha kenakan. Kini terlihat topless, Icha semakin menggairahkan di mata Udin, bahkan Gusti pun merasakan hal yang sama. Tanpa sadar, adeknya sudah sangat keras. Lidya sendiri sudah beberapa kali menelan ludah, ini hal gila yang baru dia lakukan, melihat orang lain bermesraan. Lidya mengambil kursi dan duduk di sebelah Gusti.
Ciuman Udin sudah turuh ke leher Icha, dan terus turun sampe ke dada kanan. Dijilatinya puting Icha yang sudah tegang sedari tadi, digigitnya bagian bawah dada Icha. “Ah, Udin, hmmmmppp.”

Dan kembali Udin menurunkan ciumannya, kali ini sasarannya adalah perut Icha yang rata. Dimainkannya pusar Icha dengan lidah, sambil kedua tangan Udin melepaskan celana jeans Icha, tak lupa pula CD nya, Icha kini sudah bertelanjang bulat.
Di sebrang ruangan, Gusti yang sudah bernafsu sedari tadi mulai duduk dibelakang Lidya, kedua tangannya sudah merekasi kedua buah dada Lidya. Lidya sendiri menyandakan kepalanya di dada bidang Gusti, nafasnya terdengar cepat dan berat.

“Aaaaakkkkhhhhhhhhhh.” Udin kini sedang mempermainkan klitoris Icha dengan lidahnya, Icha sendiri terlihat sudah tidak kuat mempertahankan tubuhnya untuk tidak ambruk. Kaki kirinya memang kini berada bahu Udin, kaki kanan Icha lah yang masih menapak di lantai. Jari-jari Udin membuka vagina Icha lebih lebar, dan lidahnya masuk lebih dalam ke lubang vagina Icha.
Udin berdiri, mulutnya belepotan dengan cairan vagina Icha, membuka bajunya dan melepaskan celana dalamnya, penis Udin sudah berdiri tegang, dan dia berbalik ke arah Gusti, tertegun. Dihadapannya terlihat Lidya yang sudah tidak menggunakan pakaian bagian atasnya. Kedua buah dadanya yang tidak terlalu besar itu di remas oleh Gusti, bibir mereka saling melumat.

“Heh, Betawi, mana liat punya lo?”
Gusti menghentikan aktifitasnya, berdiri dan langsung membuka celananya, penisnya lebih besar dari Udin diameternya, namun milik Udin lebih panjang. Mereka berdua tersenyum, namun tidak lama. Gusti langsung memasukan penisnya ke mulut Lidya yang duduk di kursi, dan Udin pun melakukan hal yang sama, disuruhnya Icha berlutut dihadapannya, dan diapun memeasukan penisnya, ke dalam mulut Icha.
“Hmmm,mmmmmm,sss,mmmmmmmm.” Desahan dan rintihan keluar dari mulut Lidya dan Icha ketika mereka mengoral penis pasangannya masing-masing.
Tidak lama, Udin menarik Icha ke kasur, menidurkannya dan melakukan breast fuck. Ukuran dada Icha yang lebih besar dari Lidya membuat hal ini lebih nikmat. Gusti pun menyadari hal itu. Namun tidak lama, Gusti minta Lidya ganti posisi, kini Gusti yang duduk, dan Lidya didudukan dipangkuannya.
Blessss. Penis Gusti masuk di vagina Lidya, mulutnya kembali melumat buah dada Lidya, tangan kirinya memainkan puting kanan Lidya, memutar-mutarnya seperti mencari frekuaensi, Lidya sendiri seperti kesetanan menaik turunkan pinggangnya, kadang memutarnya sehingga Gusti merasa penisnya dipermainkan di dalam sana.
“Aaahhh, akh, aahhh…..jrit, enak banget Gus, ah, yah, terus keras Gus, memek ku penuh Gust. Ah, ah.”

“Yah, memek lo emang nikmat banget Lid, hah hah, anjrit, sempit banget sayang.”
Bibir mereka kemudian bertemu, saling lumat dan saling gigit. Kemudian Gusti mengangkat badan Lidya, membalikannya, den kembali memangu Lidya, penisnya pun kembali menemukan lubang kenikmatan Lidya, keduatangannya bergerak ke depan, ke arah buah dada Lidya, meremasnya dengan keras. Lidya sendiri kembali menggoyangkan badannya, berusaha memasukan penis Gusti sedalam-dalamnya.

Di ranjang Udin terus menggesekkan penisnya ke vagina Icha, namun melihat apa yang dilakukan pasangan yang ada di samping mereka, jelas membuat Udin iri dan sangat bernafsu. Dia melihat Icha, matanya pun sama, tefokus pada Lidya dan Gusti yang sedang bermain tanpa lelah walaupun keringat sudah bercucuran. Lidya yang masih menggunakan rok mini tanpa pakaian atasan yang sedang naik turun dan bergoyang, dadanya dipermainkan oleh Gusti dari belakang.
Melihat ini Udin terdiam, kemudian dia menatap dalam mata Icha, terdiam, kemudian Icha mengangguk. Udin lalu meraih penisnya, mengarahkannya ke lubag Vagina Icha, perlahan, kepalanya masuk.

“Aaahhhh, pelan-pelan say, sssshhhhhhhhhhhhhhh, sakitttt.”
“Heh, aaahhhhh, yakin kamu mau masukin, aaa, pelan Gus, masuk ah, masukin itu?” Lidya bertanya ke Udin. Tidak menjawab, Udin malah terus mendorong pinggulnya, masuk setengah, dan Icha kembali merintih kesakitan.
“Heheh, ayo Din, ah, lo pasti bisa.” Gusti memanasi.
“Aaaaaahhkkkkkk, sakkkkit. Udin. Aahhhhhh.” Dan akhirnya Udin memasukan semua penisnya yang pajang itu ke dalam vagina Icha. Mereka berdua diam sesaat. Menarik nafas, mengatur nafas. Icha sendiri menangis, air matanya mengalir.

“Sakit Din. Banget ini mah. Hiks.”
“Sabar sayang, awalnya doang ko.” Udin mengecup kening Icha, lalu mulai menarik penisnya keluar.
“Isssshhh, aukh, pelan, sakit.”
Seluruh penis Udin tercabut, dan dari sela-sela vagina Icha terlihat darah mengalir. Begitupun di penis Udin, ada sedikit darah menempel disana. Tidak untuk waktu yang lama Udin berdiam, kembali ia menusukan penisnya.

“Hmmppp, sempit banget Cha, enak banget memek kamu Cha. Hah, hah. “ Mulai memompan perlahan pelan. Lalu Udin mulai mempercepat genjotannya. Icha masih terlihat belum menikmati. Dia masih menangis.
“Hah, gelo, memek kamu Cha, sempit banget.”
“Goblog, hah, hah, jelas lah sempit, kamu baru aja merawanin dia, aaahhhhhkkk, Gusti, bilang dong kalo mau masuk ke situ.”

Udin melihat kesamping, ternyata kini Lidya sedang nungging, dada dan perutnya ada di kursi, Gusti sedang menikmati lubang anus Lidya.
“Weits, hah, ditusuk oge eta bujur Lid, hah, aahh, jrit, peret Cha.” Udin berkomentar. Namun entotannya tetap cepat, sampai Icha menegang, berteriak “Aaaaaaaaaahhhhhhhhhhhh… keluar, keluar, ahhhhhh.”

Udin mendengar itu semakin bernafsu, semakin cepat genjotannya, dan dia merasakan mau keluar. Takut Icha hamil, Udin mencabut penisnya, dan crrottt, spermanya tumpah di perut rata Icha. Nafas mereka masih ngos-ngosan ketika mereka melihat Gusti selesai memuncratkan spermanya di mulut Lidya.
Setelah beristirahat sebentar, Lidya membuka rok mininya, hingga kini ia sama seperti Icha, telanjang bulat. Melangkah mendekati Icha, memeluknya, “Cup cup, saya tau tadi sakit, tapi entar juga bakalan terbiasa ko. Tahan ya?”
Icha hanya mengangguk. “Enak si enak, tapi sakit.” Jawab Icha sambil meringis. Mendengar itu semua tertawa. Gusti mendekati Lidya dan Icha, “Enak Cha dientot kontol si Udin yang item dan kecil itu?”

“Anjing siah, emang nu aing lebih kecil, tapi lebih panjang men. Dan mana, yey, sarua hideungna. Sama-sama item juga gak usah saling menghina lah. Nu penting, baru juga nyobain, bisa tahan lama. Padahal memek Icha masih sempit.”
“Heh, maksudnya apa Din? Memek saya udah gak sempit gitu? Hah, mau coba?” Lidya menantang Udin dan langsung relfeks di jawab “Mau!”
Merasa salah bicara Udin terdiam. Keheningan terjadi, detik jam bahkan terdengar. Sampai Gusti menjawab. “Okeh, lo cobain punya Lidya, rasain betapa nikmatnya memek cewek gue. Tapi gue juga mau nyobain memek Icha. Giamana?”

Icha kemudian menoleh ke arah kemaluan Gusti, besar. Memang tidak sepanjang milik Udin.
“Hah, saya ini baru kehilangan keperawanan, masa dah mau digilir.”
“Udah, gak apa-apa, ngebiasain Cha, udah, sini kamu Din, entotin nih memek.” Lidya berkata sambil menunjuk memeknya. Entah apa yang ada dipikiran dia sampai mengajukan ajakan seperti ini, namun rupanya suasana sudah membuat pikiran mereka berempat ancur.
Tanpa diperintah dua kali Udin langsung mendekati Lidya yang terduduk di lantai kamar. Perlahan dan dengan gemetar yang kentara, Udin menyentuh wajah Lidya, lau kemudian menuburknya hingga Lidya telentang di atas lantai. Udin langsung menyambar bibir tipis Lidya, melumatnya dan menyedot lidahnya untuk masuk ke dalam mulut Udin.

“Hmmppppfffff. Mmmmmm.”
Tangan Udin menuntun penisnya ke arah lubang vagina Lidya, tidak sabar, dia langsung memasukan seluruhnya dalam sekali dorongan.
“Aaaaaaaaahhhhhhhhhhh, pelan Dinnnnnnnn…”
Icha hanya bisa melongo melihat kejadian itu, dan terkaget saat Gusti memegang kakinya, merangkak, Gusti mendekati kepala Icha yang duduk bersandar pada dinding di atas kasur. Perlahan mata mereka bertemu, lalu bibir mereka saling melumat, menggigit dan menyedot.
“Mmmmm, slurp, ahhhhh.” Tangan Gusti meremas buah dad Icha yang memang lebih besar dari Lidya, ini buah dada kedua yang dia remas, puting ke dua yang dia mainkan, dia sedot, gigit dan buah dada ke dua yang dia berikan cupang.

Melihat Lidya yang kini sedang melakukan Woman On Top, Gusti merasa nafsunya sudah ada di ubun-ubun. Begitu pula Icha, namun sebenarnya untuk memeasukan penisnya ke dalam Icha, Gusti masih berfikir dua kali, karena dia buakn tipe pemain, tidak seperti Bima atau Udin, dia bingung, apa harus melangkah lebih jauh atau berhenti sampai di situ. Namun belum habis Gusti berfikir, Icha sudah memegang penisnya, mengocoknya dan mendekatkan penis itu ke lubang vaginanya.
Pertahanan Gusti roboh, dan akhirnya dia memasukan penis itu ke dalam.
“Aaaahhhhh, perih Gus, pelan ya?”

Gusti mengangguk, pelan dia masuki Icha, sepertempat, setengah, tiga perempat, dan seluruh penis yang diamternya lebih besar dari penis pertama yang masuk itu membuat Icha tersentak. Merintih. Mendesah. Kembali air matanya turun, menahan sakit, Icha mencoba tersenyum ketika Gusti menanyakan apakah penetrasinya sakit atau tidak.
Tadinya Gusti akan menunggu beberapa saat untuk mulai menggenjot Icha, namun melihat keadaan Lidya yang sudah kepayahan menerima sodokan Udin, Gusti seakan ingin membalas dendam. Mulailah dia mengentot Icha, tanpa mulai dari pelan langsung cepat.

“Haaaaaaaahhhhh, aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaakh.” Icha berteriak. Bahkan mungkin teriakannya terdengar sampai kamar sebelah atau sampai beberapa meter dari kamar kost Lidya. Namun Gusti tidak peduli, dia terus menggenjot Icha.
“Cha, memek kamu anget, sempittttt, hah hah, nikmat.” Gusti kemudian mengangkat tubuh Icha, menyimpan bantal di bahah pinggang Icha, dan kembali menggenjot dengan kecepatan tinggi. Kaki Icha sudah direnggangkan, disimpan di atas bahu Gusti, dan dengan kecepatan yang tidak berkurang, Gusti membungkukkan badannya, kedua tangannya meraih buah dada Icha, meremasnya keras.

“Ssssssshhhhh, ah, ah, enak Gust, terus. Ah, mau keluar, bentar lagiiiiiii.” Gusti terus memompa dengan kecepatan yang sama, sampai akhirnya badan Icha menekuk, otot di lehernya sampai terlihat, dan Gusti dengan sengaja meremas kedua buah dada Icha keras-keras menambah sensasi orgasme yang Icha rasakan.
“Hah, gila Din, kontol kami mentok banget ampe ujung, hah, keluar, masih lama ga?”
“Bentar lagii Lid, ahhh, nikmat, masih peret banget, padahal pasti sering dipake Gusti. Ah. Enak banget. Mau, hah, dikeluarin dimana nih?”
“Dalem lah, lebih enaaaakkkkkkkkk, ah, gila, nyampe ujung tah.”
“Hah, hah, ya, di dalem entar, bentar lagi tapi. Lidyaaaaaa……………… Ahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh.” Udin menyemprotkan spermanya banyak di dalam Lidya, lebih banyak dari pada yang dia keluarkan tadi karena kali ini dia tidak harus menahan diri. Lidya pun kemudian menyusul, “Ohhhhhhh…… Keluar juga Din….”

Gusti masih belum keluar, dia terus menggenjotkan penisnya di vagina Icha. “Heh Betawi, hah, entar, keluarin di luar lo. Jangan lupa.” Udin mengingatkan Gusti. Untung dia mengingatkan, karena tak lama setelah itu Gusti menusuk dalam-dalam penisnya di dalam vagina Icha, menahannya beberapa detik kemudian menariknya. Mungkin idenya ingin mengeluarkan sperma itu di mulut Icha, namun belum sampe ke mulut, spermanya sudah menyemprot keluar, mengenai wajah, mata dan hidung Icha, membuat Icha gelagapan dan panik. Gusti meminta maaf, dan memberikan anduk kecil ke Icha untuk mengelap spermanya yang muncrat kemana-mana.
“Dasar kamu, sini, saya bersihin penisnya.” Lidya mengambil penis Gusti dan mulai menjilatinya, membersihkan semua sisa sperma dan cairan vagina Icha. Namun ternyata tidak berhenti sampai situ, Lidya terus menyedot dan menjilati penis Gusti, sampai penisnya kembali tegang. “Ah, say, ngapain? Gila, gak cape.”
“Belum Gus, kagok. Hmmmmm.”

Udin melihat ini kembali naik, dia mendekati Icha, namun melihat Icha yang terlentang sambil mencoba bernafasnormal dia merasa iba juga, kemudian melihat Lidya, yang kini sekarang sedang tertidur terlentang dan Gusti yang sedang mengentot mulut Lidya.
“Hmm, memeknya bebas.” Pikir Udin. Kemudian dia mendekati Lidya, mengangkangkan kakinya.
“HHmmm, Din mau ngapai,,, aaaaahhhhh.”

Udin memasukan penisnya sekali lagi ke dalam vagina Lidya, Gusti baru akan protes ketika Lidya kembali mencaplok penisnya. Dan kembali mengoralnya. Kini lubang atas dan bawah Lidya dimasuki dua penis. Ini hal baru bagi Lidya, dinikmati dua orang laki-laki pada saat yang bersamaan. Sensasinya beda. Gusti terlihat masih ingin protes, tapi isyarat mata Lidya membuat dia mengurungkan niatnya.

Mereka terus melakukan itu sampai Gusti mencabut penisnya dan meminta Udin tiduran, Udin melakukan apa yang diperintahkan Gusti, dan lalu Lidya diposisikan di atas Udin, blesss, penis Udin kembali masuk. Lidya kemudian mulai gerakannya, bergoyang sensual. Gusti kemudian memegang bongkahan pantat Lidya.
“Heh say, ah, jangan-jangan kamu mau …. ahhhhhhhhhhh, gila, anjing, kaliannnn, akhhhhh, penuh.”

Gusti memasukan penisnya ke pantat Lidya. Lidya mendongkakkan kepalanya, keenakan. Buah dadanya menggantung bebas, dan ini tidak disiasiakan Udin, dimainkannya puting Lidya. Gusti sendiri terus menusuk pantat Lidya, tangannya memainkan pantat dan pinggul Lidya.
“Hahhhh, anjrit, mau keluar nih. Ahhh, kalian parah, ah ah ah ah, keluarrrrrr….” Lidya akhirnya keluar, lalu ambruk ke atas badan Udin. Mereka berdiam diri, “Gus, tukeran Gus.” Udin meminta. Gusti kemudian mencabut penisnya dari dalam pantat Lidya. Udin kemudian mengangkat badan Lidya yang sudah tidak bertenaga, menggulingkannya pelan kemudian bangkit. Gusti mengambil posisi Udin, dan Udin membantu Lidya untuk mengambil posisi, blesss, kali ini penis Gusti yang masuk ke vagina Lidya, Gusti mulai menaik turunkan pinggulnya, membantu Lidya yang sudah kepayahan. Dari belakang, Udin yang sudah memposisikan badannya, mulai memasuki Lidya, pelan, membiasakan penisnya dengan lubang pantat yang memang kecil, lalu blesss, masuk semua.
“Aaahhhhhhh, abis nih memek ama pantat. Kalian edan. Curang, aaahhhhh.”

Udin muai memompa. Pada saat itu, Icha yang sudah mulai bertenaga bangun, melihat kekasihnya sedang menikmati Lidya, dia tidak marah, malah nafsunya kembali naik. Mendekati Udin, memeluknya dari belakang kemudian kepalnya disodorkan ke depan. Bibir mereka kemudian saling lumat. Udin kemudian memposisikan Icha di sebelah kirinya, mereka berciuman sambil tangan Udin memainkan vagina Icha, memasukan jari tengahnya, lalu mengobel vagina Icha, ini dilakukan Udin sambil memegang pantat Lidya dan menggenjot pantat Lidya.

Terus sampai akhirnya Udin meraih orgasme, disemprotkannya sperma ke dalam pentat Lidya. Kemudian Udin menarik diri, membiarkan Lidya kini yang di genjot Gusti dengan gaya misionaris. Mengatur nafas sambil tangannya tetap di dalam vagina Icha, dan setelah nafasnya teratur, Udin meminta Icha melakukan woman on top. Dengan sisa tenaga yang dimiliki, Icha mulai bergoyang, berputar, naik dan turun.
Gusti dan Lidya sendiri sudah berhenti. Lidya sudah terkapar di atas lantai. Kakinya mengangkang, tangan kanannya melintang di atas wajahnya. Dadanya naik turun dengan cepat. Gusti sendiri beristirahat bersender pada meja.
“Gila,” pikir Udin “Tapi enak bisa dapetin perawan Icha dan nyobain Lidya. Dream come true.”
“Udinnnn, Icha mau keluar.”
“Ya, sok, keluarin.”
“Ah, keluar Dinnnnnnnnnnn.”
Memberi waktu icha bernafas sejenak, Udin lalu bangkit, memasukan penisnya ke dalam mulut Icha, mengentot mulutnya, Icha hanya bisa pasrah, mempertahankan agar mulutnya tetap terbuka. Tak lama Udin menarik penisnya, mengocoknya di depan wajah Icha, dan crroooooo. Kembali wajah Icha di hias oleh sperma.

**************************************************************
Mata Revi terpejam. Tiga hari yang lalu satu jam dia ngobrol dengan Ima dan diteruskan dengan ngobrol di WA. Ima tahu, ya, Revi yakin kalau Ima tahu, hanya saja Ima terlalu baik untuk melakukan konfrontasi. Ima memang baik. Dia sendiri apa? Kotor. Dulu hampir setiap hari badannya yang tertutup jilbab itu dijamah dan dinikmati oleh mantannya. Dia selalu bilang kepada Ima bahwa hubungan mereka masih sebatas pas foto. Ke Gio pun hanya bilang baru beberapa kali peting sambil oral dengan mantannya dulu. Walaupun kenyataanya lebih. Revi sudah biasa ditelanjangi, bahkan kadang-kadang meminta untuk ditelanjangi. Entah berapa liter sperma yang sudah dia telan atau tertelan. Walaupun dia masih bisa mempertahankan agar vaginanya masih perawan.
Revi merasa malu, dulu pernah beberapa kali dia kepergok oleh orang lain sedang bercinta dengan keadaan jilbab yang acak-acakan dan baju atasan yang telah terbuka, namun tetap melakukannya dengan mantannya itu.Revi merasa kotor. Badannya, hatinya dan lebih lagi, penghianatannya. Berhari-hari dia bertanya kenapa. Iya, Gio ada sebagai tempat dia curhat. Tempat dia berkeluh kesah, bahkan meminta tolong. Gio adalah orang yang Revi tidak merasa malu untuk bercerita tentang hubungan yang dia lakukan dengan mantannya, sebagai balasan, Gio bercerita tentang apa saja yang sudah dilakukan bareng Ima. Revi sampai tahu bahwa Ima menyenangi permainan yang sedikit kasar.
Tapi kenapa Gio? Kenapa bukan Bima? Yang jelas-jelas penjahat kelamin, namun toh dia memang menyukai Bima. Dari pertama dia melihat Bima, dia sudah jatuh hati. Jadi kenapa tidak tanggung kotor dengan Bima? Apa Revi hanya memanfaatkan Gio karena dia ingin merasakan hal yang pernah dia rasakan. Geli. Nikmat. Orgasme. Tapi kenapa kini dia mulai memiliki hati untuk Gio?

Lalu ada Rian. Tidak. Rian terlalu baik. Rian terlalu sempurna. Tidak pernah macem-macem dan selalu menjaga hati dan perasaan. Revi tahu, bahwa Rian mencintai dia. Revi tahu, ketika dia memutuskan untuk menerima ajakan jadian mantannya dulu, Rian sangat terpukul. Dan Revi merasa malu, bahwa disaat-saat dia jatuh karena kekasihnya ternyata sudah bertunangan, Rian yang selalu ada biat dia. Dikala sahabat lainnya sedang sibuk, Rian selalu ada.

Revi bangkit dari tidurnya, berdiri menghadap cermin. Perlahan, dia membuka kaosnya, kemudian celana pendeknya. Terlihat sebuah badan yang indah, padat, dan buah dada yang rapih terbungkus BH. Dia pun perlahan membuka seluruh daleman yang dia kenakan higga kini bertelanjang bulat.
Badan ini. Badan kotor ini, yang sudah dinikmati berkali-kali oleh mantannya. Dada ini, yang tiga hari kemarin dicupang oleh Gio. Bekasnyapun masih ada. Vagina ini, yang kemarin dimainkan oleh lidah Gio dan bertahun yang lalu oleh lidah, tangan dan ujung kemaluan mantannya.

Air mata kemudian turun membasahi pipi Revi. Tertunduk Revi menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Revi langsung berlari membuka pintu, keluar kamar tanpa pakaian sedikitpun, berlari ke kamar mandi yang memang tidak jauh dari kamarnya. Menyalakan air, dan menangis sebisa-bisanya.

==================
“Jadi?”
“Jadi?”
“Ima?”
“Iya, Ima.”
Sore itu di atas loteng rumah Bima, dia dan Yuni duduk memandang taman samping rumah. Keduanya duduk berdekatan, kepala Yuni direbahkan di bahu Bima. Kaki mereka berdua terayun perlahan. Sore itu langit sedikit mendung. Padahal bukan musimnya hujan.
Kepala Bima menoleh, lalu dia mencium kening Yuni. Air mata mengalir membasahi pipi Yuni yang tirus dan mulus. Bima membiarkannya mengalir. Mereka kembali terdiam.
“Satrio tahu Bim.”
“Hah, terus? Tahu sampai batas mana? Dia marah?”
“Dia gak marah. Yuni gak tahu sampai mana dia tahu. Tapi dia nanya, siapa yang mau Yuni pilih. Sepertinya, jawabannya udah ada ya?”
Bima terdiam, lalu berkata “Saya tetep sayang kamu Yun.”

==================
Icha memutuskan untuk membeli sepatu itu, sesuai dengan selera dan terutama kantongnya.
“Bagus Cha, cocok di kamu.”
Icha kemudian menoleh ke asal suara, Lidya.
“Hai.”
“Hai.”
Kaku. Kejadian tiga hari yang lalu berujung semuanya menjadi kaku. Icha diantar pulang Udin. Namun mereka berpamitan dengan tanpa perasaan, dingin. Masing-masing dengan pikirannya sendiri.
“Kemarin kita gila ya?” Lidya memulai.
“Iya. Maaf ya, sampe kamu di, yaaa, ngerti kan, ama Udin. Dan maaf ampe saya ama Gusti juga gitu.”
“Cha, kamu gak salah, yang salah itu saya. Saya yang mulai. Hehe. Tapiiii, hihi, saya seneng ko. Gak tau kenapa, tapi setelah kejadian itu, sensainya masih terasa ampe sekarang.”
“Iya sih. Tapi sakit juga, kamu mungkin udah biasa. Tapi Icha kemarinkan baru.”
“Hahahaha. Iya, tapi saya juga baru loh di DP kemaren.”
“Hah? Apaan DP.”
“Double penetration. Dimasukin depan dan belakang.”
“Ooooh. Oya, sakit gak?”
“Banget, tapi nikmat.”
“Hm, Udah sering ya ama Gusti? Pertama juga ama Gusti?
“Sering si enggak. Minimal seminggu sekali tapi, hahaha, sering ya itu? Hmmm, yang depan si bukan ama Gusti, ama temen SMA dulu. Nah yang belakang, baru sama si Betawi edan itu. Dia masuk gak bilang-bilang lagi, saya ladi tiduran, eh, dia maen masuk aja.”
“Hahahaha, parah juga si Gusti. Berarti masuk tanpa ijin dong? Tindakan pemerkosaan itu.”
“Hehe, tapi enak ko, jadi saya juga nikmatin aja.”
“Dasar, eh, ama siapa ke sini, Gusti mana?”
“Sendiri, dia lagi ke rumah Udin. Memastikan bahwa persahabatan mereka tetap utuh.”
“Ow, dan mudah-mudahan kita berdua di sini membuat persahabatan yang baru.”
“Akur.”
“Ya, asal jangan ujungnya kayak kemaren aja.”
“Kenapa gitu? Kan enak”
“Hmmm, iya sih, tapi takutnya kita nanti jadi main hati. Gimana kalo Icha jadi suka ama Gusti dan kamu jadi suka ama Udin ato kebalikanya?”
“Iya sih, tapiiii, itu kan belum tentu, hhmmm, mau nyoba lagi gak?”
“Kamu mau?”
“Jujur ya, mau sih. Sensasinya beda.”
“Hmm, takut ah, takut entar di DP juga.”
“Ya elah, dasar. Gitu aja takut.”
“Lah, liat kamu dijepit gitu sampe teriak-teriak siapa yang jadi gak takut coba?”
“Iya deh. Tapi mau lagi ga?”
Membayangkan penis Udin yang panjang dan milik Gusti yang besar diameternya, juga badan Gusti yang kekar, Icha kemudian menjawab.
“Kapan?”

==================
Gio hanya terdiam, perkataan Ima barusan menusuk hatinya. Ima tahu, dan Ima tidak marah. Perepmpuan can tik dihadapannya ini tersenyum dengan air mata yang mengalir. Senyumnya tidak dibuat-buat. Tulus dia bertanya, apakah Gio akan terus dengan Ima atau dengan Revi, Ima tahu masa lalu Revi. Dan kalo Gio bisa menjadi obat buat sahabatnya itu, Ima pasrah.
Gio merasa kecil. Malu. Mata Gio mulai berkaca-kaca.
“Enggak Ma, Mas memilih Ima. Kemarin-kemarin Mas hilaf. Karena terlalu sering ketemu, tiap minggu, dan Revi sering cerita, kita jadi deket, dan memutuskan untuk maen, tapi udah ko. Mas udah mutusin kalo pilihan hati Mas itu Ima.”
“Tapi kasian Revi Mas, dia udah mengharapkan Mas.”
“Tau dari mana?”
“Kami sahabatan, pasti tau.”
“Ya tapi gak gitu juga Ma. Pokoknya kami udah selesai ko. Gak lagi. Mas hanya menginginkan Ima buat jadi pendamping hidup Mas.”
Mereka terdiam untuk beberapa menit. Ima kemudian mengambil teh dan mulai minum. Gio masih memandang lekat-lekat wajah Ima. Cantik. Pikir Gio, paling cantik diantara mantan-mantan dia dulu. Lebih cantik daripada Revi.
“Mas udah ngapain aja ama Revi? Selain pegangan tangan? Udah pelukan? Ciuman? Ato jangan-jangan udah pernah diemut lagi ama Revi?”
“Jiah. Enggak lah. Pegangan tangan doang ko. Suer.”
“Hehe. Ya sudah. Jadi mau milih Ima aja nih?”
“Iya. Selalu Ima.”

==================
“Hahahahaha, bodoh.” Atika berkomentar melihat adegan di layar lebar itu.
“Parah ya?” Tanya Rian sambil menoleh ke arah Atika. Pada saat yang bersamaan, Atika pun menoleh ke arah Rian. Mata mereka bertemu. Waktu seakan-akan berhenti. Dunia serasa milik berdua. Wajah mereka saling mendekat. Mata Atika sudah sedikit terpejam. Mata indah itu sangat menggoda, pikir Rian. Namun di kepalanya masih ada Revi. Di hatinya masih ada Revi. Tapi mata itu, bibir itu yang merah merekah siap untuk di lumat.
Akhirnya Rian menyerah. Diciumnya bibir Atika. Dilumatnya. Dimainkannya. Mereka berciuman sampai beberapa saat kemudian berhenti. Lalu keduanya tersenyum.
“Rian sayang kamu Tika.”
“Tika juga sayang Rian.”
Kemudian Atika memeluk tangan kanan Rian, kepalanya bersandar dibahu Rian.
“Hangat, empuk.” Pikir Rian ketika merasakan buah dada Atika menempel ditangannya, dikecukpnya jilbab Atika di bagian kepala. Kemudian mereka berdua kembali menonton, dengan jantung yang berdebar-debar. Karena senang, bahagia, dan takut ada yang melihat kejadian tadi.

*****************************************************

“Mau ampe jam berapa Ka?”

“Hm, paling lama kita di jalan sekitar 2 jam an. Pulang pergi ambil 4 jam. Disana kita 5 jam aja. Itung aja sendiri Say.”

“Wuih, lama dong. Revi tapi pulang dengan utuh kan ampe rumah?”

“Hmmm, utuh gak ya? Hahahaha. Utuh sih, ngan paling juga penuh dengan cupangan sana sini.”

“Ihhh, nyebelin deee.”

Enam bulan mereka jadian. Kebetulan, tanggalnya pas di hari Minggu. Revi diajak mantannya main ke Ciwidey, rencananya mereka mau berendam di tempat pemandian air hangat.

Perjalanan pergi mereka lalui dengan canda nan ceria. Mereka pergi pagi-pagi sekali, untuk menghindari macet. Hanya dibutuhkan satu jam lebih, melalui jalur Cimahi mereka sampai. Berhubung masih pagi, tujuan pertama mereka adalah Kawah Putih.

“Sepi. Tapi baguslah, kabutnya juga bagus. Sini Ka, foto.”

“Hm, ni anak, centil banget.”

“Hahaha, tapi suka kan?”

“Hahahaha, banget. Dah, duduk sana, biar Kaka foto. Satu, dua, sepuluh. Nah.”

“Mana liat? Hahaha, bagus-bagus. Huft, duduk dulu ah, cape.”

“Yeee, dasar, baru jalan dikit juga, geseran.”

Mereka duduk bersampingan, Kawah Putih pagi itu masih sepi, cuaca dingin dan memang sedikit gerimis, sebetulnya bukan waktu yang baik untuk jalan-jalan di Ciwidey. Tapi ini sudah mereka jadwalkan.

“Dingin.”

“Haha, bilang aja mau di peluk. Dasar.”

“Hehehe, anget Ka.”

“Vi?”

“Huh?”

Dan bibir Sang Mantan menyentuh bibir Revi. Lembut. Saling melumat, lidah mereka bertautan. Tangan kanan Sang Mantan turun, dari bahu Revi menuju pinggang, memainkan pinggang Revi, sedikit meremasnya.

“Mmmm, geli … “

Kemudian mulai naik, menyusuri bentuk badan Revi, dan berakhir di bawah lengan kanan, kemudian disusupkannya tangannya, sasarannya bukan lain buah dada Revi. Dimainkannya jemari di atas gundukan daging itu, mulai dia remas, perlahan, namun keras. Jaket yang digunakan Revi keliatannya bukan sebuah penghalang.

“Aaaaahhhh, Kaa, malu, tar adaaaa, ahh, orang.”

Sang Mantan tidak peduli, kini dia mencium telinga kiri Revi. Membuat Revi semakin mendesah.

“Aaaaaaahhhhhh, sssssssssssss.”

Badan Revi semakin didekatkan ke badannya, hal ini mempermudah dia meremas buah dada Revi. Dan bibirnya kali ini mendapatkan leher Revi, masih tertutup jilbab hitamnya.

Tangan kirinya bergerak, mendapatkan buah dada kiri Revi, kini kedua buah dada Revi dipermainkan. Diremas, keras, namun perlahan. Mulut Sang Mantan pun kini kembali melumat bibir Revi yang indah itu. Memasukan lidahnya jauh ke dalam rongga mulut Revi.

“Mm, slurpp, mmmmmmppp.” Air liur mereka mengalir di sela-sela mulut.

“Vi, pindah ke belakang.”

Revi tidak menjawab, matanya masih sayu dan nafsu terlihat jelas dari wajahnya yang cantik. Dia menurut ketika badannya sedikit ditarik ke arah semak-semak lebat di belakang mereka. Sepanjang perjalanan menuju semak-semak, Sang Mantan memeluk Revi, namun tangan kirinya bukan memeluk pinggang, melainkan tetap memainkan buah dada Revi. Sampai akhirnya mereka sampai di belakang semak yang lumayan lebat. Mereka melihat keadaan, masih gerimis kecil, dan masih sepi.

Dipeluknya tubuh Revi, dan Revipun balas memeluk Sang Mantan. Lidah mereka kembali bertemu. Ciuman mereka semakin dahsyat, saling gigit dan saling lumat. Sang Mantan kemudian membuka sleting jaket Revi, kemudian dengan tidak sabar mengangkat kaos Revi, terlihatlah gundukan daging putih nan indah dibalik BH berwarna hitam. Dan itu pun tidak lama, Bh itu disingkirkan ke atas. Kini buah dada Revi terpapar indah, dengan puting yang masih belum keluar sempurna. Namun itu tidak mengurungkan jari-jari Sang Mantan untuk mencubitnya, mencoba menarik puting-puting itu keluar.

“Aaaaahhhhhss, Ka, geli yang. Ah ah ah, jangan di sedot, geli bangettttttttt…. “

Namun Sang Mantan terus menyedot kedua puting itu silih berganti, meremasi dua gunung kembar yang bulat indah itu. Membusung kencang. Sang Mantan merasa bahagia dan senang, baru satu bulan yang lalu dia melihat benda ini. Sebelumnya mereka baru sebatas ciuman. Bahkan meremas dada Revi dari luarpun baru dua kali. Namun ini, langsung dari dalam, dan dia bisa langsung melumatnya habis.

“Sssttt, berisik Yang, pelanin dikit suaranya.”

“Abisan geli nih.”

“Geli banget?”

“Banget.”

“Hehehe, ya deh, Kaka berhenti dulu ngemutnya, dimainin aja.” Sang Mantan lalu membalikan badan Revi.”

“Eh, mau ngapain?” Revi bertanya.

“Mau gini.” Tangan Sang Mantan memeluk Revi dari belakang, kemudian meremas kedua buah dada Revi. Meremasnya, kali ini lebih cepat dan keras. Membuat nafas Revi semakin memburu. Bibirnya tidak henti menciumi telinga dan leher Revi, masih dari luar jilbabnya. Dan kini, penisnya mulai dia tekankan keras, ke belahan pantat Revi yang masih tertutup celana jeans.

Revi merasakan benda keras itu, dia tau itu apa, tapi dia tidak mempedulikannya. Rasa geli ini, dan sensasi bermain di luar, membuatnya serasa di dunia lain. Walaupun begitu, matanya tetap awas, melihat keadaan.

Tiba-tiba kepalanya ditarik ke belakang, dan Sang Mantan mulai melumat bibirnya, rakus.

“Hmmmmmmmppppppp, ah, ssssss. Cup, slurppp. Kaaaa, ahhhh, remes yang keras.”

Tanpa menunggu perintah dua kali, Sang Mantan kembali meremas buah dada Revi, kali ini lebih keras. Setelah beberapa lama, tangan kanannya turun ke arah selangkangan Revi, dengan cepat diselikpannya tangan ke dalam celana jens Revi.

“Aaaahhhhh, jangan kesitu Ka.” Revi berusaha menepiskan tangan Sang Mantan, namun kalah tenaga dan dia sendiri pun sudah sangat bernafsu, membuat usahanya sia-sia. Di bahwah sana, tangan Sang Mantan mulai memainkan jemarinya di atas belahan vagina Revi, masih di luar celana dalamnya, namun ini membuat dia semakin tak kuasa, sebelumnya, cairan vagina Revi sudah mulai membasahi selangkangan, kini, ditambah dengan permainan Sang Mantan, perasaan yang Revi rasa semakin dahsyat. Dan tiba-tiba “Aaaahhhhhhhhhhhhhhhhhhh.” Gelombang itu datang, orgasme. Orgasme pertama yang dia rasakan seumur hidupnya. Nikmat. Dan membuat dia lemas hingga hampir terjatuh, jika tidak ditahan oleh Sang Mantan.

“Kenapa Yang? Keluar ya?”

Revi hanya diam dengan nafas yang memburu.

“Yasud, istirahat. Trus kita langsung berendam aja, enak, dingin-dingin gini berendem aer anget.”

Mereka merapikan diri, terutama Revi, yang jilbabnya hitamnya sudah acak-acakan dan BH nya dia rapihkan kembali.

Tak lama, mereka sampai di tempat pemandian air panas. Revi awalnya berfikir mereka akan menggunakan kolam besar, namun dia di bawa ke belakang, ke arah kolam yang berada di dalam kamar.

“Huh? Serius Ka? Mau masuk ke situ? Berdua?”

“Emang kenapa Yang? Gak mau?”

“Hmmmm, bukan gitu. Tapiiiiii, tadi aja di tempat terbuka Revi abis, apalagi di dalem, pasti lebih abis lagi.”

“Hahaha, dasar. Gak lah. Emang mau diapain? Udah, yuk masuk.”

Mereka berdua kemudian masuk ke salah satu kamar. Disertai pandangan mesum dari penjaga. Di dalam Sang Mantan mulai membuka pakaian, sampai hanya boxernya yang tersisa.

“Buka bajunya Yang.”

“Idih, maunya. Weee.”

Revi berpura-pura tidak mau kala sesaat kemudian Sang Mantan maju dan mulai membuka jaketnya. Sambil berusaha mencium, Sang Mantan perlahan melawan penolakan Revi yang tidak seberapa. Perlahan jaketnya dilepas, kemudian kaosnya lepas dari badan Revi. Masih dengan kerudungnya, Sang Mantan kemudian diam, “Idah Yang.” Dan lalu dilanjutkan dengan tangannya yang menyentuh jilbab Revi, “Buka ya?” bertanya namun tidak berharap jawaban, jemarinya mulai melepaskan bros Revi, melepaskan penitik yang ada di jilbanya. Kemudian dia melepas ciput Revi. Rambut Revi kemudian jatuh tererai, hitam, panjang sepunggung.

Revi hanya tersenyum, dan disambut uleh ciuman Sang Mantan di leher Revi yang putih dan mulus. Ciumannya terus merambat ke bawah, dada revi habis dijilati, sebelum lidah Sang Mantan menyapu habis kedua buah dada Revi. Dia melakukan itu sambil melepaskan kancing celana jeans Revi. Melepasnya sampai bawah, namun tangannya berhenti kala dia akan melepas celana dalam.

“Hmmm, gak boleh Ka. Sampe sini aja ya?”

Rasa kecewa terpancar, namun Sang Mantan cukup baik untuk menurut. Setelah menyimpan dengan rapi seluruh pakaian, mereka berdua turun, masuk ke dalam kolam, beberapa saat mereka bercengkrama sambil menikmati air hangat, sampai Sang Mantan mulai menggoda lagi buah dada Revi. Dan Revi pun mulai tergoda.

“Aaaahhhh, enak banget Ka, terus, mainin puting Revi. Sedootttttt, aaaaaaaaaaaaaahhhhhhhh.”

“Susu kamu bagus banget Yang, bulet, empuk, slurrppp, gemes. Udah dipegang siapa aja?”

“Kaka doang. Ihhhhhhhhhh, aaahhhhhhhhm, di apain? Enak banget. Aaaakhhhhh, pelannnnn. Akh, pelan-pelan Ka, akh, kaaaa. Owh, pasti susah ilang deh.”

Nafas ke duanya sudah berat. Dan Sang Mantan kemudian mengangkat Revi untuk duduk dipangkuannya, membelakangi dia. Kembali kedua tangannya mempermainkan buah dada Revi dari belakang, meremasnya keras-keras.

“Oooooooooohhhhh, Kakaaaaaaaaaaaaa….. “

Revi berteriak, ketika tangan kanan Sang Mantan kembali mengelus vaginanya dari dalam air. Dan kini, lebih gilanya lagi, jari telunjuk Sang Mantan menyentuh langsung bibir vagina Revi dengan cara menyingkirkan kain celana dalam Revi ke samping.

Dalam keadaan saling bernafsu, Revi kemudian menyambar bibir Sang Mantan, melumatnya, atau lebih tepatnya menggigitnya.

“Aaakh, sakit Yang, pelan.” Sang Mantang mengeluh ketika dirasakan sakit di bibir bawahnya yang digigit Revi.

Revi hanya tersenyum, kemudian diam, panik.

“Ka, ada yang ngintip.”

“Gak ada.”

“Ada, itu.”

“Biarin aja.” Dan kembali dia menciumi telinga Revi, berusaha membangkitkan lagi nafsu Revi. Dia berhasil. Revi sudah tidak peduli lagi dengan ada atau tidak adanya pengintip. Dia hanya peduli dengan orgasme yang akan dia dapatkan.

Dan “Aaaaaaaa, Kaaaaa, pipissssssssssss..”

Keluar, badan Revi mengejang hebat dalam air. Sang Mantan tau, Revi sudah sampai. Dia kemudian mengangkat badan Revi keluar dari air, membaringkannya, dan kembali mencium bibirnya yang indah itu seakan tidak mau dilepaskan. Tangannya kembali ke bawah, namun kali ini menyusup dari atas celana dalamnya, pertama rambul vaginanya yang basah di sentuh oleh Sang Mantan, kemudian lubang kenikmatannya, lalu kitorisnya dimainkan.

“Kakaaaaaaaaaaaaa, udahhhh, lemes. Ah, ah, aaaaaaaaaaaaaaaa….. “

Sang Mantan kini bebas untuk menggesek vagina Revi dengan tangannya. Menekannya. Dan mempermainkannya, mulut Sang Mantan kini mempermainkan buah dada kanan Revi. Menggigit puting Revi dengan keras, gemas dia lalu meremas buah dada kiri Revi. Sampai tubuh Revi terangkat. Mulut Revi terbuka, namun tidak mengeluarkan suara, badan Revi mengejang dahsyat. Menggelepar beberapa saat untuk kemudian diam. Cairan vagina Revi dirasakan oleh Sang Mantan keluar sangat banyak.

2 thoughts on “6 SAHABAT PART 3

  1. waduh mana nih lanjutan nya yang 6 sahabat part 4 kan gw mau liat saat revi ML dgn mantan pacar nya itu kira2 kapan yah bro

Leave a comment