MURTI 11 : NINGSIH

Jam lima sore, Gatot pulang tanpa bersama Pak Camat. Ia pulang bersama seorang pegawai kantor, sementara Pak Camat entah kemana. Ia tidak menuju rumah Murti, tapi langsung ke rumahnya sendiri. Gatot melihat ada keramaian di depan rumahnya, tepatnya di rumah yang sudah seminggu ini kosong tak berpenghuni. Ah, mungkin ada orang baru yang menempati rumah itu. Gatot melihat banyak warga membantu menurunkan perkakas dari empat truk.

“Ada penduduk baru, Pak?” ia bertanya pada seorang warga yang kebetulan melintas.

“Penduduk baru tapi muka lama, Tot. Keluarganya si Ningsih.” jelas si tetangga. “Ayo ikut bantu, Tot.” ajak tetangga itu lagi.

Gatot urung masuk rumah dan bersama para waRga beramai-ramai membantu. Gatot sempat melihat Ningsih tapi sangat sibuk. Begitupula si Bejo yang cuma tersenyum kepadanya. Gatot senang karena Bejo dan keluarganya telah kembali ke komplek. Ia jadi punya teman sebaya.

menjelang maghrib, semua perkakas sudah selesai diturunkan dan empat buah truk itu juga sudah pergi. Barulah Gatot bisa menghampiri Bejo. “Hei, Jo, kenapa nggak bilang kalau mau balik ke komplek?” tanyanya.

“Kejutan. Ayo ikut aku, Tot. Kukenalkan ke istriku.” ajak Bejo.

Gatot ikut Bejo masuk ke dalam rumah yang masih berantakan. Di dalam, ia langsung disambut dengan akrab oleh keluarga Bejo. Gatot bersyukur semua masih ingat padanya, masih bersikap baik padanya seperti dulu. Beberapa tahun silam, mereka memang bertetangga, jadi wajar kalau kemudian jadi akrab. Memang ada tambahan orang baru yaitu istrinya Bejo.

Namun karena sudah maghrib, Gatot lekas mohon diri. “Mainlah ke rumah, Jo. Aku pulang dulu ya,”

“Itu pasti, Tot. Ini dari Mbak Ningsih buat kamu.” kata Bejo memberikan sebuah bungkusan.

“Mana Ningsih?” Gatot bertanya.

“Masih mandi. Nanti juga pasti ke rumahmu,” Bejo tersenyum.

“Terima kasih ya,” Gatot melambaikan tangan.

“Sama-sama, Tot.” Bejo mengangguk.

Gatot kembali pulang. Sesampainya di dalam rumah, ia mendapati Aisyah sedang sibuk di dapur. Gatot segera membuka baju yang penuh keringat lalu mendekati Aisyah, namun tidak terlalu dekat karena khawatir Aisyah akan terganggu oleh bau badannya. Aisyah menoleh dan tersenyum sebentar lalu kembali sibuk dengan masakannya.

“Masak apa, Aisyah?” tanya Gatot.

“Ini, sayur lodeh, Mas. Kok baru pulang?” tanya Aisyah.

“Iya, Aisyah, tuh masih membantu orang baru pindah. Gantian pakai kompornya ya? Aku mau masak juga.” kata Gatot.

“Tidak usah, Mas. Ini saya masak juga buat Mas Gatot.” jawab Aisyah. ”Mending mas mandi saja. Sebentar lagi maghrib lho,” ia mengingatkan.

“Kamu sudah mandi?” tanya Gatot.

“Belum, Mas.” jawab Aisyah.

“Pantas kamu bau,” canda Gatot.

“Mas Gatot yang bau,” balas Aisyah sambil tersipu malu. Gatot paling suka melihat wajah Aisyah seperti itu. “Mas Gatot pergi sana. Nanti merusak rasa masakanku.”

“Nanti malam jalan-jalan yuk, Aisyah.” Gatot berkata.

“Tapi habis makan malam ya?” Aisyah menyanggupi.

“Iya, aku kan belum ngerasain masakanmu enak apa tidak. Aku mandi dulu ya,”

Aisyah memukul Gatot dengan gagang sutil. Gatot ingin balas memukul tapi urung setelah teringat bahwa Aisyah terlalu murni untuk disakiti. Aisyah tidak sama dengan wanita-wanita lain. Cukuplah kekhilafannya dulu saat Aisyah tertidur pulas. Gatot tidak akan mengulanginya lagi sebelum Aisyah benar-benar resmi menjadi miliknya. Gadis itu terlalu suci untuk dicemari.

Selesai mandi dan sholat maghrib, Gatot duduk menunggu Aisyah sambil menonton tv. Telinganya menangkap suara-suara halus bersenandung dari kamar mandi. Terdengar sangat merdu, membuat Gatot mengecilkan volume tv dan menajamkan telinga untuk mendengar senandung itu lebih jelas lagi, senandung merdu yang menyejukkan hati. Sayang sekali senandung itu berhenti dan pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka.

“Mas Gatot, kesini sebentar.” panggil Aisyah.

“Ada apa, Aisyah?” Gatot berjalan menghampiri.

“Gotnya buntu ya, Mas. Airnya nggak jalan tuh,” kata Asiyah menunjuk selokan kamar mandi.

“Biar saya perbaiki. Kamu pergi saja,” sahut Gatot.

“Saya bantu, Mas, biar cepat. Saya juga belum selesai mandi.” kata Aisyah.

Gatot memang melihat Aisyah belum menyelesaikan mandinya karena air di lantai kamar mandi penuh akibat saluran pembuangan yang buntu. Ia membungkuk untuk memeriksa, Aisyah juga ikut jongkok untuk membantunya. Gatot menahan hasrat hati demi melihat bagian-bagian tubuh Aisyah yang tidak cukup terlindungi. Handuk yang membungkus tubuh Aisyah terlalu pendek. Dan Aisyah jongkok tepat dihadapannya, sama sekali tidak berusaha untuk menutupi sebagian buah dadanya.

“Aisyah! Berdiri!” Gatot memberi perintah demi menjaga kemurnian gadis itu. Ia tidak tega melihat dan menyaksikan seluruh bagian bawah tubuh Aisyah yang terpamoang jelas di hadapannya. Gatot tidak ingin tergoda kembali.

“Maaf, Mas!” kata Aisyah sambil berdiri dan pindah ke belakang Gatot, membuat Gatot jadi sedikit lega. Dan lebih lega lagi karena got selesai di perbaiki.

“Beres. Kamu bisa lanjutkan mandimu, Aisyah. Oh ya, nyanyi yang agak keras ya?” kata tersenyum menggoda.

Aisyah mengancam Gatot dengan segayung air, membuat Gatot lari terbirit-birit sebelum Aisyah menjalankan aksinya. Senandung suara Aisyah kembali terdengar dan terus terdengar meski Aisyah sudah selesai mandi dan kini ada di dalam kamarnya. Gatot menyimak senandung itu dengan hati ragu.

Sebelum keraguan hatinya terjawab, Aisyah sudah muncul. Mereka makan bersama dengan cepat karena ada acara yang akan mereka adakan. Malam ini Gatot dan Aisyah akan jalan-jalan. Memang masih jalan-jalan biasa, tapi siapa tahu itu akan jadi awal dari sesuatu yang luar biasa.

“Sudah siap, Aisyah?” tanya Gatot.

“Sudah, Mas. Ayo berangkat. Mumpung belum terlalu malam.” Aisyah mengangguk.

“Kamu cantik sekali, Aisyah.” Gatot menatap gadis itu tak berkedip.

“Mas Gatot bisa saja. Gombal ah.” Aisyah langsung tersipu malu. ”Ini kontak motornya.” ia memberikannya pada Gatot tanpa menoleh. Gatot hanya tersenyum saja melihatnya.

Mereka pun pergi meninggalkan komplek naik motor. Malam yang mendung tidak menyurutkan keinginan dua insan itu untuk mencoba mendekatkan hati. Walaupun tidak ada tujuan pasti mana yang harus mereka datangi. Mereka hanya ingin jalan-jalan, bukanlah untuk kencan. Gatot merasa sudah terlalu tua untuk kencan layaknya anak-anak muda. Ia bukan lagi anak remaja. Pun demikian Aisyah yang juga seorang wanita dewasa. Keinginan untuk bersenang-senang mungkin sudah tidak ada. Makanya mereka berputar-putar saja keliling pusat kota.

“Kemana enaknya, Aisyah?” tanya Gatot di tengah perjalanan.

“Ke stadion saja yuk, Mas. Sepertinya enak duduk santai disana.” kata Aisyah.

“Kamu tidak takut? Disana sangat sepi, Aisyah.” sahut Gatot.

“Kan saya bersama Mas Gatot. Pasti aman,” yakin Aisyah.

Gatot bukannya takut untuk datang dan nongkrong malam-malam di stadion. Daerah sepanjang stadion memang sangat sepi dan paling sering terjadi kejahatan. Mulai dari pemalakan, pemerasan, perampokan, sampai pemerkosaan, sudah berkali-kali terjadi di sana. Dan sampai sekarang tempat itu masih gelap, lampu-lampu banyak yang hilang dicuri orang yang butuh uang. Dulu Gatot juga sering mencuri apa saja dari stadion. Tapi sekarang sudah tidak lagi. Ia sudah kapok dan tobat.

Sampai juga di stadion. Gatot membantu Aisyah turun dari motor lalu berjalan beriringan menuju sebuah bangku panjang. Disanalah mereka duduk berdua. Angin malam yang dingin langsung menerpa. Gatot membuka jaketnya dan mengenakan ke tubuh Aisyah untuk memberi rasa hangat.

“Saya belum tahu banyak tentangmu, Aisyah.” kata Gatot membuka pembicaraan.

“Saya ini hanya wanita desa, Mas. Tidak ada apa-apanya dibanding wanita-wanita kota.” jawab Aisyah.

”Ceritakan tentang keluargamu, Aisyah.” Gatot meminta.

Ia menyimak cerita Aisyah. Gatot sudah tahu kalau Aisyah adalah anak Pak Asnawi. Yang ia baru tahu adalah tentang Pak Asnawi itu sendiri. Menurut cerita Aisyah, Pak Asnawi dulunya juga pria yang bergelimang dosa. Dari Aisyah masih kecil sampai Aisyah beranjak remaja, Pak Asnawi masih seorang penjahat terkenal. Tapi menjelang Aisyah masuk SMA, Pak Asnawi berubah menjadi sosok yang pendiam dan semakin alim setelah menunaikan ibadah haji.

Sejak itu orang tidak lagi mengingat Pak Asnawi sebagai penjahat. Orang-orang kemudian lebih mengenang kedermawanan Pak Asnawi. Sampai akhirnya menjadi kepala desa Cemorosewu. Aisyah sama sekali tidak menceritakan atau memang tidak tahu cerita kalau ayahnya juga seorang pembunuh dan pemerkosa. Ironisnya korban pemerkosaan dan pembunuhan Pak Asnawi adalah ibu kandung Gatot. Dan kini Pak Asnawi mungkin sudah menerima hukuman setimpal di alam kubur setelah anak dari si korban menuntut balas dendam. Hutang nyawa dibayar nyawa dan hutang itu kini terbayar lunas.

“Itulah cerita keluargaku, Mas. Selanjutnya Mas Gatot tahu sendiri kalau ummiku kawin lagi.” kata Aisyah mengakhiri ceritanya.

“Saya kagum dengan ayahmu, Aisyah. Dari penjahat kemudian tobat. Sedangkan ayahku entah dia tobat atau belum.” gumam Gatot.

“Mas Gatot yang sabar saja. Setiap rencana Tuhan pasti ada hikmahnya.” balas Aisyah bijak.

“Kamu benar, Aisyah.” Gatot mengangguk. ”Dingin ya?” ia bertanya.

“Iya, Mas. Tapi tak apa,” Aisyah tersenyum karena hatinya terasa hangat bisa bersama orang yang dikasihi.

Gatot merengkuh bahu Aisyah dan gadis itu tidak menolak. Gatot merasakan getar yang tak biasa, bukan nafsu, tapi lebih kepada rasa sayang. Ia ingin memberi perlindungan kepada Aisyah. Dan bersama dengan Aisyah, Gatot seakan sedang bersama Zulaikha, mantan istrinya. Ia mengelus kepala Aisyah yang terbalut kerudung. Sangat terasa sekali hempasan napas Aisyah, hingga membuat Gatot jadi merinding.

“Sudah lama aku tidak merasakan suasana seperti ini, Aisyah.” Gatot berbisik.

“Maksud Mas Gatot?” tanya Aisyah tak mengerti.

“Kamu mengingatkanku pada Zulaikha, mantan istriku. Dia sama sepertimu, Aisyah.” jawab Gatot.

“Selagi Mas Gatot masih ingat mantan istri, berarti ada harapan suatu saat Mas pasti bertemu lagi dengannya.” sahut Aisyah.

“Aku selalu berharap seperti itu, Aisyah.” Gatot mengaku. ”Sepertinya gerimis. Mau pulang sekarang?” tanyanya kemudian sambil melihat langit.

“Iya. Ayo pulang, Mas.” angguk Aisyah.

Namun mereka tidak benar-benar pulang, lebih tepatnya mereka hanya meninggalkan stadion. Hujan sudah terlalu deras dengan disertai angin kencang.

“Berteduh di loket itu saja, Mas.” kata Aisyah sambil menunjuk sebuah bangunan loket di pintu masuk stadion.

Karena cukup jauh, praktis mereka harus berlari untuk bisa sampai, otomatis pula mereka basah kuyup. Gatot sudah biasa, tapi tidak demikian dengan Aisyah; gadis itu menggigil dengan wajah pucat.

“Pasti nanti kamu masuk angin, Aisyah.” kata Gatot kuatir.

“Sekarang saja perutku sudah mual, Mas.” Aisyah berkata lirih.

“Jadi bagaimana, mau memaksa pulang?” tanya Gatot.

“Sudah kepalang basah, mandi sekalian, Mas. Pulang saja.” Aisyah memutuskan.

Gatot tidak punya pilihan selain membonceng Aisyah pulang. Jalanan benar-benar sepi. Tidak ada satupun kendaraan ataupun manusia yang berani menantang hujan selain mereka berdua.

“Pegangan yang erat, Aisyah.” Gatot memberi perintah.

Ketika dirasakan lengan Aisyah sudah melingkar erat di pinggangnya serta tubuh gadis itu melekat di punggungnya, ia menggeber gas kuat-kuat untuk melesat kencang menembus tajamnya rinai-rinai hujan. Di tengah jalan, Gatot merasa menabrak sesuatu. Namun karena terlalu gelap, ia tidak bisa melihat apa itu. Terlalu riskan untuk mengerem disaat laju motor seperti jet. Aisyah sendiri semakin merapatkan tubuhnya.

Sesampainya di rumah, Gatot segera membopong tubuh Aisyah yang semakin lemah tak berdaya. Celakanya lagi, kamar Aisyah ternyata bocor. Gatot pun terpaksa membawa Aisyah ke kamarnya sendiri.

“Kupanggilkan dokter ya, Aisyah.” kata Gatot panik. Setelah membaringkan Aisyah, ia bermaksud keluar untuk mencari dokter.

Tapi Aisyah mencekal lengannya, menahan langkahnya. “Tidak usah, Mas. Saya minta tolong dikerokin saja.” kata gadis cantik itu.

“Tapi, Aisyah…” seru Gatot bimbang.

“Saya percaya Mas Gatot tidak akan menyakiti saya. Tolong ya, Mas,” pinta Aisyah pelan dan melas.

“Baiklah, Aisyah.” Gatot akhirnya mengangguk setuju. ”terima kasih kamu percaya padaku.”

Aisyah pun berbalik tengkurap, memasrahkan punggungnya untuk dikerok oleh Gatot. Anehnya, Gatot sama sekali tidak merasakan birahi kali ini. Padahal ia bebas memandangi tubuh mulus Aisyah dengan begitu rupa. Mungkin ini karena pengaruh benih kasih yang mulai tumbuh. Hingga membuat Gatot hanya merasa iba hati melihat Aisyah yang pasrah sedemikian rupa kepada dirinya.

Gatot bersumpah tidak akan menyakiti Aisyah. Aisyah juga sadar sepenuhnya membuka bajunya yang basah dan menutupi tubuh bagian bawahnya dengan selimut, sementara bagian atas dari kepala sampai pinggul dibiarkan telanjang. Gatot mulai mengerok punggung Aisyah sementara Aisyah hanya bisa meronta-ronta kecil. Untuk pertama kalinya, Gatot menang saat berperang melawan setan. Setan jahanam yang menggoda imannya ia berantas sampai tuntas, sampai tidak ada lagi setan yang berani mengganggunya.

“Jangan meronta terlalu keras, Aisyah. Nanti selimutmu jatuh.” kata Gatot.

Aisyah menahan selimut dengan kedua tangannya agar tidak jatuh, agar tidak mengundang nafsu Gatot. punggung yang awalnya putih mulus semurni susu, kini berubah warna menjadi garis-garis merah. Belum selesai dikerok, Aisyah sudah lebih dulu muntah, mengeluarkan isi perutnya.

“Kerok sampai bawah, Mas. Anginnya mulai keluar.” kata Aisyah dengan tubuh gemetar.

Gatot mengikuti alur punggung Aisyah sampai bawah, terpaksa menyingkap sedikit selimut gadis itu agar bisa mengeroki hingga pangkal paha. Hingga selesai sudah.

Aisyah berbalik telentang dengan keringat bercucuran. Gatot membetulkan tali kutang Aisyah tanpa sedikitpun menyentuh buah dada yang membuncah indah itu. Namun ia perlu meminta ijin untuk memasangkan celana panjang. Aisyah sudah memasang sendiri celana dalamnya dari balik selimut. Aisyah tersenyum mengangguk.

“Sekarang tidurlah, Aisyah. Biar panasmu turun.” kata Gatot penuh rasa lega.

“Mas Gatot tidur saja disini. Saya ikhlas, Mas.” balas Aisyah.

“Baiklah, Aisyah. Selamat tidur ya,” Gatot berbisik lirih.

Ia pun membaringkan diri disamping Aisyah dan membiarkan gadis itu membenamkan kepala ke dadanya. “Aisyah, ya, Aisyah… sungguh sempurna dirimu!” batin Gatot dalam hening. Aisyah mungkin sudah terlarut dalam mimpi karena tidak bergerak sama sekali saat Gatot mencium keningnya. Ciuman yang menjadi penghantar tidur malam itu.

***

Pagi-pagi sekali Gatot sudah menghadap Pak Camat. Ia hendak membicarakan keputusan maha penting yang telah dipertimbangkan masak-masak sejak semalam. Tapi Pak Camat sudah berangkat kerja ke kantor shubuh tadi, begitu yang disampaikan Murti kepadanya.

“Lho, kupikir Mas Joko berangkat bareng kamu, Tot?” kata Murti heran.

“Tidak, Mur. Ini malah aku ingin ketemu dan bicara dengan Pak Camat.” sahut Gatot.

“Mas joko sudah pergi. Aku saja yang istrinya tidak tahu jam berapa suamiku berangkat,” ketus Murti seperti biasa.

Semakin bulat saja keputusan Gatot. Pak Camat semakin sering berangkat kerja sendiri, semakin tidak membutuhkannya lagi. Terhitung sudah sebulan ini Pak Camat tidak menggunakan tenaganya lagi. Gatot yakin Pak Camat memang punya maksud tersembunyi.

“Mungkin kamu bisa sampaikan padaku, Tot. Nanti kuteruskan ke Mas Joko.” kata Murti.

“Tidak, Mur. Biar aku bicara langsung dengan Pak Camat.” kata Gatot.

“Ada masalah apa antara kamu dengan Mas Joko? Ayo ceritakan saja,” Murti mendesak.

“Sama sekali tidak ada masalah, Mur.” Gatot menggeleng. ”Kamu bersiap saja. Kutunggu di mobil ya,” iapun pergi keluar.

“Tot!” Murti memanggil.

Gatot tidak mempedulikan panggilan itu. Tentu saja sikapnya ini membuat Murti jadi kelabakan dan berpikir ada apa gerangan. Murti gelisah dan takut kalau-kalau suaminya membuat masalah yang menyebabkan Gatot marah. Murti khawatir karena bisa saja suaminya celaka. Bagaimanapun, Gatot adalah mantan bajingan dulu. Dengan hati gamang, Murti meneruskan tugas sebagai ibu rumah tangga sebelum mandi. Setengah jam kemudian, iapun sudah siap dan menyambar tasnya lalu menghampiri Gatot.

“Ayo jujurlah, Tot. Jangan membuatku takut,” desak Murti di dalam mobil.

“Mur, sudah kubilang berkali-kali, masa kamu tidak dengar? Tidak ada apa-apa antara aku dan suamimu. Titik!!!” hardik Gatot tiba-tiba.

Murti langsung mengkerut dibentak begitu oleh Gatot. Ia sama sekali tidak menduga Gatot akan begini emosi. Tidak seperti hari-hari biasanya. Tidak ada tawa dan canda, malah suasana mencekam yang terasa. Murti dicekam berbagai rasa yang membuatnya tidak sanggup lagi berkata-kata. Sampai tiba di tempatnya kerja, Gatot tak kunjung menunjukkan tanda-tanda membaik. Wajah Gatot dilihatnya murung dan bingung. Yakinlah Murti bahwa memang ada yang tidak beres.

“Tunggu sebentar, Tot. Aku mau ikut kamu ke kantor kecamatan.” kata Murti tiba-tiba.

Barulah saat itu Gatot menoleh agak kaget. Tapi Murti keburu keluar dari mobil dan berjalan cepat menuju gedung sekolah. Gatot terpaksa menunggu sesuai perintah Murti. Belum sempat Gatot menenangkan diri, Murti telah kembali lagi.

“Ayo berangkat, Tot.” kata istri Pak Camat itu.

“Tapi, Mur…” Gatot terlihat bimbang.

“Berangkat!!!” potong Murti cepat.

Kini giliran Gatot yang kaget dibentak oleh Murti. Namun ia harus segera berangkat sebelum Murti bertindak nekad. Perjalanan terasa lama dan membosankan. Gatot merutuk dalam hati kenapa ia harus membuat Murti sakit hati. Pasti Murti marah oleh sikapnya hari ini yang serba kaku.

“Maafkan aku, Mur.” kata Gatot sambil terus menyetir.

“Sudah kumaafkan,” balas Murti ketus.

“Belum. Kamu masih marah kan?” tanya Gatot.

“Aku memang marah. Tapi bukan padamu, Tot.” terang Murti.

“Syukurlah. Senyum dong,” Gatot berusaha mencairkan suasana.

Murti tersenyum sekedar menyenangkan hati Gatot. Lalu pandangannya kembali lurus ke depan dan tidak menoleh kemana-mana sampai tiba di kantor kecamatan.

“Perlu kuantar sampai dalam?” tawar Gatot.

“Tidak usah. Biar aku sendiri saja.” Murti melangkah memasuki paseban kantor dan terus menyusuri koridor hingga berhenti di depan ruang kerja suaminya. Ia mengetuk pintu tiga kali lalu mendorong perlahan pintu sampai terbuka. Murti masuk dan berdiri terpaku. Tidak ada nampak suaminya. Tentu kedatangannya yang mendadak membuat kalang kabut pegawai yang ada di ruangan itu.

“Selamat pagi, Bu Camat,” kata beberapa pegawai menyambut kedatangannya. Sementara sebagian pegawai yang lain berbisik-bisik.

Murti tidak peduli bisik-bisik itu. “Selamat pagi juga. Mana Pak Camat?” tanyanya kaku.

“Waduh, Bu. Pak Camat malah belum datang,” kata salah seorang pegawai.

“Jadi Pak Camat belum ngantor?” tanya Murti mulai was-was.

“Pas Kami datang, Pak Camat tidak ada, Bu. Tapi coba ibu tanyakan ke Dewi.” kata pegawai itu.

“Baiklah. Terima kasih.” Murti mengangguk. ”Dewi, kumohon ikut aku sebentar saja.” ia memanggil gadis itu.

“Baik, Mbak Murti.” jawab Dewi penuh kebingungan.

Murti membawa Dewi menuju mobil dan disanalah ia menginterogasi Dewi dengan beragam pertanyaan yang berfokus pada seputar kegiatan Pak Camat. Gatot hendak keluar tapi Murti memintanya tetap di dalam. Jadilah Gatot ikut mendengar perbincangan antara Murti dan Dewi.

“Benarkah suamiku belum ke kantor?” tanya Murti.

“Benar, Mbak.” Dewi mengangguk.

“Aneh, padahal Pak Camat sudah berangkat sejak shubuh tadi.” Murti tampak berpikir keras.

“Saya sungguh-sungguh tidak tahu, Mbak.” kata Dewi.

“Kamu pernah bilang memergoki mobil suamiku di perumahan residence. Bisakah kamu jelaskan lebih detil?” tuntut Murti.

“Oh itu. Memang benar. Seingat saya waktu itu mobil Pak Camat ada di rumah paling ujung blok A.” jawab Dewi.

“Kamu kenal pemilik rumah itu?” tanya Murti.

“Tidak, Mbak. Mungkin Gatot tahu karena pasti dia pernah ngantar Pak Camat kesana.” Dewi menoleh pada Gatot.

“Percuma minta informasi ke Gatot. Dia sudah kongkalikong dengan suamiku.” ketus Murti sengit. Gatot hanya diam saja disindir seperti itu.

“Saya mohon Mbak Murti tidak melibatkan saya. Kamu juga, Tot. Jangan bilang apa-apa ke Pak Camat ya?” hiba Dewi memelas.

“Aku jamin aman, Dewi. Aku malah berterima kasih. Sekarang kembalilah bekerja.” Murti mempersilakan.

Dewi meninggalkan Murti dan Gatot. Kini Murti sudah menemukan titik terang. Yang justru bimbang adalah Gatot. Sekarang Gatot tahu dari siapa Murti tahu soal perumahan residence. Ternyata dari Dewi yang membeberkan semuanya. Mungkin Dewi tidak tahu bahwa keterus-terangannya pada Murti telah menciptakan prahara besar. Dewi telah memberi petunjuk yang bisa mengarahkan kecurigaan Murti. Gatot pusing memikirkan apa jadinya kalau Murti sampai minta diantar ke perumahan residence. Bahaya kalau Murti sampai nekad kesana.

“Aduh! Kepalaku pusing, Mur.” Gatot mengeluh secara tiba-tiba.

“Pusing? Bagaimana ini?!” Murti jadi panik.

“Kuantar dulu kamu ke sekolah ya? Setelah itu aku mau pulang. Tolong bilang ke Pak Camat.” Gatot berkata terbata-bata.

“Kamu sanggup? Jangan memaksakan diri, Tot. Nanti kecelakaan lagi. Aku bisa naik ojek dari sini.” kata Murti.

“Biar kuantar kamu dulu.”

Sesungguhnya itu hanya alasan Gatot saja untuk terbebas dari Murti. Ia pura-pura pusing dan berhasil dengan sukses. Setelah mengantar Murti, iapun kembali ke kantor kecamatan untuk menaruh mobil kemudian pulang menumpang motor Dewi yang kebetulan hendak keluar juga.

Sementara itu Murti segera meminjam motor Aisyah dan minta ijin ke kepala sekolah untuk bebas tugas hari ini. Ia sudah bulat dan memutuskan untuk pergi ke perumahan residence seorang diri karena Gatot tidak bisa mengantar. Ia harus mendapat kepastian dan kebenaran tentang gosip dan isu-isu yang selama ini berkembang. Ia mulai termakan oleh gosip itu, juga oleh bisik-bisik yang didengarnya dari pegawai kantor kecamatan.

***

Sementara itu di sebuah rumah mewah…

Seorang wanita berbody montok terlihat keluar dari kamar mandi dan kelihatan segar dengan kaos kutang kuningnya dipadu dengan celana pendek motif bunga yang bagian pahanya terlihat longgar. Pak Camat yang dari tadi duduk di ranjang, sekarang pindah selonjoran di lantai yang dilapisi karpet berwarna coklat tua. Wanita itu pun duduk di sebelahnya, ikut selonjoran.

”Enak nggak, Mas, kopinya?” tanya Ayu membuka percakapan.

”Yah lumayan lah, kemanisan dikit.” sahut Pak Camat sambil lengannya sengaja menyenggol daging kenyal yang membusung indah di dada perempuan cantik itu.

”Ihh, nakal ah!” kata Ayu diiringi kerlingan matanya yang nakal.

”Eh, kamu nggak pake bh ya?” Pak Camat pura-pura kaget, padahal dalam hati tersenyum senang sekali.

Ayu hanya tersenyum penuh arti. ”Nggak suka ya, hmm?” kata-katanya begitu menantang gairah kelelakian Pak Camat.

Sebagai jawabannya, Pak Camat meraih kepala perempuan cantik itu kemudian mendaratkan kecupan lembut di bibirnya yang tipis. Ayu pun membalas dengan penuh gairah dan tanpa dikomando, tangan Pak Camat mulai menjalar ke arah buah dadanya.

”Hmm… jangan, Mas,” kata Ayu setengah hati.

Pak Camat pun menjawabnya dengan setengah berbisik, ”Kalau jangan, trus ngapain kamu nggak pake BH, hayo?”

Wanita itu hanya membalas dengan mencubit perut Pak Camat. ”Nakal…!” kata Ayu manja tapi tidak berusaha menepis tangan Pak Camat atau ciuman mesra laki-laki itu.

Nafsu setan yang sudah membelenggu keduanya membuat Pak Camat melanjutkan lagi jelajahan tangannya, ia kini mulai menelusup ke balik kaos longgar yang dipakai oleh Ayu. Karena di balik kaos itu Ayu sudah tidak mengenakan apa-apa, maka tanpa kesulitan tangan Pak Camat bisa meraih bulatan daging kembar yang tumbuh subur disana. Buah dada Ayu walau sudah sering dipegang, masih terasa kencang dan kenyal dalam genggaman. Apalagi puting di puncak bukit itu, masih terasa kaku dan tegap kala terjepit di sela-sela jari, layaknya masih perawan saja.

Karena tidak sabar, Pak Camat segera menarik kaos Ayu ke atas hingga terpampanglah tonjolan buah dada perempuan perusak rumah tangga itu dengan begitu jelasnya. Bentuknya bulat dan padat, dengan puting mungil berwarna pink menghiasi puncaknya yang kuning kemerahan. Tak tahan, dengan penuh nafsu, Pak Camat mengarahkan kepalanya kesana. Sambil terus meremas-remas, ia mengecup kedua payudara Ayu yang bulat besar dengan menggunakan mulutnya.

”Uhh… geli, Mas.” Ayu berbisik pelan.

”Susumu empuk,” sahut Pak Camat sambil jemari tangan kirinya terus memilin puting payudara perempuan cantik itu hingga jadi semakin mencuat kemerahan, sedang mulutnya mengecupi yang satunya lagi.

Diperlakukan seperti itu, tentu membuat desahan nikmat Ayu semakin terdengar keras. Wanita itu menggeliat geli sambil memegangi kepala Pak Camat yang terus menyusu di bulatan payudaranya. Apalagi saat perlahan namun pasti, tangan Pak Camat mulai turun ke arah perutnya dan terus ke arah pangkal pahanya.

”Mas… udah ah, nggak usah ke bawah-bawah segala!” bisik Ayu sambil tangan kirinya mencengkeram pergelangan tangan kanan Pak Camat. Tapi apalah arti tangan sekecil itu melawan tangan kekar yang sudah dilanda nafsu birahi, dengan mudah Pak Camat bisa menyingkirkannya.

”Pagi-pagi aku kesini, tentu untuk merasakan yang ini, Sayang.” sergah laki-laki itu sambil mengarahkan jari-jari tangannya ke arah paha Ayu dan terus menerobos masuk ke selangkangan melalui bagian celana pendek Ayu yang terbuka longgar.

”Tapi, masa harus tiap pagi?” Ayu mencoba bertahan untuk yang terakhir kali.

”Bersamamu, tiap jam aku juga mau!” Sekarang mulut Pak Camat berpindah ke arah leher Ayu yang putih jenjang, ia menghisap lembut disana hingga meninggalkan beberapa bekas cupang merah.

”Ahh…” Ayu hanya bisa mendesah ketika jemari Pak Camat mulai menyentuh secarik kain yang sudah basah, yang masih menutupi bagian terlarang tubuh sintalnya. Laki-laki itu menyusupkan jarinya kesana dan sedetik kemudian merasakan kebasahannya yang mengalir deras.

”Ouhh… Mas!!” akhirnya Ayu menyerah saat Pak Camat mulai membelai mesra bibir vaginanya, atau memang sebenarnya dia sudah sangat bernafsu, sehingga mengharapkan tangan Pak Camat beraksi lebih jauh lagi.

Mengetahui hal itu, dengan perlahan Pak Camat segera menyusupkan jari tengahnya ke lorong kemaluan Ayu yang sudah terasa licin sambil ibu jarinya memainkan sebentuk biji mungil di bagian atas, itu adalah klitoris Ayu yang sudah menonjol kaku.

”Auwhh…” Ayu hanya bisa merintih keenakan begitu jemari Pak Camat semakin menusuk ke dalam, menerobos lubang vaginanya. Sementara tangannya seperti refleks, segera meremas batang kemaluan Pak Camat yang masih tersimpan rapi di balik celana pantalon.

”Cepet amat sih? Belum apa-apa udah banjir.” kata Pak Camat mengomentari liang kewanitaan Ayu yang sudah begitu basah dan lengket.

”Hehe,” Ayu hanya bisa tersenyum pasrah menanggapi, lalu berkata pelan, ”Lepas aja, Mas, celanaku yang basah itu!”

Tidak menjawab, Pak Camat segera melakukannya. Ayu membantu dengan sedikit menaikkan pinggulnya yang bulat dan besar. Begitu celana pendek itu terlepas, Ayu menatap Pak Camat dengan pandangan sayu, ”Udah? Yang ini nggak dilepas juga?” Ayu menunjuk celana dalamnya.

Pak Camat tertawa, lalu dengan terampil segera memelorotkan juga celana dalam itu. Begitu terlepas, Pak Camat segera menciuminya. Melihat hal itu, kontan Ayu memprotes, ”Apa-apaan sih, Mas? Jorok deh ih! Ketimbang nyiumin yang itu, kenapa nggak yang aslinya aja dicicipin?” katanya sambil mengangkangkan kaki lebih lebar lagi, memamerkan belahan vaginanya yang sudah merekah indah kepada Pak Camat.

”Boleh! Siapa Takut? Lagian, udah lama kayaknya aku nggak ngerasain lendir kamu.” kata Pak Camat sambil tersenyum penuh arti.

Ayu menanggapi dengan tersenyum nakal, ”Iya nih, udah lama kayaknya mulut dan lidah Mas Joko nggak nengok punyaku.”

Mendengar kata-kata erotis itu, birahi Pak Camat jadi semakin terbakar. Cepat ia rebahkan tubuh montok Ayu di karpet, ia tekuk kedua kaki perempuan itu ke atas hingga terlihat lubang kawahnya yang menganga indah, membuat Pak Camat jadi semakin bergairah karenanya. Tanpa membuang waktu, iapun mengarahkan kepala ke daerah itu.

”Auh…” pekik Ayu saat Pak Camat mulai menciumi rambut halus yang tumbuh di daerah pubisnya. Lidah laki-laki itu menjalar ke bawah, mengikuti garis di lipatan pangkal pahanya.

Untuk memudahkan aksinya, Pak Camat memposisikan tubuh dengan tengkurap, sementara kedua tangannya menyusup di bongkahan pinggul Ayu, mengangkatnya hingga lubang kemaluan Ayu sejajar tepat di depan wajahnya. Dengan posisi seperti itu, sekarang ia jauh lebih leluasa menggarap semua bagian selangkangan perempuan cantik itu.

”Ahss…” pelan lidah Pak Camat mulai menyapu bagian bibir luar kemaluan selingkuhannya diiringi erangan nikmat dari mulut Ayu. Sambil tetap tangannya menyangga pinggul perempuan itu, ibu jari Pak Camat mencoba membuka lebih lebar liang kemaluan Ayu yang sudah merekah indah. Kemudian mulai menjulurkan lidah menelusup masuk ke bagian dalamnya yang sempit.

Perlahan Pak Camat menjelajahi bagian demi bagian pada lubang kemaluan Ayu. Dari mulai lubang pantatnya, kemudian naik terus melalui lorong surga milik kekasihnya ini. Hingga terdengar rintihan lirih keluar dari mulut manis Ayu, ”Ouff… shh… yah, terus, Mas… yah begitu… itilku dong dijilat! Ouww…”

Sesuai permintaan, Pak Camat segera memainkan klitoris Ayu yang mencuat ke depan seolah mengharapkan sebuah sentuhan. Dari hanya menjilat dan menyentil, mulutnya mulai menghisap biji mungil itu hingga perlahan rintihan Ayu berubah menjadi jeritan kecil penuh kenikmatan.

”Iya… begitu Mas… aduh… ouhh… enak… Mas Joko pinter banget sih… tahu aja yang Ayu suka… jangan berhenti… terus emut itilku, Mas!”

Pak Camat terus menjilati belahan lubang kemaluan yang sedikit terkuak itu dengan irama yang teratur, menelusuri lembah dan celah-celah di seantero lubang kemaluan Ayu. Aroma harum vagina yang khas semakin tajam menusuk hidungnya, semakin membuatnya mabuk kepayang dan bergairah. Terlihat dinding luar kemaluan Ayu yang semakin basah dan lengket, terasa gurih di lidah Pak Camat. Juga biji klitorisnya, terlihat semakin membesar dan tambah memerah, seolah mau meledak menahan gejolak nafsu birahi si empunya.

10 menit sudah berlalu dan tangan Pak Camat sudah terasa pegal menyangga bobot tubuh Ayu. Namun dengan penuh semangat ia terus mempercepat irama hisapannya hingga terdengar erangan dan rintihan Ayu yang semakin panjang. Nafas wanita itu juga terlihat memburu kencang, tubuhnya kelojotan, sementara gerakan pinggulnya menjadi semakin liar, seolah mengejar kenikmatan yang sebentar lagi datang menyerang.

”Ouw… nikmatnya… terus, Mas! Ooh… sedikit lagi… ssh… ouh… aduh, enak banget!” desah Ayu semakin keras. Dan beberapa detik kemudian, seerr… seerr… seerr… menyemburlah cairan bening yang sudah ditunggu-tunggu oleh Pak Camat.

Dengan penuh nafsu, Pak Camat segera menghisap dan menghirupnya dalam-dalam, terasa hangat dan gurih sekali saat mengalir memenuhi rongga mulutnya. Pak Camat langsung menelan semuanya, tidak membiarkan setetes pun luput dari hisapannya.

Terlihat bibir kemaluan Ayu jadi tambah memerah. Benda itu sepertinya juga berdenyut-denyut kencang, menandakan detik-detik dimana Ayu sedang mengalami masa orgasmenya. Satu menit berlalu, namun Pak Camat terus giat menjilati sisa-sisa cairan Ayu yang masih menetes mengalir keluar menyusuri belahan liang vaginanya.

”Ouhh… Mas… aduh… bener-bener deh… aku puas banget! Ouh…” puji Ayu di akhir puncak kenikmatannya. Sambil merapikan pakaiannya yang sudah acak-acakkan, dia kemudian bertanya, ”Mas, apa kamu nggak jijik, itukan kotor…”

”Eh, siapa bilang? Kamu aja suka nelen pejuhku. Ya sekali-kali kita gantian lah.” sahut Pak Camat sambil tertawa.

”Ok, berarti sekarang giliranku ya?” tanya Ayu polos.

Sebelum Pak Camat sempat menjawab, ia sudah mengarahkan tangan ke selangkangan Pak Camat dan dengan terampil membuka resletingnya. Tanpa kesulitan, Ayu mengeluarkan batang kemaluan laki-laki itu dan menaruhnya dalam genggaman. Sedetik kemudian, ia sudah dalam posisi siap menerkam. Lalu, ”Slruupp…” dengan lembutnya Ayu melahap batang Pak Camat ke dalam mulutnya.

”Ouh… ssh…” sekarang gantian Pak Camat yang merintih pelan, betapa ia merasakan kehangatan dan kelembutan mulut kekasihnya ini pada batang penisnya.

Ayu menjilatinya perlahan dari pucuk kepala terus menelusur ke bawah, sampai mendekati kedua bola pada pangkal kemaluan Pak Camat. Setelah menyapu perlahan, mulutnya dengan terampil mulai mengenyoti buah zakar itu dengan lembut, bergantian kiri dan kanan, sementara tangannya tetap mengurut dan meremas-remas batangnya yang terasa semakin menegang.

”Ya Sayang… terus… ehh… aduh… enak!” tanpa sadar keluar rintihan nikmat dari mulut Pak Camat.

”Ehhmm… mmhh…” sayup-sayup terdengar juga bunyi mulut Ayu yang semakin ganas mengenyot batang kemaluan Pak Camat. ”Ouhh… aauh… aku pingin lagi, Mas.” pintanya sambil memposisikan tubuh naik ke pangkuan Pak Camat dan mengarahkan batang kemaluan yang masih berada dalam genggamannya itu ke liang vaginanya.

”Ahh… nanti dulu!” Pak Camat berusaha untuk menahan, ingin hisapan itu berlangsung lebih lama lagi.

Namun bukannya menjawab, Ayu malah terus membimbing batang rudal Pak Camat dan menancapkannya di belahan lubang vaginanya yang sudah merekah lebar. Dengan posisi jongkok, ia mulai menggerakkan tubuh sintalnya naik turun di atas perut Pak Camat.

”Aduh… kok enak sih, Sayang! Belajar dimana?” rintih Pak Camat saat merasakan denyutan lembut dengan irama teratur di liang kemaluan Ayu yang seperti meremas dan menggigit-gigit sekujur batang kemaluannya.

Ayu hanya tersenyum sambil terus menggerakkan pinggulnya naik turun, otomatis rudal Pak Camat juga terus keluar masuk dalam dekapan bibir liang kemaluannya. Pak Camat sendiri membantu dengan menggerakkan pinggulnya seirama tubuh sang kekasih. Sementara di pusat kenikmatan mereka, terdengar kecipak-kecipak cairan yang keluar dari kemaluan Ayu, mengguyur dan membasahi batang rudal Pak Camat yang tidak begitu panjang.

Masih dengan posisi seperti itu, sepuluh menit pun berlalu. Terlihat Ayu sudah kelelahan, keringat tipis melumasi seluruh tubuhnya yang sintal, sebelum ambruk menindih tubuh Pak Camat tak lama kemudian. Pak Camat segera mengambil inisiatif dengan menggerakkan tubuhnya, tapi sekarang dengan dibantu kedua tangannya yang memegangi bulatan payudara Ayu dan meremas-remasnya pelan.

”Terus, Mas… ssh… terus…” desahan dari mulut Ayu kembali terdengar, mengiringi kelakuan bejat mereka di pagi yang sejuk itu.

Pak Camat segera mempercepat gerakannya. Terasa olehnya lelehan lendir yang keluar dari liang kemaluan Ayu menerobos melewati celah sempit di antara bibir dan batang penisnya. ”Ehh… punyamu bener-bener deh, Sayang… seperti meremas punyaku… aduh!” Pak Camat merintih keenakan.

Merasa sebentar lagi akan mencapai ujung pendakiannya, iapun semakin mempercepat genjotannya. ”Ohh… Sayang… aku keluar… arghhh…” tak sampai satu menit kemudian, batang kemaluan Pak Camat meledak mengeluarkan semua isinya. Benda itu berdenyut-denyut keras di dalam liang vagina Ayu, memenuhinya dengan cairan sperma yang begitu hangat dan kental.

Pak Camat membiarkan batang penisnya tetap terbenam dalam dekapan lubang kemaluan Ayu yang hangat dan nyaman, sampai akhirnya menyusut dan terlepas dengan sendirinya. Ayu segera bangkit sambil tangannya menangkup ke bawah selangkangan, berusaha menutupi daerah kewanitaannya.

”Takut nanti pejuh Mas jatuh ke karpet.” begitu alasannya. Kemudian ia berjongkok di samping Pak Camat sampai semua cairan yang menetes tertampung di telapak tangannya.

”Ngapain sih?” tanya Pak Camat heran.

Bukannya menjawab, Ayu malah tersenyum penuh arti. Kemudian tanpa disangka, ia mengarahkan sperma itu ke mulutnya dan dihirup sedemikian rupa sebelum ditelan semua tak lama kemudian. Bukan itu saja, Ayu juga menjilati telapak dan jari-jarinya hingga tak ada setetes pun cairan sperma Pak Camat yang tersisa. Dan seolah belum puas, ia menyambar batang penis Pak Camat yang sudah mengkerut lemas dan lekas menjilatinya hingga bersih.

Pak Camat hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah selingkuhannya itu, ”Dasar kamu! Doyan banget sama pejuh.” ia tertawa.

”Tapi ini kan yang Mas suka?” tanya Ayu.

Pak Camat mengangguk. ”Bener-bener deh, tidak ada wanita yang sebinal dirimu!”

”Biarin!” Ayu balas tertawa

Tidak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 07:30 pagi. Waktunya Pak Camat untuk berangkat ke kantor. Lekas ia lepaskan tubuh perempuan cantik itu, kemudian mereka pun berbenah, merapikan baju masing-masing.

***

Murti sudah sampai di gerbang perumahan residence. Ia masih harus berhadapan dengan dua orang satpam yang menanyainya macam-macam. Ia bahkan sempat tidak diijinkan masuk. Tapi begitu ia memberi uang tips dan meninggalkan identitas, barulah para satpam itu membuka portal dan memberinya jalan. Sesaat ia dibuat terkagum-kagum oleh bangunan rumah yang serba mewah berjajar sepanjang jalan masuk. Tapi ia datang bukan untuk mengagumi rumah-rumah itu. Ia terus mencari rumah yang disebutkan oleh Dewi.

Murti sudah sampai di blok A. Rumah-rumah di blok ini tidak sebesar dan semewah yang tadi, tapi tetap saja bisa dibilang mewah. Nah, itu dia. Murti ragu sejenak dan sempat berniat mengurungkan niat untuk bertamu. Ia tidak kenal siapa pemilik rumah yang kini ada dihadapannya. Ia takut salah alamat yang bisa berakibat tidak baik. Bisa-bisa ia dilaporkan ke polisi karena dicurigai sebagai orang yang bermaksud jahat. Ah, tidak mungkin. Toh ia memakai seragam kerja khas pegawai negeri. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Murti melihat pintu pagar yang tinggi itu terbuka.

Tapi ia langsung terkaget-kaget karena orang yang muncul dari balik pagar benar-benar di luar dugaan. Murti serasa mati berdiri dengan wajah pucat pasi. “Mas Joko!” panggilnya pelan tanpa sadar.

“Murti!” seru Pak Camat, juga sama-sama kaget.

Murti merasakan dunia berputar. Tanah yang dipijaknya seperti pusaran yang menariknya ke bawah, semakin ke bawah sampai ia tidak melihat apa-apa lagi selain hitam dan kelam. Ia hanya sempat menampar suaminya dan memandang geram seorang wanita yang bersama suaminya sebelum pingsan. Pak Camat yang lebih kaget langsung membawa Murti pulang.

One thought on “MURTI 11 : NINGSIH

Leave a comment