Tak terasa, Fitri sudah tamat dari SMP. Aku berniat menyekolahkannya di luar kota agar dia bisa mandiri. Perlahan rasa sayangku pada Fitri semakin besar, dalam arti rasa sayang orang tua yang betul-betul tulus.
Hari pertama Fitri sekolah, aku mengantarnya, sekalian mencarikan tempat kos yang aman dan nyaman buat Fitri. Tempat sekolah Fitri agak jauh dari rumah, hampir menempuh 2 jam perjalanan naik bus.
”Nak, pintar-pintar ya bergaul, dan belajar baik-baik,” kataku menasehati Fitri ketika aku mau kembali ke tempatku.
”Iya, Pa… Fitri sayang sama papa,” jawab Fitri lalu memelukku, ia menangis. Aku pun tak kuasa menahan haru, aku dan Fitri akan berpisah setelah hampir 16 tahun lebih kami bersama.
Hari-hari pertama aku lalui tanpa Fitri, rumahku terasa sepi. Aku pandangi fotonya, juga almari tempat baju-baju Fitri, seakan-akan aku telah kehilangan dia untuk selamanya.
”Tok… tok… tok…” terdengar ketukan di pintu depan, lalu disusul suara salam, ”Assalamualaikum…”
”Wa’alaikum salam,” jawabku. Segera aku membuka pintu.
fitri
”Eh, selamat sore, Pak. Maaf mengganggu, ini ada undangan pernikahan anakku.” kata Pak Budi padaku sambil menyodorkan undangan. Pak Budi ini adalah kepala dusun di daerahku, cuma beliau jarang bersilahturahmi denganku.
Aku terkejut membaca undangannya. ”Loh, ini pengantin wanitanya si Rani anaknya Bu Ratmi ya, Pak?” kataku agak keheranan.
”Emang iya, Pak.” jawab Pak Budi. ”Kenapa ya, Pak?” lanjutnya.
”Oh, ti-tidak, Pak! Kan Rani tetangga saya, kok saya taunya baru sekarang ya.” jawabku.
”Ya namanya anak muda, Pak. Saya sendiri kurang setuju akan pilihan anak saya, karena nak Rani kan masih muda sekali. Tapi namanya jodoh harus bagaimana lagi,” jawab Pak Budi. “Kalau begitu saya permisi dulu, Pak!” lanjutnya dan pergi.
Aku senyum sendiri mengingat kejadian waktu aku dan Rani berhubungan badan dulu. Aku menyadari bahwa aku butuh sosok pendamping dalam hidupku, tapi siapa yang mau kepadaku? Aku melamun dengan diriku sendiri, dan hoaamm… aku menguap capek. Mungkin besok atau lusa aku mencari pendamping, batinku.
Malam itu aku menghadiri pesta pernikahan anaknya Pak Budi. Aku melihat sosok Rani duduk di pelaminan bersama mempelai pria.
”Eh, Pak Adit… kenapa tidak makan, Pak?” tanya bu Ratmi mengejutkanku.
”Eh, tadi udah makan, bu. Masih kenyang,” jawabku. “Selamat ya, Bu!” aku memberikan selamat kepada bu Ratmi atas pernikahan putrinya, Rani.
”Iya, Pak, trimakasih,” jawab bu Ratmi sambil menyambut salamanku. ”Kapan ya kita berdua bisa duduk di pelaminan bersama,” lanjut bu Ratmi.
”Maksud bu Ratmi bagaimana?” tanyaku bingung.
”Ya, aku dan Pak Adit menikah,” jawab bu Ratmi dengan menundukkan wajah malu.
”Ahh, ibu bisa aja,” jawabku sambil mengambil tempat untuk duduk. Tiba-tiba mataku perpandangan dengan seseorang, dia juga memandangku dengan sedikit keheranan. Sepertinya aku mengenalnya, batinku. Aku mencoba mengingat-ingat siapa gerangan wanita itu.
Dia pun menghampiriku. ”Maaf bapak ini namanya Adit ya?” tanyanya.
”I-iya, kok tau?” jawabku penasaran.
Sambil memukul lenganku, wanita itu berkata, ”Aku Yanti, Pak. Masih ingat kan waktu di Batam, anaknya Pak RT?”
”Oh iya, iya, baru aku ingat. Ibu kok bisa sampai disini?” tanyaku.
”Aku itu adeknya Pak Budi, jadi wajarlah aku disini menghadiri pernikahan ponakan,” jawab Yanti. ”Ngomong-ngomong Pak Adit sudah punya istri baru atau sudah berapa istrinya?” lanjutnya.
Mendengar pertanyaannya, aku jadi agak risih, seolah-olah aku mata keranjang. ”Istri saya cuma satu, Bu, yakni almarhumah Nurlela.” jawabku tegas.
”Hah? Masa sih, Pak?” tanya Yanti keheranan. ”Kita ngobrolnya di belakang aja yuk, Pak! Sambil mengenang waktu di Batam, disini agak bising,” ajaknya.
Aku menurut saja. Mungkin betul juga perkataan Yanti, pikirku.
Ternyata Pak Budi benar-benar orang berada, rumahnya saja dilengkapi taman yang indah.
”Ibu sendiri sudah punya anak berapa?” tanyaku.
Yanti menatapku, ”Aku belum punya anak, aku mandul, Pak. Mas Dodi menceraikanku tahun lalu,” jawabnya.
Aku terharu akan kejujuran Yanti, suaminya dulu adalah temanku waktu bekerja, cuma saja Dodi lebih beruntung karena tak berapa lama telah memimpin proyek sepeninggalku.
fitri
”Aduh, saya minta maaf, Bu,” kataku sambil menggosok-gosok kedua telapak tanganku.
”Kok minta maaf, kan gak salah?” jawab Yanti. ”Ngomong-ngomong jangan panggil Bu dong, Pak Adit, hehehe… kan saya belum ibu-ibu,” lanjutnya.
”Maunya dipanggil apa?” tanyaku.
”Panggil nama aja,” jawab Yanti.
”Oke lah kalau begitu,” kataku.
”Aku juga boleh kan manggil namamu?” tanya Yanti. ”kan kamu juga belum bapak-bapak?” lanjutnya.
”Wew, anakku sudah besar lho, sudah SMA lagi,” jawabku.
”Mmh… maaf ya, Dit, bukannya aku lancang, tapi anakmu itu… mmh, siapa namanya, aku lupa?” tanya Yanti.
”Fitri,” jawabku.
”Oh, Fitri… tapi Fitri kan bukan anak kandungmu, Dit?” kata Yanti.
Aku sakit hati mendengar pernyataannya, sangat sakit. ”Tolong ya, Yan, hargai aku. Aku tahu kamu mengetahui masa laluku, tapi bukan berarti kamu bisa mengatakan kalau Fitri itu bukan anakku,” jawabku tegas.
”Tapi kan kenyataannya begitu?” potong Yanti.
”Memang benar, Fitri bukan anak kandungku. Tapi dia anakku, segalanya bagiku. Maaf ya, Yan, aku permisi.” kataku.
”Dit, Ditt, tunggu dulu!” cegah Yanti sambil menarik tanganku. ”aku minta maaf, tolong jangan diambil hati.” lanjutnya.
”Iya, tidak apa-apa. Aku pulang dulu, Yan, sudah malam.” kataku sambil meninggalkan Yanti. Aku terkejut karena baru melangkah, aku melihat bu Ratmi berdiri tidak jauh dari kami, dia menatapku heran.
”Ja-jadi… Fitri…” kata bu Ratmi.
Aku langsung pergi tanpa mendengar perkataannya. Di jalan aku menggerutu, memaki diriku sendiri, dan menyesali pertemuanku dengan Yanti. Aku kuatir bu Ratmi mengetahui dan menceritakannya pada orang lain kalau Fitri bukan anak kandungku.
Malam itu aku tidak bisa tidur, pikiranku tidak tenang. Aku takut bagaimana perasaan Fitri jika mengetahui kalau aku bukan bapak kandungnya. Berkali-kali kupejamkan mata, tapi rasa kantuk belum ada meskipun sudah jam 1 pagi.
***
”Tok… tok… tok…”
Aku terbangun dan melihat jam sudah jam 10 pagi, aku merasa malas untuk membukakan pintu.
”Tok… tok… tok… Adit?” suara wanita memanggil namaku.
Aku merasa heran, tak biasanya aku dipanggil Adit, pikirku. Maka aku bergegas membukan pintu.
”Hai, selamat pagi,” kata Yanti.
”Iya, selamat pagi juga! Silahkan masuk,” ajakku.
Yanti mengikutiku.
”Silahkan duduk,” kataku.
”Dit, aku minta maaf soal tadi malam,” kata Yanti.
”Iya, tidak apa-apa. Aku sudah melupakannya,” jawabku.
”Itu foto Fitri ya?” tanya Yanti sambil menunjuk sebuah foto di atas meja samping TV.
”Iya,” jawabku singkat.
”Sangat mirip dengan almarhumah.” lanjut Yanti.
”Yah, begitulah,” jawabku.
fitri
”Aku salut padamu, Dit. Kamu pria yang setia dan sangat bertanggung jawab,” puji Yanti.
”Ah, kamu bisa aja.” jawabku. Aku melihat Yanti sangat anggun, dengan pakaiannya yang elegan menandakan kalau Yanti orang berada.
Hari itu kami mengobrol panjang lebar tentang masa-masa muda di Batam. Tak jarang juga aku mencuri pandang ke paha Yanti yang mulus, dan belahan bibirnya yang sensual, juga kesediaan Yanti untuk memasak makanan buatku, makin membuatku respect padanya.
Aku tak menyangka kalau Yanti betah di rumahku, aku pun tidak keberatan jika ditemani sepanjang hari olehnya. ”Yan, kamu tidak bosan?” kataku.
”Jangan-jangan kamu yang bosan nih?” jawab Yanti sambil menatap mataku.
Jujur tatapannya membuatku kasmaran, aku tidak tahan menatapnya, sampai aku berkedip dan memalingkan wajahku keluar jendela.
”Aku senang kamu ada disini, Yan,” kataku.
”Masa sih? Ah, kamu mulai gombal deh,” jawab Yanti.
”Wee… ngapain juga gombal? Memang itu yang kurasakan kok,” jawabku mantap.
”Dit, besok aku kembali ke Batam,” kata Yanti.
”Oh, nanti kirim salam ya sama teman-teman dulu dan juga sama Dodi,” kataku sambil bercanda.
”Ih, najis. Kalau sama Dodi sampaikan aja sendiri,” jawab Yanti.
”Hehe… maaf, tadi bercanda,” sambungku.
”Dit, aku suka sama kamu,” ucap Yanti dengan nada yang tulus.
”Aku juga suka sama kamu, Yan. Kalau bisa, tiap hari kamu masakin aku makanan yang enak-enak,” jawabku setengah bercanda.
”Ih, bukan gitu maksudku,” lanjut Yanti sambil memegang daguku gemas.
”Jadi maksudnya gimana?” kataku.
”Maksudku, Dit, aku suka sama kamu. Aku… a-aku mulai sayang sama kamu,” jawab Yanti terbata.
”Kamu bisa aja, Yan, kayak anak sekolahan aja bilang sayang,”
”Sst…” Yanti menutup bibirku dengan jari telunjuknya. ”Aku serius, Dit. Awalnya aku kagum padamu, sampai-sampai aku merasa kalau kamulah sosok yang kudambakan,” lanjutnya.
Yanti mendekatkan wajahnya ke wajahku, dan bibir kami telah berpagutan. Aku merasakan kenikmatan di bibirku saat kuhisap bibir atasnya, juga lidahnya, Kami berciuman sangat lama, Aku memejamkan mata, aku sangat bersemangat, aku merasa yang kucium adalah bibir Fitri. Ciumanku terhenti saat tangan Yanti menuntun tanganku untuk meremas bongkahan payudaranya. Tapi aku menolak.
”Kenapa, Dit?” tanya Yanti heran.
”Kita seharusnya tidak sejauh ini,” jawabku sambil menjauh darinya.
”Emangnya kenapa, Dit? Diantara kita kan tidak ada yang terikat.” sambung Yanti.
”Aku tidak munafik, Yan… jujur aku menyukainya, tapi ini… ini tidak seharusnya.” jawabku.
Yanti memelukku dari belakang sambil menangis. ”Kenapa, Dit? Apa aku tak pantas buatmu?” tanyanya.
”Ini bukan masalah pantas atau tidak pantas,” jawabku.
”Lalu apa, Dit?” Yanti melepas pelukannya dan duduk menutup muka sambil menunduk.
”Maaf, aku tidak bisa menjelaskannya padamu,” kataku padanya.
Entah Yanti merasa malu atau bagaimana, dia lalu pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun. Aku melihat kepergiannya. Maafkan aku, Yan, aku mencintai Fitri, ucapku dalam hati.
Keesokan harinya Yanti pamitan padaku, dia memelukku dan mengatakan kalau dia sangat mencintaiku. Aku melepas kepergiannya dengan haru, aku merasa bersalah padanya. Biarlah dia pergi dan mencari lelaki yang lebih baik dari diriku.
Keesokan harinya aku menjenguk Fitri, aku membawa makanan yang enak-enak, juga buah-buahan kesukaannya. Aku sampai di tempat Fitri saat sore, jadi aku bisa bertemu dengan Fitri di kosan nya yang besar. Fitri menyewa 1 kamar, aku melihat banyak kamar untuk tempat kos-kosan khusus putri itu. Pemilik kosan sudah mengenalku dan mempersilahkanku ke kamar Fitri.
”Tok… tok… tok…”
Fitri membukakan pintu tanpa bertanya siapa yang mengetuk. ”Paaa…” dia langsung memelukku. ”Fitri kangen, Pa,” kata Fitri dalam pelukanku.
”Papa juga kangen. Nih papa bawain makanan kesukaanmu,” kataku sambil meletakkan bawaanku di samping pintu. ”Duh, anak papa sudah besar,” kataku sambil memandangi tubuh Fitri.
”Iya lah, Pa, masa kecil terus, hehehe…” jawab Fitri, lalu kembali memelukku.
fitri
Aku merasakan betapa hangatnya pelukan Fitri, dan juga merasakan sangat bahagia setelah beberapa bulan berpisah dengannya.
”Pa, papa kenapa tidak beli handphone? Kan bila kangen kita bisa komunikasi kapan kita butuh,” tanya Fitri antusias.
”Iya, nanti lah kalau sudah punya uang cukup,” jawabku.
”OhH… pa, papa nginap disini aja ya? Fitri masih kangen, besok aja pulangnya,” pinta Fitri.
”Iya, nak, papa juga kangen. Nanti papa minta izin sama yang punya rumah,” jawabku.
”Hehehe, gitu dong, pa,” kata fitri lalu memelukku lagi.
Malam itu aku tidur di kamar Fitri. Pemilik rumah memberikanku tikar dan bantal agar aku bisa tidur, tapi tidak kupakai. Aku tidur bersama Fitri di ranjang yang sempit, yang cukup untuk satu orang saja. Saat tidur Fitri hanya mengenakan bh dan celana dalam, aku jadi serba salah, kulihat tubuh Fitri semakin merekah indah.
”Pa, buka aja baju dan celananya, biar besok bisa dipakai lagi.” kata Fitri.
Aku mengiyakan saja, aku tidur memeluk Fitri, dan kakiku juga memeluk pahanya. Hangat terasa menjalar di tubuhku, aku jadi tak bisa mengontrol nafsuku, hingga penisku pun bangun. Aku yakin Fitri merasakan penisku, karena kami masih belum tidur.
Fitri bercerita panjang tentang sekolah dan pengalaman-pengalamannya selama berpisah denganku, aku sangat bersemangat mendengarkannya. Di sisi lain, penisku meronta dari balik celana dalamku. Tanganku yang semula memeluk perut Fitri, kini berpindah mengelus-elus rambutnya, otomatis siku tanganku bergesekan dengan payudaranya. Sambil menahan gairah aku mencoba menasehati Fitri agar pandai-pandai menjaga diri. Fitri merasa nyaman saat kupeluk, bahkan dia membalas pelukanku dengan membalikkan badannya, kini kaki Fitri yang memeluk perutku.
fitri
Aku mencium kening Fitri dengan lembut, Fitri membalas ciumanku dengan senyuman yang manis. Kutatap matanya dalam-dalam, lalu kukecup bibirnya.
“Papa sayang sama kamu,” kataku setelah kulepas ciumanku.
“Fitri juga, Pa, Fitri sayang sama papa.” jawab Fitri.
“Kita tidur yuk,” ajakku.
“Masih kangen, Pa,” rengek Fitri. Dia menaiki tubuhku dan,
”Hmmfh… Paaa…” Fitri menggoyang-goyangkan pantatnya di atas penisku. Aku membalasnya dengan menaikkan pantatku.
“Pa, Fitri pengen,” kata Fitri lirih.
“Tapi kita sudah janji, nak.” jawabku sambil meremas pantatnya.
“Gak usah dibuka, Pa, celana dalamnya,” kata Fitri yang mulai tersiksa dengan gairahnya.
Kubalik badan Fitri, lalu kubuka celana dalamnya dan kujilat kemaluannya dengan rakus. Itilnya yang merah kumainkan dengan lidahku.
“Paa… mmmfffhhh!!” Fitri menutup mulutnya dan aku merasakan hangat dari kemaluannya, dia orgasme.
Aku merasa bahagia bila melihat Fitri senang atau terpuaskan, aku tidak lagi mempedulikan diriku sendiri. Bagaikan pelayan kepada tuannya, itulah aku. Berusaha memberikan segalanya untuk orang yang disayangi.
Ada kebanggaan tersendiri dalam diriku melihat Fitri tumbuh berkembang. Ya, Fitri yang sekarang sangat cantik, manis, juga tutur sapanya sangat ramah. Siapapun yang melihat Fitri pasti akan suka, walaupun sebatas suka melihat.
Esoknya aku mengantarkan Fitri ke sekolah yang tak jauh dari tempatnya. Aku sengaja ikut karena mau melunasi iuran-iuran keperluan dan perlengkapan Fitri di sekolah. Tak ada sedikit pun rasa beban di hatiku saat mengeluarkan hampir 3/4 hasil jerih payahku selama ini demi kebutuhan Fitri.
“Paa, hati-hati di jalan ya,” pesan Fitri.
“Papa belum mau pulang, Nak, papa mau nunggu kamu pulang sekolah.” jawabku.
Fitri menatapku dengan senyum dan mengangguKkan kepala. “Pa, Fitri pamit ya,” ucapnya sambil mencium tanganku.
“Baik-baik ya, nak, belajarnya,” pesanku pada Fitri.
Aku melihat Fitri dari belakang memasuki ruang kelasnya. Aku menunda pulang, mau membeli perlengkapan fitri lainnya. Aku merapikan kamar Fitri, juga sedikit menghiasnya. Kulihat ada buku diary saat aku membongkar tilam yang merupakan kasur Fitri dan menjemurnya agar tidak lepek. Kubuka diary kecil tulisan tangan Fitri itu.
“Dear diary, hari pertama aku berpisah dari orang yang paling kusayangi di dunia ini, papaku sayang.”
Aku tersenyum membaca guratan Fitri tentang aku, kubuka lagi lembar berikutnya.”Dear diary, aku sangat merindukan papa, pengen dipeluk dalam kehangatan, seandainya dia bukan papa kandungku, ohhh…”
Deg! Apa maksud Fitri? Batinku. Dia ingin aku… ah, otakku pusing memikirkannya, perlahan kubuka lembar berikutnya.
“Diaryku sayang, aku tumbuh menjadi dewasa. Aku bagaikan pohon di atas bukit yang selalu bergoyang diterpa angin, namun aku tetap berdiri tegap. Aku merasa bahagia terlahir di dunia ini oleh kasih sayang yang luar biasa dari seorang papa, aku tidak menyesal tidak melihat bahkan mengenal sosok seorang mama. I love you, Pa.”
Aku sangat terharu membacanya. Kusadari semua perbuatanku pada Fitri, tak seharusnya aku merusak masa depannya, batinku. Kutaruh kembali buku diary itu dan melanjutkan kegiatanku membersihkan kamar Fitri.
fitri
Minggu siang aku menghabiskan waktu shoping (istilah kerennya) ke mall SKA Pekanbaru. Aku ke counter handphone untuk cuci mata, aku melihat hape warna pink sangat menarik perhatianku. Mungkin Fitri akan menyukainya, batinku. Setelah tawar-menawar, aku membelinya, satu untuk Fitri dan satu lagi buatku, aku memilih warna putih.
Aku berjalan keluar mall sambil memainkan hape baruku. Aku merasa kecewa setelah di jalan, layar warna hape baruku agak buram. Apa karena efek sinar matahari ya? Batinku. Maka kudekatkan hape itu dan tanganku yang satu lagi membantu menutup bias sinar.
”Tiiinnnnnnnnnn!!!” suara klakson mobil mengejutkanku, ”Ckhhiiiiiiiiiitttttt…” aku masih mendengar suara ban yang lengket di aspal saat aku merasa pandanganku mulai berbayang, lalu aku tidak ingat apa-apa lagi.
Entah berapa lama aku berbaring, badanku terasa sangat sakit, terutama di bagian kepalaku yang di perban, “Maaf, dik! Aku ada dimana?” tanyaku pada perempuan yang membelakangiku.
“Bapak sudah siuman? Maaf, Pak, jangan banyak bergerak dulu!” kata suster itu padaku saat aku mau bangun melihat kondisiku.
“Bapak sekarang ada di rumah sakit, tadi siang bapak kecelakaan. Tapi bapak tidak usah kuatir, karena yang menabrak bapak bertanggung jawab atas perobatan bapak.” terang suster itu padaku.
”OhH,” kupegang kepalaku agak ngilu. Jam 9 malam, pikirku setelah kulihat jam becker di samping mejaku, ada juga buah-buahan disana.
“Bapak istirahat aja yah!” kata suster itu lagi sambil mengambil jarum suntik dan menyuntikkannya ke lenganku, tiba-tiba kurasakan kantuk yang luar biasa, dan aku pun tertidur.
Keesokan harinya aku terbangun, aku merasa tanganku basah. Ya tanganku basah oleh isak tangis Fitri, aku melihat Fitri memeluk tanganku dengan pipinya.
“Fit…” kataku lirih.
“Paaa… papa!!” jerit Fitri dalam tangisnya dan mendekatkan wajahnya ke pipiku.
“Jangan nangis, sayang!! Papa gak apa-apa kok,” kataku sambil mencoba membelai rambutnya yang tertutup jilbab.
Fitri menggeleng-gelengkan kepalanya, tak berapa lama ada beberapa yang menjengukku. Ada sekitar 5 orang dengan ditemani dokter dan perawat, dokter memeriksa luka dan kondisiku. Aku melihat Fitri masih berderai air mata.
“Bapak tidak usah kuatir, luka bapak tidak parah, mungkin bapak besok sudah bisa pulang.” kata dokter kepadaku sambil merapikan perlengkapannya.
Tak berapa lama, dua orang wanita mendekatiku. Aku tak mengira sebelumnya kalau mereka lah yang tidak sengaja menabrakku.
“Pak, eeh… ma-maaf, Pak, aku minta maaf. Aku dan keluarga memohon maaf atas kecelakaan ini,” kata wanita itu kepadaku. “Anak saya tidak sengaja menabrak bapak,” lanjutnya sambil menarik tangan seorang lelaki agar mendekat ke arahku. Aku melihat wajah bersalah pada diri anak itu.
“Gak apa-apa, Bu, saya juga salah karena kurang hati-hati.” balasku.
Aku melihat wajah tersenyum diantara mereka semua. Aku merasa aneh melihat sosok wanita di sampingku, aku melihat wanita itu dan aku juga menatap Fitri secara bergantian, sehingga beberapa orang juga mengikuti gerakanku. Kemudian Fitri dan wanita itu saling bertatapan, ya Allah… mereka sangat mirip, batinku. Hanya saja wanita yang di sampingku sudah lebih tua dari Fitri, mungkin sebaya denganku. Aku melihat mereka berdua tersenyum dan suasana di ruangan kelas 1 diwarnai canda tawa.
Keesokan harinya aku diperbolehkan pulang ke rumah setelah 2 hari lebih aku dirawat di rumah sakit. Keluarga bu Halimah bersedia mengantarku, bu Halimah adalah ibu dari Andre, anak yang menabrakku. Aku tidak lagi merasa kuatir sebab biaya perobatanku sampai sembuh telah ditanggung oleh keluarga bu Halimah. Fitri juga telah minta izin dari sekolah selama seminggu untuk membantu merawatku.
Bu Halimah sungguh baik hati, di samping bertanggung jawab, beliau juga membelikan buah-buahan dan vitamin lainnya buatku. Walaupun mengalami kejadian yang tidak kuharapkan, aku sangat bersyukur karena aku tidak luka parah.
“Maaf, Pak, istri bapak dimana?” kata bu Halimah saat kami tiba di rumah.
“Istriku sudah lama meninggal, Bu, sejak Fitri lahir.” jawabku.
fitri
“Maaf, Pak.” sambungnya.
“Gak apa-apa, Bu.” ujarku. Aku dibaringkan di kamar, aku melihat rona wajah bu Halimah dan anaknya agak canggung.
“Jadi selama ini bapak jadi single parent?” tanya ibu itu sambil memandang-mandang kondisi kamarku.
“Iya, Bu, tapi saya sangat senang merawat dan membesarkan anakku tanpa beban sedikitpun.” jawabku tersenyum.
“Wah, aku jadi iri sama bapak.” kata bu Halimah. Tiba-tiba ia tercengang memandang foto usang istriku yang kutempel di almari pakaian. ”I-ini foto s-siapa, Pak?” tanya bu Halimah sambil berdiri dan menyentuh wajah foto istriku.
“Itu foto mamaku, Tante.” jawab Fitri sambil menuangkan teh ke dalam cangkir.
“Na-namanya s-siapa?” tanya bu Halimah gugup.
“Nurlela,” jawabku singkat.
Entah kenapa bu Halimah langsung menangis dan menciumi foto istriku. Ia kemudian mengajak Andre, anaknya, pulang. Pembantunya juga minta izin padaku dan Fitri mau ikut pulang, tapi katanya akan kembali lagi nanti. Aku dan Fitri merasa keheranan dan saling berpandangan.
Fitri sangat kuatir pada kondisiku, padahal aku sudah merasa baikan, namun fitri sangat bersikeras untuk merawatku sampai sembuh total. “Pa, minum obat ya!” katanya sambil meletakkan piring yang baru kupakai makan.
Aku menganggukkan kepala tanda setuju, memang ada beberapa obat yang harus kuminum. Jumlahnya mungkin lebih dari enam biji, pil serta obat cair. Setelah obatnya selesai kuminum, Fitri mencium keningku dan membaringkanku. Tapi aku merasa perutku mulas, dan obat yang baru kutelan rasanya mau keluar lagi.
“Lho, kenapa papa duduk lagi?” tanya Fitri saat aku bangkit.
“Mau muntah,” jawabku sambil memegang tenggorokan. Aku melihat wajah Fitri yang khawatir.
”Tin, tin,” terdengar suara klakson mobil di luar.
“Bentar ya, Pa, Fitri mau lihat dulu siapa yang datang.” kata Fitri.
Tak berapa lama aku melihat bu Halimah, Andre dan seorang nenek yang sudah ubanan. Kelihatan kalau mereka itu orang kaya dari cara berpakaian, aku melihat bu Halimah menenteng amplop map yang tebal. Keherananku bertambah saat nenek yang bersama bu Halimah terus memandangi wajah Fitri. Bu Halimah mengeluarkan isi dari map yang ia bawa, aku melihat ada foto album dan bu Halimah menyerahkan album itu padaku sembari menggandeng nenek yang merupakan ibu bu Halimah.
Aku sangat terkejut saat kulihat foto istriku, Nurlela, bersama keluarganya, dan yang lebih mengejutkanku adalah ketika bu Halimah menerangkan kalau Nurlela merupakan adik kandungnya. Mereka hanya terpaut selisih dua tahun. Aku memandang bu Halimah dan bu Halimah membalasnya dengan anggukan. Tak menunggu lama, kamar tempatku berbaring berubah menjadi isak tangis kerinduan. Ibu dari bu Halimah yang menjadi mertuaku mencium dan memelukku, bu Halimah juga memeluk Fitri. Jadilah hari itu menjadi momen yang haru bagiku dan juga bagi keluarga baruku.
Aku menyalami Andre saat dia memanggilku om. Mertuaku yang namanya bu Izah memintaku untuk menerangkan semua mulai dari awal. Aku memandang Fitri, aku tak sanggup untuk mengungkapkan hal yang sebenarnya, tapi itu mungkin sangat penting bagi Fitri dan juga keluarga baruku. Sekali lagi aku memandang Fitri dan memintanya untuk mendekatiku, seperti aku mau menyampaikan pesan terakhir. Kugenggam tangan Fitri, dan aku mulai bercerita dari awal pertemuanku dengan almarhumah istriku hingga menikahinya sampai Fitri lahir. Aku menceritakan secara mendetail tanpa ada yang kusembunyikan tentang aku dan almarhumah istriku, Nurlela.
Tiba-tiba Fitri melepaskan genggaman tanganku dan berlari menuju kamar mandi. Kami semua mendengar jeritan pilu dari anakku, Fitri. Aku tak kuasa menahan tangisku, begitu juga bu Halimah yang entah kenapa memelukku dan menangisiku. Tak ketinggalan juga mertuaku menitikkan air mata dan mengajak Andre untuk membujuk Fitri agar membukakan pintu. Aku sangat khawatir selama sejam Fitri berada di dalam kamar mandi. Bu Halimah menyuruh Andre untuk mendobrak pintu kamar mandi, dan akhirnya pintu kamar mandi pun terbuka. Aku tidak bisa melihat apa yang terjadi disana selain mendengar isak tangis Fitri yang tersendat-sendat.
fitri
Andre membelikan nasi bungkus di warung Ampera tidak jauh dari rumahku untuk makan kami berlima, malam itu bu Halimah mau menginap di rumahku beserta mertuaku, juga Andre. Bu Halimah yang sekarang kupanggil kakak ipar tidak tega meninggalkan kami dengan situasi yang rumit saat Fitri mengetahui bahwa dirinya bukanlah anak kandungku. Aku tahu perasaan Fitri, mungkin aku sudah terasa asing baginya, dan aku tidak keberatan jika nantinya Fitri akan lebih memilih keluarga istriku dibandingkan tinggal bersamaku. Toh juga nantinya Fitri bisa hidup lebih mewah lagi jika tinggal bersama nenek kandungnya, batinku.
Saat makan malam tiba, mertuaku tidak sungkan menyuapiku, bahkan memberikan obat untuk kuminum. Aku tidak merasakan malam itu ada Fitri yang selalu setia melayaniku seperti sebelumnya.
Keesokan harinya aku merasa baikan, aku mulai bisa berjalan kesana-kemari. Aku melihat senyum di bibir mertuaku, “Dik, maaf ya hari ini kami harus pulang, lusa mungkin kami datang lagi.” kata kakak iparku sambil merapikan ruangan.
“Gak apa-apa, kak, aku sudah sehat kok.” jawabku.
Tiba-tiba Fitri menyusun bajunya dalam tas. “Nek, aku ikut ya?” kata Fitri.
Aku dan mertuaku saling berpandangan. Aku menundukkan kepala, menerima semua keputusan Fitri.
“Lho, nanti yang nemanin papa kamu siapa, cu?” tanya mertuaku pada Fitri.
Fitri tidak menjawab, bahkan dia minta tolong pada Andre untuk membawakan tasnya ke mobil. Aku menganggukkan kepala pada kakak iparku tanda aku setuju. Sebelum pamit, kakak iparku memelukku, juga mertuaku.Kini tinggallah aku sendiri, aku tidak sempat bertanya dimana mertuaku tinggal. Aku kembali merasa kesepian, tapi biarlah, pikirku. Aku yakin kakak iparku pasti memberikan yang terbaik buat Fitri. Aku teringat orang tuaku, aku merasa berdosa kepada mereka, aku tidak tau sedikitpun kabar dari mereka. Oh, aku rindu orang tuaku, aku rindu kampung halamanku. Tiba-tiba terlintas di pikiranku untuk pulang ke kampung. Maka aku merencanakan segala sesuatu buat masa depanku, juga masa depan Fitri, anakku.
Seminggu kemudian aku mendapat kabar dari kakak iparku kalau Fitri telah pindah sekolah ke tempat yang lebih baik, mendengarnya aku sangat senang. Siangnya aku mendatangi kantor asuransi dimana Fitri dulu aku masukkan ke asuransi pendidikan, selama ini aku sangat rajin menyetor iuran perbulannya. Maksud kedatanganku, aku ingin mencairkan dana yang telah kudepositokan selama ini sejak Fitri berusia tiga tahun lebih, berarti lebih dari 14 tahun.
Dengan prosedur dan embel-embel yang rumit akhirnya aku mendapatkan dana segar sebesar 25 juta lebih, aku sangat senang memiliki uang yang banyak, bahkan rumahku yang kubeli dengan cara mencicil kujual juga. Tak sampai sebulan aku menunggu, akhirnya rumahku ada yang membeli dengan harga 30 juta.
Aku menemui kak Halimah dan kami bicara panjang lebar tentang Fitri, dengan berat hati kak Halimah menyetujui permintaanku, dimana aku menyerahkan semua uangku kepada Fitri. Aku hanya menyisahkan 2 juta buat bekalku hidup di kampung, dan aku juga menitipkan surat buat Fitri. Aku tau keputusanku ini sangat tergesa-gesa, tapi ini yang terbaik buatku, juga buat Fitri.
Hampir 20 tahun aku tidak lagi mengenal tempat tinggal orang tuaku, bahkan tidak banyak yang kukenal lagi. Aku bingung dengan bangunan-bangunan yang berjejer, aku seperti anak perantau yang baru singgah di sebuah kota perantauan. Aku memasuki jalan yang kuingat dulu adalah rumahku, bahkan sekolahku yang dulu terbuat dari papan sekarang sudah bangunan bertingkat, lengkap dengan workshopnya. Sungai yang sering jadi tempatku mandi telah berubah drastis; dulu airnya jernih, sekarang berubah coklat dan berbuih akibat limbah masyarakat. Tak ada kenangan yang melekat di benakku akibat perubahan lingkungan dimana dulu aku dibesarkan.
Dimana rumahku? Itulah pertanyaan yang ada di otakku. Aku mendatangi mesjid yang dulu sering kudatangi saat mau sembahyang, aku bertanya pada ustadz yang kebetulan ada di mesjid. Menurut keterangan beliau bahwa orang tuaku 5 tahun yang lalu telah pindah ke Kalimantan dan telah menjual rumah juga sawah yang pernah kami kelolah dulu. Aku sangat terpukul dan menyalahkan diriku sendiri, aku telah berdosa kepada orang tuaku. Aku berlutut seketika itu dan memohon ampun.
Aku berjalan selama berjam-jam tanpa arah mengelilingi tempat kelahiranku, dan merenungi nasibku, sampai tak sadar aku menaiki bis tujuan kota Medan. Aku tak menghiraukan kernek bis yang menanyakan arah tujuanku, aku memberikan ongkosku pecahan 20 ribu rupiah sebanyak dua lembar, lalu aku terlelap di dalam bis. Aampai di terminal Amplas baru aku terbangun karena mendengar suara keras dari para penjual jalanan, aku turun dan memanggil ojek. Dengan naik ojek aku bebas melihat suasana kota Medan, aku menyuruh tukang ojek agar mengantarku ke bengkel mobil yang besar. Aku yakin dengan keahlianku, aku akan diterima bekerja sebagai montir.
fitri
Tak menunggu lama aku diterima bekerja di bengkel mobil. Karena kepiawaianku sebagai montir, maka bengkel tempatku bekerja semakin laris, bahkan Pak Leo yang punya bengkel sangat menyukai cara kerjaku. Pak Leo tak sungkan memberikan 20% dari pengasilannya.
Selama 4 bulan bekerja, pikiranku selalu tertuju kepada Fitri. Aku semakin merindukannya setiap saat. Walaupun aku mendapatkan upah lebih dari 5 juta perbulannya, namun hal itu tidak bisa membuatku hidup bahagia. Pak Leo sangat terkejut saat kuutarakan niatku untuk berhenti bekerja di bengkelnya, aku menerangkan alasanku untuk berhenti. Dengan berat hati Pak Leo melepasku.
“Kapan pun bapak kembali, aku slalu siap menerima bapak.” begitu kata Pak Leo saat aku meninggalkan bengkelnya.
Aku kembali ke Pekanbaru untuk menemui Fitri. Pertama aku pergi ke tempat sekolahnya yang dulu, aku menanyakan ke sekolah mana Fitri dipindahkan. Tak sulit menemukan sekolah Fitri yang baru. Aku agak gugup saat menunggu Fitri pulang sekolah, aku merasa seperti menunggu sang kekasih, bahkan aku berpakaian dengan rapi, juga membawa oleh-oleh dari kota Medan yang terkenal itu; bika Ambon.
Setelah bel panjang berbunyi, kegugupanku semakin menjadi. Aku mondar-mandir tanpa alasan, keringatku pun mulai membasahi keningku, juga baju ku. Aku agak bersembunyi dari antara orang yang mau menjemput anak atau saudara mereka yang bersekolah, ada yang menjemput dengan mobil honda zass terbaru, bahkan ada juga parkir mobil hammer silver. Mungkin kak Halimah menyekolahkan Fitri di sekolah bonafit, batinku.
Aku mengamati setiap siswi yang keluar dari area sekolah. Fitri mana? pikirku.
Oh Tuhan, aku hampir saja tidak mengenalinya, Fitri merubah gaya berjilbabnya menjadi bergelombang, bahkan kulitnya tampak makin putih, sangat jelas kelihatan raut wajahnya yang bersahaja. Aku menelan ludah saat melihat Fitri, dalam 4 bulan lebih aku tidak melihatnya, Fitri sudah menunjukkan perubahan yang sangat drastis. Kak Halimah sungguh merawat Fitri dengan baik. Aku agak ragu memanggilnya, sampai sebuah mobil bermerk pajero sport menghampirinya. Mulutku serasa terkunci saat Fitri memasuki mobil itu.
“Fitri…!!” aku memanggil dengan suara pelan, kerinduanku merubah segalanya. Kukejar mobil yang ditumpangi fitri. ”Fittrii… !!” teriakku kuat sambil terus mengejar mobil itu. ”Fitrrriii…” teriakku lagi, hingga mobil itu berhenti. Mungkin Fitri melihatku, aku lihat dia turun dan mendekatiku yang sedang terbungkuk-bungkuk mengatur nafas karena kelelahan.
“Paaa…! Papa…!!” Fitri berlari ke arahku dan memelukku erat tanpa mempedulikan orang lain. “Papa darimana?” tanyanya sambil menangis seperti kesakitan.
Aku melihat Andre turun dan menghampiriku, rupanya tadi yang memberi tumpangan adalah Andre, keponakanku sendiri.
“Wah, om dari mana saja?” tanya Andre padaku.
Aku hanya mengusap-usap rambut Andre sebagai jawaban.
“Yuk, om, kita langsung ke rumah aja!” ajak Andre.
Fitri melepas pelukannya dan menatapku kemudian mengangguk.
“Ya udah, tapi om ambil barang dulu ya!” kataku sambil berjalan ke arah tempatku tadi menunggu Fitri.
Fitri dan Andre mengikutiku dan membantu membawa bawaanku. “Wah, ada bika, om? Ini makanan vaforitku,” kata Andre kegirangan. Fitri tak membawa apa-apa, tapi selalu menempel di lenganku, bahkan dalam mobil ia memelukku erat serasa tidak mau lagi kehilangan.
Sampai di rumah, kak Halimah sangat terkejut juga senang menyambut kedatanganku. Ia tidak sungkan memelukku sangat lama di depan mertuaku, aku menjadi salah tingkah dibuatnya. Mertuaku bercerita banyak tentang Fitri sejak aku pergi. Fitri sangat kehilanganku, begitu kata mertuaku. Fitri juga sempat sakit selama seminggu karena memikirkanku.
Ada satu yang menjadi pertanyaanku selama ini, sejak aku mengenal keluarga kakak iparku, belum pernah sekalipun aku melihat papanya Andre, Maka aku pun menanyakan hal itu kepada mertuaku. Tapi tidak ada jawaban dari beliau, malah mertuaku menyuruh aku bertanya pada kak Halimah yang sedang sibuk di ruang kerja. Akupun menghampirinya.
“Lagi asik ya, kak?” tanyaku pada kak Halimah.
“Iya, Dit.” jawab kak Halimah singkat sambil mengutak-atik komputernya.
“Sudah jam 1 lho, kak.” kataku sambil duduk di depan kak Halimah.
“Iya, bentar lagi. Nah, beres juga.” kata kak Halimah sambil merentangkan tangannya tanda kelelahan.
“Kalau aku boleh tanya, papanya Andre kemana ya?” tanyaku hati-hati.
“Jujur, Dit, aku sangat senang kamu datang.” jawab kak Halimah.
“Yang ditanya apa, jawabnya apa.” kataku sambil menggaruk pipiku yang tidak gatal.
“Hehehe, aku tidur duluan ya, Dit. Besok harus cepat ke kantor.” kata kak Halimah sambil beranjak dari kursinya dan menepuk bahuku, aku pun membalasnya dengan senyuman.
Setengah jam aku merenung sendiri di keheningan malam, entah apa yang kulamunkan. Aku merasa mata ini belum bisa tidur. Aku mendengar ada suara tersengguk-sengguk dari dalam kamar kak Halimah, suara itu sangat jelas karena heningnya malam. Kudekati kamar kak Halimah, suara itu semakin jelas.
”hukk… hukkkk…”
Rupanya suara tangisan, pikirku. Kuberanikan mengetuk pintu kamar kak Halimah.
“Iya, ada apa, Dit?” tanya kak Halimah ketika melihat aku yang mengetuk pintu.
”Kakak kenapa menangis?” tanyaku menatap kak Halimah sendu.
Kemudian kak Halimah memelukku dan menangis lagi, aku membopong tubuhnya ke tempat tidur.
“Ada apa, kak? Ceritalah!” kataku.
Kak Halimah menghapus air matanya dengan tissu yang ada di tangannya.
Posisi kami duduk berdampingan di pinggir kasur, dan kepala kak Halimah bersandar di bahuku.
“Dit, papanya Andre sebenarnya sudah menikah lagi,” kata kak Halimahh lirih.
“Oh,” jawabku singkat.
Dan kak Halimah pun mengeluarkan semua uneg-uneg tentang suaminya yang kawin lagi dengan gadis berusia 17 tahun. Kak Halimah ingin menceraikan suaminya, tapi takut kalau nantinya dicemooh orang-orang. Kak Halimah juga takut menyandang status janda. Mendengar cerita kak Halimah, kuberanikan menggeser jarak dudukku agak lebih jauh dari kak Halimah, dan kusandarkan kepalanya ke pahaku. Aku menyemangati kakak iparku agar tidak terlalu memikirkannya.Alhasil, tak berapa lama kak Halimah tertidur di pangkuanku. Aku keluar dari kamar kak Halimah menuju sofa dan membaringkan diri, menatap lampion kristal di langi-langit rumah kak Halimah dan aku pun tertidur.
Aku terbangun saat mendengar suara lalu lalang orang-orang di sampingku, Oh, rupanya sudah pagi. Kak Halimah, Andre dan mertuaku sedang sarapan. Aku bangkit dari sofa, kulihat ada selimut menyelimuti tubuhku, seseorang mungkin menaruhnya saat aku tertidur.
“Pagi, om.” sapa Andre.
“Sarapan, Dit?” ajak kak Halimah, juga mertuaku, menyuruhku duduk bergabung.
“Iya, terimakasih.” jawabku. ”Fitri belum bangun, Ndre?” tanyaku pada Andre sambil mengambil piring, lalu kak Halimah mengambilkan nasi goreng yang ada di panci untukku.
“Tadi udah, om, katanya sakit.” jawab Andre.
“Sakit apa?” tanyaku kuatir.
Lalu kak Halimah menjawab dengan suara yang lirih tapi tidak kedengaran, aku mengerti kalau Fitri lagi halangan.
Selesai sarapan, kak Halimah dan Andre berangkat. Andre ke sekolah, sedangkan kak Halimah ke kantor, sementara tak berapa lama mertuaku mengajak bi Inah, pembantu rumah, pergi belanja ke pasar. Aku bergegas mandi dan sikat gigi, setelah itu aku mendatangi kamar Fitri.
“Sarapan dulu, nak!” ajakku.
“Eh, papa… duduk sini!” jawab Fitri. “Belum laper, Pa.” lanjutnya.
Aku menatap mata Fitri dan mengusap rambutnya, “Papa minta maaf, kalau selama ini…”
Belum selesai aku menyelesaikan omonganku, Fitri sudah menutup bibirku dengan jarinya, “Papa gak salah, apapun yang terjadi. papa tetap papa Fitri, milik Fitri.” katanya lalu memelukku.
Kucium keningnya, Fitri membalas dengan mencium bibirku. Aku agak gugup, walaupun aku suka namun aku merasa kalau itu salah.
“Katanya kamu sakit, nak, sakit apa?” tanyaku untuk mengalihkan perhatian.
Fitri menatap mataku dan memegang wajahku dengan telapak tangannya, “Sakit malarindu, Pa.” jawabnya.
Aku tertawa mendengar jawaban Fitri yang menggelitik. “Jadi anak papa sudah punya pacar?” tanyaku.
“Huum… pacar Fitri sangat setia, Pa, baik dan bertanggung jawab.” jawab Fitri sambil menatapku, juga mengelus wajahku. Aku jadi salah tingkah.
“Oh, bagus lah kalau begitu. Namanya siapa? Trus tinggalnya dimana?” tanyaku agak cemburu.
Lalu Fitri membisikkan nama di telingaku, tapi aku belum mendengar apa yang dibilangnya. “Apa sih?” tanyaku sambil bercanda.
Fitri mengeluarkan lidahnya seraya meledekku, “Wee… mau tau aja papa,” jawabnya.
Karena gemas melihat lidah Fitri, bibirku spontan mengulumnya. Fitri membalas dengan bringas, bahkan ia menindih tubuhku, melumat habis bibirku seperti kesetanan, ”Mmmff… ah… ha… ah…” aku berusaha mengatur nafas karena sempat aku tidak bernafas.
“Fitri kangen, Pa… Fitri kangen sama papa, kangen sekali.” kata Fitri.
“Papa juga, nak. Papa gak tenang jauh darimu.” jawabku.
Lalu Fitri menciumku kembali, aku merasakan pantatnya menekan-nekan penisku.
“Pintunya tutup dulu, nak.” kataku.
Fitri berjalan dan menutup pintu, lalu membuka semua bajunya, sepertinya ia sudah haus akan sentuhanku. Aku tidak melihat tanda-tanda kalau Fitri sedang datang bulan seperti yang dikatakan oleh kak Halimah, celana dalam nya bersih tanpa pembalut, juga tidak ada darah.
“Katanya lagi dapet?” tanyaku.
Fitri tidak menjawab, ia kembali menindih tubuhku, lalu dengan cepat melorotkan celana dan celana dalamku. Penisku yang setengah hidup dipegangnya, lalu… awhhh… penisku dikulumnya. Aku merasakan kenikmatan yang luar biasa, aku tidak menyangka Fitri sangat lihai memainkan penisku di mulutnya. Dia mengocok penisku dengan mulutnya.
Aku seperti cacing kepanasan karena saking geli dan nikmatnya, ”Oohh… mmffhh… enak, Fit,” rintihku.
Fitri terus menghisap penisku sambil mengocoknya dengan jarinya, makin menambah kenikmatanku yang luar biasa, aku merasa seperti mau keluar… “Aghh… Fit… papa mau sampai… papa mau keluar, Fit!” desahku.
Fitri makin memperkuat sedotannya di ujung penisku, juga kocokan jarinya, membuatku tidak kuat lagi menahan spermaku. “Fit, aghh… bibirmu enak… oughh…. Fitrii… mmfhh… awwhh!!” aku merasakan nikmat yang luar biasa.
Fitri terus menyedot penisku dan menelan spermaku, rasa geli dan enak kurasakan dari mulutnya. “Udah, nak… ahh… papa gak kuat lagi!!” pintaku karena memang rasanya sangat geli.
Fitri tersenyum genit kepadaku. “Enak, Pa?” tanyanya genit.
Aku menarik tubuh Fitri dan kutindih tubuhnya, bibirnya kukulum mesra. Aku merasakan sensasi yang luar biasa saat Fitri mengeluarkan lidahnya, air ludahnya segera kuhisap habis, terasa nikmat sekali saat kutelan. Ciumanku turun ke leher, juga ke payudaranya. Kuhisap kuat-kuat puting Fitri yang mungil kemerahan.
“Mmffhhh… Paaaa…” desah Fitri memegang kepalaku.
Payudaranya kupilin-pilin dan kuhisap secara bergantian, cumbuanku juga terus turun ke arah kemaluannya. Kuhisap semua bibir dan cairan kewanitaannya dengan rakus.
“Paa… oghhh… memek Fitri diapain?” desah Fitri, ia menjerit sangat kuat.
Aku tidak peduli kalau ada orang yang masuk atau mengetahui ulah kami, aku semakin bergairah saat Fitri mengeluarkan kata-kata vulgar, “Paaa… entotin memek Fitri, Paaa… entotin…” desah anakku sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Terus kuhisap-hisap itilnya sampai keluar, “Paaaaaaaaa!!! Mmffhh… ohhh…. Paaaa!!” teriak Fitri sambil mengangkat pantatnya tinggi-tinggi, aku tau kalau dia sudah orgasme.
“Pa, enak, Pa… ayo, Pa… entotin Fitri pake kontol Papa!” pinta Fitri menggodaku.
Aku pun segera mengarahkan penisku ke lobang kemaluannya, kutekan perlahan… sleepp!! “Mmffhhh…” aku melenguh keenakan.
“Ayo, Pa… goyang, Pa…” pinta Fitri.
Aku merasakan kedutan di penisku, kupercepat goyanganku.
”Mmffhh… uhhhh…. kontol papa dalem banget sih,” desah Fitri sambil memejamkan mata dan mendongkakkan kepalanya.
10 menit kemudian aku merasa kalau spermaku akan keluar. Cepat kucabut penisku, lalu kubalikkan badanku hingga Fitri berada di atasku, “Mffhh… Fit, angkat-angkat pantatmua,” kataku sambil mengangkat pantatnya dengan tanganku, lalu menurunkannya kembali. Begitu berulang-ulang.
“Ya, gitu sayang.” kataku penuh kenikmatan. Aku berbaring agak bersandar, jadi aku melihat proses keluar masuknya penisku di liang kemaluan fitri. Genjotan Fitri terasa semakin kencang mengobok-obok penisku. Aku tak tahan lagi.
”Mmffhh… aghh… Fit,” croott, croott, croott, aku mengeluarkan spermaku di dalam kemaluan Fitri, aku mendesah sepuasnya. Fitri terus meggenjot penisku yang mulai kecil, kegeliaan yang teramat sangat kurasakan. Aku merasakan penisku keluar dari kemaluan Fitri karena goyangannya yang terlalu kencang.
“Oughhh… Fit, papa… gak kuat!” kataku menjerit kuat saat Fitri mengulum penisku dengan rakus. Rupanya usaha Fitri itu tidak sia-sia, penisku mulai hidup kembali, perlahan-lahan balik ke ukuran semula.
Fitri segera mengarahkan ke lobang kemaluannya, ia menggoyang-goyangkan pantatnya dan memelukku dengan kuat. Tekanan pada pantatnya kurasakan sangat kuat, hingga tulang-tulang di sekitar selangkangannya jadi begitu terasa.
“Uuhh… Paaa!” jerit Fitri sambil menggigit bibirnya. Keringat di wajahnya menetes pas di ujung mataku, dan disaat itu juga Fitri mengejan panjang.
“Mmffhhhhhhhhhh… Paa, aku keluaaarr!!!” Fitri menghempaskan tubuhnya di pelukanku, kucium rambutnya.
Setelah beristirahat sejenak, perlahan kuturunkan tubuh lemasnya di sampingku, lalu aku keluar membawa pakaianku. Aku takut nanti mertuaku datang dan memergoki kami, aku pun mandi dengan kepuasan yang teramat sangat.Malam harinya kulihat kak Halimah masih murung, sangat jelas terlihat di wajahnya yang cantik kalau dia sedang dilanda kesepian. Kulihat jam sudah hampir pukul 11 malam. Fitri, Andre, juga mertuaku sudah tidur duluan, tinggal kak Halimah dan aku yang masih melek. Aku belum merasa ngantuk karEna seharian tadi tidur setelah memadu cinta dengan Fitri.
“Ada masalah dengan kerjaan ya, kak?” tanyaku pada kak Halimah yang berpangku tangan di meja kerjanya.
“Gak, Dit, aku mikirin papanya Andre.” jawabnya.
Aku kasihan padanya, tanpa sadar aku mendekati kak Halimah dan tanganku sudah memijit-mijit punggungnya pelan. Malam itu kak Halimah memakai baju tidur mirip daster, sangat tipis, sehingga aku bisa merasakan tali BH nya.
“Kita ke kamarku yuk, Dit.” ajak kak Halimah. Tanpa menunggu jawabanku, ia sudah masuk ke kamarnya. Aku mengikutinya dari belakang tanpa mengunci pintu.
“Ini, Dit.” kak Halimah menyerahkan minyak angin padaku, lalu telungkup di kasur. Aku tahu maksud kak Halimah, aku pun segera memijit bagian lehernya dari belakang.
“Jadi benar kamu belum bersetubuh dengan Nurlela?” tanya kak Halimah di atas bantalnya. Aku agak terkejut mendengar pertanyaannya.
“Iya, kak.” jawabku singkat.
“Aku salut padamu, Dit, kamu bisa menahan nafsumu.” kata kak Halimah. “Jadi kamu masih perjaka dong?” lanjutnya.
Aku bingung mau menjawab apa, “Kira-kira begitu lah, kak.” jawabku berbohong.
Lalu kak Halimah membalikkan badannya menjadi telentang. “Masa sih?” tanyanya serius.
Aku pura-pura mengangkat alisku, kak Halimah memejamkan matanya lalu memonyongkan bibirnya. Aku menjadi salah tingkah, firasatku mengatakan kalau kak Halimah sedang mengetesku.
“Kakak ngapain?” tanyaku pura-pura lugu.
Lalu kak halimah tertawa kecil, “Makasih ya, Dit, atas pijitannya. Aku mau tidur dulu,” katanya sambil menguap.
Entah benar atau tidak, aku mengiyakan saja, lalu aku keluar dari kamar kak Halimah dan menutupnya. Aku tidur di sofa karena semua kamar sudah penuh. Aku menolak saat ditawari tidur bersama Andre, bagiku tidur diluar lebih nyaman karena bisa sambil nonton tv.
***
“jika yang tertulis untukku
adalah yang terbaik untukmu
kan kujadikan kau kenangan yang terindah dalam hidupku.“namun takkan mudah bagiku meninggalkan jejak dirimu yang ku jadikan sebagai kenangan yang terindaahhh”
Sebuah lagu dari band Samson menghiburku lewat vcd di rumah kak Halimah, aku bersantai ria sambil melihat koran tentang lowongan kerja.
”Kring… kringg… kringgg…” suara telepon rumah berbunyi.
“Halo, selamat siang!” sapaku di telepon.
“Halo, om, ini Andre. Om, tolongin Andre, om. Mobilnya gak mau stater.” jawab Andre.
“Kamu di mana, Ndre?” tanyaku padanya.
Andre memberitahukan alamatnya, dan akupun segera ke tempat yang dimaksud. Aku memarkirkan motor yang kubawa setelah melihat mobil Andre, “Mobilnya kenapa, Ndre?” tanyaku pada Andre yang sibuk membuka kap mesin.
“Eh, om udah sampai. Ini, om, gak mau stater, padahal tadi sudah jalan. Tapi mendadak mati karena aku tidak memijak klose pada saat berhenti.” jawab Andre.
“Coba om periksa,” kataku sambil mengambil alih posisi Andre. “Ndre, kayaknya bakalan lama, kamu pulangnya pakai motor aja sekalian jemput Fitri.” kataku sambil melihat mana yang rusak.
“Gak apa-apa om aku tinggal?” tanya Andre ragu.
“Iya, gak apa-apa kok.” jawabku.
“Kalau gitu Andre pamit ya, om. Trimakasih, om…” kata Andre sambil menghidupkan motor dan pergi.
Selama 30 menit kemudian, aku akhirnya bisa menghidupkan mobil itu. Lega rasanya, tapi kerongkonganku terasa haus. Kujalankan mobil ke arah kota, aku bermaksud membeli minuman segar. Aku berhenti saat melihat ada kulkas besar bermerek coca-cola yang diletakkan di luar toko. Rupanya toko sembako. Aku mengambil pocari sweat dingin lalu meminumnya. Setelah membayar, saat aku mau kembali ke mobil, aku mendengar suara memanggil-manggil namaku, “Adit, Adit,” dari seberang jalan.
Kuperhatikan arah dari suara itu. “Yanti?” batinku.
Yanti pun datang mendekatiku.
“Lho, kok kamu ada disini?” tanyaku padanya.
“Wah, kamu sekarang udah punya mobil ya? Aku kesini mau cuci mata, Dit, bosan di Batam aja.” jawab Yanti.
Saat itu Yanti memakai kaca mata hitam besar dan kerudung, penampilannya sangat anggun, ditambah sepatunya yang highhels, makin lengkaplah penampilannya.
“Ah, kamu bisa aja, Yan. Mobil ini punya keponakanku, tadi rusak jadi kuperbaiki,” jawabku.
“Katanya kamu udah pindah ya, Dit?” tanya Yanti sambil mencari posisi yang tidak terkena panas matahari.
“Kita ke warung sana aja yuk!” ajakku sambil menunjuk warung seperti cafe minuman.
“Tapi kamu antar aku pulang ya, Dit, soalnya aku tadi dianterin.” pinta Yanti.
“Mmm… boleh,” jawabku.
Kami pun mengobrol panjang lebar sampai maghrib, “Udah maghrib, pulang yuk!” ajakku pada Yanti.
“Tapi anterin aku kan?” jawab Yanti.
“Pasti dong, yuk!” kataku.
setelah di dalam mobil, Yanti memintaku untuk mengantarnya ke hotel, “Lho, kok ke hotel, Yan?” tanyaku ragu.
“Aku nginap di hotel, Dit, rumah mas Budi kamarnya penuh.” jawab Yanti.
Setelah sampai di hotel yang dimaksud, aku mengantar Yanti sampai ke lobi hotel.
“Dit, ikut aja dulu ke kamar, aku ada oleh-oleh buat Fitri.” kata Yanti.
“Gak enak nih, Yan, kalau dilihat orang.” jawabku.
“Emang kita mau ngapain?” tanyanya.
Betul juga, pikirku.
Sampai di dalam kamar, Yanti mencabut kuncinya, lalu memasukkannya ke sebuah colokan di samping pintu.
“Kok dicabut, Yan?” tanyaku.
“Kamu tuh ya, lugu apa gimana sih?” jawab Yanti sambil mengeluarkan sebuah bingkisan. “Itu biar AC nya berfungsi,” lanjutnya.
Aku memang tidak tahu karena memang belum pernah menginap di hotel.
“Ini buat Fitri,” kata Yanti sambil menyerahkan sebuah bingkisan.
“Makasih, Yan.” jawabku.
“Aku juga ada hadiah buat kamu, Dit.” kata Yanti sambil masuk ke kamar mandi. “Tunggu ya,” lanjutnya.
Tak berapa lama Yanti keluar dengan tidak memakai baju sehelai pun. Aku terkejut melihatnya, juga gugup. Tubuh Yanti kelihatan sangat montok, pantatnya juga bahenol, sementara payudaranya masih sangat kencang.
“Ini buat kamu, Dit!” kata Yanti nakal.
Jujur aku sangat menyukai tubuhnya, semua pikiranku lenyap begitu saja. Hanya ada tubuh Yanti di depanku, sangat menggoda. Tentunya menggoda imanku juga. Aku tidak lagi mengingat Fitri. Penisku perlahan hidup melihat kemolekan tubuhnya. Aku menelan ludah saat Yanti mendekatiku, menggodaku dengan mengarahkan payudaranya ke dekat bibirku. Kuraba pantatnya sambil mulutku mulai mengisap rakus puting susunya.
“Mmffhh… keras dikit, sayang… hisap kuat-kuat… nenenku gatal…” kata Yanti menggodaku.
Tanganku berpindah meremas payudaranya sambil terus kuhisap dan kujilati putingnya secara bergantian. Lalu Yanti mendorong tubuhku hingga telentang, ia berjalan diantara tubuhku, menjilati wajahku, juga bibirku. Aku diludahi, dan kutelan semua air ludahnya. Yanti terus naik ke atasku, aku mengikuti gaya permainannya, sampai akhirnya dia jongkok tepat di depan mulutku. Kupandangi memek Yanti yang mulus tanpa bulu, kulihat bibir memeknya yang sudah keriput, itil nya yang berwarna merah pucat sangat menggodaku. Segera kujulurkan lidahku.
“Mmmmfffhhhh…” Yanti mendesah dan menggoyang-goyangkan pantatnya sehingga memeknya menggesek-gesek mulutku.
Kuhisap terus memek Yanti sampai mulutku menyentuh semua area kemaluannya. Kumainkan lidahku di lobang memeknya.
“Oughh… kamu pandai sekali, say!” desah Yanti keenakan. “hisap terus… ouhhh… yah begitu… aaahh… hisap yang kuat, Dit!!” rintihnya. Aku menahan nafas saat Yanti menduduki mulutku dengan pantatnya.
“Mmffhhh… Dit, enak… jilat terus memekku!!” desah Yanti sambil menjambak rambutku dan menekan kepalaku ke arah lubang memeknya. Ia mencapai klimaks dengan cara menyiksaku.
Sadis juga Yanti ini, pikirku. Aku tidak selera menjilati air maninya, karena aku merasakan sakit di rambutku, dan aku juga hampir kolaps dibuatnya karena pernafasanku di sumbat oleh memeknya.
Yanti menciumiku, juga memelukku, “Enak banget, Dit!” katanya dengan terengah-engah mengatur nafas.
Jujur aku tidak menyukai cara Yanti bercinta, entah kenapa aku tidak bernafsu lagi kepadanya.
“Kenapa, Dit? Kamu gak mau ngentotin memekku?” tanyanya. ”Ayolah, sayang, entotin aku dengan kontolmu.” kata Yanti padaku yang terdiam.
“Ayo, sayang, buka celanamu. Aku ingin melihat kontolmu.” kata Yanti sambil membuka celanaku.
“Ayo, sayang, bangunin kontolmu.” Lanjutnya dengan mengocok kontolku, lalu menghisapnya rakus tanpa menunggu jawabanku.
Hisapan Yanti sangat kuat, giginya sampai mengenai kepala penisku. “Aaw, pelan-pelan, Yan…” kataku kesakitan.
Yanti mengulum ujung penisku sangat kuat, sampai penisku menjadi tegang. Aku tidak menikmati caranya, penisku terasa sakit. Kudorong tubuh Yanti ke samping, tanpa babibu kumasukkan penisku ke dalam memeknya. Sleeppp… aku tidak merasakan penisku dijepit memek Yanti, lobangnya sangat longgar. Mungkin Yanti sering ML dengan gigolo, batinku. Kusuruh Yanti menungging, mungkin dengan gaya ini jepitan memeknya jadi sedikit terasa, pikirku. Tapi sama saja, aku tidak merasa puas.
Lalu kuturunkan pantatnya sedikit dan kuarahkan batangku ke lubang anusnya, sllleeppp… dengan mudah penisku masuk di anus Yanti. Memek sama anus sama saja, pikirku. Kupejamkan mata, kubayangkan yang kuanal adalah Fitri, anakku. Rasanya mulai berubah sedikit enak. Kupercepat goyanganku, tiba-tiba bayangan kak Halimah hadir di pikiranku. Oh, makin nikmat rasanya.
“Ooh… enaknya,” desahku. Aku memikirkan kak Halimah dan Fitri sama-sama menungging, “mmffhh… ahhhh!!” saat itulah, aku mengeluarkan spermaku di pantat Yanti.
Aku membuka mataku, kulihat Yanti asyik menjilati sisa-sisa sperma yang ada di penisku. Aku menyadari bahwa Yanti adalah seorang wanita maniak sex. Aku berjanji cukup sekali ini saja menyetubuhinya, batinku. Bodi aja yang lumayan, tapi lobangnya sudah oversize, kataku dalam hati. Kupakai bajuku tanpa mencuci penisku, aku lalu pamit pada Yanti dan meninggalkan bingkisan yang diberikannya untuk Fitri. Percuma, batinku.
“Dit, tunggu!” kata Yanti mencoba menahanku, tapi aku keburu pergi.
Sampai di rumah, aku mandi. Kubilas tubuhku bersih-bersih, entah kenapa aku ngeri bila mengingat Yanti.
“Pa, dari mana?” tanya Fitri sambil memakan coklat silver queen.
“Eh, anu… papa cari-cari bengkel, mau kerja.” jawabku berbohong.
“Kok sampai malam, Dit?” tanya kak Halimah yang membawa ceret berisi teh manis.
“Iya, Pa, mana ada bengkel yang buka malam-malam.” sambung Fitri mencurigaiku.
“Siapa tau ada, kan gak salah mencoba.” jawabku.
“Pa, aku sama Andre mau pergi undangan, temanku ulang tahun.” kata Fitri.
“Mobilnya udah bagus kok, tapi pulang nya jangan malam-malam ya!” jawabku.
Lalu Fitri mencium pipiku, “Papa ntar malam tidur di kamarku ya!” bisiknya pelan.
“Kok bisik-bisik sih?” tanya kak Halimah.
“Gak tau nih, apa yang dibilang pun gak kedengaran.” kataku berbohong.
“Kamu itu ya, Fit, ada-ada aja.” kata kak Halimah tersenyum, “Andre mana, Fit?” tanyanya pada Fitri.
“Ada di kamar nenek,” jawab Fitri.
Tak berapa lama Andre keluar dari kamar mertuaku. “Yuk, Fit,” ajaknya pada Fitri, dan mereka pun pergi malam itu.
Aku dan kak Halimah makan malam bersama, mertuaku tadi sore sudah makan, beliau tidak bisa lama-lama makan.
“Dit, kamu bisa makai komputer?” tanya kak Halimah padaku sambil memakan daun lalap.
“Bisa sih, kak, tapi dikit-dikit.” jawabku.
“Bantuin aku ya nanti, aku mau pindahin laporan.” pinta kak Halimah.
Selesai makan kami istirahat sejenak sambil memakan buah sebagai hidangan penutup. Lalu kak Halimah pergi ke kamar dan balik membawa tas hitam, mirip dengan tas laptop. Rupanya di dalamnya berisi amplop besar, ia membawanya ke meja kerjanya. Tanpa dikomando aku mengikuti kak Halimah.
“Ambil kursinya, Dit.” perintah kak Halimah. Aku menggeser kursi ke arah dekatnya.
“Yang ini, Dit… ini… lalu ini… rekap semua, setelah itu bilang ya kalau sudah siap!?” kata kak Halimah menerangkan pekerjaanku. Aku mengerjakan apa yang disuruhnya, tapi sampai Andre dan Fitri pulang, aku belum selesai. kulihat jam sudah hampir pukul 12.
“Gimana, Dit, udah belum?” tanya kak Halimah.
“Dikit lagi, kak.” jawabku sambil melihat kak Halimah yang tekun menulis sedari tadi. “Hoaam…” aku menguap.
“Kamu ngantuk ya, Dit? Sudah tidur sana, biar aku yang melanjutkan.” kata kak Halimah.
“Udah siap kok, kak, coba periksa.” jawabku.
Kak Halimah mendekatiku sambil melihat hasil pekerjaanku. Ia terlalu dekat sehingga bahuku bergesekan dengan payudaranya, “Oh, makasih ya, Dit.” kata kak Halimah lalu mencium pipiku.
Aku diperlakukan kak Halimah seperti anak kecil saja, batinku. Spontan tanganku memegang dagunya, dan bibirnya kucium, “Sama-sama, kak.” kataku.
Sebenarnya aku agak takut dengan kelakuanku, makanya aku segera menjauh dari kak Halimah. Aku duduk di sofa, kulihat kak Halimah buru-buru masuk ke kamar dan menutup pintunya. Apa dia marah? batinku. Tapi biarlah, pengalamanku bercinta membuat aku semakin nekat. Akupun melanjutkan menonton tv yang saat itu ada film bioskop trans tv sampai aku ketiduran.Pagi harinya saat sarapan, Fitri menatapku. Terlihat di wajahnya rona kecewa. Baru aku ingat kalau Fitri memintaku tidur di kamarnya tadi malam, aku lupa. Tapi aku juga tidak mau nekat, takut ketauan.
***
Suatu hari Fitri dan teman-teman satu kelasnya mengadakan liburan kenaikan kelas ke pulau Rupat selama 5 hari, sekitar 180 km dari Pekanbaru kalau tidak salah. Sementara Andre memilih liburan bersama papanya. Awalnya kak Halimah menolak permintaan Andre, namun atas bujukan Andre, kak Halimah akhirnya luluh. Tinggallah aku, mertuaku, kak Halimah dan seorang pembantu di rumah.
“Kok gak ikut liburan, kak?” tanyaku pada kak Halimah yang sedang menonton tv. Sejak kejadian aku mencium bibirnya beberapa waktu lalu, komunikasi kami sedikit berkurang, namun aku sering melihat kalau kak Halimah sering mencuri pandang kepadaku.
“Lagi sibuk aja di kantor,” jawab kak Halimah tanpa melihatku.
“Belakangan ini kakak kok cuek ya sama aku?” tanyaku pura-pura sedih.
Kak Halimah menatap mataku, pandangannya sangat sayu. Bibirnya yang merah agak tebal seakan mau mengucapkan sesuatu.
“Aku minta maaf, kak, soal yang kemaren.” sambungku.
Namun kak Halimah masih diam, membuatku jadi salah tingkah. Jujur di hatiku timbul prasangka kalau saat itu aku menjadi beban di keluarga kak Halimah.
“kak, lusa aku mau pergi ke Jakarta, ada yang ngajakin aku kerja.” kataku berbohong.
Kak Halimah menatapku, entah kenapa ia menitikkan air mata dan berlari kecil ke arah kamarnya, tapi tidak menutup pintunya. Aku heran, ada apa? Pikirku. Kucoba mendatangi kamar kak Halimah, kulihat ia telungkup dan menyembunyikan wajahnya di balik bantal. Daster yang dipakai kak Halimah tersingkap sedikit ke atas sehingga betisnya yang sangat putih kelihatan jelas. Oh putihnya, batinku. Juga bongkahan pantat kak Halimah yang sepertinya menjulang ke atas, membuatku langsung menelan ludah.
Selama ini aku kurang memperhatikannya karena kebiasaan kak Halimah yang memakai busana sopan saat di rumah. Tak dinyana, aku benar-benar menyukai bentuk tubuh kak Halimah. Kutatap tubuh indah miliknya dari pintu, sepertinya kak Halimah menangis, tapi entah apa yang ditangisi. Aku lalu kembali duduk di sofa, melihat acara tv, sampai mataku mulai ngantuk. Akupun tertidur.
Aku terbangun karena haus, kulihat jam sudah pukul 04:30 wib. Selesai minum, tiba-tiba aku merasa bergairah. Aku meraba penisku yang tegang dan hangat, Aku kembali ke sofa untuk melanjutkan tidurku, tapi pintu kamar kak Halimah kulihat masih terbuka. Iseng aku berjalan ke arah sana.
Deg…!!
Oh, penisku langsung bergerak makin keras. Kulihat daster kak Halimah tersingkap, celana dalamnya yang berwarna krem terpampang jelas, menunjukkan permukaan kewanitaannya yang sangat tebal. Aku jadi sangat bernafsu. Kudekati kak Halimah dengan berjalan sangat pelan sampai jarak setengah meter, dadaku berdegup kencang, ada rasa takut dan malu, tapi aku juga diselimuti nafsu yang membara.
Kupelorotkan celanaku sebatas lutut dan penisku yang tegak lurus kukocok perlahan sambil memandangi celana dalam kak Halimah. Tak berapa lama aku merasakan mau keluar, akupun berlutut agar pandanganku makin jelas, sementara kocokanku berubah semakin kencang. Kudekatkan wajahku ke celana dalam kak Halimah, kucium aroma kewanitaannya. Uh, harumnya. Aku jadi tidak bisa menahan lagi, kukocok penisku dengan kecepatan tinggi, dan…
“Adittt…!!!” teriak seseorang dari arah pintu.
Spontan aku langsung berdiri, tapi crooott… crooott… crooott… aku mengeluarkan spermaku begitu saja hingga mengenai celana dalam kak Halimah, juga paha dan perutnya.
Aku pun berbalik. Astaga, aku memekik dalam hati. Tidak, dia bukan Fitri, tapi mertuaku. Ia memakai mukena, mungkin mau sholat. Aku begitu tercengang hingga lupa menutup penisku. Ini benar-benar kiamat bagiku. Kak Halimah juga terbangun karEna mendengar suara ibunya. Aku hilang akal, kulihat kak Halimah membetulkan pakaiannya. Aku juga dengan gugup segera menaikkan celanaku dan berjalan dengan malu keluar dari kamar. Mertuaku memberikan aku jalan tanpa mengatakan sesuatu. Aku berjalan ke arah kamar Fitri, masuk kesana dan mengunci pintunya.
Aku mengurung diri di kamar Fitri seharian. Perutku terasa amat lapar, tapi aku belum berani keluar dari kamar. Aku takut dan malu, tapi yang pasti aku sudah siap menerima apapun konsekuensinya. Hanya saja mentalku belum siap bertatap muka dengan kak Halimah, juga mertuaku.
Suara azan Maghrib mulai terdengar, berarti sudah satu hari ini aku berada di dalam kamar. Semua bajuku telah kumasukkan dalam tas, karena kebetulan di kamar Fitri lah tempat penyimpanan bajuku. Kutunggu sampai jam 9 malam, karena biasanya mertuaku sudah berada di kamarnya pada jam segitu. Dengan menahan lapar dan berpakaian seadanya, aku keluar membawa tas. Kuperhatikan seisi rumah sudah sepi, tapi kak Halimah kulihat ada di meja kerjanya. Dengan rasa malu aku beranikan diri melangkah keluar dari kamar.
“Mmm… kak, aku permisi dulu.” kataku gugup.
“Dit, kamu makan dulu.” jawab kak Halimah dengan memandang ke arah lain.
“Ng-nggak usah, kak. Aku titip Fitri,” kataku tertunduk.
Kak Halimah berdiri dengan ragu dan mendekatiku, “Kamu mau kemana, Dit?” tanyanya dengan wajah lesu dan menitikkan air mata.
“Biarkan saja dia pergi, Halimah!” hardik mertuaku dari pintu kamarnya. “Dia tidak pantas berada di rumah ini,” lanjutnya.
Kak Halimah menutup mulutnya dengan telapak tangan untuk menahan tangisnya. Aku tidak berani memandang mertuaku, pelan aku melangkah keluar dari rumah.
“Jangan pergi, Dit…” teriak kak Halimah saat aku berada beberapa meter dari rumahnya.
“Diam kamu, Halimah!!!” bentak mertuaku.
“Aku mencintainya, bu.” kata kak Halimah sambil menangis.
Aku sungguh terkejut mendengar pengakuannya, aku merasa sangat bersalah, wanita yang selama ini kuhormati ternyata mencintaiku.
“Kamu jangan bikin malu, Halimah! Kamu masih punya suami!” hardik mertuaku lagi.
“Tidak, bu, aku akan menceraikannya. Aku tidak tahan lagi dimadu,” jawab kak Halimah tak mau kalah.
“Adit, lekas kamu pergi!!” teriak mertuaku sambil menahan dadanya.
Aku pun pergi, khawatir mertuaku sakit jantung. Tak berapa lama, kak Halimah berlari mengejarku dan memelukku. Aku merasakan tangannya menyelipkan sesuatu di kantong jaketku, ia memberikan salam perpisahan. Aku melihat ada beberapa ibu yang berbisik-bisik sambil menatapku sinis. Dasar, batinku.
Langkahku membawa aku ke terminal, aku duduk di bangku sebuah loket. Aku meraba kantongku, mau melihat apa tadi yang diberikan oleh kak Halimah. Ternyata sebuah hp bermerek Blackbarry. Aku jadi teringat awal terjadinya pertemuanku dengan keluarga kak Halimah, berawal karena membeli hape baru. Tapi aku tak tahu kemana hape yang kubeli dulu, mungkin diambil orang saat aku terpelanting ditabrak Andre.
Aku menaiki bus ALS jurusan Palembang, aku tidak mempunyai rencana sedikit pun kemana aku akan pergi. Rasa malu memaksaku keluar dari kota Pekanbaru dengan berat hati. Aku malu pada diriku sendiri, pada Fitri. Entah apa alasan yang harus kuberikan jika Fitri mengetahuinya.
Aku duduk di kursi paling depan di belakang pak supir, kupandangi jalan dan juga kendaraan yang lalu-lalang, membuat pikiranku semakin gundah. Tak terasa 1 jam sudah aku dalam perjalanan, tiba-tiba hp pemberian kak Halimah berdering. Kuperhatikan di layar hp ada panggilan nomor tanpa nama.
Dengan ragu kujawab panggilan itu.
“Halo,” kataku singkat.
“Dit, ini aku. Halimah. Kamu sekarang dimana?” tanya kak Halimah dari seberang telepon dengan nada suara seperti hidung tersumbat.
“Aku sekarang lagi dalam perjalanan, kak, dalam bus.” jawabku jujur.
“Jangan, Dit, jangan! Kamu jangan pergi dulu,” perintah kak Halimah.
“Ta-tapi, aku sudah jauh, kak.” jawabku menjelaskan.
“Dit, hentikan busnya! Atau aku akan bunuh diri!!” kata kak Halimah mengancamku. Aku heran dan juga khawatir mendengarnya. Maka segera kuambil keputusan.
“Pak! Pak! Stop, Pak!!” kataku pada supir yang ada di depanku sambil memegang hp di telinga. Bus pun berhenti.
“Aku disini aja, pak.” kataku pada supir dan menenteng tasku turun dari bus, aku tidak meminta sisa ongkos yang kuberikan full di loket.
“Majuu…” teriak sang kenek bus, pergi meninggalkanku di pinggir jalan. Tanpa ada rumah, di sekitarku kulihat hanya pohon sawit dimana-mana.
“Aku sudah turun, kak.” kataku di telepon.
“Makasih, Dit.” jawab kak Halimah.
“Jadi aku harus gimana lagi, kak?” tanyaku pasrah.
“Balik lagi, Dit, nanti tunggu di terminal.” jawab kak Halimah.
“Baik, kak.” jawabku dan kumatikan teleponnya.
Aku menumpang mobil tangki cpo yang tak berapa lama lewat menuju Pekanbaru. Aku diantar kembali ke kota, namun tidak sampai terminal. Aku harus naik bis kota agar bisa sampai ke terminal.
“Kak, aku udah sampai terminal,” kataku saat kuhubungi kak Halimah melalui handphone.
“Lima menit lagi aku sampai, Dit, masih macet di lampu merah.” jawab kak Halimah.
Aku menunggunya sambil ngopi di warung depan terminal, agar aku bisa melihat mobil kak Halimah. Tak berapa lama kak Halimah tiba dan aku memanggilnya dengan melambaikan tangan. Aku melihat rona bahagia di wajah kak Halimah, dan juga gerakan tangannya seakan mau memelukku saat kami berhadapan. Tapi aku tahu kak Halimah canggung atau sungkan karena di keramaian.
“Masuk, Dit.” kata kak Halimah.
“Kita mau kemana, kak?” tanyaku.
“Aku juga bingung, Dit.” jawab kak Halimah sambil menjalankan mobilnya.
Hampir 10 menit aku dan kak Halimah terdiam, kami larut dalam pikiran masing-masing, hingga sampailah kami di sebuah hotel.
“Dit, untuk sementara kamu tinggal di hotel dulu ya,” kata kak Halimah seperti memikirkan sesuatu.
Saat itu aku bingung, dan juga tidak tau apa maunya dia. Tapi aku menuruti kemauan kak Halimah untuk sementara.
“Dit, kamu tunggu di mobil ya?” kata kak Halimah meninggalkanku. Setelah lebih 10 menit, baru dia kembali. “Ini kuncinya, Dit, no. 56 lantai 3.” kata kak Halimah lalu menyerahkan sebuah kunci kamar kepadaku.
Aku menerimanya dan membuka pintu mobil.
“Jangan pergi dulu, Dit!” kata kak Halimah cepat.
“Lho, maksudnya gimana sih, kak?” tanyaku bingung.
Kak Halimah menarik nafas, “Aku mau ngomong sama kamu, Dit.” kata kak Halimah lirih.
“Ngomong aja, kak.” jawabku.
“Suasananya kurang pas, Dit.” lanjut kak Halimah, lalu menghidupkan kembali mobilnya. Dia membawaku entah kemana. Kami berhenti di suatu tempat.
“Dit, mmm… nanti kamu ke hotel tadi ya, naik taksi aja dari sini!” kata kak Halimah.
Aku makin bingung dibuatnya, tapi aku menuruti saja perkataannya. Daripada aku makin bingung, pikirku. Aku memanggil taxi dan meninggalkan kak Halimah sambil melambaikan tanganku.
Keesokan paginya kak Halimah datang menemuiku di kamar hotel. Dia mungkin bolos kerja karena kak Halimah datang dengan memakai baju dinasnya.
“Nih, ada nasi goreng, Dit.” kata kak Halimah dan meletakkan plastik berisi kotak.
“Makasih, kak.” jawabku sambil membuka kotak berisi nasi goreng. “Kok cuma satu?” tanyaku.
“Tadi aku sudah sarapan di rumah,” jawab kak Halimah.
“Oh, gimana kabar ibu?” tanyaku sambil menatap mata kak Halimah.
Kak Halimah memalingkan wajahnya. “Kenapa kamu ceroboh gitu, Dit?” tanyanya sambil berjalan ke arah jendela.
“Memangnya kalau aku minta baik-baik, apa kakak akan memberikannya?” jawabku menyelidik.
“Minta apa?” jawab kak Halimah menatap mataku.
Aku tidak menjawab, malu untuk berterus terang.
“Sedari dulu aku ingin menceraikan suamiku, Dit, tapi aku takut. Gajiku tidak cukup untuk menafkahi Andre dan ibu.” kata kak Halimah lalu duduk di tepi ranjang, membelakangiku. ”Suamiku menikah lagi atas izinku, dimana dia harus menafkahi kami dan juga memberikan fasilitas mewah.” Lanjutnya. “atau… kami bercerai dan Andre ikut suamiku.” kata kak Halimah menitikkan air mata.
“Alasannya apa, kak, kok cerai?” tanyaku.
Lalu kak Halimah menceritakan semua peristiwa yang terjadi pada biduk rumah tangganya, dimana suaminya yang mata keranjang terlanjur menghamili seorang siswi SMA. Sungguh memilukan, ternyata status perkawinan kak Halimah dengan suaminya juga dikarenakan hal yang sama, dulu kak Halimah hanya kawin siri dengan suaminya. Ada rasa iba mendengar keluh-kesahnya.
“Dit, sejak awal melihatmu, aku sudah ada rasa simpati dan suka.” kata kak Halimah tiba-tiba. “Entah mengapa benih cinta itu lahir untukmu,” sambungnya.
“Sejak kamu mencium bibirku, aku merasakan ciuman yang sesungguhnya, dan aku tidak marah, Dit, waktu kamu di kamarku sedang ’itu’. Meskipun ada sedikit rasa malu juga harga diriku yang seakan kamu permainkan,” lanjut kak Halimah menatapku.
“Aku minta maaf, kak.” kataku sambil meletakkan kotak nasi goreng yang tidak lagi kumakan.
“Dit, mengapa kamu tidak menikah lagi?” tanya kak Halimah.
“Aku masih mencintai almarhumah, kak.” jawabku agak serius.
“Berarti kamu tidak akan mencintaiku, Dit?” tanya kak Halimah tabah. “Kemaren aku bilang mencintaimu, aku mengatakannya dengan tidak sengaja, Dit… karena aku… aku tidak mau kamu pergi dari rumah.” sambungnya.
Aku menatap cermin yang ada di meja, aku melihat wajahku. Apa yang istimewa pada diriku, batinku. Aku tidak pantas buat kak Halimah. Seandainya dia tahu kelakuanku, perbuatanku pada Fitri selama ini, mungkin kak Halimah tidak akan sudi melihatku.
“Dit, maukah kamu jadi sahabatku?” pinta kak Halimah.
“Kita sudah lebih dari sahabat, kak, bahkan kita ini ada ikatan keluarga.” jawabku sambil menatap matanya yang sayu.
Kak Halimah mendekatiku dengan senyuman dan bersandar di bahuku. “Tapi jangan larang aku mencintaimu, Dit.” katanya.
Aku terdiam, hanyut dalam lamunan. Aku tak bisa berbohong pada diriku sendiri, aku tidak bisa memungkiri kalau bayangan Fitri benar-benar tak tergantikan. Hatiku hanya milik Fitri. Sedangkan kepada kak Halimah, aku menghormatinya, juga menyukainya karena kebaikan hatinya. Aku menghargainya sebagai kakak ipar. Bisa saja aku memberinya sedikit cinta, tapi sayang aku tidak punya.
“Dit, aku pergi dulu. Nanti sore aku kemari lagi.” kata kak Halimah menyadarkanku dari lamunan.
“Iya, kak, makasih sarapannya.” jawabku. Kuantar dia sampai pintu.
“Dit,” kata kak Halimah menatap mataku, lalu ia memelukku penuh kasih sayang.
“Hati-hati, kak.” kataku sambil melambaikan tangan saat kak Halimah akan pergi.Sore harinya, kak Halimah datang lagi dengan membawa buah-buahan, terlihat jelas di wajahnya rona keceriaan.
“Aduh, kok repot gini, kak.” kataku saat kak Halimah meletakkan buah yang dibawanya.
“Gak papa kok, Dit, memang gak boleh ya?” tanya kak Halimah.
“Boleh sih,” jawabku.
“Ehm, matanya kok nakal sih!” kata kak Halimah memergoki mataku sedang melihat sedikit payudaranya yang tersingkap.
“Ih, siapa pula yang nakal?” jawabku malu. Rasa grogi membuatku salah tingkah, entah kenapa aku tiba-tiba mencium bibir kak Halimah, aku mengulumnya. Kak Halimah tidak membalas, tapi juga tidak menolak. Aku semakin lepas kontrol, kedua tanganku langsung memeluk erat pantatnya, dan meremasnya.
“Mmffh… Dittt… jangan! Stop!!” kata kak Halimah agak tegas. “Dit, kamu cium aku karena sayang atau nafsu?” tanyanya dengan menatap tajam mataku penuh harap.
Lama aku tak memberi jawaban, sangat sulit bagiku untuk menjawabnya.
“Dit, jangan kotori rasa sayangku dengan nafsumu. Aku tidak akan keberatan jika kamu benar-benar mencintaiku,” lanjut kak Halimah.
Aku terdiam, aku tidak mau membohongi diriku, aku juga tidak mau membohongi kak Halimah. Aku menutup wajah dengan kedua tanganku dan duduk di kasur.
“Dit, aku pulang dulu ya… kapan-kapan aku kemari lagi,” kata kak Halimah lalu pergi tanpa menunggu jawabanku.
***
”Tok… tok… tok…”
“Bentar!” teriakku dari dalam kamar mandi, kupakai celanaku lalu keluar untuk membukakan pintu.
“Fitri! Kapan pulangnya? Kok tahu papa disini?” tanyaku pada Fitri yang datang ke hotel tempatku tinggal.
“Pulangnya tadi malam, Pa. Fitri tahu papa tinggal disini dari tante Halimah.” jawab Fitri lalu masuk dan duduk di kasur dengan wajah kecewa. “Nenek juga udah cerita, Pa, karena Fitri paksa. Jadi Fitri sudah tahu semuanya,” lanjutnya sambil membuang muka. “Satu lagi, Pa, tante kirim salam buat papa.” sambung Fitri.
Aku mendekati Fitri dan duduk di sampingnya. “Kamu marah sama papa?” tanyaku.
Fitri menyandarkan keningnya di punggung telapak tangannya. “Fitri malu, Pa, bukan marah.” jawab Fitri.
Aku terdiam mendengarnya, ada rasa bersalah, tentunya juga rasa malu.
“Papa cinta sama tante Imah?” tanya Fitri terus menekanku.
Aku memegang tangan Fitri dan menggenggamnya. “Papa gak bisa mencintai orang lain,” jawabku jujur.
Fitri berdiri dan memelukku, “Tapi papa udah membuat tante Imah mencintai papa.” katanya sambil menangis. “Fitri juga tahu kalau papa juga suka sama tante Imah,” lanjut Fitri dalam tangisnya.
“Pa, kalau papa memang jodoh sama tante Imah, Fitri ikhlas, Pa. Tante Imah terlalu baik pada Fitri.” sambung Fitri.
Aku mengangkat wajahnya, dan memandang matanya. Sangat cantik anakku ini, hatinya juga sangat baik, batinku. Kukecup keningnya dan aku memeluknya lagi.
Tak berapa lama, kak Halimah datang.
“Eh, Fitri… kapan kesini?” tanya kak Halimah.
“Tante,” Fitri berlari ke arah kak Halimah dan memeluknya. “Tante, Fitri sayang sama tante,” kata Fitri sambil menangis.
“Tante juga sayang sama Fitri,” balas kak Halimah.
Kok jadi begini? batinku.
Akhirnya kami bertiga larut dalam kesedihan pada hari itu.
***
Suatu sore kak Halimah mengajakku ke suatu tempat, karena sebelumnya kami sudah membuat rencana akan mencarikan pekerjaan buatku melalui relasinya.
“Halimah!” hardik seorang lelaki dari belakang kami.
Plak!!! Lelaki itu menampar kak Halimah dengan keras.
“Hei, kurang ajar!” balasku sambil meninju lelaki itu. Bukk!!
Lelaki itu membalas dengan meninju perutku sampai aku terjatuh, gedebukk!! “Kurang ajar, kau jangan ikut campur urusanku!” katanya dengan marah.
“Mas, jangan, mas!” lerai kak Halimah.
“Ah, kamu juga perempuan biadab! Kamu selingkuh di belakangku!” Plak, plak, lelaki itu kembali menampar kak Halimah sampai berdarah.
Aku terdiam melihat kak Halimah terjatuh, selain aku yang kesusahan bernapas akibat tinju yang mengenai ulu hatiku, juga agak heran, aku bertanya-tanya dalam hati, apakah dia suami kak Halimah? pikirku.
“Aku akan menceraikanmu, perempuan murahan!!” kata lelaki itu penuh emosi sambil menjambak rambut kak Halimah.
Emosiku terbakar, aku melihat kayu seukuran pemukul bola kasti dan memukul punggung lelaki tersebut. Bukkkkk!!! Lelaki itu jatuh dan terdiam.
“Sudah, Dit, sudah… dia papanya Andre.” kata kak Halimah menahan tubuhku.
“Biadab!” makiku pada lelaki itu dan meludahinya, tak berapa lama orang-orang mulai berdatangan melerai pertengkaran kami.
Keesokan harinya aku sangat terkejut saat dua orang polisi membawaku dari kamar hotel dengan kasar akibat tuduhan penganiayaan, tak ayal aku dijebloskan ke penjara. Kak Halimah dan Fitri menangis saat menjengukku.
“Pa, kenapa jadi begini?” tanya Fitri dalam tangisnya.
Aku menatap kak Halimah, dan tidak menjawab pertanyaan Fitri yang tak perlu kujawab.
“Dit, aku sudah hubungi pengacara, mudah-mudahan kamu bisa dikeluarkan secepatnya.” kata kak Halimah lesu.
Tiga minggu kemudian aku disidang, berdasarkan bukti dari saksi mata, maka pengadilan memutuskan aku dijadikan terdakwa dan dijatuhi hukuman 1 tahun penjara.
Selama sebulan aku berada dalam tahanan, kak Halimah dan Fitri sangat rajin mengunjungiku, memberiku semangat dan motivasi. Hampir tiap hari kak Halimah mengunjungiku, membawakanku makanan, katanya tidak tega melihatku makan makanan yang disediakan oleh pihak lapas. Setiap kali mengunjungiku, kak Halimah tak lupa menghiburku. Tak terasa, perlahan-lahan bulir-bulir cinta pun bersemi di hatiku pada kak Halimah, ada semacam kerinduan di hati untuk menanti kedatangannya.
“Besok mau makan apa, Dit?” tanya kak Halimah saat akan mau pergi.
Kutatap matanya, entah mengapa aku ingin sekali memeluknya, “Kak,” kataku lirih. “Aku ingin memeluk kakak,” lanjutku.
Kak Halimah langsung memelukku erat, aku merasakan pelukan kasih sayang yang teramat dalam darinya.
“Aku cinta kamu, kak.” bisikku di telinganya.
“Ehm… maaf, bu, jam kunjungannya sudah selesai,” kata opsir penjaga yang mengawasi kami di ruangan besuk.
“Bentar ya, pak, 1 menit lagi.” jawab kak Halimah.
“Dit, ulangi lagi yang tadi, aku kurang jelas mendengarnya.” kata kak Halimah.
Kudekatkan bibirku ke telinganya, namun kak Halimah memegang wajahku. “Aku ingin melihat bibirmu mengatakannya, Dit.” sambungnya.
“Aku cinta kamu, kak.” kataku sambil menatap matanya, kuungkapkan perasaanku dengan tulus dari dasar hatiku yang paling dalam.
“Kak-nya dihilangi dong,” pinta kak Halimah.
“Aku cinta kamu, Halimah.” ucapku, dan kucium keningnya pertanda sayangku kepadanya.
Air mata Halimah menetes membasahi pipinya yang manis, terlihat rona kebahagiaan terpancar di wajah cantiknya,bagaikan remaja yang merasakan kasmaran. Dengan berat hati Halimah meninggalkanku dengan penuh bahagia.Dua bulan kemudian aku dibebaskan, aku sangat bersyukur saat itu. Halimah dan Fitri menyambutku dengan bahagia. Mantan suami Halimah menarik kembali tuntutannya, dan beberapa hari yang lalu Halimah sudah bercerai dengan suaminya dengan kesepakatan hak asuh Andre jatuh ke tangan papanya. Sementara rumah dan isinya juga diambil kembali oleh mantan suaminya, Halimah hanya mendapat sebuah mobil yang dipakainya selama ini untuk bekerja.
Aku sangat terharu mendengar pengorbanan Halimah yang begitu besar padaku, sungguh cinta yang tulus aku dapatkan dari Halimah.
Kulihat mertuaku tersenyum padaku, mereka menjemputku. Kubalas senyuman tulus itu. Tak henti-hentinya aku memeluk Halimah, juga Fitri. Aku sangat bahagia bisa berkumpul kembali bersama mereka.
Halimah membawa kami ke sebuah rumah yang sangat sederhana namun asri, rumah yang hanya memiliki dua kamar tidur dan satu kamar mandi yang baru dibeli Halimah dari uang tabungannya selama ini. Aku menjadi makin terharu, betapa besar pengorbanannya buatku.
“Dit, ini istana mungil milik kita, kuharap kamu melamarku secepatnya agar aku benar-benar bebas dari belenggu.” kata Halimah penuh harap.
“Aku akan membahagiakanmu, selalu ada disisimu,” jawabku di depan Fitri dan mertuaku.
“Ehem, ehem, romantisnya nanti dulu, Pa. Fitri lapar nih,” potong Fitri, kami pun tertawa serentak.
Pada malam harinya, Fitri dan mertuaku sudah tidur duluan, Halimah masih asyik menata ruangan. Kudekati Halimah saat dia membelakangiku sambil sedikit menunggingkan pantatnya karena memindahkan vas bunga ke lantai.
“Uh, jangan nakal, Dit!!” kata Halimah sambil mencolek hidungku karena pantatnya kuremas.
“Abis kamu seksi,” jawabku sambil mendekatkan hidungku ke hidungnya, lalu kugesek-gesekkan pelan. “Boleh aku melihat tubuh telanjangmu?” bisikku genit.
“Gak boleh, nikahi dulu aku!” tantang Halimah.
“Minggu depan kita menikah,” jawabku sambil kucium bibirnya.
“Kamu cium aku karena nafsu atau cinta?” bisik Halimah.
“Dua-duanya,” jawabku.
Kucium kembali bibirnya, kumainkan lidahku di langit-langit mulut Halimah, tanganku tak ketinggalan meremas pantatnya yang bulat semok.
“Hmmffh…” Halimah melepaskan ciumanku, “Jangan sekarang, sayang, ntar malam pertama kita basi.” kata Halimah tanpa melepaskan tanganku.
“Pinggir-pinggirnya aja ya, sayang?” jawabku dengan senyum genit.
Halimah melirik ke arah kamar dimana Fitri dan mertuaku tidur. “Janji ya gak dimasukin?” katanya sedikit berbisik.
Aku tertawa geli mendengar ucapannya, seakan-akan dia masih perawan saja.
“Kok ketawa?” tanya Halimah manja.
Aku membalasnya dengan mencium bibirnya hangat.
“Malam ini aku lagi dapet, Dit.” kata Halimah pelan.
“Ah, ngarang…” jawabku sedikit bercanda.
“Kalau gak percaya, pegang aja!” bisiknya, lalu ia memegang tanganku dengan sedikit gemetar dan mengarahkannya masuk ke dalam celananya.
Aku meraba, dan ternyata benar, Halimah lagi datang bulan, dia memakai pembalut. “Hihihi… kok gak bilang dari tadi?” kataku cengingisan.
“Ih, tawanya lucu,” jawab Halimah. Akhirnya kami hanya sebatas ciuman raba-rabaan saja, selanjutnya kami tidur berdua di sofa dengan berpelukan.
***
“Pa, buruuaaaannn!!!” teriak Fitri dari dalam mobil menyuruhku yang masih belum kelar memakai sepatu.
“Iya, iya,” jawabku penuh semangat.
Hari ini aku dan Halimah akan melangsungkan pernikahan di KUA tak jauh dari tempat kami tinggal.
“Kuterima nikahnya Halimah Nurhayati binti Sugianto dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai,” ucapku lancar.
“Bagaimana saksi?” kata penghulu.
Sah!!! sambut Fitri dan mertuaku secara bersamaan, dan juga beberapa orang yang hadir.
Halimah mencium tanganku, aku melihat Fitri mengacungkan jempolnya padaku sambil mengedipkan matanya.
Setelah akad nikah, kulihat Fitri keluar dari ruangan. Aku dan halimah masih berbincang-bincang bersama penghulu dan mertuaku, dan tak berapa lama kami keluar. Ternyata Fitri membuat kejutan kepada kami, mobil Halimah dihias dengan pita-pita di sebagian tempat, dan aku tersenyum lucu saat membaca tulisan “just merried” di kaca belakang. Kutatap mata Halimah yang malu-malu kucing, seakan sudah tidak sabar.
“Yuk,” kataku sambil membukakan pintu bagi ratu baruku. “Kok gak ikut, Fit?” kataku pada Fitri yang senyum-senyum.
“Aku sama nenek naik becak aja, Pa… udah buruan, ntar disinggahi lalat lagi.” ledek Fitri.
Kuhidupkan mobil dan kujalankan, setelah beberapa meter aku berhenti karena mendengar suara berisik dari belakang mobil, ternyata suara kaleng bekas susu yang sengaja diikat Fitri di belakang mobil. Fitri pun tertawa terbahak-bahak penuh rasa kemenangan. Dasar, batinku.
Sepanjang jalan kulihat banyak orang memperhatikan kami, aku tersenyum bangga karena jadi pusat perhatian. “Kita kemana, sayang?” kataku pada Halimah.
“Ke bulan dong, xixixi…” jawab Halimah nyengir.
”Maksudnya kita ke hotel ato ke rumah?” lanjutku sambil menatap payudaranya.
Halimah mendekatiku, dan meraba pahaku. “Ke hotel aja ya, say, biar aku bisa teriak sekerasnya.” balasnya.
“Ok, sayang. Tapi cium dulu dong,” kataku sambil memonyongkan bibir.
“Muaaahhhh…” Halimah mencium bibirku.
“Masa cuma gitu?” protesku, karena Halimah menciumku hanya sebentar saja.
“Sabar, sayang… ntar nabrak orang lagi.” jawab Halimah genit.
Tak berapa lama kami sampai di sebuah hotel bintang 3, aku memesan kamar super deluxe, biar kedap suara. Kulihat receptionisnya tersipu malu melihat kami.
“Ini kuncinya, pak.” kata receptionist itu.
Aku menerimanya dan segera kutarik tangan Halimah, aku sudah tidak sabar lagi. Sampai di dalam kamar, Halimah merangkulku dan mencium bibirku bertubi-tubi, “Mmmmffhh… kebayanya buka dulu, say, ntar rusak lagi,” kataku.
“Bilang aja mau lihat aku telanjang,” jawab Halimah manja. Perlahan dia membuka seluruh pakaiannya, bak penari striptis, dia melakukannya dengan erotis, sambil mengisap sesekali jari telunjuknya dengan maksud untuk menggodaku.
Aku segera membuka jas yang kukenakan dengan terburu-buru.
“Eits, biar aku yang buka, sayang.” kata Halimah saat aku mau membuka celana. Dia membukanya sambil berlutut, dipandanginya celana dalamku yang menonjol besar akibat penisku yang telah menegang.
“Sayang, ini apa?” tanya Halimah sambil meraba-raba penisku dengan nakal.
“Itu titit, sayang.” jawabku sambil mengusap rambut Halimah seperti menyisirnya.
“Titit apa kontol?” kata Halimah sambil berdiri, namun tangannya masih tetap meraba penisku.
Kucium kembali bibir Halimah, lidah kami saling berpagutan erat.
“Mmffhh… say, pegangin memekku donk,” pintanya sambil menuntun tanganku ke arah selangkangannya.
“Ih, vulgar amat, sayang, kata-katanya!” jawabku sambil memasukkan jariku ke celana dalamnya dan meraba kemaluan Halimah yang ditumbuhi bulu lebat.
“Biarin, biar kamu klepek-klepek.” jawabnya.
Kami terus saling meraba dan melumat bibir. Aku mulai merasakan tangan Halimah berusaha menurunkan celana dalamku.
“Kontol kamu besar banget, sayang!” kata Halimah lirih.
“Memek kamu juga sempit,” jawabku tak mau kalah.
“Dari mana kamu tahu memekku sempit, kan belum dicoba?” tanya Halimah sambil mengocok penisku.
Aku tidak menjawabnya, kubaringkan ia di kasur yang empuk, kupandangi tubuh sintalnya yang kini cuma dibalut bh dan celana dalam mungil berwarna pink.
“Hmm…” Halimah mendesah saat lehernya kujilat dan kuciumi, ia menjadi liar, membalasku dengan menciumi tubuhku. Kami saling berguling-guling di kasur, seakan tak mau kalah siapa yang berada diatas sehingga tubuh kami kahirnya telanjang tanpa penutup kain sehelai pun.
“Sshh… aaah… sayang, jilatanmu enak banget!” kata Halimah saat kemaluannya kujilati dengan rakus. Dia melebarkan kedua pahanya sambil menekan-nekan pantatnya ke atas. “Sayang, sini kontolmu, aku pengen menghisapnya!” pintanya.
Aku pun mengarahkan batang penisku ke wajahnya, sehingga posisi kami jadi 69 sekarang. Posisi ini terasa kurang nyaman buatku, lobang kemaluan Halimah jadi tidak bisa sepenuhnya kuhisap. Maka segera kubalikkan tubuh kami hingga kini ganti Halimah yang berada diatas. Kuatur pantatnya agar sedikit menungging hingga mulutku dengan mudah menjilati seluruh permukaan kemaluannya. Sementara Halimah sendiri sangat telaten menghisap penisku, mulutnya dengan sangat lembut melumat penisku sambil mengocok pelan dengan jarinya. Aku merasakan sensasi yang luar biasa, hingga aku merasakan mau keluar.
“Sayang, aku mau keluar!” kataku sambil menusuk-nusuk kemaluan Halimah dengan jari telunjuk.
Halimah melepaskan kulumannya, “Keluarin di mulutku, sayang.” jawabnya sambil melanjutkan menghisap penisku, kali ini ia mengemutnya sampai ke pangkalnya.
Kusibak bulu kemaluan Halimah, kuarahkan bibirku tepat di lobang kemaluannya, Kusedot kuat celahnya yang sempit hingga aku merasakan itil Halimah masuk ke dalam mulutku. “Hmmffh…” erangku di kemaluannya. Bersamaan dengan itu, spermaku keluar di mulutnya.
Aku mengerang sambil terus menghisap kemaluan Halimah, cairan hangat dan terasa asin keluar dari kemaluan istriku itu, waktunya hampir bersamaan dengan sperma yang kukeluarkan di mulutnya.
Halimah melepas kulumannya dari penisku dan mendekatkan wajah ke telingaku, “Makasih, sayang, aku puas!” bisiknya sambil berusaha mengatur nafas.
3 menit kemudian kunaiki tubuh sintal Halimah, kembali kami saling berpagutan erat. Kami sama-sama menghisap dan saling bertukar air liur. Lidah Halimah berkali-kali kuhisap. Wajahku lalu turun, tepat di depan gundukan payudaranya. Puting Halimah yang berwarna hitam kecoklatan dan panjang kuhisap bergantian.
“Yangg, mmmff… hisap sekali dua,” desah Halimah sambil merapatkan kedua payudaranya. Aku membantu agar putingnya dempet, lalu kuhisap secara berbarengan.
“Oughh… enak, yang,” desah Halimah. Aku terus menghisap kedua putingnya sambil meremas-remas gundukan payudaranya.
“Yang…” panggil Halimah.
“Iya, say…” jawabku.
“Entotin memekku!” pinta Halimah manja.
Kutatap mata Halimah dan kucium matanya yang selalu bisa membuatku terpesona, lalu kutekuk kaki Halimah dan kulebarkan pahanya, selanjutnya kuarahkan penisku ke kemaluan Halimah yang berwarna merah kecoklatan dan ditumbuhi bulu yang sangat lebat. Kemaluan Halimah sedikit dower dan keriput. Kutekan perlahan penisku sampai kandas, dengan mudah seluruh penisku tertelan oleh kemaluannya. Pertama masuk aku belum merasa apa-apa. Lalu mulai kugoyang pantatku naik-turun.
”Uhh…” barulah kurasakan empotan kemaluan Halimah, penisku seakan dipijit dan disedot-sedot. Lobang kemaluan Halimah ternyata sangat sempit, begitu berbeda dengan bentuk permukaannya yang sedikit keriput.
Halimah mendesah sangat kuat, “Aughh… oughh… goyang, sayang… goyang terus… aghhh!!” rintihnya.
Aku menghentikan goyanganku. ”Hei, suaranya jangan keras gitu, malu didengar orang.” kataku.
“Gak apa-apa, sayang, kamar ini kedap suara. Rasanya enak kalau sambil teriak-teriak,” jawab Halimah dan memintaku untuk kembali menggoyangnya. “Ayo, sayang, entotin memekku lagi kayak tadi.”
Kembali kusodok-sodok kemaluan Halimah dengan penisku.
“Ouhh… kontolmu enak, sayang… kontolmu peret… kontolmu… ohh!!!” desah Halimah putus-putus.
Benar kata Halimah, sensasinya agak berbeda dengan mendesah kuat. Aku semakin bernafsu mendengar desahannya, ditambah Halimah yang sangat piawai menjepit penisku dengan kemaluannya. Jadi kupercepat goyanganku, mungkin 10 tusukan per detik. Halimah menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Oh sayang… aahh… aahh… aku gak kuat!!” erangnya sambil menaikkan tubuhnya setengah duduk.
Karena sodokanku terlalu kencang, perutku jadi sedikit sakit. Aku berhenti lalu turun dari ranjang. Kusuruh Halimah untuk menungging di bibir kasur, aku mengambil dua bantal dan meletakkannya di bawah perut Halimah. Dengan posisi setengah berdiri, kumasukkan penisku ke lobang kemaluannya dari belakang. Posisi ini terasa lebih nikmat, jepitan kemaluan Halimah jadi sangat terasa. Aku pun mulai mempercepat sodokanku.
“Mffhh… oghh… sayang, lebih kenceng lagi!” desah Halimah.
Kupercepat lagi tusukan penisku, Halimah membalas dengan menggoyang pantatnya naik turun dan mendesah kuat-kuat. Aku pun ikut memekik keenakan. “Oh sayang… memekmu sempit…” desahku.
“Kontolmu juga besar sekali, sayang… entotin terus memekku, entotin terus… aaah…” jawab Halimah.
Aku makin mempercepat goyanganku dan pinggang Halimah kupegang, kutekan kuat-kuat ke arah penisku. “Oh sayang… mmfffh… aahh… aku keluar… kontolku keluar!!” desahku panjang saat spermaku menyembur di dalam kemaluan Halimah.
Aku menghentikan goyanganku dan menekan kuat pantatku, kunikmati sampai tetes terakhir spermaku. Halimah tidak mau kalah, dia juga menggoyang-goyangkan pantatnya. Aku sudah tak kuat lagi membalasnya, kedutan-kedutan di ujung penisku terasa geli. Kubiarkan terus sampai ukuran penisku mengecil.
“Tanggung, sayang… dikit lagi aku nyampe,” kata Halimah sambil menggoyang-goyang pantatnya.
Aku tidak mau mengecewakannya, jadi kupaksa penisku untuk kembali menusuk lobang kemaluannya. Kugoyang pantatku dengan kencang, walau rasa geli yang teramat sangat kurasakan.
“Ohh… ohh… memekku… memekku enak, sayang… aah!!” Halimah mendorong pantatnya ke arahku. Aku makin merasakan jepitan kemaluannya, makin terasa kuat dan hangat.
“Oouuhhh… sayang, aku keluarrrgghhh!!!” desah Halimah panjang.
Aku menjatuhkan diri di kasur karena lututku terasa kebas, dan kami beristirahat selama setengah jam sambil berpelukan mesra. Kemudian kami melanjutkan bercinta sampai 6 kali hari itu, sampai spermaku keluar hanya setetes, bahkan aku berjalan mengambil air minum dengan ngesot karena saking tidak kuat lagi.
Tiga bulan setelah pernikahanku, Halimah pun hamil. Aku semakin bahagia. Ditambah lagi aku sudah bekerja di sebuah toko sparepart alat berat sebagai mekanik. Walaupun posisiku sebagai freeland, tapi pendapatanku lumayan banyak dikarenakan banyaknya perusahaan-perusahaan memilih jasa kami dibanding jasa layanan ternama. Kasih sayang Halimah padaku tak pernah berkurang, aku memang tidak salah memilihnya. Bahkan Fitri sudah dianggap sebagai anaknya sendiri. Fitri sangat dimanjakan, apapun kemauannya selalu dipenuhi.
“Pah, lusa ikut ya, mama ngidam jeruk nih, tapi pengen petik dari pohonnya.” kata Halimah yang sudah memanggilku papa.
“Aduh, gimana ya, maa… papa ada kerjaan, gak enak sama si bos kalau ditinggal.” jawabku.
“Ohh, ya udah, gak apa-apa. Tapi lain kali ikut ya, Pa, hehehe…” pinta Halimah.
“Iya deh, papa janji.” jawabku sambil menciumnya.
Dua hari kemudian, tepatnya hari minggu, Halimah, Fitri dan mertuaku pergi ke suatu tempat yang banyak pohon jeruknya, tidak jauh dari rumahku, paling 30 menit perjalanan dengan mobil. Aku yang hari itu tidak bisa ikut karena pekerjaanku yang harus memaksaku menyiapkan dalam waktu singkat.
“Ma, hati-hati ya nyetirnya.” kataku saat melepas kepergian mereka.
“Iya deh, Pa… papa gak usah khawatir.” jawab Halimah.
“Ingat, makannya jangan kebanyakan, ntar perutnya jadi besar pula belum waktunya.” kataku bercanda.
“Hahaha…” Fitri dan mertuaku tertawa, Halimah membalasnya dengan mengeluarkan lidahnya seperti mengejek.
Tak berapa lama mereka pamitan, aku melambaikan tangan penuh bahagia.
Pukul tiga sore handphoneku berdering, kulihat nomor Halimah, lalu kuangkat, “Halo, sayang… udah sampai?” tanyaku dari telepon.
“Maaf, Pak, ini Pak Adit?” jawab seseorang. Aku terkejut karena yang menjawab adalah seorang laki-laki.
“Iya, saya sendiri. Ini siapa ya?” tanyaku.
“Maaf, Pak, kami dari kepolisian. Keluarga bapak mengalami kecelakaan dan sekarang sudah berada di rumah sakit Santa Maria.” jawabnya.
Aku merasa linglung, tiba-tiba pandanganku seakan kabur, kakiku tidak bisa lagi menopang tubuhku, “Tidaaaaaakkkkk!!!” aku menjerit keras dan berlari sekuat tenaga, kuhampiri temanku untuk meminjam motornya.
Aku tidak peduli lagi, kugas kencang-kencang, lampu merah kuterobos, bahkan aku tidak mempedulikan kejaran polisi di belakangku, sampai dia kehilangan jejakku. Tak berapa lama aku sampai di rumah sakit yang dimaksud, aku bertanya pada suster yang ada di loby rumah sakit, mereka mengantarku ke ruang UGD.
“Maaf, Pak, bapak keluarganya bu Halimah?” tanya polisi yang ada di luar ruangan UGD.
“Iya, Pak, saya suaminya.” jawabku sambil mengintip dari kaca pintu.
Seorang suster keluar. “Suster, gimana keadaan mereka?” tanyaku.
“Maaf, Pak, ibu yang tua apa orang tua bapak?” tanya suster itu.
“Bukan, dia mertua saya.” jawabku.
“Sekali lagi maaf, Pak, mertua bapak telah meninggal.” katanya. Aku syok mendengarnya, sampai aku jatuh berlutut.
Dengan dibantu oleh kerabat-kerabat terdekat dan yang bersuka rela membantuku, aku memakamkan mertuaku di TPU setempat. Setelah pemakaman aku langsung ke rumah sakit lagi, karena hari ini juga Halimah naik ke meja operasi. Sesuai hasil rontgen, jantung Halimah bocor akibat tusukan tulang rusuknya yang patah.
Menurut saksi mata dan hasil investigasi dari kepolisian, terjadinya kecelakaan disebabkan oleh sebuah truk gandeng yang membawa muatan kayu Akasia melebihi kapasitas, oleng dan jatuh menimpah mobil istriku yang datang secara berlawanan. Halimah, Fitri dan mertuaku terjepit di dalam mobil hingga proses evakuasi berlangsung lama.
Aku gelisah, gundah gulana. Lebih dari 5 jam aku menunggu diluar ruangan dimana Halimah dioperasi. Rasa lapar dan lelah tidak kupedulikan lagi, setiap nafas kupanjatkan doa. Air mataku habis sudah, tidak ada tersisa untuk kutangisi. Fitri masih koma dan masih menunggu hasil pemindaian otaknya, rupanya atap mobil yang ringsek menjepit kepalanya, suatu keajaiban dia masih bertahan hidup.
“Pak Adit, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Ibu Halimah terluka parah, selain jantung, kaki bu Halimah mengalami patah tulang.” kata dokter menjelaskan keadaan Halimah.
Apa yang harus kujawab? Apa yang harus aku lakukan? Aku hanya bisa mencengkeram rambutku seperti orang stres, tak ada yang dapat kulakukan selain meringkuk di dinding, “Tuhan, jangan ambil dia dariku!” doaku dalam tangis.
Aku mendengar beberapa orang kerabat mencoba menguatkanku, tapi percuma saja, karena apa yang mereka ucapkan sama sekali tidak kusimak. Aku larut dalam kesedihan, sampai aku merasa aku tidak mempunyai tenaga lagi untuk menahan tubuhku.
Selama empat hari setelah Halimah dioperasi, belum ada tanda-tanda dari positif. Selama empat hari itu juga aku hanya makan roti dan sebotol aqua. Fitri rencananya mau dipindahkan ke rumah sakit Pertamina hari ini. Pikiranku mulai kalut, seperti orang tidak waras, kadang aku berbicara sendiri, senyum lalu menangis. Aku merasa terganggu bila melihat orang, rasanya aku ingin mati.
Kutatap tubuh Halimah yang terbaring lemas, selang infus, selang darah, juga selang angin, serta perban yang hampir menutupi seluruh tubuhnya. Bibirku gemetar, aku bahkan tak kuat untuk berbicara, hingga monitor indikator pendeteksi jantuk Halimah berdengung panjang. Kulihat garis lurus menandakan bahwa Halimah sudah tiada. Jiwaku seakan melayang, kuucapkan Iinnalilahiwainnailahirojiun dalam hatiku yang terpukul.. Aku berjalan mundur sampai punggungku menabrak dinding, kutatap Halimah dari kejauhan. Seketika aku menjadi panik, keluar dari kamar, berlari sekuat tenaga. Aku tidak peduli akan orang-orang yang kutabrak, aku tidak tahu bagaimana bisa mendapat kekuatan. Aku berlari menuju rumahku.
“Tidaaaakkkkkkkkkk…!!! Mengapa kau ambil dia dariku…!!!” aku menjerit sekuatnya, aku menangis histeris sampai aku menelan ingusku yang keluar. Kupecahkan kaca lemari, semua benda yang ada di dekatku kubanting, sampai akhirnya para tetangga menenangkanku. Aku lalu tidak sadarkan diri.
Di bawah batu nisan Halimah aku berbaring, memeluk makamnya. Aku mengenang masa-masa bahagia bersama dirinya. Aku menyesal tidak ikut waktu Halimah mengajakku minggu itu, seandainya aku ikut mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi.
“Oh sayang, mengapa kau tinggalkan aku? Mengapa kau biarkan aku sendiri? Halimaaahhh…!!!”
“Pak, sudah maghrib, mari kita pulang.” ajak Pak Andi, tetanggaku. Aku tidak meresponnya, hingga aku terpaksa digotong agar mau pulang.
Pada malam harinya aku tidak bisa tidur walaupun sudah jam 3 subuh. Kubuka lemari baju Halimah, semua bajunya kubongkar sampai pakaian dalamnya juga. Kuambil guling, celana dalam g-string warna hitam yang kubeli sebulan yang lalu buat Halimah kupakaikan di bantal guling, juga pasangan bh nya kupakaikan di ujung yang satunya lagi. Kupilih baju tidur Halimah yang menjadi kesukaanku, kupakaikan di guling itu. Lalu perlahan kuletakkan di sisiku, kupeluk pelan.
“Sayang, aku mencintaimu… muachh!!” kucium bantal yang kutaroh di atas guling yang kuanggap sebagai wajah istriku.
***
Tiga bulan sepeninggal Halimah, keadaanku masih labil, syok, dan tidak bergairah. Keseharianku kuhabiskan untuk menemani Fitri yang masih koma, aku membutuhkan keajaiban, kemurahan hati dari sang pencipta untuk menyembuhkan Fitri.
”Dear diary, besok papaku akan menikah dengan tante Imah. Aku sangat bahagia, bahagia sekali. Pa, aku sangat menyayangimu, mencintaimu dari segenap hatiku, tubuhku. Malam bisa saja berganti pagi, mentari bisa saja bosan menyiangi bumi, namun cintaku pada papa akan selamanya tetap abadi. Love forever papaku tercinta.”
Air mataku seakan habis membaca isi diary Fitri, aku sangat beruntung bisa hidup bersamamu, menjagamu, membesarkanmu. Kamu adalah sisa semangatku, sadarlah nak, izinkan papa melihatmu bahagia sekali lagi. izinkan papa melihat senyumanmu.
END
Author : Kamar 108