Ketika Iblis Menguasai 7 :MURTIASIH

Derita Murtiasih di Tangan Ustadz Cabul

Dengan susah payah Murtiasih berusaha membuka kedua matanya. Pelupuknya terasa sangat berat bagaikan ada perekat yang memaksanya kembali memejamkan mata. Dia menggeleng-gelengkan kepala sambil berusaha mencari orientasi dimana dirinya berada sekarang. Kepalanya terasa agak pusing ketika disadarinya bahwa posisi badannya yang setengah duduk.

Murtiasih berusaha untuk duduk lebih tegak, namun tak berhasil karena ada tangan yang melingkar di pinggang langsingnya dan mendekapnya dari belakang. Murtiasih belum menyadari sepenuhnya apa yang telah dan sedang dia alami, tapi dilihatnya bahwa dirinya setengah duduk bukan di kursi melainkan di ranjang! Selain itu mulai disadarinya bahwa posisinya yang setengah duduk itu tetap bertahan karena dia tengah bersandar ke tubuh seorang lelaki yang sedang memeluknya dari arah belakang.

Bukan itu saja, kini tangan si lelaki mulai meraba dan meremas-remas kedua bukit mungil namun sintal padat di dadanya. Murtiasih menggelinjang kegelian, apalagi ketika dirasakannya hembusan nafas hangat dan kecupan lembut di belakang lehernya. Ciuman dan gigitan kecil menyusul di kuduknya, menjalar ke samping arah leher, kemudian menjilat di lubang telinganya. Tak salah lagi, inilah apa yang pernah, dan bahkan beberapa kali ia alami.

Inilah cara dan siasat dari gurunya, yaitu si ustadz Mamat, untuk merayunya, menjebaknya dan menjerumuskannya ke dalam pusaran samudra birahi. Selalu dirasakannya jeratan nafsu sang ustadz cabul yang menyebabkannya sering lupa akan derajatnya sebagai seorang siswi madrasah yang seharusnya sangat alim shalihah. Keinginannya melawan selalu terkalahkan oleh gelora nafsu syahwat yang melanda tubuhnya yang muda dan kini telah mengenal persetubuhan mahluk berlawanan jenis – dan semuanya itu adalah akibat ulah dan pengaruh gelap sang iblis.

Godaan itu kini terulang dan dialaminya kembali, Murtiasih mulai menyadari bahwa ustadz Mamat adalah yang sedang memeluknya dari belakang dan menjalari tubuhnya serta meremas-remas bergantian kedua buah dadanya, bahkan menyelinapkan jari di bawah kebayanya, memasuki BH warna merah jambu yang ia kenakan.

Ustadz Mamat agaknya sudah kehilangan semua akal sehatnya sejak ia berhasil merenggut dengan paksa kegadisan muridnya ini. Murtiasih adalah murid teladan, tak pernah datang terlambat, hampir tak pernah absen terkecuali sakit, sangat seksama mengikuti pelajaran, rajin mengulang dan patuh terhadap segala peraturan madrasah. Wajahnya sangat ayu, manis, imut dan lugu – tak banyak memakai tambahan perhiasan apapun, kulitnya putih bersih sehingga tidak membutuhkan bedak maupun tambahan lapisan kecantikan lain. Suaranya sangat lemah lembut dan merdu, kedua matanya jeli memancarkan sinar kejujuran, hidungnya mungil bangir dan mancung, dan bibirnya sempurna berwarna merah muda tanpa lipstik, sedikit merekah dan mengkilat seolah agak basah.

Berbeda dengan Rofikah dan Sumirah yang agak genit, maka Murtiasih justru amat polos hingga akhirnya dipilih oleh iblis untuk dijadikan korban nafsu ustadz Mamat. Pengalaman pertamanya dengan Murtiasih menyebabkan sang Ustadz hampir melupakan sama sekali statusnya sebagai suami dari istri yang sebetulnya tak kalah cantik bahenol yaitu Aida. Sementara Aida telah menjadi korban keganasan nafsu pak Sobri, maka ustadz Mamat berniat mengulang menggauli Murtiasih, dan saat ini tibalah kesempatan yang telah lama dinantikan untuk mengulang kemaksiatannya!

“Wah, lama juga tidurnya si neng geulis. Bapak jadi gemes ngeliatin neng tidur nyenyak begitu, hhm… nih susu makin sekel montok aja, bapak ntar lagi pengen nyusu boleh ya, neng?” ustadz Mamat langsung meremas kedua buah dada Murtiasih hingga menyebabkan murid alim cantik ini menggeliat kegelian.

“Udah, pak.. saya ada dimana? Saya mau pulang, pak.. Asih enggak mau disakitin, aaah… lepasin, pak! Toloong.. enggak mauu!!” suara Murtiasih memelas ketika menyadari bahwa peristiwa maksiat yang semula sangat dibencinya akan terulang kembali. Peristiwa yang mengubah dirinya dari siswi yang belum pernah mengalami jamahan lelaki menjadi korban permainan cabul.

“Siapa yang mau nyakitin Asih? Ini kan udah pernah Asih alamin, akhirnya malah jadi keenakan pengen terus, iya kan?” ustadz Mamat meneruskan cumbuannya dengan menghujani leher dan pundak Asih dengan kecupan hangat, menyebabkan mulai muncul bekas-bekas merah cupangan.

Selain itu ustadz Mamat juga menghembuskan nafas panasnya ke liang telinga gadis itu, bergantian kiri kanan hingga tentu saja membuat murid yang lugu dan naif ini semakin mendesah serta menggelinjang kegelian. Kedua tangan Asih yang berjari lentik halus berusaha melepaskan pelukan di pinggangnya, namun ustadz Mamat bukan tandingan untuk kekuatannya yang lemah. Bahkan dengan sekali hentak, tubuh Asih berputar dan kini berhadapan langsung dengan guru cabulnya itu, dan sebelum sempat memprotes maka ustadz Mamat telah merebahkan muridnya yang lugu itu ke ranjang lalu ditindihnya sehingga Murtiasih merasakan sukar bernafas.

Ustadz Mamat paham sekali bagaimana murid yang alim shalihah ini sedang mengalami kesulitan untuk mengambil keputusan, bagaikan di persimpangan jalan : membelok ke kiri atau ke kanan. Akal sehat Asih menganjurkan supaya menolak semua godaan serta bujukan iblis dan berontak untuk kembali menuju ke jalan lurus sesuai moral dan akhlak yang selama ini dipelajarinya. Namun kenyataan yang terjadi beberapa waktu lalu menyebabkannya bimbang : selain disadarinya bahwa perlawanannya akan sia-sia karena tenaganya pasti kalah kuat, juga rasa kenikmatan badan yang pernah dialaminya telah membangunkan jutaan ujung syaraf di permukaan kulitnya menjadi hidup segar dan ketagihan.

Karena itu Murtiasih tak melakukan banyak perlawanan ketika ustadz Mamat mulai lagi mempreteli dan membuka satu persatu busana penutup tubuhnya. Suara protesnya pun terdengar hanya setengah hati, itu pun segera terbungkam oleh ciuman ustadz Mamat yang sangat rakus bernafsu melumat bibirnya yang mungil.

“Cupp.. cupp.. hhhm.. mmmh.. si neng mulutnya emang sedap buat diciumin! Uuhh.. sedapnya! Shhh.. cupp.. cupp..” Suara kecipak terdengar saat ciuman ganas ustadz Mamat yang kini menjulurkan lidahnya menerobos masuk ke rongga mulut Murtiasih. Semula muridnya ini berusaha menutup mencegah dorongan masuk lidah guru cabulnya, namun bagaikan ular python yang mendesis, ustadz Mamat menyelinap masuk sambil membasahi bibir Murtiasih dengan air liur kentalnya.

Hanya dalam waktu kurang dari lima menit, tubuh Murtiasih sudah hampir bugil : baju kurungnya serta gamis yang dipakai telah bertebaran di ranjang, kini hanya jilbab yang tertinggal menutupi setengah rambutnya, demikian pula BH serta celana dalam kecil masih menutup auratnya. Ustadz Mamat telah yakin bahwa muridnya telah sepenuhnya berada dalam kekuasaannya, terbukti dari Murtiasih yang tidak bangun ataupun melarikan diri. Gadis itu juga tidak berteriak lagi, hanya kedua tangannya masih dengan malu-malu berusaha menutupi dada serta selangkangannya.

Ustadz Mamat tersenyum lebar dan bergegas melepaskan pakaiannya sendiri – kemeja, sarung plekat, lalu kaos dalamnya telah terlepas, kini dengan hanya memakai celana dalam ia kembali menindih tubuh mungil padat murid kesayangannya itu. Kembali tangannya meremas-remas gundukan bukit di dada Murtiasih serta diturunkannya BH berukuran 32 C itu sehingga terlihatlah dua gunung kembar yang sedemikian memukau setiap pandangan lelaki. Buah dada Murtiasih tidak sebesar milik Rofikah ataupun Sumirah, namun sangat putih mulus padat menantang.

Tak sanggup lagi mengusai diri, ustadz Mamat segera merentangkan kedua tangan muridnya ke atas kepala sehingga tampaklah ketiak Murtiasih yang licin dicukur. Kembali ustadz cabul ini dengan ganas menciumi bibir Murtiasih, dilumat dan disedot-sedotnya lidah mungil yang berusaha lepas ke kiri ke kanan itu, namun sia-sia saja. Liur ustadz Mamat berlimbahan dan bercampur dengan ludah sang siswi kesayangannya, dan campuran ludah itu kemudian dibawa oleh bibir ustadz Mamat ke arah leher Murtiasih yang nampak banyak bekas cupangan.

Kini diulanginya lagi cupangan dan gigitan gemas di leher jenjang itu sebelum turun ke pundak, ke bahu dan menyelinap ke bawah ketiak Murtiasih. Bukan bau asam dari ketiak yang menerpa hidung ustadz Mamat, melainkan aroma keringat gadis muda tercampur sedikit minyak wangi hingga menyebabkannya semakin bergairah.

“Aaiihh.. Asih mau diapain sih? Aaah.. geli, pak! Udah, aaih.. enggak mau! Ahhh.. geli.. enggak tahan! Aiihh..” Murtiasih menggelinjang sejadi-jadinya menahan rasa geli tak terkira ketika kedua ketiaknya yang mulus itu dikecupi guru madrasahnya.

Tak dapat diragukan bahwa selain leher jenjang Murtiasih, pasti ketiaknya juga akan penuh bekas cupangan dan bercak sedotan serta gigitan ganas sang ustadz yang sudah kerasukan iblis itu. Berikutnya adalah tebing gunung kembar Murtiasih yang sedemikian putih sehingga terlihat membayang pembuluh darah kapilernya yang menjadi sasaran sang ustadz, dan Murtiasih agaknya telah menikmati semua permainan tabu ini.

Jari-jari lentik Murtiasih merangkuh rambut gurunya yang kini dengan sangat gemas menghisap dan menyedot puting coklat kemerahan miliknya sehingga terasa semakin menegang dan ngilu tak terkira.

“Bageur teuing, uuih.. legit tenan nih tetek, padetnya enggak tahan euy! Banyak nyimpen susu ya, neng, kalo diperes kencengan dikit bisa keluar enggak? Cobain ya..” Dengan sadisnya ustadz Mamat meremas daging penghias dada Murtiasih dengan sangat kencang hingga menyebabkan sang murid meringis dan memekik sambil memohon agar permainan itu tak dilanjutkan secara begitu kasar.

“Aauw.. jangan keras-keras dong! Aaohhh.. aauww.. pak, ngilu! Pelan-pelan dong! Asih enggak mau disakitin, pak! Udah.. sakiit! Aaah..” Murtiasih kini berusaha menolak kepala sang ustadz yang masih nangkring bergantian di kedua payudara montoknya.

Tentu saja mana mau ustadz Mamat menghentikan kegiatan yang amat mengasyikkan itu, protes korbannya justru semakin meningkatkan nafsu birahinya. Setelah meninggalkan begitu banyaknya bercak merah di leher serta buah dada mangsanya, kini mulutnya mulai mengembara ke arah perut Murtiasih, lalu menyusur ke pinggang kiri kanan, mengecup menjilat-jilat disitu, sebelum kemudian kembali ke tengah untuk menjilat pusar. Semuanya menyebabkan gadis alim ini menggeliat-geliat bagaikan cacing kepanasan.

“Gelii.. lepasin.. udah, pak! Gelii.. aahhh.. lepasin Asih, pak!!” jerit Murtiasih sambil menggeliat dan berusaha menggeser tubuhnya ke kiri ke kanan, namun tetap ditindih oleh sang ustadz.

“Diem, Neng! Kan enak dijilatin begini, ampe keringetan gitu.. percuma ngelawan, neng, bentar lagi bapak nyampe kesini nih! Nah, mulai kelihatan tuh gunung tembemnya.. masih tetep gundul, cuma ada rumput jembut alus banget. Dicabutin mau enggak, neng?” ujar ustadz Mamat menggoda.

“Enggak mau! Udah, pak, udaah! Berhenti mainnya.. Asih mau pulang aja! Aaih.. geli, pak! Gelii.. ooh.. ampun!!” Murtiasih yang sangat polos dan lugu tak pernah membayangkan betapa malunya jika bulu kemaluannya dicabuti oleh ustadz Mamat. Padahal ucapan itu hanyalah sekedar untuk menambah sedikit ‘bumbu’ saja dalam perangsangan yang sedang dilakukan oleh ustadz durjana ini. Geliatan geli murid madrasah ini justru dipakai oleh ustadz Mamat untuk menarik celana dalam Murtiasih ke bawah sehingga kini siswi ABG itu telanjang bugil seutuhnya!

Betapa malunya Murtiasih saat itu, jantungnya sangat berdebar berdegup sangat cepat karena menyadari apa yang akan terjadi selanjutnya. Jikalau cara berpikir sehatnya masih berfungsi penuh, maka seharusnya Murtiasih akan melawan dan balas mengancam gurunya untuk melaporkan kepada polisi dan setiap orang di desa kediamannya. Namun peristiwa pelecehannya beberapa waktu lalu telah memberikan kesan pengalaman lain terhadap tubuhnya yang masih muda belia. Tubuh seorang gadis meningkat remaja dengan hormon kewanitaan yang masih seolah tidur kini telah tergugah dan bangun serta menagih untuk kembali menguasai dan mengalahkan akal sehat serta rasa malu.

“Ck-ck-ck.. duh, ini badan montok amat! Putih halus lagi.. mana bisa ada yang tahan sama godaan kaya begini? Bapak beruntung banget bisa ketemu dan kenalan ama si neng, ngimpi juga enggak pernah ngebayangin bidadari kaya neng!” menggumam ustadz Mamat sambil mengawasi tubuh si anak baru gede, sementara air liurnya hampir keluar dan jakunnya naik turun.

“Udah ah, pak, kan udah pernah ngeliat badan Asih.. pulangin baju Asih dong, pak, dingin engga pake baju!” demikian protes Murtiasih sambil menarik selimut yang tergeletak di kaki ranjang.

“Ah, masa dingin sih, neng? Tuh badannya mengkilat keluar keringat.. tapi iya deh kalo kedinginan, sini bapak kelonin dan dibikin anget lagi! Hmm, bapak bakal mulai olahraga di ranjang manasin badan neng.. uuhhm..” Ciuman ustadz Mamat kembali menghujani permukaan tubuh Murtiasih, terutama di bagian-bagian vitalnya, berpusat di pusar dan menurun ke bawah.

“Mau ngapain sih, pak? Udah ah.. oohh, pak!” Kembali Murtiasih dilanda rasa geli serta malu karena gurunya mengendus-endus perut bawahnya bagaikan seekor anjing mencari makanan.

Selain mengendus dan mencium perut datar muridnya, ustadz Mamat juga merenggangkan belahan paha Murtiasih sambil meraba dan mengelus betis serta bagian dalam pahanya yang amat putih mulus. Kumis ustadz Mamat yang menghiasi bagian atas bibirnya terasa menggelitik kulit perut Murtiasih, demikian pula jenggotnya yang bagaikan kambing gunung karena telah beberapa minggu tak dicukur, menyapu-nyapu di bawah pusar dan semakin mendekati bukit Venus dengan belahan lembah terhias bulu halus sangat rapih milik Murtiasih.

“Hhmh.. geli enak ya, neng, diciumin kayak gini? Sshhh.. keringat si neng aja wangi, apalagi air itunya! Aaah.. bapak jadi kangen lagi, bapak mau kesitu lagi ah.. kita maen sama-sama ya, neng? Sini bapak ajarin,” ustadz Mamat kembali merubah posisi badannya dengan membalikkan diri menyamping sambil mendekatkan penisnya ke arah wajah Murtiasih. Rupanya ustadz Mamat menginginkan agar Murtiasih juga memanjakan si otongnya sekaligus ia akan melakukan perantauan di bukit kemaluan si siswi ABG yang memiliki celah surgawi di bagian tengahnya itu.

Mula-mula Murtiasih melengoskan kepalanya ke samping dengan pipi merah merona karena malu melihat kejantanan gurunya yang mengangguk-angguk meminta pelayanan itu. Karena itu ustadz Mamat mengambil lagi inisiatif dengan harapan bahwa kalau diberikan bimbingan dan contoh, maka sang murid yang lugu namun telah terbangun instingnya sebagai wanita dewasa ini bersedia mengikuti jejak perbuatan terlarang antara dua manusia berbeda jauh usia dan kedudukan itu.

“Nih, bapak mulai dengan mencari air madu yang tersembunyi di lembah.. si neng juga mulai kulum juga tuh pisang ambon bapak. Si neng pasti doyan dan sering makan pisang kan? Ini pisang spesial, neng, jangan malu-malu. Enggak ada yang lihat. Ayo mulai dikulum.. bapak mulai disini, cupp.. sssh..” ustadz Mamat mengendus, menciumi dan menjilati tebing lembah yang tertutup rambut halus itu.

Murtiasih merasa sangat malu dan berusaha merapatkan kedua pahanya, namun sia-sia saja karena tenaga tangan ustadz Mamat lebih kuat. Laki-laki itu kini memaksanya untuk mengangkang semaksimal mungkin.

Tak tahan melihat betapa indahnya belahan memek Murtiasih, maka lidah ustadz durjana itu mulai menjarah menerobos masuk. Pertama pinggiran bibir kemaluan Murtiasih yang merekah bagaikan bunga ia kecupi sebelum lidah panas dan kasap itu menyelinap menjilati dinding vagina Murtiasih yang kemerahan.

Rasa geli terasa oleh Murtiasih ketika lidah sang guru menjalar di bagian intimnya disertai desis ustadz Mamat yang bagaikan ular mencari mangsanya. Kegelian itu mulai membangunkan hasrat Murtiasih untuk juga melakukan perbuatan yang setimpal, seolah ingin menjawab atau bahkan membalas ulah gurunya itu.

Tangan mungil Murtiasih yang sementara masih agak ragu menyentuh kemaluan sang guru, namun gerakan anggukan yang dirasakannya menimbulkan rasa ingin tahu, maka direngkuhnya dengan jari lentiknya penis ustadz Mamat. Sejenak terbersit keraguan untuk meneruskan, namun kalah oleh bujukan sang iblis durjana di telinganya.

Sementara itu, Ustadz Mamat semakin meningkatkan aksinya dengan menyapu dan menjilat dinding serta bibir kemaluan Murtiasih. Ia memancing dan merangsang keluarnya lendir pemulas yang akan dihirupnya sampai habis tak bersisa!

“Wuih.. mulai enak kerangsang ya, neng? Basah lengket amat nih memek.. wah, tuh sampe keluar madunya! Iyah, gitu.. pinter si neng! Iyah, diremes gitu barang bapak.. pegang yang keras, neng! Iyah, sip banget! Oooh.. sepongin ya, neng, tapi jangan digigit, aaah..” ujar ustadz Mamat keenakan ketika merasakan jari-jari tangan Murtiasih menggenggam batang penisnya.

Bagaikan terkena sihir, Murtiasih mengawasi kejantanan dalam genggamannya itu. tak berkedip ia memperhatikan betapa tegar dan kerasnya kepala jamur yang beberapa waktu lalu pernah menembus kegadisannya. Dengan agak gemetar Murtiasih menatap kepala penis disunat berbentuk jamur warna coklat kehitaman milik ustadz Mamat yang dihiasi celah sempit di tengahnya, agak terbuka mirip mulut ikan. Ragu Murtiasih menyentuhnya dengan ujung lidah.

“Aiih.. iyah gitu, neng! Oooh.. aduh, pinternya nih murid bapak! Juara luar biasa, benar-benar bakat alam! Jilatin ya, neng? Nih bapak kasih hadiah lagi, sluurp.. cupp.. aaah.. ssshh..” ustadz Mamat semakin menggila menjilati dan menggelitik liang kegadisan Murtiasih.

Kedua manusia yang seharusnya mematuhi perbedaan derajat mereka di masyarakat itu sudah sepenuhnya menjadi budak iblis. Mereka melupakan segalanya, bergumul dan bergulat, berpagutan dalam posisi 69. Ustadz Mamat dengan rakus menjarah memek Murtiasih, menghirup air madu dinding vagina, sedangkan Murtiasih tak kalah serunya mengulum, menyepong, menghisap penis gurunya. Suara tertawa kegelian tercampur cekikikan genit mengiringi jilatan ujung lidah yang memasuki belahan liang kencing sang guru, sementara ustadz Mamat dengan tak sabar mencari kelentit muridnya.

“Uuuh.. ngumpet dimana tuh daging itil? Jangan nakal ya pake ngumpet segala.. awas ntar ketemu, digewel digigit ama bapak! Oooh.. neng makin jago nyepongnya! Iyah, sekalian pijit-pijit biji pelernya, neng. Wiuuh, enak tenan! Enggak tahan lagi bapak hampir nyampe!!” ceracau ustadz Mamat tak karuan sambil memaju-mundurkan pinggulnya, menyebabkan Murtiasih terkadang tersedak karena kepala penis yang semakin dalam masuk menyentuh langit-langit mulutnya.

“Uuegkk.. ueegk.. pelan-pelan dong, pak! Sssh.. shhh.. sslurrp!!” Murtiasih berusaha sejauh mungkin mengimbangi kegiatan tak senonoh gurunya. Jari-jari langsing yang biasa memegang alat tulis kini menggenggam batang pentungan daging ustadz Mamat, dan mulai menggerakkannya naik-turun, mengocok-ngocok, sementara lidahnya menjilat-jilat menimbulkan bunyi berkecipak.

“Ahh.. akhirnya ketemu juga daging yang dicari, mmhh.. bapak gigit-gigit ya, neng? Uummh.. lalu jilat.. gigit lagi.. sssh.. enak kan, neng?” bibir dower ustadz Mamat menjepit gemas kelentit Asih.

Jepitan bibir itu ibarat jutaan watt listrik yang menyetrum tubuh elok Murtiasih sehingga ia pun mengejang dan melengkung, jari-jarinya menggenggam kuat-kuat penis ustadz Mamat sambil disedot dan dihisapnya rakus. Perlakuan Murtiasih di penisnya itu membuat guru cabul itu pun meledak menyemburkan pejuhnya!

“Duuhh… shhh.. aaah.. enak tenan, neng! Enggak nyangka gitu pinternya si eneng, oooh.. bapak nyemprot! Aahh.. isep, minum semua ya, neng?!” ustadz Mamat menggeram sambil memeluk pinggul muridnya yang kecil tapi padat bahenol itu.

Sekuat tenaga ditahannya liuk-liukan, goyangan dan hentakan orgasme Murtiasih, ditekannya mulut serta hidungnya di bukit kemaluan gadis itu yang telah basah kuyup oleh air mazi, sebelum kemudian dikecup dihisapnya kelentit Murtiasih yang sedemikian peka hingga membuat si gadis berusaha mati-matian menelan lahar gurunya itu.

Setelah beberapa menit mengalami orgasme secara bersama-sama, akhirnya ustadz Mamat mengubah kembali posisi tubuhnya. Dengan merebahkan diri di samping muridnya, ditatapnya wajah Murtiasih yang telah berubah dari siswi alim shalihah menjadi wanita muda dengan di sudut mulut setengah terbuka mengalir sisa-sisa air mani. Betapa ayu cantik wajah muridnya itu yang merah merona akibat pergulatan dan orgasme yang baru dialami, hidung nan bangir mancung masih berkembang kempis, bukit di dada Murtiasih dengan puting menggemaskan masih turun-naik seirama tarikan napasnya yang memburu.

Ustadz Mamat mengecup bibir yang setengah terbuka itu, tercium aroma spermanya sendiri tercampur ludah Murtiasih yang harum – yang mana itu kembali membangkitkan nafsu birahinya dengan sangat cepat. Kemaluannya mulai dirasakannya menegang, biji pelirnya dirasakan kembali memberat, dan dari belahan di ujung kepala si ‘Ujang’ yang masih mengkilat mengangguk-angguk itu terlihat tetesan air mazinya.

“Hehehe.. lemes nikmat ya, neng? Ini belum apa-apa, sekarang bapak mau nerusin senam ranjang ama neng!” Seringai mesum ustadz Mamat kembali menghiasi wajahnya, sedangkan jari-jarinya telah mulai menjalar kembali mengusap-usap buah dada Murtiasih, juga meraba paha serta selangkangannya.

“Udah dong, pak! Asih udah capek nih.. iya enak, tapi Asih jadi lemes! Ntar susah bangun.. udahan ah, pak, lain kali aja nerusin maennya!!” jawab Murtiasih sambil berusaha mencegah keinginannya sendiri.

“Ahh.. masa udah berhenti, kan kita baru mulai maen? Enggak enak dong macet di tengah jalan.. kalo diterusin pasti makin sip. Sini bapak ajarin lagi,” sahut ustadz Mamat sambil menggesot dan kini menindih kembali tubuh muridnya yang masih penuh keringat.

Murtiasih hanya dapat mengeluh lemah agak susah bernafas ketika tubuhnya kembali ditindih di guru cabul, kedua lengannya direntangkan terbuka ke samping dan dirasakannya kembali ciuman dan cupangan ganas di kulit ketiaknya. Rasa geli menyebabkannya menggeliat kesana-sini sambil mendesah lirih.

“Geli, pak.. jangan digelitikin lagi! Aah.. gelii, udah dong! Asih capek.. aaiih.. udah, pak, Asih lemes.. Lepasin, emmpffhh!!” Teredam protes Murtiasih ketika mulutnya dibekap oleh bibir ustadz Mamat.

Kedua lutut pemimpin madrasah itu menekan lutut Murtiasih sehingga terpentang lebar, kejantanannya yang telah mengeras kembali segera menggesek-gesek di selangkangan yang masih basah oleh lendir kewanitaan itu, mencari kesempitan licin di kesempatan sempit. Karena tak langsung menemukan jalan masuk ke dalam liang yang dicarinya, maka ustadz Mamat menggelusur ke bawah tanpa mempedulikan rengekan Murtiasih, lalu berlutut diantara belahan paha muridnya.

Dikaitkannya lutut Murtiasih di atas bahunya sehingga vagina mungil berambut halus itu jadi sedikit terbuka, menampakkan dindingnya yang merah mengkilat. Dengan memajukan dan membungkukkan diri ke depan, maka ustadz Mamat yang masih berlutut berhasil menekuk tubuh Murtiasih sejauh mungkin sehingga paha mulusnya hampir menyentuh puting buah dadanya.

Dalam posisi seperti ini maka siaplah dosen yang telah dirasuki iblis itu untuk melakukan persetubuhan terlarang dengan muris asuhannya. Kepala penisnya yang tegang bagai pentungan kini menyelinap diantara bibir memek Murtiasih, menggesek-gesek seolah menggoda sebelum masuk. Murtiasih menggeleng-gelengkan kepalanya ke kiri-kanan bagaikan tak setuju dengan tindakan sang ustadz, namun celah diantara lembah Venus-nya telah terasa panas, geli, dan sedikit gatal seolah meminta untuk digaruk.

“Aduh.. pelan-pelan dong, pak! Nyeri.. ohh.. sakit!! Aah.. aihh.. cabut lagi, pak! Tolong.. ampun.. sakit! Udah, pak!” Murtiasih membuka matanya yang kuyu berlinang menatap sang pejantan ketika dirasakan bagian intimnya dibelah oleh daging rudal besar.

“Iya, bapak kan sayang Asih.. nih maennya udah pelan begini, masa iya sih masih sakit? Bapak masukin lagi sedikit.. ini pasti gara-gara memeknya si neng yang emang kekecilan, jadinya sakit begini. Tapi enggak apa-apa, pasti muat kok! Dijamin puas.. uuh, sempitnya! Bapak mesti kerja keras lagi nih,” celoteh ustadz Mamat tanpa memperdulikan rengekan gadis yang ditindihnya sambil mendorong batangnya kembali.

Kini kedua tangan ustadz Mamat merangkuh dari arah kiri kanan lutut Murtiasih yang tergantung di bahu, jari-jarinya ikut membantu merentangkan bibir kemaluan Murtiasih ke samping sehingga tampaklah biji klitoris yang sebelumnya terselip tersembunyi di lipatan bibir bagian atas. Tonjolan daging yang mulai memerah itu kini dijadikan sasaran telunjuk dan ibu jari kasar ustadz Mamat.

“Aaih.. gelii.. ngilu.. auw! Tolong, pak, jangan dipelintir lagi itunya.. Asih enggak tahan! Geli.. udah, pak! Sshh.. oohh..” Murtiasih menggelinjang meronta-ronta karena memang klitorisnya masih sangat peka akibat ulah jilatan ustadz Mamat yang menyebabkan ia klimaks tadi. Kini bagian tubuh terpeka itu kembali dijadikan bulan-bulanan usapan jari tangan yang membuatnya menceracau mendesis tak karuan.

“Iya, betul begitu, neng! Enak tenan.. ayo goyang-goyang pantatnya, neng! Oohh.. nih memek mulai ngedut-ngedut mijit-mijit! Uuh, siapa tahan ngadepin godaan kayak begini? Cakep banget si eneng kalau meringis-ringis gitu.. kita bikin anak yang cakep mau enggak, neng?” ustadz Mamat semakin lupa daratan dan mulai menggenjot dengan meningkatkan gerakan maju-mundurnya.

“Jangan, pak! Jangan.. Asih enggak mau hamil! Jangan! Buang di luar, pak! Ooh.. kasihani Asih, pak. Asih enggak mau hamil.. hiks-hiks-hiks,” Murtiasih menangis terisak sejadi-jadinya, mengingat memang saat ini ada kemungkinan dirinya di tengah masa subur.

Pada saat itu muncullah kembali iblis di samping telinga ustadz Mamat sambil membisikkan sesuatu, selain itu digunakannya kemampuan mempengaruhi panca indera ustadz murtad itu, dan memang betul : wajah Murtiasih berubah selang-seling menjadi wajah istrinya sendiri : Aida!

Agak terkejut ustadz Mamat melihat pergantian gonta-ganti wajah wanita yang sedang digarapnya akibat pengaruh iblis, namun ia melihat bahwa wajah Aida pun sebenarnya memang cantik juga.

Hanya bedanya wajah Aida seolah sedang mengejeknya dan menanyakan apakah sampai disitu saja kemampuannya sebagai seorang suami yang sedang menyetubuhi istrinya. Seolah-olah Aida menanyakan bahwa dia sama sekali tidak merasakan adanya kemaluan sedang memasuki alat kelaminnya.

Bagaimana pun usaha ustadz Mamat mempercepat dan menusuk sedalam-dalamnya, namun wajah Aida seolah tak mau menghilang dengan senyum ejekannya, membuat ustadz Mamat jadi semakin gusar dan menghunjamkan alat kejantanannya sejadi-jadinya. Telinganya seolah hanya mendengar ejekan-ejekan Aida yang mencelanya sebagai suami tak mampu memuaskan istrinya sendiri – padahal yang sebenarnya adalah, kamar itu telah dipenuhi oleh jeritan dan rintihan sakit Murtiasih yang tak berdaya diperkosa habis-habisan oleh gurunya sendiri!

Kini sang iblis menunjukkan kembali kemampuannya mempengaruhi manusia lemah seperti ustadz Mamat, dibisikkannya sesuatu di telinga ustadz itu, sesuatu yang memang selama ini tak pernah dilakukannya terhadap istrinya sendiri yaitu Aida. Sesuatu yang pernah muncul di benak ustadz dan dikemukakannya ketika sedang intim dengan istrinya, namun hal ini dianggap tabu oleh Aida dan ditolaknya mentah-mentah. Sang iblis tahu soal ini dan membujuk ustadz cabul untuk melakukannya sekarang.

“Ayo, kapan lagi? Ini kesempatanmu, jangan biarkan istrimu mengejek dan menghinamu sebagai suami yang tak mampu memuaskannya! Ayo hukumlah istrimu supaya ia tahu kamu yang lebih berkuasa!”

Ustadz Mamat tahu apa yang selama ini ditolak mentah-mentah oleh Aida. “Hhm.. memang sudah waktunya aku renggut kegadisanmu yang kedua. Rasakan betapa sakitnya, itulah hukuman yang harus kamu derita karena mengejek dan menghinaku selama persetubuhan ini!”

Demikianlah tekad ustadz Mamat yang mempersiapkan rudal dagingnya memasuki lubang terlarang di celah pantat. Semuanya adalah siasat dan tindakan iblis, sehingga ustadz Mamat tak menyadari bahwa korbannya bukan sang istri sendiri, melainkan murid kesayangannya yang sedang digarapnya kesekian kali.

Tentu saja ustadz Mamat tak mengetahui bahwa istrinya Aida selama ini pun telah menjadi korban pelecehan pak Sobri dan konco-konconya, bahkan apa yang selama ini dipertahankannya terhadap keinginan suaminya telah direnggut paksa olek pak Sobri. (baca kisah Aida sebelumnya).

Dengan tetap menatap wajah cantik dihadapannya yang seolah-olah terus mengejek-mencemooh, tanpa ragu lagi ustadz Mamat mencabut penisnya yang gagah perkasa dari vagina korbannya, dan meludahinya beberapa kali meskipun telah sangat licin oleh air lendir vagina Murtiasih. Ia juga meludahi lubang kecil kemerahan yang berkerut-berkedut membuka menutup bagaikan sekuntum bunga di bokong Murtiasih.

Murtiasih menarik nafas lega karena penis ustadz Mamat yang menghunjam menyakitinya tiada henti mendadak ditarik keluar, ia merasa sangat bersyukur bahwa gurunya mau mendengarkan permohonannya agar tak menghamilinya. Tak diduganya sama sekali bahwa iblis ternyata menuntun guru durjana itu melakukan sesuatu yang jauh lebih menyakitkan. Kecurigaan Murtiasih baru muncul ketika dirasakannya kepala penis yang beberapa detik lalu menghunjam rahimnya, kini mulai menyentuh lubang duburnya. Langsung saja otot-otot lingkar yang amat kuat berkontraksi untuk mencegah benda asing itu menembus masuk, dan kuku-kuku Murtiasih mencakar dada ustadz Mamat.

Namun ustadz Mamat betul-betul sudah kesetanan, tenaganya bagaikan berlipat ganda, demikian pula alat kejantanannya yang semakin kaku membesar siap menggempur menembus otot-otot anus.

“Aah.. auww! S-sakit, pak! Tolong.. perih.. jangan diterusin! Kumohon, lepaskan.. ampun.. jangan masuk disitu.. sakiit!!” lolong Murtiasih yang jeritannya memenuhi kamar tidur, dan pada saat itu barulah ustadz Mamat tersadar. Tapi sang iblis segera menunjukkan muslihatnya dan membisikkan ke telinga Mamat bahwa tindakan itu tak akan menyebabkan Murtiasih hamil, sehingga semua perbuatan maksiatnya tak akan berbenih.

Bagaikan mengalami hipnotis, ustadz Mamat berhenti sebentar dengan perbuatannya, kepala penis kebanggaannya baru saja menembus gerbang anus Murtiasih, dilihatnya Murtiasih mencakari dadanya sambil menangis terisak-isak kesakitan, air matanya membasahi pipinya yang halus.

Apa yang sudah terjadi tak mungkin dibatalkan. Sudah kepalang basah, lebih baik mandi sekalian. Dan memang betul juga, jika aku tak membanjiri rahim muridku maka ia tak akan hamil, pikir si ustadz.

Maka segera dicekalnya kedua pergelangan tangan Murtiasih yang sedang mencakari dadanya penuh rasa putus asa, lalu ditekannya di samping wajah ayu gadis itu sambil berbisik, “Tahan sedikit, neng. Ini supaya neng tidak hamil. Mulanya memang akan terasa ngilu dan sakit, tapi selanjutnya akan hilang. Bapak janji bakal pelan-pelan maennya. Percayalah, bapak sayang sama Asih. Jangan dilawan ya, neng, ntar malah tambah sakit. Rileks supaya bapak bisa masuk,”

Sambil berusaha menghibur, ustadz Mamat menekan semakin dalam, tambah dalam, dan akhirnya… “Aduuh.. auw! Pelan-pelan, pak.. tetep sakit! Asih enggak kuat, ooh.. Asih enggak tahan, sakit sekali.. bapak jahat! Sadis amat sama Asih,”

Murtiasih merasakan anusnya perih dan panas bagaikan disayat dan dibelah oleh kayu menyala. Perlahan-lahan jeritannya semakin melemah dan berubah menjadi desahan dan rintihan memilukan. Ustadz Mamat kini mulai bergerak keluar-masuk di anus muridnya yang terasa begitu sempit, dan karena dilihatnya Murtiasih sudah sedemikian lemah dan pasrah tak sanggup melawan, maka nadi yang dicekalnya kini ia lepaskan.

Telunjuk dan ibu jari ustadz Mamat ganti menyelinap kembali diantara bibir kemaluan muridnya, pelan ia mengusap dan memilin-milin kelentit Murtiasih, menyebabkan sensasi baru menerpa tubuh gadis muda yang hanya sanggup menghentak-hentak lemah dan memukul-mukulkan tumitnya dengan sia-sia di punggung ustadz Mamat.

“Iyah gitu, pinter banget! Rileks ya, neng.. nih bapak bantuin supaya lebih enak! Bagus amat kelentitnya, neng, bapak geregetan jadinya. Diusap-usap supaya lebih mantap ya, neng?” Demikianlah suara dosen cabul itu terdengar sayup-sayup di telinga Murtiasih.

Tubuhnya yang telanjang bulat penuh keringat kini bergetar akibat menahan gelombang sensasi yang begitu menyiksa, geli nikmat tak tertahan karena klitorisnya terus-menerus dirangsang, bercampur dengan ngilu-perih-sakit di anus yang baru saja ditembus beberapa menit lalu. Semuanya terlalu banyak untuk dapat ditahan oleh tubuh Murtiasih, hingga akibatnya jutaan bintang meledak di ujung syaraf serta di hadapan mata gadis alim salihah itu. Jutaan volt tegangan listrik juga menyerang dan menyebabkan jeritan orgasme terakhir keluar dari mulutnya. Otot-otot lingkar di anus Murtiasih menegang dan meremas penis ustadz Mamat yang tengah menyiksanya sehingga sang ustadz pun tak sanggup lagi menahan gelora lahar biji pelirnya!

“Aaah.. bapak moncrot nih! Duh nikmatnya.. iya, pijit terus kontol bapak, neng! Oooh.. pinternya nih murid. Dikawinin jadi istri muda bapak, mau neng?” ustadz Mamat menyemburkan spermanya secara bergelombang ke dalam anus Murtiasih sebelum akhirnya kedua insan yang berbeda usia dan kedudukan di masyarakat itu ambruk berpelukan.

Di bawah selimut keduanya tidur menyamping berpagutan. Ustadz Mamat memeluk tubuh siswi muridnya yang mungil langsing membelakanginya. Dirasakannya getaran lemah Murtiasih yang rupanya masih menangis terisak-isak. Saat ini pengaruh iblis agak berkurang dan ada perasaan sedikit menyesal pada diri ustadz Mamat karena menyadari telah melakukan perbuatan yang tak senonoh – merenggut keperawanan Murtiasih yang kedua dan itu pasti lebih sakit daripada yang pertama.

Ustadz Mamat mengelus menciumi pundak dan punggung Murtiasih dengan lembut, dibelainya penuh rasa sayang, berbeda dengan kelakukannya beberapa menit lalu. Dengan suara berbisik ia menyatakan bahwa tak ada maksudnya sama sekali untuk menyakiti muridnya itu. Perlahan-lahan Murtiasih yang memang berbudi sangat halus itu membalikkan tubuhnya dan dengan berlinangan air mata ia menatap gurunya. Keduanya bagaikan sadar dan kembali ke dalam dunia nyat.

Namun semua telah terjadi, nasi telah menjadi bubur. Murtiasih kini telah mengenal dunia terlarang dan dirinya telah ternoda, namun di samping itu ia telah mengalami transformasi menjadi dewasa.

Ia dapat memilih untuk melaporkan semuanya kepada pihak berwajib dan konsekuensinya adalah publikasi di koran serta majalah yang mencari sensasi. Bukan saja namanya sendiri tercemar tapi juga nama keluarga serta madrasah yang baru saja dibuka. Jalan lain yang dapat ditempuh adalah menjadikan semuanya menjadi resmi : ia dapat mengancam gurunya untuk menjadikannya sebagai istri kedua setelah Aida, namun apakah Aida akan mau menerima dirinya dimadu? Adakah jalan yang lebih baik bagi keduanya?

Tanpa disadari oleh ustadz Mamat, akibat pengaruh iblis telah membangunkan naluri hewaniah wanita muda dewasa di pori-pori kulit dan ujung-ujung syaraf Murtiasih. Dunia baru penuh dengan campuran sakit namun nikmat tak terkira telah dicipi oleh Murtiasih – dan itu diawal mula menimbulkan penyesalan, namun di balik itu juga ada keinginan untuk mengalami kembali. Apakah tak ada jalan keluar yang terbaik untuk kedua insan itu?

Satu jam kemudian, Murtiasih, Rofikah, Sumirah, ustadz Mamat serta pak Jamal, pulang kembali ke asrama madrasah mereka. Sementara pak Fikri tetap bermalam di rumahnya yang terpencil dan menjadi saksi bisu dari semua perbuatan maksiat yang baru saja mereka lakukan.

TAMAT EPISODE MURTIASIH & USTADZ MAMAT

LIA

Lia adalah gadis cantik, bibirnya  tipis yang selalu dipoles dengan lipstik warna terang. Meski bibirnya agak lebar tapi tetap manis dengan senyum khasnya. Kulitnya kuning langsat dengan tubuh langsing, tapi kalau dibuka pinggul dan pantat menarik.

cccsd

Tentu saja sebagai staf muda di salah satu instansi pemerintahan penampilannya harus selalu dijaga apa lagi ia bekerja di protokoler. Ia selalu tampil manis dan harum.

Lia tergolong anak bahagia, hidupnya tak pernah menderita. Sejak kecil  ortunya pejabat bermental veodal yang rakus tapi sok alim. Di usianya yang 24 ia sudah menjadi pegawai bersamaan dengan suaminya yang sama sebagai pegawai juga, Lia adalah seorang ibu muda kini 29 tahun yang bekerja di kantor pemerintahan kabupaten B.

Ia tinggal di rumah sendiri bersama suami anak dan seorang pembantu.Suaminya juga pegawai sama walaupun pada intansi yang berbeda.

Lia adalah gadis cantik, bibirnya  tipis yang selalu dipoles dengan lipstik warna terang. Meski bibirnya agak lebar tapi tetap manis dengan senyum khasnya. Kulitnya kuning langsat dengan tubuh langsing, tapi kalau dibuka pinggul dan pantat menarik.

Tentu saja sebagai staf muda di salah satu instansi pemerintahan penampilannya harus selalu dijaga apa lagi ia bekerja di protokoler. Ia selalu tampil manis dan harum.

Lia tergolong anak bahagia, hidupnya tak pernah menderita. Sejak kecil  ortunya pejabat bermental veodal yang rakus tapi sok alim. Di usianya yang 24 ia sudah menjadi pegawai bersamaan dengan suaminya yang sama sebagai pegawai juga, Lia adalah seorang ibu muda kini 29 tahun yang bekerja di kantor pemerintahan kabupaten B.

Ia tinggal di rumah sendiri bersama suami anak dan seorang pembantu.Suaminya juga pegawai sama walaupun pada intansi yang berbeda.

Nah pemerkosaan itu terjadi saat ia melanjutkan kuliah dan tinggal di apartemen yang disewa orang tuanya.

Pemerkosaan itu tak lepas dari kasus politik dendam seorang atasan orang tuanya yang gagal mencalonkan meraih kekuasaan oleh penghianatan orang tuanya yang menjelang pensiun.

Suatu hari di sore hari Lia terkejut saat membuka pintu apartemennya yang tak terkunci, sementara barang-barang di kamarnya berantakan. Ia berfikir terjadi pencurian, namun belum sempat ia berikir ke arah yang lain dua orang menyergap dan menutupkembali pintu kamarnya, dua orang itu mengunci tangan dan menutup mulutnya.
Sementara seorang yang muncul dibalik daun pintu menutup pintu dan mengkuncinya dari dalam.

“Tenang Lia?”, tiba-tiba seorang  menegurnya dari kegelapan ujung ruangkan apartemenya .

Tentu saja Lia terkejut, ada empat orang telah mengepungnya. “Eh tolong lepasin gua,…”, Lia meronta berusaha melepas dari cengekraman.

“Lia, santai saja, kamu akan mendapat kenikamatan malam ini hingga besok..”, seorang dari mereka berkata

“Hhm,,, tolong lepasin”, Lia menjawab sambil terus berontak.

Teriakan Lia nyaris tak terdengar, apa lagi di luar, ruangan kamar yang telah tertutup pintu. Apartemen yang ia sewa itu kedap suara karena dilapisi karpet rapat di tembok dan lantai.

“Mau lepas..? tapi kami minta kenang-kenangan dulu ya,” tiba-tiba seorang yang yang berada di depannya mengancam sambil melihat kakinya yang bergerak-gerak ingin lepas.

“Lepaskan, ambil semua barang saya .. tapi lepasin saya dulu..”, Lia menjawab.

Tiba-tiba ia merasa gugup dan cemas. Seorang yang kelihata lebih tua mencekal lengan Lia. Sebelum Lia tersadar, kedua tangannya telah dicekal ke belakang oleh mereka lalu diikat.
“Aah! Jangan Pak!”.

Selanjutnya lelaki itu menarik blus lengan panjang warna ungu milik Lia. Ibu muda itu terkejut dan tersentak ketika kancing blusnya berhamburan.
Lelaki itu menyeringai ketika melihat rekanya membuka kancing celana panjang Lia, lalu menarik resleting. Lia berusaha meronta, namun tak berdaya. Pinggulnya yang kencang yang terbungkus celana longar mulai kelihatan, termasuk CDnya berwarna pink mencuat.

“Jangannnn! Lepaskannn!”, Lia berusaha meronta.

Lelaki  yang memmbuka celana itu terus melanjutkan berusaha menurunkan celana panjang ungu Lia. Sebenarnya di antara para lelaki itu sudah sejak lama memperhatikan Lia. Perempuan yang langsing yang selama ini terbalut rok dan Jilbab yang selalu berganti model itu sering mereka intipnya ketika ke kamar mandi kantor.

Saat ini mereka sudah tak tahan lagi. Bahkan ketika kaki Lia menyepak mereka dengan keras.

“Eit, melawan juga si Mbak ini..”, seorang pemuda yang membuka celana lia  hanya menyeringai.

Dengan kaki terikat Lia di seret ke meja di antara sova ruang tamu apartemen. Dengan sekali kibas sebuah fas bunga jatuh berhamburan.

“Aahh! Jangan Pak! Jangannn!”, Lia mulai menangis ketika ia ditelentangkan di atas meja itu.

Sementara kedua tangannya yang terikat terus dipegang ke belakang, empat lelaki itu  lebih leluasa menurunkan celana panjang ungu Lia. Bahkan sepatunya terlepas.

Diperlakukan seperti itu, Lia menangis,  ia dapat merasakan AC di ruangan  menerpa kulit pahanya. Celana panjangnya  telah terlepas jatuh meski masih tergantung di ujung kakinya.

Lia lemas. Hal ini menguntungkan kedua penyiksanya. Dengan mudah mereka menanggalkan baju lengan panjang dan menarik CD pink Lia. Lia mengenakan setelan pakaian dalam berenda yang juga warna pink yang mini dan sexy.

Mulailah pemerkosaan itu. Tangan Lia telah diikat oleh para pemerkosa yang dendam terhadap orang tuanya.Dengan mudah para lelaki itu menyaksikan Lia terikat dengan dada menjuntai meski masih memakai BH. Sementara perut ke bawah pusar sudah keliahtan jelas menunjukan memeknya yang dirimbuni jembut.

CD Lia sendiri telah lepas sebelumnya menutup memeknya, CD itu mengantung di lutut. Lelaki satu yang paling senior memanfaatkan pemandangan itu dengan cara mengelus-elus selengkangan perempuan muda beranak satu itu.

Telapak tangan menjamah sebuah gundukan memek yang ditumbuhi jembut agak rimbun. Sementara jari asik menelusup ke bagian bibir memek menerobos mencukil itil Lia, memainkan dengan jari dan membuat Lia merintih menangis kenikmatan.

Payudara Lia yang kencang mulai kena sasaran, meski masih terbungkus BH, sejumlah tangan mengelus bertubi-tubi menerobos ke gunungan dan pengtilnya.

Tubuh Lia memang langsing namun kencang menggairahkan. Payudaranya biasa ukuran 34 namun kencang. Seluruh tubuhnya pejal kenyal. Dalam keadaan terlentang di meja seperti ini ia tampak sangat menggairahkan.

Pemerkosaan terus berlanjut, BH Lia sudah lepas entah kemana, Kini tak hanya bibir, empat orang berebut menciumi dan menjilat tubuh lansging bak artis ibu kota itu. Termasuk  si tua pemerkosa yang jadi pemimpin itu, tak lagi merabai memek dan memainkan itil, tapi sudah mengarahkan mulut dan lidahnya menerobos di memek Lia .

dsdac

Bibirnya yang penuh berlipstik merah menyala membentuk huruf O itu sudah diilatin habis-haisan. Mata Lia basah, air mata mengalir di pipinya.

“cliup ciup, !”, suara bibir lidah dan beradu antara bibir memek dan itil Lia Lia yang dijilat oleh pemerkosa, celana dalam  telah ditarik hingga sebagian robek.

Hanya meninggalkan jilbab masih menutup kepalanya, Lia benar-benar merasa terhina. Ia dibiarkan tak bercelana dalam yang sudah mengelantung di lutut bersama celananya.

Sementara penis sang komandan Pemerkosa yang besar dan keras mulai tak bisa dikendalikan, ia pun mulai mengarahkan peler ukuran 16 CM itu ke mulut Lia yang sebelumnya beradu dengan mulut anak buahnya yang kini bergantian memainkan memek.

Lia terpaksa mengulum peler yang tak ia sukai, meski saat kuliah dan pacaran dulu ia sering melakukan oral. Namun  oral kali ini merupakan keterpaksaan.

“Ouuhh! ooupp,…”, Lia gelagapan.

Sementara lelaki lain yang sebelumnya menciumi bibirnya beralih haluan menjilati memek lia, bahkan yang masih muda kurang puas hanya mendapatkan memek dan itil yang telah dijilat. Lelaki yang umur baru 26 tahun itu mengangkat kaki lia dan menekuk shingga kelihatan dubur dan menjilatinya.

Tubuh lia seakan menjadi bulan-bulanya sekelompok singga lapar,ia terkapar tak berdaya dalam kebugilan oleh empat lelaki yang mengerubuti.

Tiba-tiba sang aktor lelaki tertua pemerkosa, memminta yang lain meninggalkan memek lia dari jilatan mulut. Ia lansgung melakukan eksekusi dnegan menyodok peler ukuran 16 cm ke memek Lia yang telah basah kuyup oleh ludah dan cairan memeknya sendiri.
Lelaki itu menyodok memek lia yang telah terbuka menerobos di antara jembut dan bibir memek serta itil yang telah terbuka. Sementara tangannya meremas-remas dadanya yang kencang. Lia hanya mampu menangis tak berdaya.

Kurang puas memompa Lia yang terlentang di atas meja, tiba-tiba lelaki yang telah menyodokan pelernya pertama kali ke memek Lia mengangkat kaki lia dari lutut, kemudian menyodokan penisnya yang keras panjang.

Lia memang sedang sial dan tak mampu berbuat banyak, ia hanya menahan rasa ngilu di selangkangannya. Sementara lelaki pemerkosa pertama terus memompa memek, sedangkan yang lain memperkosa mulutnya.

Meja itu berderit derit mengikuti sentakan-sentakan tubuh mereka. Lelaki tua mendesak dari depan lewat tusukan memek Lia, sementara lelaki lain  menyodok dari depan lewat mulut Lia.

Bibir Lia yang penuh itu terbuka lebar-lebar menampung kemaluan yang dijejalkan secara bergantian  saat memeknya mendapat tusukan yang terus keluar masuk.

Tiba-tiba sang ketua pemerkosa yang dendam terhadap orang tuanya itu mencabut pelernya dan menarik Lia.

“Ampuunnn…, hentikan Pak..”, Lia menangis tersengal-sengal.

Lelaki itu duduk di atas sofa tamu kemudian dengan dibantu yang lain  Lia dinaikkan ke pangkuannya, berhadapan dengan pahanya yang terbuka.

“Slebb!”, kemaluan lelaki tua itu  kembali masuk ke vagina Lia yang sudah basah.

Lia menggelinjang, melenguh dan merintih. Lelaki itu  kembali memeluk Lia sambil memaksa melumat bibirnya. Kemudian mulai mengaduk aduk vagina ibu muda yang anaknya baru berusia lima tahun itu.

Lia masih tersengal-sengal melayani serangan mulut dan memeknya, namun sesaat kemudian ketika dirasakannya sesuatu yang keras dan basah memaksa masuk ke lubang anusnya yang sempit.
Ternyata  lelaki muda yang mendapat giliran sudah tak tahan dan  mulai memaksa menyodominya.

Liat tak mamapu teriak karena bibirnya dilumat. Sementara perutnya tersa mulas karena dorongan peler dari pemerkosa lain yang mendorong peler dari anus.

“Nghhmmm..! Nghh! Jahannaammm…!”, Lia berusaha meronta, saat mampu melepaskan mulutnya dari lumatan pemerkosa.

Namun teriakan yang ia lakukan justru menambah gairah para pemerkosa yang terus beramai-ramai  menjilatin tubuh dan nenenya.

Lia lemas tak berdaya sementara ketiga lubang di tubuhnya disodok bergantian. Payudaranya diremas dari depan maupun belakang. Tubuhnya yang basah oleh peluh semakin membuat dirinya tampak erotis dan merangsang.

Juga rintihannya. Tiba-tiba gerakan kedua pemerkosanya yang semakin cepat dan dalam mendadak berhenti. Lia diteleungkupkan  dengan tergesa kemudian lelaki lain  menyodokkan kemaluannya ke mulut perempuan yang jadi pegawai karena KKN itu.

Lia gelagapan ketika lelaki pemerkosa Senior mengocok pelernya yang bafu lepas dari memek kemudian mendadak  kepala Lia dipegang erat dan…
“Crrrt! Crrrt!”, cairan sperma lelaki itu muncrat ke dalam mulutnya, bertubi-tubi.
Lia merasa akan muntah. Tapi lelaki itu  terus menekan hidung Lia hingga ia terpaksa menelan cairan kental itu.

Lelaki itu terus memainkan batang pelernya di mulut Lia hingga bersih. Lia tersengal sengal berusaha menelan semua cairan lengket yang masih tersisa di langit-langit mulutnya.

Lelaki tua pemerkosa pertama klimak, mendadak yang lain ikut memasukkan batang kemaluannya ke mulut Lia. Kembali mulut  gadis itu diperkosa. Lia terlalu lemah untuk berontak.

Ia pasrah hingga kembali cairan sperma mengisi mulutnya. Masuk ke tenggorokannya. Lia menangis sesengggukan.

Para pemerkosa biadab itu memakai celana dalam Lia untuk membersihkan sisa spermanya.

“Wah.. bener-bener kenangan indah, yuk..”, ujar lelaki tua yang pertama kali memasukan pelernya ke memek Lia sambil membuka pintu kulkas mengambil minuman.

Tak lama kemudian diikuti 3 orang lain  yang secara bergiliran memperkosa mulut, anus dan memek Lia.

Pemuda yang tengah menyetubuhi mulutnya mengerang ketika cairan spermanya muncrat mengisi mulut Lia. Gadis itu gelagapan menelannya hingga habis. Kepalanya dipegangi dengan sangat erat. Dan lelaki lain langsung menyodokkan batang kemaluannya menggantikan rekannya. Lia dipaksa menelan sperma semua pemuda itu bergiliran. Mereka juga bergiliran menyodomi dan memperkosa semua lubang di tubuh Lia bergiliran.

Tubuh Lia yang langsing itu basah berbanjir peluh dan sperma. Jilbabnya telah penuh noda-noda sperma kering. Akhirnya Lia ditelentangkan di sofa, kemudian para lelaki itu bergiliran menikmati makanan  dan minuman keras.
Namun tak lama kemudian mereka kembali mengilir Lia seperti semula  secara bergiliran.

Ketika telah selesai Lia telentang dan tersengal-sengal lemas. Tubuh dan wajahnya belepotan cairan sperma, keringat dan air matanya sendiri. Lia pingsan. Tapi para para lelaki itu ternyata belum puas. mereka melakukan hinga dua kali klimak.

Dan malam itu sebagai malam jahanam bagi Lia. Sampai saat ini trauma mendalam dialami oleh Lia, dan dia sangat sedih dengan perkosaan itu.

Nah pemerkosaan itu terjadi saat ia melanjutkan kuliah dan tinggal di apartemen yang disewa orang tuanya.

Pemerkosaan itu tak lepas dari kasus politik dendam seorang atasan orang tuanya yang gagal mencalonkan meraih kekuasaan oleh penghianatan orang tuanya yang menjelang pensiun.

Suatu hari di sore hari Lia terkejut saat membuka pintu apartemennya yang tak terkunci, sementara barang-barang di kamarnya berantakan. Ia berfikir terjadi pencurian, namun belum sempat ia berikir ke arah yang lain dua orang menyergap dan menutupkembali pintu kamarnya, dua orang itu mengunci tangan dan menutup mulutnya.
Sementara seorang yang muncul dibalik daun pintu menutup pintu dan mengkuncinya dari dalam.

“Tenang Lia?”, tiba-tiba seorang  menegurnya dari kegelapan ujung ruangkan apartemenya .

Tentu saja Lia terkejut, ada empat orang telah mengepungnya. “Eh tolong lepasin gua,…”, Lia meronta berusaha melepas dari cengekraman.

“Lia, santai saja, kamu akan mendapat kenikamatan malam ini hingga besok..”, seorang dari mereka berkata

“Hhm,,, tolong lepasin”, Lia menjawab sambil terus berontak.

Teriakan Lia nyaris tak terdengar, apa lagi di luar, ruangan kamar yang telah tertutup pintu. Apartemen yang ia sewa itu kedap suara karena dilapisi karpet rapat di tembok dan lantai.

“Mau lepas..? tapi kami minta kenang-kenangan dulu ya,” tiba-tiba seorang yang yang berada di depannya mengancam sambil melihat kakinya yang bergerak-gerak ingin lepas.

“Lepaskan, ambil semua barang saya .. tapi lepasin saya dulu..”, Lia menjawab.

Tiba-tiba ia merasa gugup dan cemas. Seorang yang kelihata lebih tua mencekal lengan Lia. Sebelum Lia tersadar, kedua tangannya telah dicekal ke belakang oleh mereka lalu diikat.
“Aah! Jangan Pak!”.

Selanjutnya lelaki itu menarik blus lengan panjang warna ungu milik Lia. Ibu muda itu terkejut dan tersentak ketika kancing blusnya berhamburan.
Lelaki itu menyeringai ketika melihat rekanya membuka kancing celana panjang Lia, lalu menarik resleting. Lia berusaha meronta, namun tak berdaya. Pinggulnya yang kencang yang terbungkus celana longar mulai kelihatan, termasuk CDnya berwarna pink mencuat.

“Jangannnn! Lepaskannn!”, Lia berusaha meronta.

Lelaki  yang memmbuka celana itu terus melanjutkan berusaha menurunkan celana panjang ungu Lia. Sebenarnya di antara para lelaki itu sudah sejak lama memperhatikan Lia. Perempuan yang langsing yang selama ini terbalut rok dan Jilbab yang selalu berganti model itu sering mereka intipnya ketika ke kamar mandi kantor.

Saat ini mereka sudah tak tahan lagi. Bahkan ketika kaki Lia menyepak mereka dengan keras.

“Eit, melawan juga si Mbak ini..”, seorang pemuda yang membuka celana lia  hanya menyeringai.

Dengan kaki terikat Lia di seret ke meja di antara sova ruang tamu apartemen. Dengan sekali kibas sebuah fas bunga jatuh berhamburan.

“Aahh! Jangan Pak! Jangannn!”, Lia mulai menangis ketika ia ditelentangkan di atas meja itu.

Sementara kedua tangannya yang terikat terus dipegang ke belakang, empat lelaki itu  lebih leluasa menurunkan celana panjang ungu Lia. Bahkan sepatunya terlepas.

Diperlakukan seperti itu, Lia menangis,  ia dapat merasakan AC di ruangan  menerpa kulit pahanya. Celana panjangnya  telah terlepas jatuh meski masih tergantung di ujung kakinya.

sn_

Lia lemas. Hal ini menguntungkan kedua penyiksanya. Dengan mudah mereka menanggalkan baju lengan panjang dan menarik CD pink Lia. Lia mengenakan setelan pakaian dalam berenda yang juga warna pink yang mini dan sexy.

Mulailah pemerkosaan itu. Tangan Lia telah diikat oleh para pemerkosa yang dendam terhadap orang tuanya.Dengan mudah para lelaki itu menyaksikan Lia terikat dengan dada menjuntai meski masih memakai BH. Sementara perut ke bawah pusar sudah keliahtan jelas menunjukan memeknya yang dirimbuni jembut.

CD Lia sendiri telah lepas sebelumnya menutup memeknya, CD itu mengantung di lutut. Lelaki satu yang paling senior memanfaatkan pemandangan itu dengan cara mengelus-elus selengkangan perempuan muda beranak satu itu.

Telapak tangan menjamah sebuah gundukan memek yang ditumbuhi jembut agak rimbun. Sementara jari asik menelusup ke bagian bibir memek menerobos mencukil itil Lia, memainkan dengan jari dan membuat Lia merintih menangis kenikmatan.

Payudara Lia yang kencang mulai kena sasaran, meski masih terbungkus BH, sejumlah tangan mengelus bertubi-tubi menerobos ke gunungan dan pengtilnya.

Tubuh Lia memang langsing namun kencang menggairahkan. Payudaranya biasa ukuran 34 namun kencang. Seluruh tubuhnya pejal kenyal. Dalam keadaan terlentang di meja seperti ini ia tampak sangat menggairahkan.

Pemerkosaan terus berlanjut, BH Lia sudah lepas entah kemana, Kini tak hanya bibir, empat orang berebut menciumi dan menjilat tubuh lansging bak artis ibu kota itu. Termasuk  si tua pemerkosa yang jadi pemimpin itu, tak lagi merabai memek dan memainkan itil, tapi sudah mengarahkan mulut dan lidahnya menerobos di memek Lia .

Bibirnya yang penuh berlipstik merah menyala membentuk huruf O itu sudah diilatin habis-haisan. Mata Lia basah, air mata mengalir di pipinya.

“cliup ciup, !”, suara bibir lidah dan beradu antara bibir memek dan itil Lia Lia yang dijilat oleh pemerkosa, celana dalam  telah ditarik hingga sebagian robek.

Hanya meninggalkan jilbab masih menutup kepalanya, Lia benar-benar merasa terhina. Ia dibiarkan tak bercelana dalam yang sudah mengelantung di lutut bersama celananya.

Sementara penis sang komandan Pemerkosa yang besar dan keras mulai tak bisa dikendalikan, ia pun mulai mengarahkan peler ukuran 16 CM itu ke mulut Lia yang sebelumnya beradu dengan mulut anak buahnya yang kini bergantian memainkan memek.

Lia terpaksa mengulum peler yang tak ia sukai, meski saat kuliah dan pacaran dulu ia sering melakukan oral. Namun  oral kali ini merupakan keterpaksaan.

“Ouuhh! ooupp,…”, Lia gelagapan.

Sementara lelaki lain yang sebelumnya menciumi bibirnya beralih haluan menjilati memek lia, bahkan yang masih muda kurang puas hanya mendapatkan memek dan itil yang telah dijilat. Lelaki yang umur baru 26 tahun itu mengangkat kaki lia dan menekuk shingga kelihatan dubur dan menjilatinya.

Tubuh lia seakan menjadi bulan-bulanya sekelompok singga lapar,ia terkapar tak berdaya dalam kebugilan oleh empat lelaki yang mengerubuti.

Tiba-tiba sang aktor lelaki tertua pemerkosa, memminta yang lain meninggalkan memek lia dari jilatan mulut. Ia lansgung melakukan eksekusi dnegan menyodok peler ukuran 16 cm ke memek Lia yang telah basah kuyup oleh ludah dan cairan memeknya sendiri.
Lelaki itu menyodok memek lia yang telah terbuka menerobos di antara jembut dan bibir memek serta itil yang telah terbuka. Sementara tangannya meremas-remas dadanya yang kencang. Lia hanya mampu menangis tak berdaya.

Kurang puas memompa Lia yang terlentang di atas meja, tiba-tiba lelaki yang telah menyodokan pelernya pertama kali ke memek Lia mengangkat kaki lia dari lutut, kemudian menyodokan penisnya yang keras panjang.

Lia memang sedang sial dan tak mampu berbuat banyak, ia hanya menahan rasa ngilu di selangkangannya. Sementara lelaki pemerkosa pertama terus memompa memek, sedangkan yang lain memperkosa mulutnya.

Meja itu berderit derit mengikuti sentakan-sentakan tubuh mereka. Lelaki tua mendesak dari depan lewat tusukan memek Lia, sementara lelaki lain  menyodok dari depan lewat mulut Lia.

Bibir Lia yang penuh itu terbuka lebar-lebar menampung kemaluan yang dijejalkan secara bergantian  saat memeknya mendapat tusukan yang terus keluar masuk.

Tiba-tiba sang ketua pemerkosa yang dendam terhadap orang tuanya itu mencabut pelernya dan menarik Lia.

“Ampuunnn…, hentikan Pak..”, Lia menangis tersengal-sengal.

Lelaki itu duduk di atas sofa tamu kemudian dengan dibantu yang lain  Lia dinaikkan ke pangkuannya, berhadapan dengan pahanya yang terbuka.

“Slebb!”, kemaluan lelaki tua itu  kembali masuk ke vagina Lia yang sudah basah.

Lia menggelinjang, melenguh dan merintih. Lelaki itu  kembali memeluk Lia sambil memaksa melumat bibirnya. Kemudian mulai mengaduk aduk vagina ibu muda yang anaknya baru berusia lima tahun itu.

Lia masih tersengal-sengal melayani serangan mulut dan memeknya, namun sesaat kemudian ketika dirasakannya sesuatu yang keras dan basah memaksa masuk ke lubang anusnya yang sempit.
Ternyata  lelaki muda yang mendapat giliran sudah tak tahan dan  mulai memaksa menyodominya.

Liat tak mamapu teriak karena bibirnya dilumat. Sementara perutnya tersa mulas karena dorongan peler dari pemerkosa lain yang mendorong peler dari anus.

“Nghhmmm..! Nghh! Jahannaammm…!”, Lia berusaha meronta, saat mampu melepaskan mulutnya dari lumatan pemerkosa.

Namun teriakan yang ia lakukan justru menambah gairah para pemerkosa yang terus beramai-ramai  menjilatin tubuh dan nenenya.

vsdv

Lia lemas tak berdaya sementara ketiga lubang di tubuhnya disodok bergantian. Payudaranya diremas dari depan maupun belakang. Tubuhnya yang basah oleh peluh semakin membuat dirinya tampak erotis dan merangsang.

Juga rintihannya. Tiba-tiba gerakan kedua pemerkosanya yang semakin cepat dan dalam mendadak berhenti. Lia diteleungkupkan  dengan tergesa kemudian lelaki lain  menyodokkan kemaluannya ke mulut perempuan yang jadi pegawai karena KKN itu.

Lia gelagapan ketika lelaki pemerkosa Senior mengocok pelernya yang bafu lepas dari memek kemudian mendadak  kepala Lia dipegang erat dan…
“Crrrt! Crrrt!”, cairan sperma lelaki itu muncrat ke dalam mulutnya, bertubi-tubi.
Lia merasa akan muntah. Tapi lelaki itu  terus menekan hidung Lia hingga ia terpaksa menelan cairan kental itu.

Lelaki itu terus memainkan batang pelernya di mulut Lia hingga bersih. Lia tersengal sengal berusaha menelan semua cairan lengket yang masih tersisa di langit-langit mulutnya.

Lelaki tua pemerkosa pertama klimak, mendadak yang lain ikut memasukkan batang kemaluannya ke mulut Lia. Kembali mulut  gadis itu diperkosa. Lia terlalu lemah untuk berontak.

Ia pasrah hingga kembali cairan sperma mengisi mulutnya. Masuk ke tenggorokannya. Lia menangis sesengggukan.

Para pemerkosa biadab itu memakai celana dalam Lia untuk membersihkan sisa spermanya.

“Wah.. bener-bener kenangan indah, yuk..”, ujar lelaki tua yang pertama kali memasukan pelernya ke memek Lia sambil membuka pintu kulkas mengambil minuman.

Tak lama kemudian diikuti 3 orang lain  yang secara bergiliran memperkosa mulut, anus dan memek Lia.

Pemuda yang tengah menyetubuhi mulutnya mengerang ketika cairan spermanya muncrat mengisi mulut Lia. Gadis itu gelagapan menelannya hingga habis. Kepalanya dipegangi dengan sangat erat. Dan lelaki lain langsung menyodokkan batang kemaluannya menggantikan rekannya. Lia dipaksa menelan sperma semua pemuda itu bergiliran. Mereka juga bergiliran menyodomi dan memperkosa semua lubang di tubuh Lia bergiliran.

Tubuh Lia yang langsing itu basah berbanjir peluh dan sperma. Jilbabnya telah penuh noda-noda sperma kering. Akhirnya Lia ditelentangkan di sofa, kemudian para lelaki itu bergiliran menikmati makanan  dan minuman keras.
Namun tak lama kemudian mereka kembali mengilir Lia seperti semula  secara bergiliran.

Ketika telah selesai Lia telentang dan tersengal-sengal lemas. Tubuh dan wajahnya belepotan cairan sperma, keringat dan air matanya sendiri. Lia pingsan. Tapi para para lelaki itu ternyata belum puas. mereka melakukan hinga dua kali klimak.

Dan malam itu sebagai malam jahanam bagi Lia. Sampai saat ini trauma mendalam dialami oleh Lia, dan dia sangat sedih dengan perkosaan itu.

KETIKA IBLIS MENGUASAI 6

Perselingkuhan Aida dan Pak Sobri

Apakah pak Sobri sudah puas dengan pengalaman sekali saja menggarap Aida – ataukah di masa depan masih ada kesempatan lagi mencicipi tubuh Aida yang bahenol itu? Apakah Aida telah belajar kenal dengan semua teknik bercinta? Ooh, masih jauh dari itu. Pak Sobri bertekad akan mengulang menikmati Aida dengan cara lain dan menjadikannya budak sex yang patuh 100%

ANNISA ISLAMIYAH (11)

***

Keadaan kesehatan Ubaidillah yang dirawat di RS hanya menunjukkan perbaikan sedikit sekali. Uang yang diperoleh dari pak Sobri telah terpakai untuk segala macam pemeriksaan, perawatan, obat-obatan, dan juga honorarium dari para dokter spesialis. Sementara itu Ustadz Mamat serta adik iparnya, Farah, tetap belum memperoleh pamasukan yang pasti.

Secara sepintas terdengar jumlah uang tiga juta yang diperoleh Aida dari pak Sobri memang banyak, namun dengan kenaikan harga kebutuhan hidup sehari-hari, ditambah biaya RS, maka punahlah semuanya bagaikan tetesan air di kuali panas yang langsung menguap di udara. Demi mengusahakan agar dapur tetap berasap, maka Ustadz Mamat terpaksa sering bekerja di sebuah madrasah di kota kecil lain yang cukup jauh sehingga tak jarang harus menginap satu dua malam meninggalkan rumahnya.

Demikian pula dengan Farah yang karangannya belum juga dimuat dan telah mengalami pelecehan oleh pak Burhan, berusaha melupakan pengalaman gelapnya itu dengan bekerja sebagai guru agama di Sekolah Rakyat di sebuah desa yang berjauhan dengan rumahnya. Dengan demikian maka Aida semakin sering tinggal seorang diri di rumahnya – dan hal ini tentu saja tak luput dari pengamatan para lelaki di desa itu. Salah satu lelaki yang mengamati bagaimana keadaan Aida adalah seorang duda pemilik warung serba ada kecil-kecilan di desa itu : Fadillah.

Fadillah telah berusia masuk lima puluh tujuh, bertubuh sangat kekar dan wajah sangat bengis, jarang tertawa terkecuali jika ada langganan yang datang untuk membeli seorang wanita muda. Fadillah yang sehari-hari disebut Fadil itu pernah bekerja sebagai buruh kuli harian, dan kebetulan dahulu menjadi kuli bangunan pada saat rumah pak Sobri dibangun. Dimasa menjadi kuli borongan itulah, Fadil yang memang berjiwa maksiat, pernah mencuri bahan bangunan dan berusaha menjualnya di pasar gelap.

Akibatnya Fadil ditangkap polisi dan dimasukkan ke penjara – namun karena istri Fadil almarhum merasa kasihan terhadap suaminya, maka ia meminta tolong kebijaksanaan kepada pak Sobri yang banyak mengenal pihak polisi. Istri Fadil bernama Subiati memang cukup cantik sehingga pak Sobri bersedia menolongnya, namun tentu saja tidak dengan gratis, melainkan menjebak Subiati ke rumahnya untuk dapat digarapnya.

ANNISA ISLAMIYAH (10)

Subiati sebagai istri alim shalihah tak dapat sembuh kembali dari tekanan jiwa akibat perkosaan yang dialami, sehingga menderita tekanan batin dan semakin kurus akibat mengidap sakit paru-paru. Perempuan itu akhirnya meninggal mendahului suaminya, Fadillah, yang sejak saat itu hidup menduda.

Setelah ditinggal mati sang istri, Fadillah menjadi kaki tangan pak Sobri, terutama di dalam hal mencarikan ‘daun muda” di desa, karena Fadillah faham sekali apa kegemeran dan kesenangan pak Sobri.

Oleh karena itulah Fadillah mendapat perintah dari pak Sobri agar memperhatikan bagaimana kehidupan Aida setelah berhasil digarap olehnya, terutama pada saat berbelanja keperluan dapur di kedai milik Fadillah yang sejak awal mula didirikan dengan modal dari pak Sobri.

Tentu saja Fadillah harus menahan nafsunya sendiri melihat istri Ustadz yang seronok behenol setiap kali membeli beras, minyak dan bumbu-bumbu masak lainnya. Fadillah berusaha ramah-tamah dan menanyakan bagaimana keadaan Ustadz Mamat yang semakin lama semakin jarang muncul sendiri di warung itu.

Semula agak segan Aida menceritakan keadaan keluarganya, keadaan ayahnya yang masih dirawat di rumah sakit, kegiatan yang dilakukan suaminya mencari nafkah. Namun karena Fadillah yang memang diberikan perintah oleh pak Sobri untuk menjebak Aida semakin sering memberikan potongan harga dan menjual barang keperluan sehari-hari jauh di bawah harga pasaran biasa , maka Aida tanpa disadari mulai terhanyut oleh ’kebaikan hati’ laki-laki itu.

Dalam waktu hanya beberapa minggu, maka Fadillah telah memperoleh banyak informasi dari Aida yang polos dan lugu, bahwa biasanya di hari Senin dan Kamis, Ustadz Mamat mempunyai tugas mengajar para siswi di madrasah yang terletak cukup jauh dari desa. Informasi berharga ini disampaikan kepada pak Sobri yang memang selalu mencari kesempatan untuk menggauli kembali wanita alim idamannya itu. Apalagi memasuki musim hujan, maka hubungan antar desa semakin sukar sehingga Ustadz Mamat lebih sering terpaksa bermalam di madrasah setelah usai tugas mengajarnya itu – meninggalkan istrinya Aida seorang diri di rumah.

***

Setelah makan siang bersama, kembali Ustadz Mamat meninggalkan Aida, istrinya, untuk balik mengajar ke madrasah tempatnya bekerja. Ia memberitahu Aida bahwa karena banyaknya tugas, maka ia akan bermalam di asrama madrasah selama dua hari.

Secara naluri, Aida merasakan adanya perbedaan kelakuan suaminya sejak mempunyai pekerjaan di madrasah baru yang terletak di desa lain itu. Aida merasakan bahwa suaminya tidak lagi menunjukkan kegairahan di saat menggaulinya sebagaimana lazimnya seorang suami dengan istri yang masih berusia muda. Tak banyak dilakukan oleh Ustadz Mamat untuk mencumbu merayu sang istri sebelum sanggama, dan sesudah itupun, Ustadz Mamat langsung membalikkan tubuhnya ke arah lain dan mendengkur.

Aida yang baru saja kehilangan ayahnya yang meninggal setelah menderita stroke, ikut acuh pula terhadap sang suami. Dalam suasana kesedihan itulah, Aida merasakan tak adanya seseorang yang dapat menghibur dirinya; ketiga adik perempuannya semakin sibuk dengan tugas dan kuliah masing masing. Bahkan tak pernah diduganya bahwa Farah telah menjadi korban pelecehan pak Burhan dan kini menjadi guru di sekolah agama sehingga hanya sekali dua kali sebulan mengunjunginya.

ANNISA ISLAMIYAH (9)

Ada dugaan di dalam hati kecil Aida bahwa Ustadz Mamat, suaminya, mungkin menyeleweng dengan wanita lain; mungkin dengan salah seorang siswi muridnya sendiri. Namun dengan segera dihapusnya rasa syak wasangka itu. Semua siswi madrasah pasti alim shalihah, mana mungkin mau untuk menjadi sasaran nafsu gurunya sendiri? Demikianlah cara berpikir Aida yang amat lugu dan naif.

Selain itu Aida menyimpan pula sebuah rahasia dan rasa bersalah karena telah menjadi korban pak Sobri. Semuanya menyebabkan Aida semakin merasakan dirinya sendiri kurang berharga dan tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya untuk memulihkan segalanya seperti awal semula.

Semua suasana yang kurang menguntungkan itu tentu saja tidak luput dari pengawasan iblis yang memakai ‘anak buah’nya yaitu Fadillah, si pemilik warung dimana Aida selalu belanja.

Setelah suaminya kembali ke tempat kerja di madrasah, maka Aida bergegas membeli keperluan mandi di warung langganannya itu, dan karena kebetulan sepi maka mereka ngobrol sebentar. Dari hasil obrolan itulah Fadillah mengetahui bahwa Ustadz Mamat akan absen selama dua hari, artinya Aida hanya seorang diri di rumahnya karena ketiga adik wanitanya pun sibuk dengan kegiatan masing-masing.

Fadillah yang tahu bagaimana keadaan Aida, segera melapor kepada majikannya yaitu pak Sobri. Dengan seksama pak Sobri mendengarkan laporan Fadillah, dan paham inilah kesempatannya untuk menikmati istri Ustadz yang selalu dirindukannya sejak digarap tempo hari.

Fadillah memberitahukan pula kepada pak Sobri bahwa Aida meminta bantuannya mendirikan tiang jemuran di halaman belakang serta memperbaiki grendel pintu belakang yang hampir terlepas. Aida telah bosan meminta suaminya membetulkan kedua hal sepele itu, namun entah memang sengaja atau tidak, selalu dilupakan oleh Ustadz Mamat. Fadillah berjanji akan datang setelah menutup warungnya di sore hari.

Pucuk dicinta ulam pun tiba, demikian pikir pak Sobri yang memang mencari akal untuk dapat masuk ke rumah Aida. Setelah berhasil menipunya tempo hari, maka kemungkinan besar Aida tak akan mau membukakan pintu jika pak Sobri yang datang sendirian. Fadillah akan dijadikannya sebagai umpan pemancing; pada saat Fadillah membetulkan tiang jemuran itu, maka pak Sobri akan coba menyelinap masuk. Semuanya harus diatur sedemikian rupa waktunya sehingga bisa berjalan lancar.

Pak Sobri bertekad kali ini akan menggarap dan menaklukkan Aida untuk dijadikan budak seks-nya, sehingga di masa depan Aida akan selalu ‘ketagihan’ dan bersedia menerimanya tanpa bantuan serta akal bulus siapapun.

Fadillah juga tidak sebodoh yang diperkirakan pak Sobri. Untuk ‘jasanya’ menjadi umpan pemancing kali ini, maka diajukannya persyaratan bahwa ia harus diberi kesempatan untuk ikut menikmati tubuh Aida yang sudah lama dilahap matanya saat belanja di warung.

Setelah menimbang semua untung ruginya, akhirnya pak Sobri menyetujui keinginan Fadillah – saat itulah iblis menyeringai lebar penuh kepuasan karena dua manusia itu akhirnya jatuh ke dalam jebakannya!!!

Pak Sobri menjanjikan kepada Fadillah untuk boleh menikmati tubuh Aida, namun harus tunggu giliran. Fadillah diberikan petunjuk untuk merejang kedua tangan Aida, kemudian jika perlu diikatnya di ujung ranjang, demikian pula kedua pergelangan kakinya jika Aida tetap melawan. Setelah itu Fadillah harus menunggu giliran untuk dapat menikmati mulut serta buah dada Aida, namun kedua lubang di bawah adalah milik pak Sobri.

Fadillah semula menolak dan menuntut agar diberi kesempatan menikmati semua lubang di tubuh Aida, bahkan sedikit mengancam akan mengundurkan diri dan membatalkan bantuannya, hingga akhirnya pak Sobri bersedia bernegosiasi lebih lanjut dan memberikan tawaran bahwa disamping Fadillah diperkenankan menciumi mulut Aida, ia juga boleh meminta service lainnya. Namun memek Aida tetap menjadi bagian yang tabu bagi Fadillah, ia boleh merangsang sedemikian rupa, namun tak boleh dicoblos – bagian ini adalah hak monopoli pak Sobri.

Selain itu pak Sobri berniat menjarah lubang Aida lainnya yang di waktu pergulatan pertama belum sempat ia nikmati; sebuah lubang yang diyakini pak Sobri belum pernah dijamah oleh Ustadz Mamat, suami Aida, yang di dalam bidang seksual tidak begitu banyak fantasi liar.

Tanpa meneruskan perundingan mereka, sebetulnya Fadillah pun berpikir bahwa jika vagina Aida tidak boleh ia nikmati, mungkin ada lubang lain dimana si otongnya dapat mampir. Itu sama dengan yang diinginkan olek pak Sobri. Sepertinya mereka akan rebutan nanti.

***

Sore itu terasa udara sangat panas menyengat, langit mendung dan beberapa kali terdengar gelegar guntur. Namun hujan yang turun tak begitu lebat, hanya gerimis rintik-rintik saja. Tidak seperti biasanya, Fadillah telah menutup warungnya sekitar jam empat sore, kemudian dengan sepeda motor bekas pemberian pak Sobri, ia melawan rintik hujan menuju rumah Aida yang letaknya di pinggiran desa, agak tersembunyi di balik pelbagai pohon besar.

Di gang kecil tempat tinggal Ustadz Mamat hanya ada tiga rumah lain – yang terletak paling memojok di akhir jalan adalah rumah Aida. Ketika Fadillah membelokkan sepeda motornya memasuki gang itu, dilihatnya bahwa Aida sedang bergegas akan masuk ke rumah tetangganya di ujung jalan, di tangannya membawa botol kecil.

“Eeh, mau pergi kemana, ustazah? Saya kan sore ini mau membetulkan jemuran di belakang rumah,” demikian tanya Fadillah sambil menghentikan sepeda motornya.

“Iya, ini saya mau bawakan minyak tawon ke bu Nur, karena ia barusan jatuh di tepi sumur hingga lututnya memar. Silahkan bapak mulai saja betulkan jemuran dan pegangan pintu belakang, saya tidak lama koq.” jawab Aida dengan nafas agak tersengal dan segera masuk ke rumah bu Nur.

“Baik, ustazah. Saya harus mulai nih karena sudah turun hujan gerimis,” lanjut Fadillah yang merasa dapat kesempatan baik untuk memberitahu pak Sobri yang ternyata secara seksama mengikuti semua adegan itu dari belakang setir mobilnya yang berada di tempat agak jauh.

Ketika Aida telah masuk ke rumah bu Nur, maka Fadillah mengacungkan tangannya ke atas sebagai tanda bahwa pak Sobri agar segera parkir dan meninggalkan mobilnya. Pak Sobri lekas melakukannya. Setelah itu, bagaikan dikejar setan, ia langsung lari secepatnya mengikuti jejak Fadillah yang telah memutari pekarangan rumah Ustadz Mamat dan kini mulai menegakkan jemuran pakaian yang miring itu.

Rupanya Aida lagi mengangkat pakaian di jemuran ketika dia dipanggil oleh bu Nur, sehingga ia bergegas ke dalam mengambil botol minyak tawon dan berlari ke rumah tetangganya itu, tanpa menyadari bahwa pintu belakang rumahnya lupa ia kunci. Akibatnya, kini dengan mudah pak Sobri masuk ke dalam dan bersembunyi di dalam kamar tidur Ustadz Mamat.

Hujan gerimis berubah semakin lebat sehingga tanah menjadi sangat basah. Fadillah dengan mudah dapat menegakkan tiang penyangga jemuran, namun untuk memasang pondasi semen pada saat itu sungguh tidak mungkin. Karena itulah ia memutuskan untuk mengalihkan kegiatannya membetulkan grendel pintu belakang, dan hal itu ternyata hanya sepele saja; cukup dengan mengencangkan dua sekrup kecil yang berada di pegangan grendel sebelah dalam dan luar, maka sebentar saja grendel itu telah mantap dan tak goyang lagi sedikitpun.

Di saat Fadillah berniat untuk menyimpan lagi segala peralatan yang dibawanya ke tas di bagian belakang sepeda motornya, ternyata Aida telah kembali dan merasa kasihan karena Fadillah basah kuyup. Namun sebagai ustazah yang alim maka tak mungkin ia mengajak Fadillah masuk ke dalam rumah karena saat itu hanya seorang diri, tanpa mengetahui bahwa ‘mahluk buas’ telah berada di dalam kamar tidurnya.

Fadillah pun berpura-pura sama sekali tak berniat masuk dan hanya numpang meneduh sekedarnya di bawah jendela rumah sang Ustadz yang sedikit terbuka. Namun Fadillah telah melihat sebelumnya bahwa jendela itu sangat mudah untuk dicongkel penyangganya dari luar, dengan demikian ia dapat melompat masuk ke dalam rumah tanpa perlu susah payah.

Ketika hujan mulai mereda – namun keadaan sudah gelap sehingga tak mungkin di saat itu untuk Fadillah melanjutkan pekerjaannya, maka ia dengan suara lantang ‘pamit’ pulang kepada Aida dan menjanjikan untuk meneruskan membetulkan jemuran yang miring itu esok hari. Aida setuju dan merasa lega ketika mendengar suara sepeda motor Fadillah menderu sayup-sayup semakin menjauh.

Padahal Fadillah hanya menjalankan motornya beberapa puluh meter, kemudian kembali berhenti dan meneduh di bawah pohon sambil menantikan beberapa saat lagi, dimana di luar sudah sedemikian gelap sehingga tak ada manusia yang melihatnya, barulah ia kembali ke rumah Aida.

Sekitar sepuluh menit setelah suara sepeda motor Fadillah tak terdengar lagi, maka Aida berniat untuk membasuh dirinya di kamar mandi. Setelah menunaikan tugasnya seharian sebagaimana biasa sebagai ibu rumah tangga, maka Aida merasakan badannya membutuhkan siraman air segar untuk menghapus keringat yang melekat di badan. Sebagaimana biasanya ia selalu menukar pakaian setelah mandi, maka Aida menuju ke kamar tidurnya untuk mengambil pakaian baju kurung sederhana tapi bersih untuk dipakai sehari-hari di rumah. Tanpa curiga sedikit pun Aida membuka pintu kamar tidurnya dan mulai melangkahkan kaki masuk ke dalam, ketika tubuhnya disergap-dibekap secara tiba-tiba dari belakang.

“Uumpfh.. efpffhhh.. s-siapa?! Aauuffhhh,” Aida menggeliat dan berusaha meronta membebaskan dirinya dari sergapan dan pelukan ketat yang melingkar di pinggangnya.

Dirasakannya bahwa tubuh lelaki yang menyergapnya dari belakang itu sangat kekar serta memiliki tenaga yang jauh berlipat dibandingkan dengan tenaganya sendiri. Selain itu aroma yang keluar dari tubuh penyergapnya sangat khas kelaki-lakian, bau keringat yang tidak keluar dari tubuh suaminya sendiri, namun bau itu pernah dialaminya beberapa bulan lalu. Ditambah lagi dengusan nafas menderu bagaikan banteng murka di tepi telinganya, dengusan penuh nada kejantanan yang didengarnya saat dirinya ditakluki seorang pemerkosa : pak Sobri!

Tanpa disadari Aida merinding, bulu kuduknya berdiri, lututnya melemas, badannya menggigil bagaikan demam : Ya Allah, jangan biarkan hal yang nista ini terulang lagi, demikianlah panjatan doanya.

“Ssh.. tenang aja, neng geulis, kan pernah kenalan sama bapak, pasti udah péngén digenjot lagi. Bapak juga kangeeen banget.. kenapa merinding, neng? Sini bapak bikin badan neng jadi anget,” bisik pak Sobri disertai nafasnya yang berbau rokok semakin menembus lubang hidung mungil Aida.

Tanpa memperdulikan rontaan dan hentakan Aida yang melawan mati-matian nasib yang akan terulang kembali, pak Sobri yang walapun telah cukup usia namun masih sangat tegap dan kuat, menyeret mangsanya perlahan-lahan ke arah ranjang. Sementara tangan kirinya tetap membekap mulut Aida, jari-jari tangan kanan pak Sobri semakin liar menjalar dan menyelinap masuk diantara belahan kebaya yang dipakai istri Ustadz Mamat itu.

ANNISA ISLAMIYAH (8)

Aida berusaha mencakar tangan pak Sobri, namun sang pejantan yang telah kemasukan iblis ini seolah tidak merasakan kuku wanita cantik mangsanya. Dengan sekali putaran dan dorongan, maka pak Sobri berhasil menghempaskan tubuh Aida ke ranjang dan langsung ditindih dengan badannya yang sangat berotot. Bagaikan singa telah menjatuhkan kancil ke tanah, maka pak Sobri semakin ganas menguasai calon korbannya.

Mulutnya kini sepenuhnya menutup rekahan bibir Aida yang ingin berteriak, namun sama sekali tak berdaya. Lidah pak Sobri menerobos dan menjalar ke dalam rongga mulut Aida, membasahi dan mencampuri ludah manis Aida dengan liur kentalnya yang berbau tembakau sangat memualkan dan tak disenangi oleh Aida.

Pada saat itu pintu kamar tidur Aida kembali terkuak dan dari sudut matanya, Aida melihat kemunculan sesosok tubuh yang dikenalnya : Fadillah! Penuh harap Aida menggapai ke arah Fadillah untuk meminta tolong, namun yang dilihat olehnya adalah sinar mata Fadillah berbinar-binar penuh nafsu. Telah beberapa kali Aida menangkap sinar mata liar Fadillah semacam itu di warungnya, namun memang dianggapnya bahwa itu lumrah saja untuk semua lelaki. Namun dalam situasi seperti ini, barulah Aida menyadari bahwa harapannya untuk mendapat bantuan dan pertolongan Fadillah sama sekali sia-sia belaka, bahkan dilihatnya kini Fadillah bergegas melepaskan pakaiannya sendiri!

“Gimana, pak, perlu bantuan?” demikian tanya Fadillah sambil melepaskan celana panjangnya sehingga kini hanya memakai kaos dan celana dalam saja, lalu mendekati pergulatan di ranjang itu.

“Iya, nih cewek masih cukup binal. Mana tali serta lakbannya, Dil ?” demikian tanya pak Sobri diantara ciuman ganasnya di bibir Aida sambil tetap menindih dan menggeluti tubuh yang makin terlihat kemulusan serta putih menggiurkan itu. Sarung kebaya yang selalu sopan ketat menutup tubuh Aida kini telah acak-acakan dan tersingkap akibat ronta mati-matian, menyebabkan dada berbukit kembar, perut datar berpusar menantang, serta paha betis halus bagaikan batu pualam milik Aida menonjol keluar!

Sambil tersenyum lebar penuh kemesuman, Fadillah menghampiri serta kini berdiri di ujung ranjang bagian kepala. Pak Sobri merenggut kasar kebaya dan BH yang dipakai oleh Aida, kemudian sarung penutup pinggul serta auratnya juga ditarik ke bawah, sementara Fadillah merejang merentangkan kedua tangan Aida, lalu diikatnya seerat mungkin ke ujung ranjang, sehingga kini tak dapat mencakar lagi.

“Toloong.. empfh.. sialaan! Bangsat! Bajingan kalian semua! Terkutuk, cepat lepaskan! Atau saya akan teriak panggil polisi.. tol-eummpfh!!” Kali ini teriakan Aida diredam oleh bibir Fadillah yang ternyata tak kalah ganas dan juga sama berbau tak sedap seperti mulut pak Sobri.

Kesempatan ini dipergunakan oleh pak Sobri untuk melepaskan semua pakaiannya. Dalam waktu hanya satu menit, terlihatlah tubuh pak Sobri yang meskipun agak tambun namun tetap berotot dan agak mengkilat dengan keringat akibat pergulatannya dengan Aida. Setelah itu pak Sobri kembali ke ranjang dan menindihi tubuh Aida yang tetap menggeliat meronta-ronta. Sarung yang telah turun melorot ke betis Aida dilepaskannya sama sekali, setelah mana pak Sobri menarik celana dalam kecil warna biru muda, diciuminya bagian tengah cd yang telah nampak lembab itu penuh nafsu.

“Wuih, harumnya nih air madu dari memek… enggak percuma selalu disimpan ya, neng.. udah waktunya ntar disedot ama bapak. Tapi sekarang bapak mau nyusu dulu ah,” celoteh pak Sobri sambil menelusuri bukit kembar di dada Aida; diremas dan dipilin-pilinnya puting yang semakin mengeras itu, kemudian dicaploknya bergantian kiri kanan sambil digigit dan dikenyotnya habis-habisan.

Aida semakin kewalahan menghadapi serangan kedua lelaki durjana ini, mulutnya masih tertutup oleh bibir dan lidah Fadillah yang menyapu langit-langitnya dengan kasar. Bau tak sedap terpaksa harus diterimanya karena liur Fadillah semakin bercampur dengan ludahnya sendiri, dan kini ujung syaraf tubuhnya sebagai wanita dewasa yang agak kurang mendapatkan nafkah batin dari suaminya mulai tergugah akibat rangsangan yang dilancarkan oleh pak Sobri di kedua puting buah dadanya.

Kedua betis langsing Aida yang sedari tadi menghentak menendang-nendang, kini mulai berubah irama; kaki dengan jari-jari amat kecil mungil kemerahan itu menekuk ke dalam mengiringi lekukan gelisah di sendi lutut Aida. Paha mulus yang selama itu berusaha merapat mempertahankan aurat yang tersembunyi di tengahnya, kini mulai agak gemetar dan perlahan-lahan kehilangan tenaga untuk bertahan.

ANNISA ISLAMIYAH (7)

Pak Sobri dengan penuh keahlian telah menempatkan diri diantara kedua paha korbannya, sementara tangannya tetap menyiksa kedua puting bukit kembar kemerahan milik Aida. Bibirnya yang tebal dower merambat turun dari dada ke arah perut, menggelitik pusar melengkung ke dalam perempuan itu, kemudian semakin turun…

Meskipun masih menciumi Aida dengan penuh rasa birahi tak tertahan, namun Fadillah sempat melihat dengan sudut matanya bahwa pak Sobri telah meningkatkan rangsangannya dengan makin mendekati bawah perut Aida. Fadillah merasakan nafsunya sendiri semakin tak tertahan, belahan bibir Aida yang sedemikian hangat menggiurkan, diidamkannya untuk bisa menerima kemaluannya. Betapa seringnya Fadillah mendambakan untuk menikmati tubuh Aida saat melayaninya di warung, kini bidadari idamannya itu telah berada dalam genggamannya : kedua nadi Aida terikat erat di sudut ranjang, mulutnya yang setengah terbuka kini akan dipaksanya mengulum menyepong penisnya.

Fadillah berlutut menempatkan diri di samping kepala Aida yang langsung melengos, namun secara sigap wajah cantik itu dipaksanya kembali menoleh dan kepala kejantanannya yang berbentuk jamur itu segera ditempelkannya ke bibir Aida. Tentu saja Aida menutup mulutnya sekuat tenaga, tapi Fadillah langsung menjepit hidung bangir mancung yang menggemaskan itu sehingga Aida tak dapat bernafas dan terpaksa membuka sedikit mulutnya. Namun bukaan ini belum cukup lebar untuk ditembus pentungan daging yang cukup besar keras dan tegang itu : Fadillah harus sabar!

Sementara itu pak Sobri telah menurunkan wajahnya mendekati bukit Venus kemaluan Aida. Bukit nan lebam hanya dihiasi bulu halus sangat terawat itu menampilkan lembah mungil di tengahnya, sebuah lekukan panjang, dalam dan sempit, sebuah celah yang mengundang untuk dijelajahi. Pak Sobri masih mengingat betapa empuk dan halus dinding celah surgawi itu, betapa lembut denyutan serta pijitan yang dialami kemaluannya ketika akhirnya berhasil membelah celah hangat licin itu.

Aroma kewanitaan yang khas menerpa hidungnya, aroma khas tubuh Aida yang meskipun belum sempat mandi namun justru menampilkan bau alami wanita yang amat membius. Dengan kedua tangan yang kuat berotot, pak Sobri membuka dengan paksa lutut Aida ke samping kiri kanan. Walaupun Aida dengan mati-matian mempertahankan diri, namun tenaganya kalah kuat sehingga kedua lututnya terbuka maksimal dan ditekan ditindih oleh lutut pak Sobri, menyebabkan Aida memekik kesakitan.

Kini terbukalah selangkangan Aida dihadapan mata pak Sobri yang menelan ludahnya beberapa kali, jakunnya turun naik, jari-jari kasar hitam pak Sobri mulai mengelus betis serta paha mulus Aida.

Fadillah menyaksikan kegiatan pak Sobri dari sudut matanya. Karena pak Sobri telah mengalihkan kegiatan jari-jarinya ke bawah tubuh Aida, maka tibalah giliran Fadillah untuk merasakan betapa halus namun kenyal dan padatnya gunung kembar di dada Aida. Tanpa menghentikan ciuman rakusnya yang sangat menjijikkan, mulailah Fadillah meraba dan mengelus bahu mangsanya. Dari bahu, jari-jari kasarnya menjalar ke ketiak, sedikit memijit-mijit disitu sehingga Aida menggeliat kegelian.

Perantauan jari-jari hitam Fadillah dengan kuku panjang tak terawat semakin nakal menaiki lereng bukit montok, mengelus-elus disitu sebelum mendaki ke puncak untuk menemukan puting mencuat berwarna merah kecoklatan, berdiam sebentar disitu kemudian mulai mengusap dan meremas-remasnya pelan.

“Aauummpfhh.. aasshhh.. eeiimmppfhh.. ooaahhh.. oooh..” bunyi desahan Aida tak nyata karena mulutnya tetap disumpal lidah Fadillah yang besar. Tubuh Aida yang putih montok semakin menggeliat menggelinjang resah sehingga terlepaslah tindihan lutut pak Sobri, Aida berusaha menggulingkan tubuhnya ke kiri ke kanan walaupun kedua tangannya terikat erat di ujung ranjang.

Namun semuanya hanya sia-sia saja karena kini pak Sobri bahkan meneruskan penjarahannya lebih lanjut dengan menangkap kedua pergelangan kaki Aida yang mencoba menendang ke kiri kanan. Kedua betis langsing bak padi membunting itu dicekalnya keras kemudian dinaikkan dan diletakkan di atas bahunya, sehingga Aida kini hanya dapat memukul-mukul lemah dengan tumit mungilnya ke punggung pak Sobri.

“Aauww.. sakiit! Lepaskan! Aaah.. sakiit! Auwffmph..” Aida menjerit kesakitan ketika Fadillah dengan sadis mencubit putingnya dengan kuku tajam tak terawat.

ANNISA ISLAMIYAH (6)

Pada saat mulutnya membuka lebar, maka kesempatan yang telah lama ditunggu Fadillah akhirnya tiba. Cepat lelaki itu menjejalkan kemaluannya yang memang sejak tadi menunggu di depan bibir Aida yang hanya terbuka sedikit. Lidah Aida berusaha sekuat tenaga mendorong keluar daging pentungan berkepala topi baja itu, namun Fadillah tak kenal kasihan. Tanpa mengurangi cubitannya bergantian di kedua puting Aida yang semakin ngilu mengeras, ia mendorong dan menekan kejantanannya senti demi senti ke dalam rongga mulut Aida sehingga menyentuh langit-langit dan menyebabkan Aida tersedak.

“Kalo enggak mau disiksa, makanya nurut dong! Ayo, sekarang kulum yang bener.. isepin, jilat yang bersih.. iya, gitu.. pinter, udah biasa nyepongin suami ya?” celoteh Fadillah keenakan ketika akhirnya Aida terpaksa menyerah, mulai mengulum penis hitam yang dibencinya itu. Namun biarlah daripada terus-menerus disakiti dengan puting yang telah sedemikian peka ditarik dan dicubiti kuku tajam.

Tanpa merasa kasihan Fadillah mencekal rambut Aida, kemudian digerakkannya kepala perempuan itu mundur maju memanjakan penisnya yang kini terlihat mengkilat akibat basah oleh ludah Aida.

Bagian bawah tubuh Aida kini tak kalah serunya dijadikan sasaran keganasan sang pejantan lain : sambil menikmati pukulan-pukulan lemah tumit Aida di punggungnya, pak Sobri telah menjelajahi bukit kemaluan Aida dengan beberapa jarinya. Terlihat betapa licin mengkilat lembah sempit yang telah lama diimpikannya itu. Dengan hati-hati Pak Sobri membuka dan melebarkan celahnya yang mungil, lalu disentuh dan dijilatnya dengan penuh rasa kepuasan sebelum lidahnya menyapu dinding halus itu.

Tanpa rasa jijik pak Sobri menikmati licinnya dinding surgawi Aida yang berwarna merah muda, dicicipinya lendir yang mulai keluar membasahi celah nirwana itu, dijilatinya penuh mesra hingga membuat Aida kegelian. Dilanjutkannya penjarahan lembah kewanitaan Aida dengan mengutik-utik, menyentuh, meraba dan mengusap-usap ujung klitoris yang kini semakin peka dan tanpa disadari mulai menonjol keluar.

“Ooohh.. jangan! Lepasin saya, pak! Ooohh… bang, jangan! Saya sudah menjadi istri ustadz! Tolong kasihani dong, pak! Jangan begini.. saya enggak rela! Ooohh..” Aida mulai menangis menimbulkan iba, namun tubuhnya yang ‘kekeringan’ selama ini mau tak mau mulai memberikan respons terhadap rangsangan kedua lelaki berpengalaman itu.

“Kenapa nangis, neng? Nikmati aja, percuma nunggu berkah dari suami bodoh yang pergi melulu.. masa istri bahenol gini enggak diganyang tiap malam? Ayolah, neng, lepasin semuanya! Jangan ngelawan, percuma aja ngarepin suami yang enggak pulang-pulang. Ini ada penggantinya,” pak Sobri mencoba berusaha mesra, kemudian mulai dikecupi, diciumi dan dijilatinya memek basah Aida.

Dibukanya bibir kemaluan Aida ke kiri kanan dengan hati-hati sehingga terlihatlah lubang kecil dari kandung kemihnya, demikian juga sepotong daging mungil di lipatan atas bagaikan yang penis kecil. Inilah pusat kenikmatan yang diabaikan sang ustadz, namun kini didapat oleh pak Sobri!

“Uumhhh.. duh mungilnya nih lubang.. cupp, cupp, aaah.. neng, wangi amat memeknya? Bapak enggak puas-puas ngeliatin nih kelentit. Bapak gigit dan jilatin mau ya?” Tanpa menunggu jawaban, pak Sobri segera menyentuh lubang kencing Aida dengan ujung lidah, sementara kumisnya yang sengaja dua hari tak dicukur, menyentuh klitoris Aida bagaikan sapu ijuk, mengakibatkan Aida merasakan kegelian luar biasa sehingga menjerit lupa diri!

“Jangan, pak! Lepaskan, udaah.. oohh.. saya mau diapain lagi?! Enggak mau, ooohh.. sssh.. saya mau pipis! Aaaah.. jangan! Lepasin,” Bagaikan terkena aliran listrik, tubuh Aida mulai menegang, sementara cairan memeknya semakin deras keluar.

“Sssh.. tenang aja, neng. Nikmati biar puas.. ini surga dunia, neng. Jangan dilawan, buang tenaga aja. Dijamin ntar puas, kapan lagi gratis dikerjain dua lelaki,? Ayo sepongin lagi tuh si Fadil, udah lama dia enggak dapat jatah perempuan. Sekarang bapak mau nerusin ngegali lobang si neng,” pak Sobri menundukkan kepalanya lagi dan meneruskan penjarahannya ke liang vagina dan kelentit Aida.

ANNISA ISLAMIYAH (5)

Sebelum Aida dapat protes lebih banyak, kembali mulutnya dijejali oleh penis Fadillah yang berbau asam meskipun disunat. Mungkin Fadillah tak mempunyai kebiasaan untuk mencuci kemaluannya jika telah kencing, dan sekarang justru nafsunya semakin meningkat melihat Aida telah berkali-kali hampir muntah. Pemilik warung ini semakin bersemangat memperkosa mulut mungil yang telah kewalahan membuka maksimal itu karena Fadillah ingin memaksa Aida meminum pejuhnya.

Sementara itu pak Sobri telah memusatkan perhatiannya ke vagina Aida yang dijilat dan dikecupnya tak henti-henti, menyebabkan Aida bagaikan cacing kepanasan yang menggeliat sejadi-jadinya. Pak Sobri tak peduli kegelisahan wanita alim shalihah itu : lidahnya bergantian menyentuh lubang kencing dan klitoris Aida. Daging yang semula kecil bersembunyi di lipatan bibir kemaluan itu semakin lama semakin terlihat menonjol keluar berwarna kemerahan. Permukaannya yang dipenuhi jutaan ujung syaraf peka diserang bertubi-tubi oleh sapuan lidah, gigitan kecil dan juga ujung kumis pak Sobri yang kaku bagaikan sapu ijuk.

Semua siksaan itu tak sanggup lagi ditahan oleh tubuh si wanita alim. Tubuh Aida melengkung bagaikan sekarat, menegang kaku seolah terkena aliran listrik, tangannya yang terikat di sudut ranjang membuat kepalan tinju kecil.

Fadillah memegang sekuat tenaga secara sangat sadis kepala Aida dan ditekannya rudalnya sehingga menekan di kerongkongan, disaat mana air maninya menyembur keluar berbarengan dengan orgasme Aida akibat rangsangan dari pak Sobri.

Pak Sobri pun tak kalah licik dan sadis ingin menikmati orgasme istri Ustadz ini : dimasukkannya jari telunjuk dan jari tengahnya ke liang vagina Aida untuk merasakan bagaimana jepitan denyut-denyutan ritmis otot memek yang sedang orgasme! Sementara jempolnya yang kasar mengusap permukaan klitoris Aida demi meneruskan dan memperpanjang orgasme yang melanda korbannya. Dilihatnya pula kedutan dan kontraksi otot-otot lingkar pelindung anus Aida – dan ini membuatnya tersenyum lebar.

“Pertama lubang di atas akan kunikmati sepuasnya sebelum lubang satunya kuperawani!” begitu dia bertekad.

Tentu saja Aida tak menyadari rencana licik pak Sobri, ia sedang dilanda tsunami orgasme sekaligus juga mati-matian harus melawan rasa ingin muntah karena terpaksa menelan pejuh Fadillah.

“Oooh.. uuuhh.. duh, enak tenan eeuy.. nyemprot ser-seran gini, di mulut istri orang yang cantik kayak neng. Nih datang lagi.. iya, sedot semua.. minum sampai habis!” tak henti-hentinya Fadillah memuji tegukan demi tegukan yang terpaksa dilakukan oleh Aida demi usahanya memperoleh nafas agar tak tercekik oleh luapan air mani lelaki asing yang kini dibencinya itu.

Jika ia mengira bahwa penyiksaannya telah berakhir, maka Aida salah besar : ternyata meskipun telah menyumbangkan air pejuhnya, namun penis Fadillah tetap saja tegak mengacung, mungkin akibat ramuan kuat yang juga dijual di warung, selain juga resep dari dukun kampung di situ.

Beberapa menit kemudian kedua lelaki durjana itu melepaskan Aida dari ikatan nadi di ujung kepala ranjang, tubuh putih mulus sintal telanjang bulat itu terlihat bergetar akibat tangisan sesenggukan. Semuanya itu sama sekali tak menimbulkan rasa kasihan pada kedua lelaki pejantan : permainan mereka justru baru memasuki babak pertama, kini mereka telah siap melanjutkan ke babak kedua!

Fadillah diberikan tanda oleh pak Sobri agar merebahkan dirinya, sedangkan tubuh Aida yang masih tergetar akibat tangisan tersedu-sedu itu diangkat oleh pak Sobri dan diletakkan diantara kaki Fadillah.

Dengan mata sembab penuh linangan air mata, Aida kini dipaksa untuk berlutut dengan wajahnya kembali menghadapi kejantanan Fadillah yang masih tegak mengacung bagaikan tugu Monas. Aida yang masih sangat lemas berusaha menolak dan ingin berdiri, namun pak Sobri yang berada di belakangnya segera menekan belakang lehernya dan memaksa wajah ayu penuh air mata itu mendekati kepala penis Fadillah yang masih mengkilat oleh air mani.

“Ayolah, neng, manjakan lagi nih si ujang. Bantuin pijit dan peres-peres nih biji pelir, masih banyak jus segar yang ntar bisa dipakai buat obat awet muda si neng. Tadi si neng udah ngicipin pejuh. Dan si neng emang jagoan, enggak muntah sama sekali, padahal kebanyakan cewek pada muntah tuh. Makin sering nyembur si ujang ini, maka akan manis air sarinya, neng!” demikian Fadillah dengan penuh dusta berbicara mengenai air pejuhnya.

ANNISA ISLAMIYAH (4)

Aida hanya menggeleng-gelengkan kepala, namun Fadillah telah menggantikan pak Sobri dan kini ia menarik kepala Aida dan dipaksanya untuk menciumi senjata kesayangannya kembali. Masih tetap istri ustadz itu menolak membuka bibirnya, apalagi ketika dirasakannya pak Sobri yang berlutut di belakang punggungnya kini telah menyentuh belahan pantatnya.

Aida berusaha berdiri namun pak Sobri telah siap dan dengan tenaga begitu kuatnya, pundak Aida lagi-lagi ditekan ke bawah sehingga posisi tubuhnya semakin menungging. Aida masih berusaha melawan dengan mencoba mencakar tangan pak Sobri yang menekannya ke bawah, tapi apalah artinya cakaran kuku wanita kalau sang pejantan telah kemasukan tenaga iblis?

Pak Sobri memijit kedua pundak Aida dengan cukup keras sehingga umamah ini menjerit kesakitan, kesempatan sekali lagi bagi Fadillah yang langsung menekan wajah Aida ke bawah dan mulut ternganga itu segera disumpal oleh tombak daging yang kali ini bahkan langsung masuk ke dalam kerongkongan!

“Eeghh.. ueeghkk.. eegghk.. aauhh.. uueeghh..” berkali-kali Aida merasa lambungnya bagai terpelintir, namun untunglah perutnya sudah lama kosong tak terisi sehingga ia tak jadi muntah.

Fadillah rupanya agak kasihan juga melihat korbannya penuh aliran air mata dan kelabakan megap-megap berusaha bernafas. Diurut-urutnya belakang kepala Aida seolah ingin melemaskan kerongkongannya agar dapat menerima seluruh batang kemaluan yang menjejal tajam.

“Iya, pelan-pelan aja. Yah begitu, diurut dan dikocok neng, supaya lebih mantap dan sip. Terus.. duh, makin pinter nyepongnya.. dasar emang istri ustadz pelacur!” ejekan sang pemilik warung membuat pipi Aida memerah panas dan merasa malu serta turun harga dirinya.

Sementara itu pak Sobri telah memegang penisnya yang hitam besar penuh urat melingkar, dan diarahkannya ke celah yang masih licin dengan cairan pelumas wanita dewasa serta air liurnya sendiri. Dengan satu tangan pak Sobri menekan pinggang Aida ke bawah sehingga tunggingan pantat nan bulat bahenol itu semakin merangsangnya, dan juga terlihat celah vagina yang agak merekah merah milik Aida. Perlahan dan dengan penuh kepuasan pak Sobri memajukan pinggulnya sendiri sehingga akhirnya kepala penisnya menyentuh dan mulai membelah celah memek Aida. Mula-mula meleset ke samping beberapa kali, namun akhirnya ujung pentungan daging berbentuk topi baja itu terjepit diantara bibir vagina nan sempit legit.

ANNISA ISLAMIYAH (3)

“Eemmhhh.. weleh-weleh, sempit amat nih memek neng! Sering latihan kegel ya, neng, atau barang suaminya memang kecil? Duh, enak tenan.. licin, anget, sempit lagi.. ayo mulai goyang-goyang dong pantatnya, neng, seperti tempo hari.” pak Sobri merem-melek merasakan senjatanya menerobos lubang hangat idamannya.

Berbeda dengan pak Sobri yang amat bergairah menikmati persetubuhan, maka Aida kembali merasa sangat perih dan ngilu karena vaginanya yang kecil dan sempit itu dipaksa membuka lebar untuk menerima sodokan penis besar.

“Wuih, enggak nyangka nih lobang kalo ditembus nungging jadi makin dalem.. tapi jangan kuatir, neng, alat pacul bapak cukup panjang buat ngeluku sampe bisa mentok! Oh nikmatnya.. ngimpi berbulan-bulan akhirnya kesampean juga, mmmhh.. sssshh..” lanjut pak Sobri.

Setelah maju-mundur tarik-dorong beberapa kali, akhirnya berhasil juga ujung kepala penis pak Sobri yang telanjang disunat itu menyentuh mulut rahim Aida. Setelah itu pak Sobri tak memperdulikan lagi perbedaan ukuran kemaluannya dengan lubang mungil Aida, gerakannya kini telah dikuasai oleh keinginannya mendengar keluhan, rengekan, desahan dan bahkan isakan tangis istri Ustadz Mamat akibat menahan rasa ngilu dan perih yang dideritanya.

Dan memang itulah yang didengarnya saat ini, namun pak Sobri yakin bahwa istri ustadz yang kekeringan nafkah batin ini akan segera berubah menjadi budak seks-nya. Rintihan sakit yang terdengar disaat rahim Aida dihentak dijedug kasar oleh senjata ampuh penakluknya, akan perlahan-lahan berubah menjadi desahan wanita dewasa yang meminta. Ya, desahan seorang wanita yang akan kehilangan semua rasa malu, akan melupakan pelecehan yang dialami, rintihan itu akan berubah menjadi ratapan dan permohonan agar perkosaan berlanjut!

Dan dugaan pak Sobri memang benar : semua hormon kewanitaan di tubuh sehat Aida mengkhianati, semua daya upaya pertahanannya berdasarkan rasa malu dan harga diri sebagai istri ustadz alim shalihah akhirnya dapat terkalahkan oleh keahlian kedua lelaki durjana yang menggagahinya.

Bunyi kecipak jilatan Aida menyepong Fadillah terselang-seling dengan dengusannya, bersilih ganti dengan ritme plak-plok-plak-plok pantatnya yang bersentuhan dengan paha pak Sobri. Kepalanya terasa pusing terbawa arus gelombang yang muncul dari genjotan tak kenal ampun di rahimnya.

Semakin lama semakin memuncak nafsu pak Sobri yang meskipun mulai putih beruban namun dalam persoalan menggarap wanita dapat dibandingkan anak usia belasan yang masih ingusan. Dirasakannya kemaluannya yang semakin memelar dan memanjang itu diremas dipijit oleh otot di dalam memek wanita yang tengah digagahinya, remasan dan pijitan yang mana mengundang lahar panasnya mulai mendidih dan mendesak mengalir menunggu ledakan dari saluran di sepanjang penisnya.

Bagaikan orang kesetanan, pak Sobri meningkatkan gerakan maju-mundurnya. Peluhnya mulai menetes di dahi. Matanya semakin melotot dan dengusannya semakin menguasai ruangan, hingga akhirnya… disertai teriakan menyeramkan, pak Sobri melepaskan arus syahwatnya.

“Aaaah.. bapak tak tahan lagi, mau banjir nih! Oooh.. neng geulis, lagi subur enggak? Siapa tahu jadi anak nih, oooh.. angetnya nih lobang! Iya, pijit dan remes-remes, Neng.. aje gile, neng bahenol! Enak enggak, neng, sakit-sakit nikmat ya?”

Pak Sobri menyemprot rahim Aida dengan air maninya yang menyembur bagaikan tak akan berhenti. Disaat mana juga Aida tak dapat menahan lagi gejolak mendidihnya hormon kewanitaan di seluruh ujung syarafnya. Wajahnya mendadak terlepas dari genggaman Fadillah dan menengadah ke atas dengan bibir merah merekah, hidung bangirnya mancung kembang-kempis , tarikan nafas panjang berubah menjadi histeris, dan…

“Aauw.. iyaah, ngilu! Aauuww.. pak, ngilu! Oouuh.. aaih.. iyah terus! Ooohh.. nikmat, oooh.. terus, pak!!” jeritan suara Aida melengking menandingi dengusan berat pak Sobri. Kembali tubuhnya kejang dan melengkung ketika gelombang orgasme kedua melandanya dan menghempaskannya kembali.

Pak Sobri menggeram bagaikan singa terluka karena menyadari bahwa kesanggupannya masih ada dan lebih dari cukup untuk meneruskan senggama dengan wanita cantik idamannya ini. Lembing pusakanya masih tegang ketika ditariknya keluar dari vagina Aida, dan dengan penuh kebanggaan pak Sobri melihat penisnya mengangguk-angguk tak sabaran menunggu tugas berikutnya.

Senyum iblis menghiasi wajah pak Sobri ketika direkahnya kedua bongkahan pantat Aida yang bahenol tanpa tandingan ketika perempuan itu bergoyang. Dilihatnya lubang kecil tersembunyi di tengah belahan pantat itu, lubang yang masih berkedut menciut ke arah dalam akibat kontraksi otot-otot pelindungnya.

Pak Sobri meludahi lubang kecil yang seolah menantang di hadapan matanya, ia menarik nafas amat dalam dan dipusatkan konsentrasinya agar penisnya menegang semaksimal mungkin. Diletakkannya kepala penisnya yang masih licin oleh lendir kewanitaan dan ditekannya perlahan-lahan ke tengah anus Aida. Dirasakannya otot-otot lingkar pertahanan anus Aida mencegah penetrasi lebih lanjut, namun dengan penuh keyakinan akan segera menang, pak Sobri menekan sekuatnya.

“Aduuh! Auuw.. jangan, pak! Oouuhh.. aauuuw.. sakit! Kasihani saya, pak! A-ampuun.. jangan masuk di situ, haram! Auuuw..” Aida menggelepar-gelepar menahan rasa sakit tak terkira di anusnya.

ANNISA ISLAMIYAH (2)

Air matanya kembali mengalir sangat deras turun di pipinya karena menahan penderitaan lubang tubuhnya yang terkecil sedang dijarah. Terasa panas bagaikan dicolok oleh kayu menyala, dan setiap kali pak Sobri menekan menambah masuk, maka perihnya bagaikan terkena sayatan pisau. Mungkin karena penis pak Sobri terlalu besar, maka walaupun telah dilicinkan dan dilumasi dengan air lendir cintanya sendiri, ditambah ludah pak Sobri, namun semuanya tidak menolong banyak. Apalagi otot-otot lingkar pertahanan anus Aida rupanya masih tak rela dilebarkan secara paksa oleh benda sebesar kemaluan pak Sobri, sehingga melawan dan berusaha menolak benda asing itu – semua hanya menambah rasa sakit dan perih.

Berbeda dengan penderitaan Aida yang menggeliat menggelepar menahan rasa sakit tak terkira, maka pak Sobri justru merasa betapa nikmatnya memasuki lubang intim Aida yang telah lama diincar dan dibayangkannya. Namun pak Sobri masih ingin menambah lagi rasa ego kebanggaan sebagai lelaki pertama yang berhasil masuk ke anus Aida : ya, pak Sobri ingin mendengar pengakuan itu langsung dari mulut Aida, bukan hanya dengan dugaannya semata-mata. Selain itu muncul kembali iblis yang menganjurkannya untuk menyaksikan bagaimana ekspresi wajah si wanita cantik idaman saat disiksa rasa sakit di anusnya.

Lihatlah bagaimana wajah istri ustadz saat disodomi, hehehe.. demikianlah bisikan iblis, dan pak Sobri telah sepenuhnya dikuasai oleh bujukan itu.

Oleh karena itu pak Sobri menarik sementara penisnya yang menancap di anus Aida, menyebabkan Aida menarik nafas lega karena sakitnya berkurang dan dikiranya bahwa deritanya telah berakhir. Namun dugaannya itu sama sekali meleset karena pak Sobri hanya ingin mengubah posisi : badan Aida yang sedemikian putih mulus sintal bahenol dan lemas lunglai itu kembali dibaliknya hingga telentang. Kemudian kedua paha Aida kembali dikuakkan lebar-lebar dan dikaitkan lagi di pundaknya sehingga selangkangan Aida dengan memek dan anusnya terekspos penuh di hadapannya.

Seringa mesum menghiasi wajah pak Sobri melihat anus Aida berdenyut kembang kempis menutup membuka, dan disaat agak membuka itu tampak kemerahan di bagian dalam karena baru saja mengalami pelebaran secara paksa. Aida hanya sanggup menangis tersedu sedan tak mampu melawan lagi, tapi ia ‘bersyukur’ bahwa bagian intimnya sementara dibebaskan dari penyiksaan yang menyakitkan.

“Ayo, Dil, bantu pegangin lagi nih cewek kalo dia ampe ngelawan. Ntar loe boleh mandiin dia ama pejuh loe sepuasnya. Sekarang dia harus ditaklukkan betul-betul dan jadi budak seks kita di masa depan,” kata-kata pak Sobri mendengung di telinga Aida dan ia menyadari bahwa nasib malangnya belumlah tamat.

“Jangan ngelawan ya, neng, tahan dikit lagi. Ini kita udah mau masuk babak terakhir,” ujar Fadillah sambil cengengesan dan kembali memegangi kedua nadi Aida di atas kepala.

Sementara itu tangan-tangan pak Sobri menekan kedua paha Aida ke samping sehingga vagina maupun anus Aida agak terkuak kembali. Sambil mengusap kelentit Aida yang mengintip keluar akibat ulah ibu jarinya, pak Sobri dengan penuh kebanggaan meletakkan lagi ujung kepala kemaluannya di anus mangsanya. Diperhatikannya denyutan kontraksi otot-otot Aida yang seolah menyedotnya masuk. Sambil menarik nafas panjang seperti beberapa menit lalu, pak Sobri menekan, mendorong, menekan, dan…

“Aauww.. udah, jangan masukin lagi disitu, pak! S-sakit.. toloong.. a-ampun!!” Aida kembali menjerit bagaikan hewan disembelih, sama sekali tak diduga deritanya berlanjut.

“Uuuh.. sempit amat nih lobang! Sakit-sakit enak ya, neng, sakit tapi nikmat kan? Enggak usah malu-malu lah, neng , pasti udah sering pantat si neng dijebol begini sama suami kan?” tanya pak Sobri pura-pura untuk memancing pengakuan dari mulut Aida sendiri, sesuai bujukan sang iblis.

“Aduh, pak, udahan dong! Saya enggak tahan, sakit! Haram ini, pak, enggak mau!!” Aida hanya sanggup menangis kesakitan sambil menggelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan.

“Aah.. si neng jangan bohong! Pasti udah sering dijarah bo’olnya sama suami.. ngaku lah, neng! Kalo enggak, ntar saya terusin nih sampe semalaman. Mau enggak?” pak Sobri melanjutkan ‘interogasinya’ sambil bergerak maju-mundur, masuk keluar di anus Aida tanpa peduli korbannya kesakitan.

“Enggak pernah, pak, sungguh mati! Aauuw.. udah, stop dong.. saya enggak tahan lagi sakitnya, pak! Aduh.. auuw.. ampun, pak! Ya Allah, ampun sakitnya..” akhirnya tanpa sadar Aida mengakui bahwa memang pak Sobri-lah lelaki pertama yang menyodominya.

Saat itu tak dapat dilukiskan oleh kata-kata rasa kebanggan pak Sobri karena memang benar dialah lelaki pertama yang merenggut keperawanan anus istri alim shalihah ini. Kini tinggal selangkah lagi yang harus dilakukannya untuk menaklukkan Aida dan menjadikannya budak seks pribadi yang selalu menurut dan patuh atas semua kemauannya.

Pak Sobri meneruskan mengusap dan menyentil-nyentil biji klitoris Aida yang semakin memerah dan luar biasa peka itu, sementara ia meningkatkan gerakan dorong-tarik di lubang Aida yang sedemikian sempit. Dengan memberikan kombinasi antara sakit nikmat ini maka pak Sobri akan memaksakan Aida untuk mengaku bersedia menjadi budak seks-nya.

“Hehehe, kelihatannya udah lemes amat, neng.. ini belon apa-apa lho! Gimana, Dil, kita terusin semaleman sanggup enggak?” pak Sobri melirik Fadillah dengan kedipan mata penuh kelicikan.

“Lha, ya pasti sanggup, pak. Mesti diapain lagi ya nih cewek?” balas Fadillah penuh pengertian.

“Sekarang tergantung si neng dah, diterusin apa enggak? Kalo neng enggak mau, sekarang neng harus ngaku sekaligus janji ama kita,” pak Sobri merasakan kemenangan mutlak hampir tercapai.

“Ampun, pak, saya enggak… sanggup lagi.. auuw.. ngelayanin.. auuw.. saya enggak tahan lagi.. aauuw.. jangan diperkosa lagi, pak.. auw, auw, auw.. tolong hentikan, pak.. aauuw.. aauuw.. aduh, sakit! Saya janji tak akan lapor kemana-mana, juga pada siapapun.. tolong, pak,” suara Aida semakin melemah.

“Gimana, Dil, kelihatannya hampir kelenger nih istri pak Ustadz? Iya deh, kita berhenti dulu, neng. Tapi sekarang neng mesti janji dan ulangi apa yang bapak ucapkan, dan juga selalu siap melakukan di masa depan apa yang bapak inginkan. Setuju enggak?” pak Sobri mendesak terus sambil menambah genjotan dan tusukan penisnya di anus Aida, sementara kelentitnya ia pelintir dan pilin-pilin kuat.

“Ooohh.. sakit, pak! Geli, jangan dipelintir begitu! Aauw.. jangan dipilin lagi.. aauw.. udah, oooh.. aauuw.. ngilu, sakit, pak.. iya, saya nyerah! A-ampun, pak, saya pasrah.. aaaahh..” jeritan Aida yang disertai kejangan orgasme ketiga memberikan tanda mutlak kemenangan kedua lelaki itu – terutama pak Sobri.

Disertai raungan dan geraman terakhir, pak Sobri akhirnya menyemburkan lahar panasnya ke dalam anus Aida yang ternyata telah jatuh pingsan.

ANNISA ISLAMIYAH (1)

Di malam itu – disertai dengan linangan air mata, Aida harus berulang kali melayani nafsu pak Sobri yang dibantu tenaga iblis agaknya tak pernah kekurangan stamina. Menjelang pagi hari Aida telah berubah menjadi wanita dewasa jalang yang membutuhkan kepuasan seks. Ia telah kehilangan semua rasa malu dan jengah – suaminya, ustadz Mamat, hanya terikat pernikahan secara agama di atas kertas – sedangkan kepuasan batin dan badaniahnya hanya dapat dipenuhi oleh pak Sobri

WINDY 4

Di balik meja kerja, kuelus pelan batang kontolku yang sepertinya akan nganggur dalam dua bulan ini. Hanya istriku yang bisa kupakai, sedangkan Tanti dan Windy lagi halangan. Sungguh apes sekali. Tanti sedang nifas habis melahirkan, sedangkan Windy lagi hamil muda. Dua-duanya tak bisa melayaniku.

Namun ternyata nasibku tidak jelek-jelek amat karena sekitar dua minggu kemudian, Tanti tiba-tiba mengirim sms, “Ada waktu? Suamiku dinas ke luar kota besok, 3 hari.”

Tanpa menunggu lama, segera kukirim jawaban. Kusanggupi untuk datang. Kucoba membayangkan tubuh montok Tanti yang sekarang memiliki bayi berusia dua bulan. Yang pasti dia jadi tambah gemuk, tapi bokong dan payudaranya pasti juga tambah besar. Ah, jadi tak sabar rasanya pengen merangkul dan menggelutinya. Istriku yang bertanya kapan aku akan pulang, terpaksa kubohongi lagi.

“Maafkan aku, Sayang. Bukan aku nggak suka padamu, tapi aku juga penasaran pengen nengok lubang yang lain.” batinku dalam hati.

Jadilah pada sabtu sore sepulang kerja, aku langsung meluncur ke kota M. Tanti menyambutku dengan memakai baju hamil seperti daster panjang selutut, perutnya masih endut. Tapi tidak seendut bongkahan payudaranya yang seperti mau meledak saja. Disanalah tanganku langsung mengarah untuk membelai dan mengusapnya ringan.

“Makan dulu yuk,” ia mengajakku masuk.

Di meja makan, ia ikut duduk menemaniku sambil ngobrol ngalor-ngidul, menanyakan kabar masing-masing setelah hampir 3 bulan tak ketemu. Selama itu pula tanganku tak henti-henti meremas dan membelai-belai anggota tubuhnya yang bisa kujangkau. Tanti bergidik agak risih, namun sama sekali tidak menolak. Yang ada ia malah menggodaku.

“Gitu ya… dapat yang baru, yang lama jadi dilupain,” komentarnya karena aku sibuk menghamili Windy, jarang sekali menengoknya.

“Eh, bukannya gitu,” aku berkilah. “Kan kasihan dia kalau nggak hamil-hamil.”

Tanti tersenyum, “Kapan hari dia nelepon, katanya sudah isi 2 bulan.”

Aku mengangguk mengiakan, “Jadi nggak bisa dipakai deh,” kataku bercanda.

“Yee… pikirannya memek mulu,” Tanti mencubit perutku.

Kubalas dengan mencubit puting susunya, dan Tanti langsung ambruk ke dalam pelukanku. “Tan, aku kangen.” bisikku sambil membelai mesra dua bongkahan payudaranya.

“Ahh… a-aku juga, Mas.” Ia mendesah, “Tapi bisa kan kita nggak langsung main?” tanyanya meminta.

“Kenapa?” kupandangi wajahnya yang kini tampak bulat menggemaskan.

“Tolong pijitin kakiku sebentar ya, betisku rasanya pegel banget nih.” katanya.

Aku mengangguk, “Jangankan betis, semua juga aku mau. Asal setelah itu dikasih yang ini,” Kucolek sedikit lubang memeknya yang masih tertutup kain daster dan celana dalam tipis.

Tanti tertawa dan selanjutnya mengajakku pindah ke kamar. “Kalau pijitanmu enak, nanti kukasih bonus.” bisiknya menggoda.

“Apaan?” tanyaku sambil mengikutinya naik ke atas ranjang.

“Ada deh, pokoknya pijit dulu kakiku.” Dia tersenyum dan menyingkirkan majalah yang tergeletak disitu ke atas meja, lalu membaringkan diri di ranjang. Dia duduk dengan menyusun bantal di kepala ranjang sebagai sandaran, sementara kakinya selonjor ke arahku.

“Kamu tambah seksi, Tan,” bisikku tak berkedip menatapnya, terutama tonjolan payudaranya yang seperti tumpah ruah tak terkendali.

”Cepetan sini…” tangannya melambai. “duh, pegel banget kakiku, pijitin yang enak ya,” pintanya memelas.

Aku nyengir saja melihatnya dan mulai memijit betisnya bergantian. Kaki itu sekarang jadi agak gemuk, namun tetap terlihat putih dan mulus. Karena posisi Tanti agak merenggang, dan juga baju hamilnya yang menutupi hanya sebatas lutut, otomatis CD nya jadi kelihatan. Gundukan itu terlihat tebal dan sangat enak untuk dipandang, jadi ngaceng kontolku. Tapi aku tak ingin terburu-buru, toh nanti aku akan tetap dapet juga. Maka aku tetap konsentrasi memijat betisnya.

Cukup lama aku melakukannya sampai Tanti meminta agar pahanya dipijit juga. Namun baru aku mau memindahkan tangan, dia tiba-tiba berkata, ”Bentar, Mas. Aku buka celana dulu, soalnya rasanya ketat banget di sekitar pinggul, nggak nyaman.”

Tanpa berpikir macam-macam, kubantu memelorotkan celana dalam tipis itu. Lalu Tanti agak menaikkan baju hamilnya, ditariknya sampai ke paha atas hingga menampakkan pinggul dan bulatan bokongnya yang bulat kencang. Tak berkedip aku menatap dan mulai memijat, namun kali ini dengan agak resah karena kemaluan Tanti jadi terlihat jelas.

Belahannya agak berbeda dari yang dulu; sekarang seperti agak terbuka lebar. Warnanya juga jadi lebih gelap, namun tetap saja sangat merangsang nafsuku. Tanpa sadar, aku pun menelan ludah. Sementara di bawah, Tanti terus menikmati pijatanku sambil memejamkan mata. Sama sekali tak tahu kalau batang penisku sudah mulai mengeras tak terkendali.

Tapi aku tetap memijat. Biarlah kontolku ngaceng, akan kusimpan buat nanti. Aku tak berniat menyetubuhi Tanti sekarang, biarlah dia relaks dulu sebelum berkutat melayaniku. Biar kami bisa sama-sama puas. Toh malam ini aku bebas melampiaskan nafsuku.

Sampai suara merdu Tanti memecah lamunanku, ”Mas, mau ngerasain minum ASI nggak?” tanyanya pelan.

“Hah?” aku masih belum ngeh.

“Kalau mau coba, nih punyaku.” Dia menunjuk tonjolan payudaranya yang seperti semangka besar. Kuperhatikan ada noda tepat di puncaknya yang membusung indah.

“Bocor ya, Tan?” tanyaku antusias.

“He-eh,” Dia mengangguk. “ASI-ku banyak banget, sedang bayiku minumnya dikit. Jadinya ya gini ini, bocor kemana-mana. Ayo kalau mas mau, daripada terbuang percuma,”

”Memang boleh?” tanyaku bego.

”Asal nggak mas habiskan aja,” dia tersenyum.

Terus terang, aku memang penasaran. Terakhir kuingat minum ASI adalah satu tahun yang lalu, saat istriku masih menyusui buah hati kami. Rasanya saat itu begitu nikmat, netek langsung dari sumbernya yang begitu empuk dan kenyal. Aku ketagihan. Dan sekarang Tanti akan memberiku hal yang sama, yang tentu saja tak akan sanggup untuk kutolak.

”Mau dong, Tan,” jawabku pada akhirnya, penuh semangat.

”Bentar, aku buka baju dulu.” Tanti bangun dan melepas daster pendek yang ia kenakan, juga sekalian behanya yang seperti kerepotan dalam menyangga.

Kulihat perutnya masih nampak gendut, dengan bekas-bekas parut melingkar-lingkar luas disana-sini. Di atas sedikit, tonjolan payudaranya yang selalu kukagumi, sekarang jadi dua kali lipat lebih besar dari yang terakhir kulihat. Putingnya juga lebih besar dan benar-benar dalam posisi tegak mengacung. Warnanya sudah berubah, agak lebih cokelat gelap sekarang. Memang lebih bagus yang dulu, tapi tetap saja ada keseksian tersendiri melihatnya gemuk seperti ini. Jadi makin keras saja batang penisku.

Tanti lalu naik ke atas ranjang dan berbaring. “Ayo, Mas.” Dia memanggil.

Aku pun segera memposisikan diri ke sampingnya, kuciumi dulu perutnya sambil sesekali menempelkan hidungku di lubang senggamanya yang mulai berair. Sengaja kugelitik-gelitik sedikit disana agar membuat benda itu jadi semakin lengket dan basah. Samar kuperhatikan biji itilnya yang tertutup jembut tebal, indah sekali meski sudah pernah dilalui bayi. Lama aku menatapnya sementara Tanti hanya tersenyum dan membelai lembut kepalaku.

”Sudah dulu, Mas. Ini susuku rasanya sudah ngilu minta disedot,” rengeknya.

Aku pun menarik tubuh dan berbaring di sampingnya, posisiku sedikit lebih rendah sehingga ketika Tanti mengangsurkan dadanya, putingnya tepat namplok di mulutku. “Hmmh… Tan!” Tanpa membuang waktu, segera kujilat dan kuhisap-hisap rakus sambil tanganku ikut meremas-remas gemas karena kebiasaan.

“Mass…” Tanti mendesis, tangannya semakin kacau membelai rambutku.

Kurasakan teteknya jadi sedikit agak keras, namun aku tetap menyukainya. Malah sambil menghisap, jariku juga memilin-milin putingnya yang menganggur. ASI-nya langsung muncrat kemana-mana, membasahi pipi dan rambutku. Aku tak peduli, malah semakin menyukainya. Cairan putih manis itu segera kutelan dan kuhisap rakus. Tanpa ragu aku mengemutnya karena puting Tanti memang jadi lebih enak untuk dikulum saat ini. Besarnya pas saat mulutku mencoba menangkupnya. Semakin lama, kurasakan cairan yang keluar jadi semakin banyak. Selain manis, rasanya juga sedikit asin dan gurih.

Aku pun terus menghisapnya, nenen seperti bayi, sampai akhirnya Tanti mendesah perlahan. ”Mas, s-sudah… geli,”

”Hmm… Hagi henagh gihh…” jawabku masih sambil nenen.

”Dilepas dulu dong…” Dia menjewer telingaku hingga cumbuanku pun terlepas. Mulutku belepotan oleh ASI, begitu juga dengan kedua puting Tanti. Kuraba-raba benda mungil itu, kuratakan seluruh cairannya ke seluruh bulatannya yang putih membengkak. Payudara Tanti jadi tampak mengkilap sekarang, basah oleh air susunya sendiri.

“Mas ada-ada aja deh,” dia tersenyum.

”Enak banget, Tan… mau lagi donk,” pintaku sambil pengen nyosor lagi, tapi Tanti lekas menahan kepalaku.

“Hei, nanti bayiku nggak kebagian,” bisiknya lembut.

Aku pun nyengir. Terpaksa kulampiaskan nafsuku dengan meraba dan meremas-remas benda besar itu, karena hanya itu yang bisa kulakukan. Sementara Tanti kini perlahan merangsek ke bawah untuk melepas celana panjangku. Penisku yang memang sudah mengeras sedari tadi, segera dicekal dan dipeganginya erat.

“Kangen aku sama ininya Mas,” bisiknya gemas.

Tadinya aku mau berdiri saja biar dia gampang dalam melakukannya, namun Tanti menyuruhku berbaring. Kuturuti apa kemauannya, kuperhatikan saat ia mulai mendekati selangkanganku dengan posisi tubuh miring. Perlahan lidahnya menjulur untuk mulai memainkan lubang pipisku, dijilati perlahan, sebelum kemudian mulai mengulum kepala kontolku. Awalnya perlahan, namun semakin lama menjadi semakin cepat, lalu kembali perlahan. Tangannya juga memainkan biji dan batang penisku saat mulutnya terus menghisap rakus.

“Ahh… Tan!” aku merintih keenakan, dan kulampiaskan dengan kembali memenceti tonjolan buah dadanya secara bergantian.

Puas dengan hisapan ringan, Tanti kemudian memasukkan kontolku perlahan ke dalam mulutnya. Ia mulai mengulum dan menghisap-hisapnya lembut sambil sesekali diemut-emut dengan sedikit kasar. Sungguh sangat nikmat, apalagi saat bijiku juga disedotnya kuat-kuat.

“Aughh…” aku mendesah menahan serangan nikmat ini, dan entah bagaimana ceritanya, posisi tubuh Tanti kini sudah berubah tanpa kusadari; memeknya kini berada tepat di depan mukaku.

Secara naluri, aku segera memiringkan tubuh sedikit. Tanganku mulai mengelus-ngelus untuk memainkan rambut kemaluannya, lalu melihat untuk mengintip belahannya yang agak melebar. Pelan jariku mengusap-usapnya, ingin kubalas rasa nikmat pada kontolku yang sedang dimanja oleh mulutnya.

Tanpa perlu repot-repot bergeser, aku mulai mendekat. Lembut kuciumi celah mungil yang begitu menggiurkan tersebut. Tanti agak melebarkan kakinya, seperti ingin memberi kemudahan padaku.

Mula-mula aku menciumi dengan lembut seluruh permukaan dan belahannya yang terasa manis dan sedikit asam, sebelum kemudian lidahku mulai menyeruak untuk menjilati lubangnya. Terasa agak lain, agak sedikit lembab dan lebih lebar dari biasanya. Namun aku terus menyodok-nyodok rakus dengan ujung lidahku, sampai kemudian itilnya kutemukan.

Dengan cepat aku berganti sasaran. Lidahku memutar-mutar di atas biji mungil yang terasa kaku itu, menghisap dan menjilatinya dengan gemas sampai membuat Tanti mengerang dan merintih lirih, yang mana itu semakin menambah nafsuku.

“Ehgm… Tan,” aku ikut bergidik, pasrah menerima hisapan dan emutan mulutnya pada batang penisku. Lidah basahnya seakan tiada lelah terus menjelajahi seluruh selangkanganku, mulai dari batang hingga bijinya, juga rajin membelai urat-uratnya yang sensitif.

“Mass…” Tanti juga sama pasrahnya menerima tarian lidahku, kini desahannya menjadi semakin kuat seiring pinggulnya yang kadang-kadang menggeliat mengimbangi rasa nikmat yang diterima pada itilnya. Lama-lama makin cepat… dan akhirnya tubuh itu mengejang menerima orgasmenya.

Kubiarkan dia bergetar pelan sebentar saat menyemburkan cairan cintanya, sebelum kemudian kutarik kembali tubuhnya agar kami bisa berbaring saling berhadapan. “Gimana, enak?” tanyaku sambil mengecup puncak payudaranya.

”Lebih dari yang kubayangkan,” angguknya puas.

“Sekarang giliranku, dimasukin ya?” kutunjukkan penisku yang masih menegang dahsyat.

Tanpa membantah, Tanti segera mengatur posisi tubuhnya. “Tahu nggak, Mas. Setelah melahirkan, gairahku jadi tambah meningkat lho. Mas harus siap-siap capek malam ini,” bisiknya manja.

”Kalau yang kayak gitu… tanpa disuruh pun, aku juga udah siap, Tan.” Segera aku berdiri di pinggir ranjang, sementara Tanti berbaring dan memposisikan memeknya tepat di depan kontolku. Kakinya menjuntai ke lantai.

“Siap ya, aku masukkan sekarang…” Lembut aku mengarahkan penis ke lubang basah yang tak sempit lagi itu, masuk dengan mudah, namun tetap kurasakan sensasi gigitan dan jepitannya yang masih tetap mantap. Yang beda hanya kelembapan dan kehangatannya yang kini terasa lebih, sehingga terasa nyaman saat menyelimuti batang penisku.

“Aghh…” kami melenguh secara bersamaan.

Sambil menyusu di bongkahan payudaranya, aku mulai menggerakkan pinggulku. Rasanya gimana gitu, beda banget dengan yang dulu. Kontolku jadi terasa licin dan lancar, berbeda sekali dengan sebelumnya yang begitu ketat dan kesat. Ternyata melahirkan membuat memek seorang perempuan jadi berubah total, namun tetap mempunyai sensasi enak yang sukar untuk dilukiskan dengan kata-kata. Dan aku tentu saja menyukainya.

Terus kugerakkan kontolku maju mundur secara lembut, tidak merasa perlu tergesa-gesa karena kami memang punya bayak waktu. Tanti juga tidak protes, malah seperti sangat menikmati. Sesekali agak kubungkukkan badanku untuk menciumi perut dan teteknya. Bunyi pompaanku di dalam lobang memeknya terdengar jelas, semakin menambah erotis suasana kamar yang sebenarnya sudah remang-remang.

Lama sudah posisi ini kulakukan, sampai akhirnya kucabut kontolku dan lalu naik ke atas ranjang. Kuminta Tanti untuk berbaring menyamping, yap… posisi favoritku, gaya samping.

Segera kuangkat lembut satu kakinya, dan dari arah samping, kumasukkan penisku ke lubang memeknya. Lalu kulanjutkan dengan memompa secara perlahan saja sambil mulutku mulai menciumi bibir dan lehernya, sebelum akhirnya mulutku berdiam dengan nyaman di atas putingnya, nenen susu disana.

Namun Tanti nampaknya kurang puas dengan sodokanku yang perlahan, ia merengek minta agar dipercepat sambil mengatakan bahwa memeknya gatal ingin digaruk. Maka aku percepat sedikit sodokanku sambil mulutku masih dengan rakusnya menghisap pentilnya yang besar, menikmati susu manis yang mengalir lancar dari sana.

Tak berapa lama, Tanti mulai mendesah dan mengerang. Badan dan pinggulnya sesekali menggeliat, sampai akhirnya dengan diiringi erangan nikmat, dia mengalami orgasme. Meski merasakan cairannya yang menyembur deras di batang kontolku, aku masih saja memompakan pinggul dengan cepat. Tanti berusaha mengimbangi dengan sesekali menggoyangkan pantatnya memutar.

Kunikmati ulahnya itu untuk menggiring denyut yang sudah familiar di daerah kontolku agar semakin cepat tercapai. Dan tak menunggu lama, spermaku pun muncrat keluar tak tertahankan lagi. Meledak membasahi lubang memek Tanti hingga membuatnya jadi semakin licin dan hangat.

“Hhh… Tan,” terengah-engah, aku lalu terkulai lemas sambil tetap mengemut putingnya satu per satu.

”Hmm… enak banget, Mas. Rasanya gairahku jadi terpuaskan.” bisiknya manja.

”Aku juga, Tan,” Kukecup bibir tipisnya. “Punyamu memang lebih longgar, tapi ada rasa lain yang lebih spesial.”

”Jadi nanti lagi ya?” Ia tersenyum menggoda.

”Tentu saja, mana cukup cuma main satu ronde sama kamu.”

Lalu kami berciuman dengan mesra. Tanpa perlu repot-repot berpakaian, kami tidur berpelukan di depan televisi. Kulihat di luar sudah sepi, hari sudah sangat larut rupanya. Sementara suami Tanti sedang dalam perjalanan menuju luar kota, aku juga ikut asyik menindih tubuh sintal istrinya. Sungguh perpaduan yang sangat menguntungkan.

Besoknya, aku bangun agak siang. Kulihat Tanti sedang duduk nonton TV di sebelahku, tubuhnya masih telanjang dan awut-awutan hasil pertempuran kami semalam. Aku pun bangkit dan memeluknya, lalu kukecup mesra pipinya.

”Hii… bau naga!” dia berseloroh.

“Sama,” kutindih dan kupepet kembali tubuh sintalnya yang hangat ke atas sofa. Cepat saja tanganku sudah menggerayang di atas gundukan dadanya yang super besar itu. “Lho, kok nggak ada susunya?” tanyaku bingung saat tidak ada ASI yang mengalir keluar meski sudah kupenceti putingnya berkali-kali.

“Sudah dihabiskan sama bayiku,” jawabnya sambil berusaha untuk bangkit.

Kuelus sebentar lubang memek Tanti yang masih nampak basah oleh sperma dan kuikuti dia yang melangkah pelan menuju dapur.

“Mau sarapan apa, mas?” tanyanya sambil mengenakan daster tipis semalam, tapi tanpa beha dan celana dalam.

“Terserah aja,” kupandangi tubuh sintal yang selalu bisa menggodaku itu, tak tahan aku kembali menelan ludah saat kulihat ia membuka kulkas di dekat meja makan dan agak membungkuk untuk mencari sayuran. Terlihat belahan memeknya mengintip sedikit, membuat pikiran nakalku jadi timbulke permukaan.

”Mandi dulu, Mas… ganti baju, sementara aku masak.” katanya sambil menunjuk handuk bersih yang tersampir di depan pintu kamar mandi.

”Nanti aja, lebih enak sarapan dulu,” jawabku sambil menghampiri dan meremas lembut bulatan pantatnya.

“Ihh…” Tanti bergidik, lalu membalikkan badannya sambil tertawa. ”Jahil amat sih, Mas.” katanya pura-pura marah.

”Salah sendiri… kenapa mamerin anggota tubuh kayak gitu. Lagian, aku pengen nih…” sahutku tertahan.

”Iya, aku juga… tapi sabar dong, Mas, kan aku mesti masak dulu…” kilahnya.

”Sudah, nanti saja deh masaknya… sekarang ada yang lebih penting.” serudukku ke tubuhnya.

”Huh, dasar Mas ini, nggak sabaran amat.” Ia menggelinjang saat kutarik tubuh mulusnya dan kututup pintu kulkas, lalu segera kuciumi bibirnya dengan gemas.

”Hmm…” Tanti membalasnya, lidah kami bertautan dengan cepat.

Tanganku meremas tetek besarnya sementara tangannya meremas batang penisku. Segera saja kulepaskan dasternya, lalu tubuhnya yang sintal itu kuangkat dan kubaringkan di atas meja makan yang kosong. Dengan berdiri di sampingnya, kuserbu teteknya dengan meremas-remas menggunakan tanganku dan melumatnya memakai mulutku, sesekali juga kumainkan dan kuhisap-hisap putingnya yang terasa manis.

Sementara tangan Tanti mulai meraih batang kontolku untuk dikocok-kocoknya ringan, lalu diarahkan ke mulutnya. Lidahnya dengan cepat mulai menjilati kepala penisku, juga batang dan biji pelerku dia jilati dan dia kulum-kulum halus. Tanti juga menghisapnya dengan ringan dan lembut. Lalu dia mulai mengulum dan menghisapnya semakin rakus, sampai aku yang masih sibuk menyusu di putingnya jadi turut tak mau tinggal diam.

Jariku segera menuju ke arah selangkangannya, kumainkan itilnya dan kusodok-sodok lobang memeknya dengan jariku. Tubuh Tanti menggeliat keenakan, namun kulumannya pada batang penisku masih tetap seperti biasa; perlahan namun mematikan, dengan jilatan lidah yang terus bergerak menggelitik saraf-saraf sensitifku.

Masih dengan penis di mulutnya, aku ikut menaiki meja. Posisi kami jadi 69. Kini lidahku mulai bergerilya menjilati memeknya yang sudah basah, kusapu lubang mungil yang ada disitu dengan rakus, sebelum mulai kumainkan itilnya yang besar dan menonjol dengan gemas. Kupilin-pilin dan kulumat benda bulat itu dengan ujung lidah hingga semakin membuat Tanti kelojotan tak karuan. Ditambah jariku yang kembali ikut berpartisipasi menyodok lobang memeknya, jadi makin seringlah ia menggeliatkan pinggulnya.

”Hmm… Tan!” Kurasakan pula hisapan pada kontolku menjadi semakin kuat. Enak sekali. Sebagai kompensasinya, itilnya semakin kulumat dengan cepat dan ganas.

Tanti terlihat sudah pasrah sepenuhnya. Sesekali terdengar desahannya, dengan badan terus menggeliat dan akhirnya mengejang saat menyemburkan cairan orgasmenya.

Aku segera turun dan berdiri di depannya. Kutarik kakinya hingga lubang memeknya kini berada di pinggiran meja. Masih ada sisa-sisa cairan yang merembes dari dalam sana meski sebagian besar sudah jatuh ke lantai. Kulebarkan kedua kakinya dan kuangkat ke atas dengan kedua tanganku, lubang memeknya kini terlihat melebar, siap menerima hujaman penisku. Segera saja aku menusuknya dengan memajukan pantatku ke depan.

Bless… tanpa perlu bersusah payah, amblaslah seluruh kemaluanku ke dalam lubang senggama itu, membuat tubuh mulus Tanti jadi bergetar sedikit.

”Mas…” Ia memanggil namaku, namun tanpa basa-basi aku segera memompa pinggulku dengan cepat, membuat desahan dan rintihannya jadi semakin kuat. Tetek besarnya yang indah terlihat bergoyang-goyang akibat sodokanku. Semakin kupercepat, semakin kuat juga benda itu bergoyang hingga akhirnya kupegangi agar tidak terus bertubrukan.

Tanti menikmati sambil mengaitkan kedua kakinya di bahuku. Pinggulnya juga tak tinggal diam, berusaha mengimbangi dengan berputar cepat seiring sodokanku yang menusuk semakin dalam. Kucondongkan badan untuk menciumi puncak payudaranya, lalu kujilati puting mungil memerah yang ada disana. Tanti menggeliat geli, geli tapi teramat nikmat.

”Ugh… enak, mas… enak banget… auw… yang cepat… ohh… terus… aughh…” rintihnya berkali-kali begitu kembali mengalami orgasme.

Aku lalu naik ke atas meja dan berbaring disana, kusuruh Tanti untuk naik ke atas tubuhku. Ia duduk membelakangiku, badannya condong ke belakang, sementara tangannya bertumpu di bibir meja. Kakinya jongkok, persis di atas batang penisku yang masih mengacung tegak. Sesuai aba-abaku, dengan perlahan Tanti menurunkan pinggulnya.

Jleeeb… dengan sempurna alat kelamin kami saling bertautan, dan tanpa membuang waktu ia pun mulai menggoyangkan pinggulnya naik turun.

Dari belakang, tanganku terulur untuk mulai meremas-remas bulatan teteknya. Kumainkan juga putingnya sambil kunaikkan kepalaku sedikit untuk menciumnya. Lama kami bermain dalam posisi itu sampai Tanti memajukan badannya hingga berada dalam posisi jongkok sempurna. Kembali ia menaik-turunkan pinggulnya, yang kuimbangi dengan ikut menggoyangkan pinggulku mengikuti iramanya. Kulihat, sambil memainkan pinggul, tangan Tanti mulai memainkan itilnya sendiri. Sementara tangannya yang satu lagi sibuk meremas dan mengurut-urut biji pelerku. Sungguh sangat nikmat dan begitu menakjubkan.

”Ahh… Tan!” aku merintih masih sambil berbaring, menikmati saja apa yang ia berikan. Sesekali mataku merem-melek keenakan, apalagi saat mulai kurasakan denyutan enak di batang penisku. Kulihat badan Tanti juga mulai bergetar cepat.

Namun sebelum dia sempat berteriak, croot… croot… croot… spermaku sudah menyembur duluan tanpa ampun berbarengan dengan orgasmenya. Tanti menikmatinya sambil diam, masih terus berjongkok di atas kontolku yang tetap menancap penuh pada lubang kewanitaannya. Kurasakan cairan mengalir membasahi alat kelamin kami berdua. Kupeluk dia dan kami terdiam menikmati sensasi orgasme yang begitu melelahkan itu, sebelum kemudian Tanti bangkit untuk mencabut batang kontolku yang mulai melemas. Ia menjilatinya sebentar untuk membersihkan sisa-sisa sperma yang mungkin masih menempel disana.

”Ugh… nggak bisa tunggu nanti ya, mas ini.” bisiknya manja.

”Hehe… kamu juga mau kan?” Kukecup bibir merahnya. ”Anggap aja ucapan selamat pagi.”

”Ih, konyol deh.” ia tertawa. ”Mandi yuk, habis itu bantu aku masak.” ajaknya.

Lalu kami berdiri. Aku sempat mengecup pipinya dan kubersihkan meja makan, sebelum kemudian mengikutinya ke kamar mandi. Dengan telaten Tanti mencuci kontolku, juga menyabuni seluruh tubuhku. Kubalas dengan ikut menyabuni tubuhnya, dan ujung-ujungnya aku jadi ngaceng lagi karena terus memegangi tetek besarnya. Setelah main sebentar, kami pun mengeringkan tubuh dan segera berpakaian.

Pagi itu kami sibuk di dapur. Kubantu Tanti memasak sarapan dan makan siang, yang ditutup dengan kembali saling bertindihan di atas meja makan. Sorenya Tanti pergi ke posyandu untuk imunisasi anaknya. Pulangnya segera kugarap ia di kursi ruang tamu karena aku memang tak tahan ditinggal lama-lama. Dan seperti malam kemarin, malam itu kami juga jarang tidur karena lebih sibuk membelai dan mengusap satu sama lain. Menjelang subuh, baru kami pulas.

Besoknya aku tidak berpakaian. Kuhabiskan waktu yang tersisa untuk terus bercinta dan bersetubuh dengannya karena sore nanti suami Tanti katanya akan pulang. Kutindih tubuh sintalnya hampir di mana saja; mulai dari sofa, di dapur, halaman belakang, kamar mandi, pokoknya puas-puasan deh. Kegiatan itu baru kami akhiri ketika matahari sudah naik tinggi ke angkasa.

Tanti mengantarku ke terminal. Sambil menunggu bis berangkat, kusempatkan menyusu sebentar kepadanya di toilet terminal. Setelah kenyang, barulah aku pamit. Tanti mengecup pipiku dan berkata, ”Sampai jumpa, Mas. Nanti kukabari lagi.”

”Kutunggu, Tan,” Dengan diringi lambaian tangannya, kutinggalkan kota M di panas yang terik itu.

NYAI SITI 14 : ROHMAH

Melalui telepon genggamnya, Rohmah berpesan kepada Adinda, teman sekolahnya yang tadi janjian mau mengerjakan PR bersama. “Maaf, ya Din. Aku masih sibuk di Masjid. Ada anak-anak kecil yang harus kuajari mengaji. Tapi kayaknya sebentar lagi udah beres kok.”

“Jadi aku bagaimana dong?” tanya Adinda.

“Tunggu di situ saja. Sekitar dua puluh menit lagi aku sudah sampai rumah kok. Atau, mau ditunda besok saja?” tawar Rohmah.

“Aku ingin makalah ini cepat selesai… ya udah deh, biar kutunggu di sini saja.” kata Adinda pasrah.

“Maaf ya, Din. Kalau mau apa-apa, ambil saja sendiri. Atau, tanya saja sama mbak Wiwik,”

“Nggak ada. Cuma ada ibumu di sini.”

“Ya udah, minta saja sama ibuku. Pokoknya anggap saja rumah sendiri, Din.”

Adinda mengangguk dan segera mematikan hapenya. Gadis manis bertubuh sekal, mungil dan berdada kencang itu terpaksa harus menunggu. Satu jam lewat dia duduk di teras, sampai akhirnya pindah ke ruang tamu untuk membaca majalah yang ada di bawah meja. Namun Rohmah masih belum pulang juga. Mula-mula memang ia ditemani oleh Nyai Siti, tapi lama-lama obrolan mereka jadi nggak nyambung dan menjenuhkan sehingga Adinda mengganti kesibukannya dengan membaca majalah.

Nyai Siti tampak lebih tertarik dengan ‘sesuatu’ yang ada di dalam kamarnya, karena beberapa kali perempuan itu bolak-balik ke dalam dan lama tak kunjung keluar. Adinda sendiri tak keberatan ketika Nyai Siti akhirnya tak menemuinya lagi. Adinda merasa lebih tenang memandangi gambar-gambar cantik dan bentuk tubuh yang indah di majalah, ketimbang ngobrol dengan Nyai Siti yang seperti menyimpan sebuah misteri.

20 menit lagi berlalu, dan Rohmah tetap belum pulang. “Kalau ada mbak Wiwik enak nih, bisa jadi penghiburku. Biar usia kami terpaut 2 tahun, tapi mbak Wiwik senang bercanda, dia kocak dan supel.” pikir Adinda sambil membolak-balikkan majalah. Dia merasa tengkuknya dingin, tapi tak begitu dihiraukan Hanya diusap saja sambil lalu. Arlojinya dilirik, jarum jam menunjukkan pukul 20.14, masih belum larut malam.

Tapi Adinda lupa bahwa malam itu adalah malam Jumat Wage. Menurut kepercayaan orang Jawa, malam Jumat Wage punya kekuatan mistis tersendiri, hampir menyamai malam Jumat Kliwon. Maka wajarlah kalau malam itu hembusan angin terasa aneh. Seperti meninggalkan kelembaban tipis di kulit tubuh manusia. Wajar juga jika malam itu ada aroma aneh yang tercium di hidung Adinda. Aroma wangi aneh itu menyerupai keharuman dupa atau kemenyan. Tapi sebenarnya jauh lebih wangi dari asap dupa dan kemenyan .

“Bau apaan sih ini, wanginya aneh sekali?!” gumam hati Adinda sambil tengok kanan-kiri. Ada kecemasan yang mulai mengusik hati gadis itu. Ada rasa penasaran juga yang mendesak hati Adinda untuk mencari tahu, wewangian apa yang saat itu tercium olehnya.

Makin lama hembusan angin makin kencang. Tubuh Adinda mulai merasakan dinginnya malam, karena malam itu dia hanya mengenakan blus longgar lengan panjang dengan rangkapan jilbab dari bahan satin tipis. Celananya yang juga longgar, dari bahan sejenis beludru yang lentur, tak mampu menutupi bentuk tubuhnya yang meliuk-liuk indah.

Pintu kamar terkuak dan keluarlah Nyai Siti dengan badan penuh peluh dan wajah masih merah padam. Perempuan cantik berkebaya coklat itu clingak-clinguk dengan dahi berkerut. “Siapa sih yang bakar menyan sore-sore begini?!” gumamnya seperti bicara pada diri sendiri.

“Menyan?! Jadi bau harum ini dari asap bakaran menyan ya, Nyai?” tanya Adinda curiga.

“Iya, ini bau asap kemenyan.” Nyai Siti mengangguk memastikan. Kalau saja kebayanya tidak berwarna gelap, Adinda pasti bisa melihat dengan jelas ceceran sperma yang menempel di bokongnya.

“Kemenyan itu bukannya yang dipakai untuk memanggil jin atau…” Adinda tidak berani meneruskan kata-katanya.

“Tidak apa-apa, mungkin ini hanya ulah orang iseng.” Nyai Siti bergegas menjauh ke kamar mandi.

Sementara di ruang tamu, Adinda tak meneruskan membaca majalah karena melihat kedatangan seorang tamu. Karena pada waktu itu Nyai Siti masih berada di kamar mandi, maka Adinda lah yang menyambut kedatangan tamu tersebut. Dalam hati kecil Adinda sempat merasa heran, seiring kedatangan tamu itu, bau kemenyan terhirup semakin tajam. Adinda semakin berdebar-debar memandangi langkah sang tamu yang mendekati teras. Keadaan sang tamu menimbulkan keheranan dan perasaan bingung bagi Adinda.

Tamu itu adalah seorang kakek berusia lebih dari 60 tahun. Rambutnya putih kusam, agak awut-awutan, jenggotnya belang, tak terurus seperti rambutnya. Kakek yang masih tampak tegap itu memandang Adinda dengan matanya yang cekung menyeramkan, sementara di tangannya tergenggam tongkat hitam sebagai penopang langkahnya.

Pada saat Adinda ditatap dengan dingin, sekujur tubuhnya jadi merinding. Namun anehnya ia tak mampu pergi dari ruang tamu itu, seakan kakinya tertanam ke dalam tanah. Sampai akhirnya kakek yang rambutnya acak-acakan itu menginjakkan kakinya di lantai rumah juga. Kaki kurus itu menggunakan alas kaki dari bahan karet murahan. Pakaiannya yang gombrong menyerupai rompi berwarna abu-abu, terlihat melambai-lambai karena ditiup angin. Adinda mencium bau kemenyan lebih tajam setelah kakek misterius itu berada dalam jarak sekitar 3 meter dari tempatnya berdiri.

Adinda memaksakan diri agar tetap tenang, walaupun yang terjadi adalah kegugupan samar- samar dengan kaki dan tangan gemetar. “Hmm, ehh, mmm… mari, silakan duduk. Kakek mencari siapa?” tanya Adinda bingung.

“Cantik sekali kamu, Nduk!” jawabnya datar dan menggetarkan jiwa.

“Hmm, t-terima kasih, Kek!” Adinda memaksakan untuk tersenyum walaupun sangat kaku dan hambar.

“Hmm!” jawabnya dalam gumam pendek. Matanya melirik ke arah dalam rumah. Lirikannya… sungguh mengerikan bagi Adinda.

“Nyai Siti… eh, anu… maksud saya, Kyai Kholil nggak ada, Kek. Silakan duduk dulu. Hmm, ehh… kalau boleh saya tahu. Kakek dari mana?” tanya gadis itu.

Tak ada jawaban dari si kakek misterius. Yang ada hanya hembusan angin lebih kencang dan aroma harum kemenyan yang bercampur dengan aroma aneh lainnya, seperti bau keringat yang tak jelas bentuknya. Kadang bau sperma juga tajam tercium, tapi Adinda sama sekali tak mengetahuinya. Ia sama sekali tidak curiga kalau sedang dipelet oleh si Dewo.

“Kalau begitu, sini temani aku ngobrol.” Dewo tersenyum dan menepuk pundak gadis itu.

Adinda langsung berjengit, seperti tersengat arus listrik. Dan bersamaan dengan itu, pikirannya mendadak menjadi buram. Begitu mata dingin si Dewo memintanya untuk mendekat, maka seketika itu juga Adinda menjatuhkan tubuhnya tanpa bersuara. Jantungnya seakan berhenti berdetak dan terbelalak dengan mata terpentang sangat lebar hingga sulit untuk dikatupkan kembali ketika Dewo melakukan sesuatu yang sangat mengerikan. Adinda tahu, seharusnya dia menolak. Namun entah kenapa sama sekali tak mampu melakukannya.

Pelet si Dewo memang tak mungkin untuk dilawan! Sekali mangsa dijerat, maka tak akan bisa kabur lagi.

“A-apa yang bisa aku lakukan, Kek?” tanya Adinda ragu.

“Kamu santai saja,” Dewo mempersilakan dengan sopan, sungguh bertolak belakang dengan wajahnya yang angker. “Sekarang, lepas semua pakaianmu. Aku ingin melihat tubuhmu.”

Seperti orang bodoh, Adinda melakukannya. Ia segera mempreteli bajunya meski dalam hati merasa sangat bungung. Saat akan melepas dalemannya, Dewo melarang. “Yang itu jangan, biar nanti aku yang melepas. Sama jilbabmu juga jangan.”

Hanya dengan jilbab dan celana dalam, Adinda duduk bersebelahan dengan Dewo. Dengan gemas lelaki tua yang sudah bau tanah itu meraih tubuh sekal Adinda ke dalam pelukannya. Aroma parfum Adinda yang lembut membuatnya mulai naik, dibelainya bulatan payudara gadis itu yang kini hanya tertutup jilbab lebar.

“Hmm, gede juga susumu,” gumam Dewo sambil merebahkan tubuh mungil Adinda ke kursi ruang tamu. Dia langsung menciumi gadis itu sesaat setelah Adinda telentang. Diciumi kedua pipi dan kening Adinda, juga dilumatnya bibir gadis itu dengan rakus.

Adinda hanya bisa memejamkan mata rapat-rapat melihat wajah seram Dewo yang mendekati mukanya. Belum pernah ada lelaki yang menciumnya, dan sekarang begitu mendapatkan, malah kakek tua renta seperti Dewo yang melakukannya. Bibir tebalnya terus melumat rakus, mengirim rasa muak pada diri Adinda pada awalnya, namun gadis itu tersadar bahwa ia sama sekali tidak sanggup untuk menolak. Inilah salah satu kehebatan pelet Dewo: semakin kuat korbannya melawan, maka dia akan semakin terjerat. Dan begitu sudah masuk ke dalam perangkap, maka tidak ada jalan untuk kembali.

Masih tetap memejamkan mata, Adinda mulai membalas lumatan bibir dan lidah Dewo dengan ragu-ragu. Meski batinnya menjerit, entah mengapa tubuhnya malah bergairah. Terasa aneh saat ia membalas lumatan laki-laki itu, sementara Dewo terus menyapukan lidah dengan terburu-buru dan melumat bibir tipis Adinda dengan mulutnya yang tebal. Dengan satu ‘tiupan’ terakhir, ia memasukkan sisa peletnya agar dapat menekan perasaan ragu yang timbul pada diri Adinda, lalu digantinya dengan bisikan gaib bahwa ini adalah sebuah kewajiban untuk dapat memuaskannya.

Tangan Dewo sudah menjelajah ke sekujur dada gadis itu; diremasnya bulatan payudara Adinda dengan kasar, diselipkannya di balik jilbab. Kulit tangannya terasa kaku saat meremas, dan Adinda menggeliat begitu Dewo mempermainkan putingnya yang mungil dengan dua jari.

“Hmm, Kek…” dia merintih, namun tetap diam saat satu tangan Dewo mulai mengelus celana dalam hitam berenda merah yang ia kenakan.

Sesaat Dewo menghentikan ciumannya, mengamati tubuh sekal Adinda, lalu tersenyum dan kembali melumat bibir tipis gadis itu dengan lebih bergairah. Bibir dan lidahnya beranjak menyusuri leher putih Adinda karena kini jilbabnya sudah disingsingkan ke belakang, Dewo ingin menatap bulatan payudara gadis itu dengan lebih jelas. Dipandanginya sejenak dua bukit kembar yang begitu putih dan mulus itu, dirasakannya dengan meremas-remasnya ringan, sebelum kemudian bibir tebalnya menyambar, mendarat tepat di puncaknya yang mungil menjulang kemerahan.

“Ahh…” Mata Adinda masih terpejam meskipun kegelian mulai menghinggapi tubuhnya.

Ia remas-remas rambut kaku Dewo ketika laki-laki itu terus menyusu di dadanya. Dia menggeliat tanpa sadar saat bibir tebal Dewo menyentuh putingnya. Terasa aneh pada awalnya, tapi makin lama makin terasa enak, hingga membuat Adinda mulai mendesis dalam nikmat. Apalagi Dewo menyelinginya dengan meremas-remas lembut puting yang satunya, bergantian mengulum dari puting kiri ke yang kanan, lalu balik lagi, dan begitu terus selama beberapa waktu sampai desahan Adinda semakin lepas keluar.

“Ahh… aughh… Kakek, a-apa yang… k-kakek l-lakukan?!! Arghh!!” Adinda menggelinjang.

Namun meski sudah kepanasan, mendesah serta keringetan, dia masih belum mampu membalas lebih jauh. Masih ada keraguan untuk menggerakkan tangannya ke selangkangan Dewo yang terasa mulai menegang, menyundul-nyundul kaku di perutnya. Terasa begitu membuai. Adinda hanya sebatas meremas-remas rambut laki-laki tua itu, karena sejujurnya memang baru pertama kali ini dia berbuat yang seperti ini.

“Ssh… nikmati saja, Nduk,” Dewo melanjutkan penjelajahannya, disusurinya perut Adinda dengan bibirnya yang tebal dan berhenti di selangkangan gadis muda itu.

Dia membuka lebar kaki Adinda, dan menarik turun celana dalam yang masih menutup di sana. Tanpa membuang waktu, lidahnya langsung menari pada biji klitoris Adinda, membuat si gadis langsung menjerit tertahan merasakan kenikmatan jilatan Dewo yang tak terduga. Mata Adinda masih terpejam, namun kini tangannya meremas-remas bulatan payudaranya sendiri untuk melampiaskan geli akibat lidah dan bibir Dewo yang bergerak liar di liang memeknya.

“Ahh, Kakek!! Aku… aughh…. geli!!” Gadis itu melambung dengan desahan semakin keras.

Sembari mempermainkan memek Adinda, tangan Dewo juga mengelus paha dan meremas-remas buah dada gadis itu. Remasannya begitu keras dan kasar, namun sama sekali tidak mengurangi kenikmatannya, malah semakin membuat Adinda menjerit takluk.

“Sini, Nduk!” Dewo merubah posisi, kini ia tuntun tangan Adinda agar meranjak ke batang kontolnya yang sudah tegang mengeras.

Dengan masih ragu Adinda memegang dan meremas-remasnya pelan. Kaget dia merasakan betapa panjang dan besarnya benda itu karena seumur-umur baru sekarang dia memegang kontol laki-laki. Karena penasaran, terpaksa ia membuka mata untuk melihatnya, dan langsung terhenyak. Dewo sudah telanjang di depannya, dengan kontol teracung sangat panjang dengan bentuk melengkung ke atas seperti busur panah. Sungguh sangat menarik sekali. Kalau bukan karena pelet, tidak mungkin Adinda bisa berpendapat seperti ini.

“Ahh…” Mata gadis itu kembali terpejam saat merasakan jilatan di memeknya kembali menghebat. Kali ini tanpa ragu lagi tangannya mulai mengocok-ngocok kontol panjang Dewo, rasanya tak sabar untuk segera merasakan benda itu masuk ke dalam liang memeknya yang masih perawan.

Dan keinginan itu tersampaikan beberapa menit kemudian, saat Dewo mulai berlutut diantara kedua kakinya. “Ahh… Kakek! Pelan-pelan saja,” pinta Adinda sambil menggelinjang.

Dia sudah siap seandainya benda itu melesak masuk, tapi Dewo justru mempermainkan dengan mengusap-usapkan penisnya ke paha dan bibir memek Adinda. Padahal kaki si gadis sudah terpentang lebar, dan pinggulnya turun-naik merasakan kegelian yang luar biasa di lubang memeknya.

“Ayo, Kek. Cepat masukkan!” kembali Adinda meminta.

“Dasar perempuan gatal, maunya cepat-cepat saja. Nih, emut dulu kontolku!” Dewo mengarahkan batang kontolnya ke mulut mungil Adinda.

Gadis yang masih mengenakan jilbab namun kini sudah awut-awutan itu, segera melahapnya dengan rakus. Dia mengulum dan menjilatinya sebisa mungkin, sempat beberapa kali pula tersedak, namun nampaknya cukup lancar meski ini adalah pengalaman pertamanya. Dewo tampak menikmati, dia mendesah-desah dengan mata tertutup sambil tangannya menggerayangi bulatan payudara Adinda yang berukuran cukup lumayan.

Setelah dirasa cukup, barulah Dewo kembali ke bawah. Dirabanya memek sempit Adinda sebentar sebelum sedikit demi sedikit kejantanannya memasuki liang kenikmatan itu.

“Aihh…” Adinda mulai menjerit. Ohh, betapa sakitnya kontol itu… tapi juga teramat nikmat! Makin dalam semakin nikmat, dan dia benar benar berteriak ketika Dewo berhasil menjebol selaput dara-nya.

“Pelan-pelan, kek… ughh! Pelan-pelan!” Adinda merintih saat Dewo mulai mengocok pelan maju-mundur. Sungguh sakit luar biasa, tapi juga ada sedikit rasa geli saat alat kelamin mereka saling bergesekan. Tak pernah Adinda merasakan yang seperti ini.

Dari tangis, perlahan jeritannya berubah menjadi rintihan. Dan manakala Dewo mengocok semakin cepat, sambil sesekali menyusu di puting payudaranya, desah napas Adinda pun semakin menderu, berpacu dengan desis dan jerit kenikmatannya. Dia tak bisa menahan rasa ini lebih lama lagi, matanya yang tak lagi terpejam bisa melihat dengan jelas ekspresi nikmat dari wajah Dewo yang hitam menyeramkan. Namun entah kenapa justru pemandangan itu terlihat begitu menggairahkan bagi dirinya.

Maka Adinda menurut saja ketika Dewo menunduk untuk mencium bibirnya, bahkan ia pun tak segan untuk ikut memeluk dan melumat rakus. Semuanya telah berubah akibat pengaruh pelet Dewo; dari yang asalnya menolak, kini Adinda sudah pasrah sepenuhnya, apalagi ketika merasakan nikmatnya kejantanan Dewo yang terus menghujam cepat seperti tiada berhenti.

Mereka terus mengayuh sampan birahi itu hingga ke tengah samudra nafsu yang terdalam. Keringat Dewo mengalir deras membasahi dada dan jilbab Adinda yang belum juga terlepas. Tubuhnya yang putih mulus semakin erat dalam dekapan tubuh hitam laki-laki tua itu. Dewo memeluk gadis itu dengan erat sembari pantatnya terus bergerak turun naik secara bertubi-tubi. Kocokannya berubah semakin cepat, membawa Adinda lebih dekat ke puncak birahinya.

“Ahh… Kakek!!” Jepitan kakinya pada pinggul Dewo membuat kontol laki-laki itu semakin dalam mengisi liang kenikmatannya. Ukurannya yang begitu besar serta bentuknya yang aneh dan panjang, serasa melempar Adinda hingga ke surga.

Pertahanannya pun jebol. Dengan kaki masih menjepit kuat, meledaklah jerit kenikmatannya. Ia mencengkeram erat kepala Dewo yang menempel di lehernya untuk meminta jeda sejenak, namun laki-laki itu justru malah mempercepat kocokannya.

Dewo kini berbaring telentang dan meminta Adinda agar duduk di atas. Dengan kondisi masih lemas, Adinda ragu apakah bisa bertahan lebih lama lagi. Sejenak ia pegang-pegang, lalu diremas-remas dan dikocoknya batang kontol Dewo dengan tangannya. Ini agar dia bisa menarik napas untuk beristirahat. Tak berkedip diamatinya kontol Dewo yang baru saja merobek perawannya., benda itu begitu keras dan hitam seperti kayu habis terbakar. Meski sudah tua, namun begitu kokoh dan kuat. Ingin rasanya Adinda melumatnya habis, namun Dewo keburu mengatur posisi tubuhnya hingga perlahan kontol itupun masuk kembali, menguak liang kenikmatannya mili demi mili hingga akhirnya terbenam semua.

“Ahh… enak memekmu, Nduk!” Dewo memandang, seolah menikmati ekspresi kesakitan yang kembali dialami oleh Adinda sembari tangannya menggerayangi kedua buah dada gadis muda itu. Dia mencegah Adinda yang mencoba membuka peniti jilbabnya.

“Biarkan saja. Sekarang, kamu goyangkan saja tubuhmu!” Dewo memang suka menyetubuhi perempuan dengan jilbab tetap terpasang, erotismenya terasa lebih nyata.

“Ahh… ahh…” Tubuh Adinda mulai bergerak turun-naik, pelan tapi semakin cepat dengan diiringi desahan dan jeritan nikmat dari Dewo. Mata laki-laki itu tak pernah lepas dari dadanya, terpancar ekspresi kepuasan di wajah Dewo saat tangannya menggerayang untuk meremas-remas benda bulat itu.

“Sini Nduk cantik,” Ditariknya tubuh sekal Adinda ke dalam pelukan. Kembali mereka saling mengadu bibir dan lidah. Hilang sudah rasa enggan pada diri Adinda, beralih dengan perasaan yang begitu eksotis, membuatnya makin bergairah dalam pelukan dan kocokan si laki-laki tua.

“Ahh… Kakek!!!” Adinda berteriak histeris ketika merasakan tubuh Dewo menegang saat menyemprotkan cairan spermanya. Pejuh kental itu terlontar sangat kencang hingga ke lorong rahimnya yang terdalam.

Adinda bisa merasakan dengan jelas denyutan demi denyutan kontol Dewo yang terus meludahkan cairan kental, membuat dinding-dinding memeknya jadi semakin lengket dan membanjir deras. Dewo memeluknya erat, sementara napas mereka menderu saling berpacu, lemas dalam keheningan. Hanya degup jantung yang saling bersahutan terdengar begitu keras.

Adinda menyandarkan kepalanya di bahu laki-laki itu, merasakan kontol Dewo yang masih tegang tetap mengisi liang senggamanya. Jantungnya berdetak kencang, sementara pandangan matanya pun menjadi serba hitam pekat. Tulang dan urat-urat Adinda seperti putus semua, dan ia pun melayang entah ke mana. Gadis itu pingsan!

“Lho, dia kenapa Mas Dewo?!” Nyai Siti panik menemukan Adinda terkapar di kursi ruang tamu, sedangkan Dewo sudah memakai pakaiannya kembali.

“Hanya kecapekan,” kata Dewo sambil menyuruh Nyai Siti agar menutupi tubuh Adinda yang telanjang. “Nanti juga siuman.”

Nyai Siti memandangi wajah cantik Adinda yang kini sepucat mayat. Dia segera memasang kembali baju gadis itu sebisanya, sebelum Kyai Kholil pulang. Kalau sampai melihat Adinda dalam kondisi seperti ini, bisa-bisa suaminya itu tertarik dan ikut menyetubuhinya juga. Sesuai pesan dari Dewo, setelah semua lubangnya dicicipi, barulah korban yang masih perawan boleh diambil oleh Kyai Kholil. Nyai Siti berniat untuk mematuhinya karena tidak ingin kena marah.

“Bagaimana Bayu, sudah kau laksanakan perintahku?” tanya Dewo sambil mengambil air minum dari panci yang ada di dapur.

“Sudah 2 kali spermanya kukuras, tapi tetap masih belum encer juga. Sepertinya dia cukup kuat.” sahut Nyai Siti.

“Lakukan terus, kalau perlu sampai dia pingsan. Aku baru bisa memasukkan guna-gunaku kalau dia sudah benar-benar menyerah.”

Nyai Siti mengangguk dan lekas beranjak ke kamar. Di sana, terikat di atas ranjang, tampak Bayu berbaring lemas dengan tubuh telanjang bulat. Kontolnya sudah kemerahan akibat terus disepong dan dipakai oleh Nyai Siti. Namun kini benda itu sudah kembali berdiri menegak. Nyai Siti segera menyingkap kebayanya dan duduk mengangkangi, kembali memasukkan batang kontol itu ke dalam celah memeknya yang melembab cepat.

“Ahh…” Bayu mendesah, terlihat linglung dan bingung. Selanjutnya ia merintih begitu Nyai Siti mulai menggoyang tubuh sintalnya naik-turun secara perlahan-lahan.

“Mungkin kamu harus meminta bantuan pada Rohmah atau Wiwik,” kata Dewo yang melongokkan kepala di sela-sela pintu.

“Hhh… sepertinya memang begitu,” desah Nyai Siti, dan kini menggoyang semakin cepat.

Menyeringai senang, Dewo segera beranjak kembali ke ruang tamu. Dipandanginya tubuh sekal Adinda yang masih pingsan. Untuk ronde kedua nanti, ia berniat untuk mencicipi lubang anus gadis itu. Tapi sepertinya Dewo harus bersabar hingga Adinda siuman.

Ketika Iblis Menguasai 5

Adegan di Kamar Tidur 2 : Hilangnya Kehormatan Sumirah

Pak Jamal menelan ludahnya berulang-ulang, jakunnya turun naik menyaksikan pemandangan di depan matanya. Siswi madrasah ABG berusia belasan tahun – diperkirakannya sekitar tujuh belas tahun – yang dikenalnya sejak peristiwa pembantaian Murtiasih (baca kisah terdahulu Ustadz Mamat) itu bernama Sumirah atau dengan panggilan sehari-harinya ‘Irah’, kini hanya berdua dengannya di kamar!

Sumirah yang demikian ayu elok dan manis itu masih di bawah pengaruh obat penenang dan juga obat perangsang yang tak disadari diminumnya sekitar dua jam lalu. Sumirah tetap belum sadar ketika beberapa menit lalu pak Jamal menggendongnya keluar dari mobil, membawanya masuk ke dalam rumah milik pak Fikri, kemudian dibawa masuk ke sebuah kamar tidur yang ditunjuk oleh si pemilik rumah

Jilbab yang biasanya menutupi rambut serta lehernya telah tergeser ke bawah ketika tubuhnya dipanggul oleh pak Jamal. Sandalnya juga telah terlepas, demikian pula kaus kakinya. Bahkan sarung panjang yang menutup hingga mata kakinya pun tersingkap sehingga betis putih sangat menantang mata lelaki miliknya kini menjadi santapan mata pak Jamal.

Bagian atas tubuhnya pun tak lagi terlindung secara rapih oleh kebaya yang biasa sehari-hari tertutup rapat. Kancing dan peniti penjaga kebaya di bagian depan telah sebagian besar berantakan. Akibatnya belahan bukit kembar di dada Irah mengintip keluar, gundukan daging gempal terlindung BH putih dengan pinggiran renda muncul di hadapan mata Jamal yang ganas.

Pak Jamal menjulurkan lidah untuk membasahi bibirnya, lehernya dirasa sangat kering menghadapi gadis muda yang masih setengah tidur itu. Dari hidung Sumirah yang bangir terdengar nafas halus, matanya masih tertutup, tangannya tetap menggenggam saputangan yang memang sering dipakainya dengan dibasahi air mawar harum.

Pak Jamal meletakkan tubuh Sumirah di atas ranjang, tangan nakalnya membuka beberapa kancing peniti yang tersisa, yang masih menutup kebaya si siswi madrasah itu. Kemudian disingkapnya lebih lanjut sarung Sumirah ke atas sehingga kini bukan saja betisnya, namun paha begitu licin mulus bak batu pualam putih pun terpampang, pada saat mana Sumirah malahan menekuknya sehingga sarungnya semakin tersingkap dan selangkangannya menjadi terbuka, membuat pak Jamal hampir terbatuk-batuk karenanya.

Karena selangkangan Irah terbuka tanpa disadari oleh sang empunya, maka pak Jamal dapat melihat betapa halusnya kulit paha Irah yang putih kuning langsat karena selalu terlindung dan tak coklat terbakar sinar matahari. Pak Jamal menarik nafas dalam-dalam namun dengan dengus tertahan, karena ia ingin memakai kesempatan selama mangsanya belum pulih kesadarannya untuk menarik ke bawah dan mencopoti celana dalam Sumirah yang berwarna merah muda!

Celana dalam tipis dengan renda itu perlahan-lahan ditarik pak Jamal ke bawah. Semula agak sulit karena tertindih oleh pinggul Sumirah, namun dengan kesabaran yang cukup mengagumkan, pak Jamal sedikit demi sedikit dapat melorotinya. Akhirnya sebercak kain merah muda tipis penutup aurat Sumirah itu pun ditarik turun melewati paha, lolos melalui kedua lututnya, dan pada saat Sumirah tanpa sadar membalik tubuh maka lepaslah lewat kakinya!

Namun pak Jamal masih dapat menahan diri dan tak langsung menerkam mangsanya itu, perlahan-lahan ia berdiri di samping ranjang, satu persatu baju dan celananya sendiri ia lepaskan, sambil tetap mengawasi calon korbannya. Ketika ia hanya tinggal memakai celana dalam saja, pak Jamal kembali naik ke ranjang dan kini merebahkan dirinya di samping kanan Sumirah.

Pak Jamal yang terkenal sebagai pejantan kampung telah sering menggarap wanita di desanya – pada umumnya wanita muda yang telah bersuami tapi kurang memperoleh nafkah badaniah, demikian pula janda kembang entah karena diceraikan atau ditinggalkan suami yang meninggal pada usia muda.

Namun tak diingatnya lagi kapan ia pernah menggauli seorang gadis muda remaja, apalagi anak ABG siswi madrasah seperti Sumirah. Tak disangkanya ketika memasuki usia pertengahan lima puluhan masih memperoleh kesempatan menikmati tubuh Murtiasih beberapa bulan lalu, sebagai ’bonus’ dari Ustadz Mamat (baca kisah mengenai Ustadz Mamat sebelumnya).

Kini di hadapannya menggeletak seorang siswi madrasah lainnya yang hampir seusia dengan Murtiasih, siswi yang sehari-hari memang agak genit, apalagi jika sedang bergaul dan bercanda tertawa cekikikan bersama dengan Rofikah. Pak Jamal membayangkan betapa serunya adegan di kamar pak Fikri yang pasti sedang berusaha menguasai dan menggagahi Rofikah. Khayalannya itu semakin menggugah rencananya untuk mencicipi tubuh Irah yang pada saat itu dengan tak terduga rupanya mulai sadar dan perlahan-lahan membuka matanya!

“Iiih, pak Jamal, kenapa ada disini? Ayo keluaar! S-saya dimana, pak? Tolongin saya pulang ke rumah, Pak. J-jangan macam-macam, kita tak baik berduaan di kamar,” suara Irah terdengar panik.

“Tenang aja, non geulis… ditanggung aman deh, non, asal jangan berisik. Ntar mamang pulangin non ke madrasah, atau mau ke rumah juga boleh. Tapi sebelonnya mamang mau ngelonin si non geulis,” demikian pak Jamal yang langsung menyergap dan menarik tubuh Irah yang berusaha bangun.

“Toloong! Saya mau diapain? Enggak mau begini, kurang ajar!! Ntar aku laporin polisi lho, ayo lepasin…” Irah bergumul dengan lelaki setengah baya yang kembali berhasil meletakkannya di ranjang.

“Eeh… udah dibilang jangan berisik, malahan cerewet! Jangan rewel, non, percuma ngelawan! Kan si non juga pengen ngalamin seperti temen non Murtiasih itu, ayo sini deh mamang ajarin! Tadi mamang udah ngeliat barang non, tembeeem banget… keliatannya siiip dihiasin rambut halus! Bener nggak, non? Hehehe,” pak Jamal menyeringai mesum selebar-lebarnya sambil menatap Sumirah.

Sumirah sangat terkesiap mendengar kalimat terakhir itu, dan baru disadarinya bahwa ada sesuatu yang sangat lain daripada biasa di selangkangannya. Baru disadarinya bahwa selangkangannya telah ‘kehilangan’ sesuatu : terasa jauh lebih dingin daripada biasanya – ooh, kemana celana dalamnya?

Penuh dengan rasa panik, Sumirah kembali berusaha bangun sambil sejauh mungkin merapatkan kedua pahanya. Namun kali ini pak Jamal telah bersedia : tubuh Sumirah langsung ditindihnya dan mulutnya segera membekap dan menciumi hingga membuat Sumirah gelagapan dan menggeliat-geliat pelan.

Keadaan Sumirah sudah sangat tak menguntungkan karena pak Jamal sendiri telah lepas semua pakaiannya terkecuali celana dalamnya yang agak dekil, sedangkan busana muslim yang biasanya menutup tubuh Sumirah dengan rapih kini telah berantakan, bahkan celana dalamnya telah tergeletak di lantai.

Pergulatan yang tak sebanding itu berjalan beberapa menit. Jilbab Sumirah telah lepas terhempas di lantai, kebaya serta sarungnya berantakan tak karuan. Sementara pak Jamal yang menyekal kedua tangan Sumirah di atas kepalanya, kini mulai menciumi dan menyupangi leher korbannya.

“Lepaaaaas! Lepasin saya! T-toloong… saya enggaak relaaa! Ooooouuffhh…” kembali Sumirah merintih saat pak Jamal menciumi bibirnya dengan rakus, lalu turun lagi ke leher, bahu, dan menancap di ketiak.

“Duuuuh siaaaah… sedeeep teuuiiing nih ketek! Licin amat, slurrrrp… engggak puas-puas mamang mau ngejilatin teruuuus… wangi amat nih ketek, emang gadis madrasah lain baunya kali,” pak Jamal tak habisnya mengendus, mencium, menjilati dan menyupangi ketiak Sumirah kanan dan kiri.

Semua rontaan Sumirah sia-sia saja, bahkan semakin memacu pak Jamal yang kini hanya menyekal kedua nadi Sumirah dengan satu tangan kirinya yang kuat, sementara tangan kanannya menjelajahi serta mulai menggerayangi ke dalam kebaya Sumirah, mencari bukit daging kembar yang gempal dan kenyal.

Sumirah tetap menggeleng-gelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan dengan penuh keputus-asaan. Secara tak sengaja matanya melihat beberapa codetan panjang bekas luka di dada pak Jamal yang sedikit dipenuhi bulu, hal sama terdapat pula di lengan atasnya yang masih cukup berotot keras. Terpana mata Sumirah menatap bekas-bekas luka itu dan terbersit rasa ketakutan di matanya, yang mana itu tidak lolos dari pengamatan pak Jamal yang langsung menggunakan kesempatan untuk mengancam!

“Hehehe… bagus ya, non, banyak codetan bekas bacokan golok dan pisau di badan mamang… biasa deh, kalo ada yang enggak nurut dan ngelawan, mamang jadi berkelahi. Tapi semua udah diberesin langsung, enggak ada lagi yang ngerepotin mamang karena semuanya udah masuk ke dalam tanah,” pak Jamal mendadak mengubah nada suaranya menjadi dingin dan memberikan gerakan jari menyilang di depan leher yang berarti bahwa semua musuhnya telah digorok dan ia bunuh!

Sumirah tak tahu apakah benar apa yang dikatakan oleh pak Jamal, namun tanpa sengaja ia rasakan tubuhnya gemetar menggigil dan bulu badannya berdiri gara-gara ngeri atas ucapan tersebut. Sebagai lelaki berpengalaman, pak Jamal mengerti bahwa ucapannya memberikan pengaruh besar pada siswi madrasah muda dan lugu yang semakin lama semakin berada dalam kekuasaannya itu.

“Hehehe… jangan takut, non, mamang udah umpetin pisau mamang di bawah ranjang. Pokoknya si non enggak bakalan mamang sakitin asal nurut, engga ngelawan dan jangan bikin berisik, ngarti?” pak Jamal melanjutkan jamahan dan remasannya di gunung kembar gempal di dada Sumirah, lalu putingnya dipijit serta dicubit-cubitnya, menyebabkan Sumirah jadi meringis dan menggeliat kesakitan. Meskipun sehari-hari agak genit, namun pak Jamal menduga bahwa belum pernah ada lelaki melakukan hal seperti itu pada Sumirah.

“Hehehe… enak enggak, non? Geli ya sampe ngegelinjang begitu? Ini belon apa-apa, non, mamang tambahin lagi nih… mau netek di susunya si non, uummh… legitnya! Cuuppp… nyyuuuum… duuuh siaaah, mamang isep dan sedot supaya makin lancip ya, non? Tuh udah mulai ngacung dan merah muda kaya jambu,” pak Jamal kini bergantian menggigit dan menyedot-nyedot puting Sumirah sehingga anak ABG ini makin gelisah kelojotan, namun dari puting yang digigit-gigit itu muncul aliran rasa hangat dan geli menyebar ke seluruh tubuhnya.

“Aaah… aoouuh… udaah dong, maaang! Gelii… ngiluuu… aauhh!! Irah enggak mau, udahan dong mainnya! Lepasin, oooh… Iraah enggak tahan!!” Sumirah makin menggelinjang.

Dirasakan kedua buah dadanya semakin membengkak dan selain itu muncul kehangatan di tengah selangkangannya sebagai akibat dari obat perangsang yang secara tak sadar diminumnya tadi. Sumirah merasakan bahwa selangkangannya yang telah tak tertutup celana dalam itu semakin lembab dan juga ada rasa geli serta keinginan untuk meraba dengan jari tangannya sendiri. Namun hal itu tak mungkin dilakukannya karena bertentangan dengan rasa kehormatan dan malu. Sehingga tak sadar Sumirah hanya mencoba membuka menutup kedua pahanya, selain itu kedua kakinya yang jenjang melurus, kemudian menekuk, lalu melurus lagi secara bergantian. Kedua pipinya terlihat semakin muncul merah merona, hembusan nafasnya semakin cepat tak teratur disertai keluhan halus.

“Hehehe, bageuur eeuuy… si non makin cakep aja, udah waktunya nih mamang akan memanjakan si non. Abis netek begini biasanya mamang pengen minum air madu. Non mau sekalian diajarin nyepong apa engga? Apa ntar aja kalo mamang banjiran di mulut? Iya deh mamang ngajarinnya pelan-pelan supaya non jadi pinter dan belajarnya gampangan,” pak Jamal melepaskan cekalan dan remasannya, kemudian menyerosot turun sambil melepaskan pakaian Sumirah sehingga akhirnya terlihatlah semua tubuh indah dan montok siswi madrasah yang kini hanya menolehkan kepalanya ke samping.

Sumirah tak berdaya melawan rangsangan tubuhnya sendiri, namun rasa malu jengah dan penyesalan menyebabkan air matanya mulai berlinang dan tubuhnya terguncang pelan oleh isak tangis.

Namun semuanya tak akan lagi menghentikan keinginan pak Jamal untuk menggauli gadis muda ABG ini. Pak Jamal sebagai pejantan kampung memang selama ini cukup sering bersenggama dan merogol pelbagai wanita di desanya, namun belum pernah dengan seorang gadis siswi madrasah.

Kesempatan ini tentu saja tak akan diabaikannya. Ketika Murtiasih berhasil masuk jebakannya dan dibantu Rofikah serta Sumirah akhirnya digarap oleh Ustadz Mamat, maka pak Jamal memang sudah bertekad untuk suatu waktu menikmati tubuh ketiga siswi itu. Baginya tak menjadi soal siapa yang akan pertama kali digaulinya, dan rejekinya memang malam ini memperoleh Sumirah.

Kini pak Jamal telah berhasil menempatkan dirinya diantara kedua paha Sumirah yang terkuak, tak ada gunanya sang korban berusaha membalik diri ke kanan atau ke kiri, tindihan pak Jamal terlalu berat. Kedua tangan pak Jamal masih berada di atas dan tak hentinya meremas-remas buah dada Sumirah, sementara mulutnya disertai lidah basah menjulur keluar menyapu pinggang dan perut gadis muda itu.

Pusar Sumirah yang cekung ke dalam kini telah basah oleh ludah pak Jamal, kecupan hangat terus menerus menjalari seluruh pori kulit putih mulus : dari perut dan pusar semakin turun mengarah ke selangkangan. Disitu kecupan-kecupan pak Jamal semakin ganas dan brutal disertai dengan gigitan kecil di lipatan paha, kemudian bagian dalam paha, dan setelah menimbulkan beberapa cupangan merah akhirnya menuju bukit Venus dengan celah sempit yang tepinya dihiasi bulu-bulu halus terawat rapi.

Kedua tangan pak Jamal melepaskan cengkramannya pada buah dada Sumirah, kini telah turun mengusap paha mulus si gadis yang telah lemas terbakar nafsu birahinya sendiri. Sambil menekan kedua paha Sumirah dengan sikunya agar tetap membuka selebar mungkin, maka jari-jari tangan kiri pak Jamal kini berada di kiri-kanan bibir kemaluan Sumirah dan menguakkannya dengan perlahan-lahan.

Mata pak Jamal melotot bagaikan akan keluar dari cekungannya ketika melihat betapa indah dan menggiurkannya dinding vagina Sumirah yang berwarna coklat muda agak kemerahan. Pembuluh darah yang demikian halus tampak menghiasi dinding yang terlihat mulai mengkilat akibat dibasahi oleh cairan alamiah itu. Ketika bibir kemaluan Sumirah semakin ia kuakkan, maka terpampanglah lubang kencing yang demikian kecil, dan di bawahnya… di bawahnya, ooooh itukah yang disebut selaput dara?

Bagaikan seorang petualang menemukan harta, pak Jamal semakin mendekatkan wajahnya ke lubang surgawi mangsanya. Aah, betul rupanya omongan orang-orang bahwa selaput kegadisan agak berbentuk bulan sabit dan terletak di bawah lubang kantung kemih. Tak sanggup lagi menahan nafsunya, pak Jamal langsung menempelkan hidung dan bibirnya ke vagina Sumirah.

“Sshh… cuup, cuupp, slrruupp… aaah, wuuih manisnya nih madu si non, rejeki nomplok bisa ngirup madu cewek… slrrrrrruuup… duuuh segernya! Mamang ganti bayar madunya ama liur mamang ya supaya semakin licin? Cakepnya si non pas lagi dijilatin kayak gini,” pak Jamal mengulurkan lidahnya yang besar dan kasap untuk menyapu dinding celah kelamin Sumirah.

“Aaiih… emmhh… oooh, pak, Irah diapain lagi? Geli, pak, nngghh… oooh… gelii, sssh… ooohh… iih, Irah enggak tahan,” Sumirah menceracau dengan tanpa sadar kedua tangannya kini meremas-remas buah dadanya sendiri dan menarik-narik putingnya yang mungil indah.

“Enaak teuing ya, non? Betul engga tuh mamang bilang, jadi ketagihan kan? Sekarang mamang ajarin supaya non melayang ke surga ke tujuh ya, nih gini caranya,” bagaikan mencari butir perhiasan nan mahal, pak Jamal membuka lipatan atas bibir vagina Sumirah. Bagaikan penis mini seorang bayi laki-laki yang baru lahir, muncullah tonjolan daging diantara lipatan bibir memek Sumirah, seolah malu dan segan menampilkan dirinya. Namun kelentit yang dicari-cari itu langsung dikecup, diciumi, dan dijilati oleh pak Jamal. Sumirah yang telah terbuai dengan nafsu birahi kini menghentakkan kakinya bagaikan terkena aliran listrik tegangan tinggi, apalagi ketika kelentitnya tersapu kumis kasar pak Jamal.

“Aaiih… iihh… eemph… aah, geli amat, pak! Udaah…” Sumirah menggeliat-geliat dan berusaha berontak melepaskan dirinya, namun kedua pahanya tetap berada dalam tekanan lengan dan siku pak Jamal sehingga tetap terpaksa mengangkang lebar.

“Toloong, pak… aauuw! U-udah, hentikan! Gelii… aauww! Oooh… iiih… Irah pengen pipis, oooh… lepasin dong, pak! U-udaah,” bagaikan orang sedang kalap terkena serangan ayan, Sumirah menghentak-hentak dan menendang, sementara semua jari tangannya justru malah menjambak rambut pak Jamal dan menekan kepalanya seolah-olah ingin dirangsang terus.

Sinyal sangat khas yang begitu nyata ini tentu saja begitu dikenal oleh pak Jamal yang kini justru semakin meningkatkan kegiatannya. Klitoris yang telah menonjol diantara lipatan bibir kemaluan Sumirah kini dijepit oleh pak Jamal diantara bibirnya, disapu dan diusap dengan lidahnya, kemudian digesek serta digéwel dengan menggunakan barisan giginya yang digerakkan ke kiri dan ke kanan.

Rangsangan semacam ini tak akan dapat ditahan oleh wanita manapun, meskipun ustazah alim shalihah berpengalaman bagaimanapun pasti akan langsung blingsatan dan takluk! Apalagi yang sedang menghadapi serangan ini adalah gadis muda siswi madrasah yang masih asing lelaki.

Tanpa disadarinya tubuh Sumirah semakin terangkat dari kasur, semakin melengkung, dari lubang hidung yang mungil terdengar nafas memburu bagaikan seekor kuda sedang berpacu. Mata Sumirah membeliak terbalik ke atas, tangannya melepas sementara rambut pak Jamal lalu menarik sprei ke mulutnya untuk digigit sekuat tenaga. Kemudian kedua tangannya itu kembali menekan kepala pak Jamal sekuatnya seolah ingin agar rangsangan di klitorisnya semakin ditingkatkan, kedua paha betisnya menendang dan membuka menutup tak beraturan. Pada saat itu pak Jamal secara sadis meremas dan mencubit puting Sumirah dengan jari-jari tangan kirinya, lalu sekaligus telunjuk tangan kanannya menjelajah di bawah vagina dan dengan tiba-tiba menusuk masuk ke anus Sumirah yang amat sempit.

“Ummmppffh… eemmppffh… aiiihh… auww… Irah pipis!! Ohh, pak… auoohh,” tubuh Sumirah melengkung bagaikan busur yang siap melepaskan anak panah, mengejang dan gemetar selama beberapa menit disaat mengalami orgasme pertama kalinya. Setelah sesaat, barulah akhirnya perlahan-lahan melemas dan menghempas kembali.

Namun pak Jamal masih belum puas. Setelah tubuh Sumirah terhempas kembali dikasur, maka dengan sadis pak Jamal memulai kembali rangsangannya. Kedua puting susu Sumirah yang semakin membengkak dan mengacung ke atas itu dijadikannya sasaran kembali. Ia mempulir-pulir, mencubit-cubit, menggigit-gigit dan mengenyot-ngenyot penuh nafsu, bagaikan seorang bayi raksasa telah kehausan sehari semalam tak diberikan susu ibu. Terutama gigitan sadis yang membuat ngilu itu memaksakan Sumirah kembali dari dunia ekstase setelah orgasme pertama.

Sumirah menggeliat dan merintih-rintih ketika putingnya terasa perih dan lecet karena gewelan dan gigitan buas pak Jamal. Setelah puas dengan meremas dan membuat kulit buah dada sang mangsa penuh cupangan serta bercak merah, maka pak Jamal turun kembali dan mulai menjilati lagi kemaluan Sumirah. Tanpa ampun celah sempit di bukit Venus berbulu halus itu ia kuakkan kembali, dijilatinya dinding yang merah muda itu, dicarinya kelentit yang sedemikian peka, diulangi lagi ritualnya dengan maksud membangunkan birahi sang siswi yang malang itu.

Tak sangguplah Sumirah menghadapi serangan bertubi-tubi lelaki setengah baya yang begitu berpengalaman : tubuhnya yang telah letih, lemas dan mandi keringat itu mulai melengkung dan membusur ke atas. Sepuluh menit kemudian terdengar kembali jeritan histeris Sumirah, kali ini pak Jamal tanpa kasihan memaksanya untuk orgasme tiga kali berturut-turut!

Sumirah merasakan seolah-olah dilandai badai tsunami : jutaan bintang menguasai pandangan matanya, jutaan bintang meledak di dalam kepalanya, tubuhnya bagaikan dihempaskan ombak samudra hindia ketika sang penghuni Nyai Roro Kidul sedang mengamuk. Setelah ketiga kalinya kejang dan kesadarannya sama sekali hampir punah, barulah pak Jamal menghentikan kegiatannya, karena ia telah siap bersenggama!

Pak Jamal menyeringai dan tersenyum penuh kepuasan melihat korbannya telah runtuh semua pertahanannya dan takluk terhadap tindakan apapun yang akan dilakukan pak Jamal berikutnya. Kini telah tiba saatnya pak Jamal mengambil piala utama di petang hari itu, piala kemenangannya terhadap gadis alim shalihah. Piala itu hanya berupa kegiatan beberapa menit menembus selaput pertahanan dan pemisahan status seorang gadis dan wanita dewasa. Pak Jamal kembali menarik dirinya ke atas tubuh Sumirah yang mengkilat mandi keringat akibat orgasmenya. Nafas Sumirah masih memburu, terlihat dari naik turun buah dadanya dengan puting mencuat tajam. Selangkangannya tetap terkuak dan rambut halus di sekitar memek Sumirah tampak basah dengan air mazi serta air ludah pak Jamal yang menjilatinya beberapa menit lalu.

Pak Jamal menarik nafas panjang, menahannya selama mungkin. Jari-jari tangan kirinya menguakkan kembali bibir kemaluan Sumirah. Dengan tangan kanannya diarahkannya penisnya yang menegang maksimal sejak melihat orgasme calon mangsanya. Setelah kepala batang rudalnya diletakkan diantara belahan vagina Sumirah dan dirasakannya cukup mantap, dijepit bibir kemaluan berwarna kemerahan itu. Pak Jamal kemudian mengangkat dan meletakkan betis mangsanya di bahunya, lalu perlahan-lahan ia menekan ke bawah. Sekali dua kali tusukannya meleset, namun akhirnya kepala penis berwarna merah tua dengan bentuk topi baja itu meretas masuk di belahan hangat, senti demi senti lembing daging itu menghilang ke dalam lembah hangat licin dan menemukan pertahanan.

“Aduuh… aauww! Nyerii, pak… sakiiit!! J-jangan, pak… lepasin! S-sakiit, pak… ooh… udah!! Auw, ampuun…” Sumirah merasakan bagian dalam memeknya bagai disayat pisau, pinggulnya mengesot ke kiri dan ke kanan menahan rasa sakit.

Sangat berbeda dengan Sumirah yang kesakitan, maka pak Jamal justru merasakan kebanggaan tak terkira ketika alat kejantanannya masuk perlahan-lahan ke dalam liang nirwana gadis muda itu. Setengah jalan dirasakannya ada yang menahan tembusan penisnya dan pak Jamal tersenyum lebar karena yakin bahwa penahan itu adalah selaput kegadisan Sumirah. Ekspresi wajah mangsanya yang ayu cantik namun telah sepenuhnya dikuasai itu justru makin memacu nafsu birahinya.

Dengan penuh rasa kepuasan pak Jamal menekan lebih kuat ke depan, sementara kedua tangan Sumirah memukul lemah dadanya yang kekar penuh codetan. Dengan senyum mesum disertai nafsu iblis pak Jamal merejang kedua pergelangan tangan Sumirah, ditekannya ke kasur sehingga tak mungkin si gadis ini mencakar atau meronta lagi. Disertai dengusan bagai banteng ketaton, pak Jamal menghunjam ke depan dan dirasakannya bahwa pertahanan di dalam vagina Sumirah akhirnya berhasil ditembus.

“Uuh, sempitnya nih memek… non geulis kenapa meringis nangis? Ntar pasti keenakan, mmh… aah, kerasa jebol di dalem enggah, non? Kasian si non ngerasa ngilu, mamang licinin lagi ya supaya enggak terlalu perih? Duuh, begeuuuur teuiiing, mamang jadi makin napsu aja, hehehe.” pak jamal kembali menciumi mulut Sumirah yang setengah terbuka. Lidah Sumirah disedot serta dijepit diantara bibir tebalnya, kini ludah pak Jamal makin bercampur dengan ludah Sumirah.

“Eemmuuppffh… uuddhh… aauummppffh… aauuww, sakiiit! A-ampuun, pak!!” Sumirah menangis terisak-isak, tusukan dan hunjaman pak Jamal dirasakannya semakin menyiksa masuk ke dalam sehingga terasa ngilu menjalar sampai ke ulu hatinya.

Memang telah beberapa kali ia mendengar dari tetangga serta kenalan wanita yang telah menikah bahwa proses metamorfose dari gadis menjadi wanita dewasa di malam pengantin sering disertai dengan rasa sakit. Namun apa yang dirasakannya saat ini sama sekali di luar dugaannya, jauh lebih sakit daripada perasaanya semula.

Sumirah tetap berusaha menggeser pinggulnya ke pelbagai arah ketika alat kejantanan pak Jamal menumbuk mulut rahimnya yang penuh ribuan ujung syaraf peka. Namun semua tak mengurangi atau meringankan rasa perih dan ngilu karena dinding memeknya yang masih luka memar itu tetap digesek-gesek bagaikan diampelas oleh kulit kasar penis pak Jamal. Bahkan usaha goyang dan geseran pinggul Sumirah itu menyebabkan salah dugaan pak Jamal bahwa gadis korbannya justru mulai merasakan kenikmatan, sehingga semakin seru dan mantaplah pak Jamal menggerakkan penisnya.

“Wah, mulai ngerasa enak ya, non? Mamang bilang juga apa, sedap kan di entot? Pinter banget si non, mulai goyang pantat kaya penyanyi dangdut ngebor di panggung. Mamang mulai enggak tahan nih, yahud amat si non makin geuliiiis… cakepnya dipompa, aah… uuh!!” pak Jamal mengarahkan dan menumbuk senjata dagingnya ke semua sudut celah surgawi mangsanya.

Masuk keluar, masuk keluar, dorong tarik, tarik dorong, sebentar halus dan perlahan, mendadak berubah menjadi sangat kasar dan brutal. Siswi madrasah yang baru kehilangan kegadisannya itu hanya dapat mengikuti saja semua kemauan pemerkosanya. Percuma saja melawan karena justru akan lebih memacu nafsu hewaniah kuli pembersih di madrasah itu. Sumirah mulai membiasakan hidungnya dengan bau keringat pak Jamal yang kini bersimbah bercampur dengan keringatnya.

Tak ada lagi yang sanggup dipertahankannya, Sumirah hanya mengharapkan agar semuanya cepat berlalu dan ia akan segera pulang untuk melupakan pengalaman pahitnya yang ibarat mimpi buruk. Tapi pak Jamal ternyata mempunyai stamina yang sangat mengagumkan untuk seorang pria seusianya.

Setelah dirasa bahwa perlawanan Sumirah sama sekali tak ada, maka justru ia membalik badan dan meminta agar gadis itu menungganginya dalam posisi “woman on top”. Karena Sumirah telah lemas dan terlalu letih, maka justru pak Jamal yang mencengkeram pinggang langsing korbannya. Kemudian dia naik-turunkan tubuh Sumirah bagaikan boneka, sehingga memeknya ditikam dan ditusuk tusuk dari arah bawah oleh tombak daging yang mengacung ke atas dengan begitu gagahnya.

Setelah puas menjarah Sumirah dalam posisi ini, pak Jamal kini menyuruhnya merangkak bagaikan seekor anjing, kemudian didekati mangsanya dari belakang dan kembali dibelah vaginanya. Tanpa rasa kasihan sedikit pun, pak Jamal kini menggarap dan mengerjai Sumirah dari arah belakang, dan karena sudah amat lemas maka Sumirah tak sanggup lagi menunjang tubuhnya sendiri dengan lengan yang diluruskan.

Akhirnya Sumirah hanya sanggup menumpang tubuh atasnya dengan lengan atas dan bertopang di siku yang menekuk. Kepalanya yang sudah tak tertutup jilbab dengan rambut acak-acakan menyentuh kasur, setiap genjotan dan jedugan pak Jamal dari belakang hanya dijawab dengan lenguhan dan desahan putus asa, terputus-putus diantara isak tangis memilukan.

Pak Jamal merasakan bahwa gejolak lahar panasnya telah sangat meninggi di dalam biji pelirnya, secara iseng dan sadis ia menyentuh dan mencolek lubang kecil dilindungi otot lingkar mengkerut-kerut. Dengan penuh kepuasan dilihatnya otot pelindung yang masih mengerut itu berkontraksi menarik si lubang kecil hingga semakin menciut bersembunyi di tengah bongkahan pantat yang sangat menantang.

Namun kali ini pak Jamal masih mempunyai rencana lain, lubang pantat Sumirah akan disimpan untuk dikerjainnya dalam kesempatan di masa mendatang. Kali ini ia berniat mengajari Sumirah untuk menghirup air maninya, dibayangkannya betapa wajah ayu Sumirah dengan mulut mungil terpaksa membuka selebarnya untuk mengulum rudalnya. Betapa nikmatnya merasakan hangat dan lembut lidah Sumirah menyapu lubang kencingnya yang menyemburkan air pejuh kental. Pasti Sumirah akan menolak melakukan hal tak senonoh itu, namun pak Jamal tahu caranya menakluki dan mematahkan pertahanan si anak ABG muda.

“Uuuh, mamang udah hampir nyampe nih… buang pejuhnya di dalem supaya jadi anak mau ya? Kebetulan lagi subur enggak, non? Udah lama juga mamang enggak naburin ladang becek, mau ya?” sengaja pak Jamal menjedug-jedug rahim Sumirah sambil menanyakan hal tak senonoh itu.

“Jangan, pak, Irah enggak mau hamil… tolong, kasihani Irah dong, pak! Buang diluar aja,” isak tangis Sumirah semakin menimbulkan iba, namun tak dipedulikan oleh pemerkosanya.

“Kalo enggak dibikin anak kan sayang, tapi bisa juga dimasukin lobang yang laen. Ditimbun disini boleh enggak, non?” kembali pak Jamal menjedug menghunjam sambil mengusap anus Sumirah.

“Kelihatannya kecil dan sempit, pasti enak dijebol nih lobang,” lanjut pak Jamal sambil meludahi anus Sumirah kemudian dengan perlahan ditusuk-tusuk dengan jari telunjuknya.

“Auw, jangan, pak! Jangaaan… enggak mau disitu… haram, pak! Oooh… jangan, ampun, pasti sakit sekali… ampun, pak! Ampuuuun…” Sumirah berusaha meronta dan menggelinjang lemah.

“Wah, cerewet amat si non! Dibuang sini salah, dibuang kesitu juga salah… gini aja lah supaya jangan mubazir, mamang ajarin non minum air pejuh simpanan supaya jadi awet muda,” pak Jamal tak menunggu jawaban Sumirah namun langsung membalikkan dan menelentangkan tubuh sintal telanjang bulat itu. Kembali direjangnya kedua pergelangan tangan Sumirah di samping kepalanya, dan kemudian disodorkannya penis hitam legam penuh urat melingkar-lingkar itu di depan bibir Sumirah.

Sumirah melengoskan kepalanya ke samping ketika penis mengkilat mengangguk-angguk yang terlumasi bekas darah dan air mazinya sendiri itu menyentuh bibirnya. Pak Jamal hanya tersenyum sadis, segera dicengkeramnya kedua nadi Sumirah dengan satu tangan dan diletakkan di atas kepalanya. Tangan satunya kini digunakan untuk memegang dagu Sumirah , jari-jarinya yang kuat menekan pipi si gadis malang sedemikian kuat hingga menyebabkan siswi madrasah ini kesakitan dan tanpa sadar menjerit.

Kesempatan itu langsung dipergunakan oleh pak Jamal dengan meneroboskan kemaluannya ke celah diantara bibir yang membuka, lalu tanpa rasa iba didorongnya masuk sedalam mungkin.

Sumirah tersedak terbatuk-batuk ketika langit-langit mulutnya disentuh oleh benda asing, hidungnya mengernyit karena mencium aroma campuran yang baru pertama kali ini dikenalnya. Aroma keringat lelaki, aroma khas penis sang pemerkosa, aroma lendirnya sendiri, dan juga sebersit aroma darah perawan yang beberapa saat lalu mengalir akibat perenggutan paksa selaput kegadisannya.

Rasa mual ingin muntah menyebabkan lambung Sumirah memberontak, namun apalah dayanya saat ini : pak Jamal telah memaju-mundurkan pinggulnya. Lingkaran kemaluan sang pejantan dirasakan oleh Sumirah semakin lama semakin membesar, menyebabkan sendi rahangnya sangat pegal linu karena dipaksa membuka maksimal. Pak Jamal semakin mempercepat irama penggejotannya di dalam mulut yang sedang dijarahnya habis-habisan, semakin lama semakin ganas, semakin dalam dan…

“Aaah… oooh… iya! Isep, non! Iseep semua, ooh… duuh, enggak tahan lagi nih mamang mau ngecrot! Kemut, non, iyah… minum semuanya, ooh…” geraman dan dengusan pak Jamal menyertai semprotan serta luapan spermanya yang masuk memenuhi rongga mulut Sumirah. Tak ada ruangan sedikitpun yang dapat dipakai Sumirah untuk membuang air pejuh menjijikkan itu. Supaya tidak terselak dan kehabisan nafas maka tak ada jalan lain bagi Sumirah daripada menelan teguk demi teguk air mani yang dirasakan seolah tak ada habisnya.

Lebih dari tiga menit barulah semburan lahar panas di mulut Sumirah mereda, penis pak Jamal pun mengurang diameternya dan akhirnya dapat didorong keluar lidah Sumirah. Beberapa tetes air pejuh putih mengalir keluar dari sudut bibir Sumirah dan beberapa kali ia menarik nafas sedalam-dalamnya untuk menahan rasa ingin muntah karena aroma sepat agak asin di kerongkongannya.

“Gimana, non, puas enggak? Ngaku deh enaknya dientot sama lelaki, mamang masih pengen maen-maen lagi, lain kali diterusin pasti lebih puas,” demikian rayuan gombal pak Jamal berusaha untuk menghibur Sumirah yang masih terlentang telanjang bulat dengan isakan tangisnya.

Perlahan-lahan pak Jamal menuntunnya ke kamar mandi untuk membersihkan diri, terutama bagian selangkangannya yang masih terasa sangat perih dan memar. Setelah itu pak Jamal membantu Sumirah memakai sarung panjang dan kebayanya, tak lupa jilbabnya menutup kembali rambutnya. Mereka kemudian duduk berdampingan di ranjang, kemudian pindah ke ruang tamu tanpa banyak mengucapkan kata. Mereka menunggu pasangan lain yang juga sibuk dengan acara hangat di kamar tidur masing-masing.

Beberapa jam kemudian Sumirah telah pulang ke rumahnya. Berbeda dengan pak Jamal yang langsung menggeros kepuasan karena dapat menikmati tubuh gadis remaja, maka Sumirah merasakan tubuhnya pegal linu akibat pergulatannya tadi. Beberapa kali diraba selangkangannya yang masih memar, namun ketika jari-jarinya menyentuh bibir kemaluannya, terutama kelentitnya yang tersembunyi itu, maka terbayangkan kembali adegan memalukan namun mengesankan sukar terlupakan ketika perawanannya direnggut paksa oleh kuli pengurus sekolah madrasah itu.

Karena sukar sekali tidur maka Sumirah mengusap dan meraba kelentitnya dengan perlahan, makin lama semakin cepat. Akhirnya dijepitnya bantal guling dengan kedua pahanya, bantal kepalanya digigit sekuat tenaga untuk meredam jeritan orgasmenya. Berkat kejantanan pak Jamal maka Sumirah sebagai siswi madrasah akhirnya menemukan kenikmatan badaniah yang selama ini tersembunyi, namun itu semua adalah lumrah dan normal bagi semua wanita muda. Tak perduli warna kulitnya, keturunannya, apapun kepercayaannya, kebangsaannya – tak perlu dijadikan rasa malu sama sekali. Barangsiapa berusaha menyangkal hal itu adalah hanyalah kaum munafik saja di dunia ini.

TAMAT EPISODE SUMIRAH DENGAN PAK MAMAT 

INTAN 2

INTAN 2

Dua hari lagi, Intan akan menjalani prakteknya di Purwokerto. Dan hari ini sesuai dengan janji yang sudah ia buat dengan Rangga, ia akan menghabiskan waktu seharian berjalan-jalan keliling Yogyakarta. Intan tahu bahwa pada akhirnya ini akan berakhir pada permainan ranjang yang panas di kontrakan Rangga seperti pada hari-hari sebelumnya. Yang Intan tidak tahu bahwa di ujung hari, ia tidak akan bergumul dengan kekasihnya, tetapi bersama Pak Jarwo.

Sudah beberapa hari ini sebenarnya Intan sering bermain cinta dengan Pak Jarwo tanpa diketahui oleh Rangga, kekasihnya. Dengan beralasan sedang praktek, response, dan lain-lain, maka Intan dengan bebas ‘bertamu’ ke rumah Pak Jarwo. Istri Pak Jarwo sendiri adalah seorang buruh migran yang entah kapan akan pulang dan tidak tentu mengirimkan uang untuk Pak Jarwo di Indonesia. Tapi semua itu tidak menjadi masalah karena banyak kebutuhan Pak Jarwo yang pada akhirnya ditanggung Intan. Dia sudah seperti istri kedua bagi Pak Jarwo. Laki-laki itu bagaikan raja yang menikmati kenikmatan lahir batin, kebutuhannya tercukupi dari Intan.

Sekarang kita tarik cerita dari sekitar dua minggu ke belakang, beberapa hari setelah permainan cinta pertama antara Intan dan Pak Jarwo. Saat itu hari Rabu pagi dan Intan kebetulan kuliahnya sedang kosong karena dosen yang berkepentingan sedang berada di luar kota.

Intan terbangun karena ada sms masuk ke handphone-nya, setelah dilihat ternyata dari Pak Jarwo. Setelah pertemuan pertama mereka, memang mereka pada akhirnya bertukar kontak supaya Pak Jarwo bisa menghubungi Intan lagi di lain kesempatan. Selain itu juga, hampir tiap malam Pak Jarwo mengirim sms mesra kepada Intan dan Intan juga tak kalah mesra membalas sms-sms tersebut. Ah, indahnya hubungan kedua insan berbeda usia jauh ini.

“Pagi cewek bispak, kuliah gak hari ini? Hmm, kayaknya pagi-pagi begini kalo sarapan sambil disepongin sama mahasiswi berjilbab pasti nikmat. Kamu ke rumah bapak dong, sayang..”

“Ah, Pak Jarwo kok pagi-pagi udah sms sih? Bikin memekku cenat-cenut kalo inget kemaren di kontrakan pacar saya. Saya gak kuliah hari ini, Pak. Hmm, Pak Jarwo mau ditemenin? Ya udah, kasih saya alamatnya ya. Sama itu juga, Pak Jarwo mau dibeliin sarapan apa?”

“Kamu tau aja maunya bapak, hehe… saya mau bubur ayam aja deh, beli dua buat kamu juga ya, saying. Oya, jangan lupa mandi yang bersih dan wangi, dandan, pake jilbab yang bikin kamu paling cantik ya, tapi pake baju dan celananya yang ketat. Oke, pelacur?”

“Duh, kalo bapak bilang saya pelacur tuh bikin saya makin terangsang. Hmm, ya udah, nanti bapak sms aja alamat rumah bapak ya. Saya manasin mobil dulu. Sampai nanti pejantanku sayang, mmuuaacchh!”

Sms-sms yang terjadi diantara keduanya memang sudah kelewat mesra bahkan cabul, dan Intan sebagai seorang mahasiswi berhijab dan calon dokter malah lebih terangsang ketika direndahkan oleh kata-kata kasar oleh seorang bapak tua yang jadi ketua RT di daerah kontrakan Rangga. Tidak berapa lama kemudian Intan sudah meluncur untuk membeli sarapan dan menuju rumah Pak Jarwo. Intan memberi tahu Rangga bahwa ia tidak enak badan dan tidak ingin diganggu selama seharian ini, supaya Rangga juga fokus dengan pekerjaannya. Sebuah alasan yang cukup klasik.

Akhirnya mobil Intan sampai di sebuah rumah yang cukup asri, kecil namun banyak ditumbuhi tumbuhan-tumbuhan liar, sesuai dengan alamat yang diberikan oleh Pak Jarwo. Seorang bapak tua kemudian keluar untuk membuka gerbang dan menyuruh Intan memarkirkan mobilnya masuk ke garasi, setelah itu ditutup dengan cover mobilnya sehingga setiap orang yang lewat tidak mengetahui mobil siapa yang ada di garasi Pak Jarwo saat ini.

“Masuk aja, sayang, langsung buka sarapannya di meja makan ya. Bapak udah kangen banget sama kamu nih!” kata-kata Pak Jarwo dibarengi dengan tepukan di pantat Intan.

“Duh bapak, jangan diluar gini ah, nanti ada yang liat loh… hihi, masa cewek berjilbab mesra sama bapak-bapak, hihi… tapi ga papa deh, kan sama Pak Jarwo ini,” Sambil tersenyum manja, Intan mengatakan hal tersebut yang membuat Pak Jarwo makin kelimpungan.

Akhirnya mereka berdua sudah duduk di meja makan, tetapi Pak Jarwo bilang, “Loh, kok disitu sih? Sini dong.” katanya sambil menepuk paha, memberikan isyarat agar Intan duduk di situ.

“Aduh, bapak manja deh. Hihi, ya udah, Intan duduk menyamping di paha bapak ya.” Intan akhirnya duduk di pangkuan Pak Jarwo, lalu ia membuka bungkusan buburnya, tapi lagi-lagi Pak Jarwo menyela.

“Eh, punya kamu nanti aja, punya bapak dulu ya. Hehe, saya mau sarapan sambil disepong sama mahasiswi berjilbab, impian bapak dari dulu nih. Boleh ya, sayang?” Pak Jarwo mencolek dagu Intan, membuat gadis itu tersipu malu dan akhirnya menganggukkan kepala menuruti kemauan pak RT cabul yang satu ini.

Intan mencium bibir Pak Jarwo dan mengulumnya secara tiba-tiba, Pak Jarwo sendiri kaget. “Loh kok?”

“Dari tadi kan bibir kita belum ketemu, saya gak boleh ya cium bibir Pak Jarwo? Tiba-tiba saya jadi kangen banget sama rasa bibir bapak, uh!” Dalam hatinya, Intan merasa bahwa ada perasaan tersendiri jika berduaan dan bermesraan seperti ini dengan Pak Jarwo.

Setelah itu, perlahan Intan turun dari pangkuan Pak Jarwo dan duduk di bawah meja. Pikiran Pak Jarwo telah melayang-layang kemana-mana, ah seandainya ia bisa memperistri Intan dan bisa ia pakai setiap hari, pasti hidupnya akan lebih bahagia.

“Saya buka ya, pak… ups! Besarnya, hmm…” Intan membuka celana panjang Pak Jarwo dan menurunkannya sebatas paha, lalu menciumi paha Pak Jarwo yang telanjang.

Perlahan ia mendekati penis Pak Jarwo yang berukuran besar, penis itu masih layu dan sedikit bau pesing, tapi Intan tidak peduli. Perlahan ia mengenduskan hidungnya pada pangkal penis itu, menciumnya dengan sangat mesra dan penuh kasih sayang. Sementara di atas, Pak Jarwo mulai menikmati sarapan buburnya sambil juga menikmati ‘sarapan’ yang lain, ia tersenyum licik karena berhasil menaklukkan seorang mahasiswi fakultas kedokteran, berjilbab pula, bawa mobil juga, ah hidupnya terasa sangat indah sekarang.

Intan mulai menciumi penis Pak Jarwo hingga perlahan penis tersebut mengembang dan mengeras bagaikan sebatang kayu. Intan tertawa kecil melihat penis kesayangannya menjadi sebesar ini karena usahanya. Intan akhirnya menjilati penis Pak Jarwo dengan sangat perlahan, memindahkan rasa yang ada ke dalam mulutnya, menstimulasi penis tersebut agar makin mengeras, seakan-akan penis tersebut adalah pisang yang dilumuri oleh susu kental manis. Ah, Intan sangat ketagihan sekarang. Ia mulai membasahi semua bagian penis tersebut dengan liurnya, mulai memasukkannya ke dalam mulutnya secara perlahan.

Suara Intan yang sedang mengulum penisnya membuat Pak Jarwo makin bernafsu, kecipak pertemuan antara bibir indah berlipstik tipis, behel dan penis hitam miliknya membuat nafsu Pak Jarwo menjadi semakin meningkat.

Sementara Pak Jarwo terus melanjutkan sarapannya, Intan masih mengulum penis Pak Jarwo yang sudah benar-benar tegang. Ia mengocok dengan tangannya yang halus, jari-jarinya yang lentik dan kukunya yang baru tadi pagi di-kutek. Uh, tidak ada yang bisa menandingi sensasi dan aroma sensualitas yang ada di ruang makan rumah Pak Jarwo.

Tiba-tiba Pak Jarwo membuka kotak sarapan bubur milik Intan dan menarik Intan ke atas. “Duh, kayaknya kamu nafsu banget nyepong kontol bapak? Suka banget ya sama kontol bapak?” tanyanya.

“Mulut saya kayaknya udah jodoh sama kontol Pak Jarwo, uhh… kontolnya Pak Jarwo tuh bikin mulut saya jadi gatel dan yang bisa garukin cuma kontol ini, pak RT-ku tersayang, hihi…”

“Ya udah sayang, kamu makan dulu ya, biar nanti kita ngentotnya bisa kuat seharian. Kamu ga ada janji sama pacar kamu kan?”

“Ah, saya lebih milih seharian dientotin sama Pak Jarwo daripada harus kencan sama dia, pak. Hmm, pak… saya boleh minta tolong sesuatu gak?”

“Buat kamu, bapak akan turutin. Apa sih, sayang?”

“Suapin..” Dengan senyum malu-malu, Intan mengungkapkan keinginannya untuk dimanja oleh Pak Jarwo. Perempuan kalau sudah tersentuh hatinya, apalagi vaginanya, pasti akan takluk walaupun lawan mainnya adalah seorang bapak tua.

Intan menganggap Pak Jarwo sebagai suaminya sendiri, Intan bahkan akan gelisah kalau satu hari tidak berkomunikasi dengan Pak Jarwo. Tetapi bukan Pak Jarwo namanya kalau tidak punya ide gila, ia akan menyuapi Intan lewat mulut, dan hanya dijawab oleh anggukan serta senyum manis dari Intan.

Akhirnya Pak Jarwo mengaduk buburnya dan menyuapi dirinya sendiri, sehabis itu layaknya orang berciuman, Pak Jarwo mendekatkan mulutnya ke mulut Intan, perlahan-lahan bubur tersebut pindah ke mulut si gadis muda.

“Gimana? Enak, sayang?” tanya Pak Jarwo.

“Makasih ya, pejantanku saying. Pak Jarwo tuh satu-satunya cowok yang bikin saya, walaupun berbeda usia, jadi meleleh. Bapak tuh jantan banget.” Sambil berkata begitu, Intan yang masih duduk di pangkuan salah satu kaki Pak Jarwo, kembali mengelus dan mengocok penis Pak Jarwo yang belum mengeluarkan isinya.

Pak Jarwo yang sudah berpengalaman dengan berbagai wanita hanya melenguh pelan dan kembali menyuapi Intan dengan mulutnya. “Intan, uuhh… pelacur pribadiku. Uuhh… saya bentar lagi mau keluar nih, saya campurin pejunya ke bubur kamu ya, saying? Gimana, mau? Uuhh…”

“Ih, bapak… nanti buburnya jadi rasa peju dong. Tapi kayaknya malah enak, hihi… ya udah, pak, keluarin aja pejunya. Uhh…” Dengan muka penuh birahi, Intan kembali mengocok dengan kuat penis Pak Jarwo, hingga akhirnya tidak berapa lama kemudian, sperma laki-laki itu menyembur keluar.

“Aahhh… uuhhh… nikmatnyaa… uhh… terus kocok, saying… uuh…” Pak Jarwo akhirnya ejakulasi di atas bubur ayam milik Intan, sampai tetes terakhir spermanya pun tidak disia-siakan oleh Intan. Ia membersihkan penis Pak Jarwo dengan lidahnya, ia terlihat tidak ikhlas ketika satu tetes sperma jatuh ke lantai. Uh, hanya dengan melihatnya saja membuat Pak Jarwo jadi semakin bernafsu untuk menggarap tubuh molek berbalut jilbab dan gamis panjang ini.

Lalu Intan keluar dari kolong meja makan dan dengan kerlingan mata genitnya pada Pak Jarwo, ia menjilat bibirnya sendiri dan berkata nakal, “Hmm, enaknya peju Pak Jarwo, buat saya awet muda nih, hihi…”

Akhirnya Intan sarapan bubur ayam yang sudah dicampur dengan sperma Pak Jarwo, ia memakannya dengan lahap. Pak Jarwo sendiri pergi ke kamar mandi untuk membersihkan badan dan memulihkan staminanya setelah spermanya dikuras habis pagi ini oleh mahasiswi cantik berhijab seksi.

Pak Jarwo bersiul bernyanyi pelan di kamar mandi, memikirkan nasibnya yang sekarang seakan-akan telah menjadi raja dan Intan menjadi selirnya yang menjamin semua kebutuhannya, lahir dan batin. Sampai tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka dan persis di luar kamar mandi, Pak Jarwo melihat Intan yang perlahan-lahan menelanjangi diri; mulai dari hijabnya, kemudian baju, dan akhirnya bra serta celana dalamnya. Gadis itu melangkah perlahan mendekati Pak Jarwo yang masih saja ternganga dan hampir melotot tak percaya seorang mahasiswi kedokteran berhijab melakukan hal tersebut.

“Saya boleh ikutan mandi kan, Pak Jarwoku sayang?” tanya Intan manja.

“Tentu saja boleh, pelacur pribadiku. Hehe…”

Ketika berada di depan Pak Jarwo, Intan memutar tubuhnya, mempertontonkan bagian tubuh belakangnya yang polos tanpa selembar penghalang pun. Lalu ia menempelkan tubuhnya pada tubuh Pak Jarwo. Sambil sedikit mendesah, ia mengambil tangan Pak Jarwo dan menyentuhkan pada payudaranya, seakan meminta untuk diremas dan dimanjakan.

“Ayo, Pak Jarwo. Uhh… sentuh tiap senti tubuh saya, saya kangen sama kulit kasarnya Pak Jarwo yang bikin saya geli-geli gimana gitu. Cium setiap inci kulit saya, uhh… ayo, pejantanku saying, uhh…”             Sambil berkata begitu, Intan menggoyangkan pantatnya dan membuat penis Pak Jarwo yang tadinya lemas karena air yang dingin, jadi mengembang dan mengeras bak batang kayu jati.

Pak Jarwo hanya diam menikmati goyangan pantat Intan yang mengaduk penisnya sehingga benda panjang berurat itu menjadi ereksi total. Tangannya dengan lembut meremas payudara Intan sehingga si empunya kembali melenguh merasakan nikmatnya bersetubuh dengan pria yang jauh berbeda usia dengannya.

Ini juga membuat Pak Jarwo tidak pernah merasa bosan untuk menggarap tubuh muda dan sekal milik Intan. Saat ini penis Pak Jarwo mulai mencari jalan untuk masuk ke vagina Intan.

Intan yang mengerti kemauan Pak Jarwo langsung menundukan badannya agar lubang vaginanya bisa lebih mudah untuk dimasuki penis Pak Jarwo. Ia pun mendesah ketika senti demi senti penis Pak Jarwo akhirnya berhasil memasuki liang vaginanya. Ketika semuanya sudah masuk, mereka berdiam diri untuk sesaat. meresapi nikmatnya persetubuhan terlarang ini di bawah guyuran shower yang tidak terlalu kencang.

Perlahan Pak Jarwo mulai untuk menggoyangkan badannya maju mundur, menusuk liang peranakan milik Intan, sambil memegang pinggul Intan yang tak kalah semok dengan bagian tubuh lainnya. Pak Jarwo kembali mendapatkan semangat mudanya.

Intan pun mulai mendesah dengan merdu, seakan-akan dia sangat mengharapkan tusukan penis Pak Jarwo di vaginanya. Itu juga yang membuat Pak Jarwo semakin bersemangat untuk melakukan penetrasi.

“Ahh… aah… terus, Pak… uhh, enak banget tusukan kontol bapak di memek saya… uhh, nikmatnya ngentot sama bapak… uuuhh…” Intan merintih.

“Uhh… uuh… nih saya tusuk terus! Uhh, memek kamu pernah dihargai berapa paling mahal, sayang? Uuh!” tanya Pak Jarwo sambil terus menggoyang.

Omongan yang mulai melantur menandakan mereka berdua sudah tenggelam dalam lautan birahi dan hanya mengejar kenikmatan. Intan yang direndahkan seperti itu tidak merasa terhina, bahkan dia merasa lebih terangsang. Intan memutuskan lebih baik ia berdrama supaya dirinya dan Pak Jarwo jadi lebih terangsang.

“Uuh… cuma tiga ratus ribu, Pak Jarwoo… uhh! Kalau sama Pak Jarwo, saya rela terus-terusan dientot sama kontol besar dan enak milik bapak… uhh! Saya kan pelacur pribadinya Pak Jarwo, uhh! Uhh!”

Mendengar itu, Pak Jarwo pun semakin ganas menusukkan penisnya ke tubuh Intan. Ia membalikkan tubuh gadis itu dan mendudukkannya di pangkuan, di atas kloset.

Ah, ganas sekali Pak Jarwo hari ini, begitulah pikir Intan. Tetapi ia sangat senang kalau Pak Jarwo begini, itu artinya ia sangat bisa membuat pria seusia Pak Jarwo masih bergairah seperti anak muda.

Intan kembali menggoyangkan tubuhnya, tidak hanya ke atas dan ke bawah, tetapi juga ke samping kiri dan kanan hingga membuat penis Pak Jarwo seperti digiling dan rasanya… tentu sangat nikmat! Pak Jarwo sampai menutup matanya agar membebaskan Intan untuk bergoyang lebih binal dan liar. Hanya ada suara shower yang belum mati dan juga desahan mereka berdua, dan ini membuat suasana kamar mandi semakin mesum dan romantis.

Posisi Intan yang membelakangi Pak Jarwo membuat lelaki itu jadi tambah bergairah melihat goyangan pantatnya yang… hmm, liur Pak Jarwo menetes dan ia pun tidak tahan menahan ejakulasinya.

Tetapi Pak Jarwo belum mau melepaskan laharnya sekarang. Kasar ia menangkap payudara Intan dari belakang, meremasnya kuat, hingga membuat Intan harus merebahkan dirinya ke belakang, menyandarkan dirinya ke tubuh Pak Jarwo yang hangat.

“Uuh… Intanku, jangan terburu-buru dong, saying… uhh, goyangan pantat kamu buat saya gak tahan, uhh…” Pak Jarwo merintih.

“Abis suruh siapa punya kontol gede dan nikmat banget kayak punya Pak Jarwo, uhh… muachh!” Intan dengan manjanya melingkarkan tangannya ke belakang, memeluk leher Pak Jarwo dan mencium pipi kasar lelaki tua itu.

“Uuh, cium bibir saya dong, Pak Jarwoku saying. Saya udah gak tahan banget nih pengen ngeluarin peju Pak Jarwo pake gilingan memek saya, uhh!”

Pak Jarwo mengabulkan permintaan Intan untuk mencium bibirnya, dan ciuman tersebut berlangsung sangat panas sambil perlahan Intan menggoyang pantatnya pelan-pelan, membuat nafsu Pak Jarwo yang sempat turun menjadi perlahan naik kembali.

Tidak hanya Intan yang bergerak menaik-turunkan tubuhnya di atas penis Pak Jarwo, tetapi lelaki itu juga berusaha menusuk ke atas, membuat tubuh molek Intan bergoyang cukup keras. Desahannya pun semakin melengking hingga kadang sampai harus ditutup oleh mulut Pak Jarwo.

Tangan Pak Jarwo pun tidak tinggal diam, ia meremas dan memilintir dengan lembut puting tegang Intan, membuat sang empunya tidak tahan untuk tidak mendesah nikmat. Pak Jarwo juga terus-menerus merangsang Intan, tidak hanya dengan penis besarnya, tetapi juga dengan remasan di seluruh bagian tubuhnya. Pak Jarwo bertekad memberikan orgasme yang tidak akan pernah dilupakan oleh Intan seumur hidupnya.

“Terus, Pak Jarwo… uhh, teruskan… uhh, saya mau keluar nih, pejantanku sayang… uuhh! Aku gak tahan banget, uuh… kontol besar… uhh! Enaknya!!!”

“Enak kan, sayang? Uhh, kita keluar bareng-bareng yuk!! Uhh, enaknya ngentot sama mahasiswi berjilbab kayak kamu… uhh!!”

“Iya, ayo Pak Jarwoo… uhh… keluarin aja… uhh… saya juga mau keluar nih, uhh! Uhh… saya keluar, aaahhhh… aaahhhh… uuuhhhh!!”

“Iya, ini saya juga udah keluar, aaahhhh… aaaaahhhh… uuuhhhh… terus goyang, pelacurr!!”

Akhirnya mereka berdua melepaskan ejakulasinya masing-masing dan seketika itu juga semua suara terhenti, hanya terdengar suara shower yang masih mengucur deras, juga desahan napas yang terdengar berat, serta senyuman kecil di bibir mereka berdua, menandakan mereka telah mendapatkan kenikmatan yang benar-benar tidak pernah bisa mereka bayangkan sebelumnya.

Masih banyak cerita tentang Intan dan Pak Jarwo berikutnya, kisah mereka belum akan berhenti sampai disini..

KETIKA IBLIS MENGUASAI 4

Entah karena doa yang dipanjatkan oleh Aida, Farah, maupun Murtiasih, atau karena ulah dari sang iblis sendiri maka ketiga wanita korban perlecehan itu tak sampai hamil. Sementara itu para pejantan kisah bersambung ini : Pak Burhan (baca bagian kedua “Ketika Iblis Menguasai” mengenai ternodanya Farah), Pak Sobri dengan kaki tangannya Fadillah (baca bagian pertama “Ketika Iblis Menguasai” mengenai Aida dan Pak Sobri) serta Pak Jamal (baca bagian ketiga “Ketika Iblis Menguasai” mengenai terjerumusnya Ustadz Mamat) sempat bertemu dan berkenalan ketika silaturrahmi setelah Idul Fitri di rumah Pak Fikri.

Siapakah Pak Fikri?

Pak Fikri dulunya adalah bekas kepala polisi di sebuah desa yang terletak diantara kediaman Pak Burhan dan Pak Sobri. Di masa dia menjadi kepala polisi itulah sempat Fadillah hampir masuk penjara akibat perbuatan kriminal yang dilakukannya (mencuri bahan bangunan di rumah Pak Sobri yang sedang dibangun). Dengan bantuan ‘jasa’ Pak Sobri yang memberikan uang semir kepada Pak Fikri [selain Sobri sempat menggarap istri Fadillah bernama Subiati] maka Fadillah lolos penjara dan sejak itu menjadi kaki tangan Pak Sobri.

Selama tugasnya sebagai kepala polisi disitu, Pak Fikri sempat berkenalan dengan petugas pajak daerah situ, yang kebetulan adalah masih ada hubungan keluarga dengan Pak Burhan, si rentenir kakap. Dari situlah maka Pak Burhan akhirnya berkenalan dengan Pak Fikri. Tokoh lain di saat silaturrahmi itu adalah Pak Jamal yang telah kita kenal dalam kisah pelecehan Murtiasih, ia adalah bekas pegawai biasa di kantor Pak Fikri yang kemudian menjadi tokoh penjaga/pembersih madrasah tempat kerja Ustadz Mamat.

Ke-empat lelaki setengah baya itu bercakap-cakap mengenai pelbagai soal ringan, dan semakin malam berlarut maka mereka minum bandrék bajigur dicampur dengan air kelapa arén simpanan Pak Jamal. Air kelapa arén yang disimpan lama di tempat dingin itu tentu saja mengalami proses kimia dan sebagian berubah menjadi alkohol semacam minuman tuak. Dengan pengaruh minuman itu maka lidah keempat lelaki itu menjadi semakin ‘loncér’ dan percakapan mereka akhirnya sering menyeleweng dan menjurus secara tak langsung ke persoalan wanita, karena istri Pak Fikri telah meninggal setahun sebelumnya akibat penyakit ginjal menahun ditambah pula sakit kencing manis parah sejak remaja. Mereka rupanya menanyakan apakah Pak Fikri tidak berniat untuk menikah kembali, dan pembicaraan itu tanpa disadari beralih ke arah istri keluarga Ustadz Mamat.

Pak Sobri yang telah menjadi pejantan ahli penakluk Aida secara iseng menanyakan apakah Pak Fikri mengenal adik perempuan Aida yang bernama Farah. Pak Sobri hanya pernah melihat foto Farah di rumahnya Ustadz Mamat, namun dia belum pernah bertemu langsung dengan Farah. Tentu saja Pak Sobri tak tahu bahwa Farah telah menjadi korban Pak Burhan, dan tanpa curiga melanjutkan pujiannya terhadap kecantikan Farah.

Pak Fikri pernah selintas melihat Farah beberapa tahun lalu ketika mengajukan permohonan KTP baru, dan memang harus diakui bahwa gadis remaja berjilbab itu memang sangat cantik. Selama percakapan itu, Pak Burhan hanya tersenyum dan mendengarkan saja, namun ketika dirasakannya saat yang baik telah muncul barulah dengan sangat bangga ia menceritakan pengalamannya ketika berhasil menggauli Farah.

Rupanya Pak Sobri tak mau kalah mendengar hangatnya pelecehan Farah, maka ia pun akhirnya menceritakan bagaimana Aida terjebak siasatnya dan berhasil digarapnya tanpa setahu suaminya.

Ke-empat lelaki itu rupanya semakin lama semakin asyik dengan mengunggulkan diri sendiri dalam pergaulan bersama perempuan, mereka membual ‘kemampuan’ masing-masing dalam menaklukkan mangsanya.

Di luar kemauan mereka, iblis pun rupanya ikut mendengarkan serta mulai menyusun rencana berikutnya untuk menjebak menjerumuskan Ustadz Mamat, Aida istrinya, serta tiga adik perempuannya yang terkenal sangat alim shalihah.

Pak Jamal yang mengurus madrasah wanita mulai ‘menghasut’ dengan menceritakan betapa banyaknya gadis ABG desa yang ayu, manis dan lugu sehingga tak sukar untuk dijebak dan dijadikan mangsa untuk para lelaki setengah baya yang gemar daun muda.

Timbullah rencana Pak Sobri dan Pak Burhan untuk bersama mengumpulkan dana membangun madrasah khusus untuk wanita muda di desa tak jauh dari situ, dan Mamat akan dijadikan sebagai pemimpin ‘boneka’ disitu. Dengan ‘rahasia’ perbuatan cabulnya belum lama ini dengan muridnya Murtiasih, dimana rahasia itu berada di tangan Pak Jamal, Irah dan Ikah, maka Ustadz Mamat pasti tak mungkin menolak kedudukan yang ditawarkan.

Namun ke-empat lelaki yang mengatur siasat itu tentu saja mempunyai rencana maksiat lain terhadap Aida, Farah dan kedua adik perempuannya yang masih gadis murni, disertai Rofikah, Sumirah, mungkin pula beberapa ABG desa yang naif dan akan mudah dijebak!

Menjelang pagi mereka pulang dengan benak penuh rencana mesum!

Di desa Jamblang yang akan dijadikan ‘markas’ besar pelbagai perbuatan maksiat mereka di masa depan memang kebetulan ada sebuah gedung tua yang sudah lama tak dipakai. Puluhan tahun lalu gedung itu didirikan oleh Kompeni di zaman penjajahan Belanda sebagai pos penjagaan. Kemudian dipakai oleh penguasa Orde Lama dan Orde Baru untuk gudang, dan sejak hampir sepuluh tahun ini kosong terlantar. Dasar dan pondasinya tetap bagus sebagaimana umumnya bangunan zaman dulu, hanya dinding dan atapnya yang perlu direnovasi. Untuk itulah, ke-empat lelaki yang mempunyai rencana tak senonoh itu segera mengumpulkan anak buah dan pekerja harian di desa untuk melakukan perbaikan, sehingga hanya dalam waktu tiga bulan setengah semuanya telah diperbaharui dan siap untuk dipakai.

Ustadz Mamat pun kini telah diberikan ‘kedudukan’ baru yaitu sebagai pemimpin madrasah baru – dan dalam waktu tak terlalu lama pendaftaran para murid untuk tahun pelajaran baru telah dibuka, dan tentu saja Ustadz Mamat juga mempunyai peranan penting dalam penerimaan itu, sehingga sejak dari awal mula telah dapat dipilih murid baru mana yang lugu ayu dan bahenol…!!

Di bawah ini adalah kelanjutan kisah mereka yang semakin dalam terjerumus godaan iblis

Peristiwa yang dialami Murtiasih menyebabkannya sangat schock, prestasinya menurun dan sangat sukar baginya untuk konsentrasi dalam belajar. Aib semacam itu tak mungkin diceritakannya kepada siapapun, sehingga tanpa disadari, Murtiasih semakin menyendiri, menjauhi kawan dan rekan yang sebelumnya banyak bergaul dengannya. Semua bertanya-tanya namun Murtiasih menghindar tak mau memberikan jawaban, dan semua itu amat diperhatikan oleh Rofikah dan Sumirah.

Mereka dengan sangat cerdik dan menggunakan pelbagai akal bulus tak henti-hentinya selalu berusaha untuk mendekati serta menghibur Murtiasih, selain itu mereka yang semakin ‘dekat’ dengan ustadz Mamat, menganjurkan agar Murtiasih tetap diberikan penilaian yang cukup bagus. Ustadz Mamat yang telah terjerumus dan terlanjur berada di bawah pengaruh ancaman kedua muridnya itu tak dapat mengelak dan terpaksa menurut kemauan Ikah dan Irah.

Tentu saja kedua kaki tangan iblis itu tidak begitu saja mendekati dan menghibur Murtiasih, mereka pun baik secara langsung maupun tak langsung mengancam untuk membuka semua rahasia adegan mesum antara Murtiasih dan Ustadz Mamat yang mereka saksikan bersama dengan saksi ketiga yaitu Pak Jamal.

Setelah menghadiri malam silaturrahmi lepas lebaran itu, Pak Jamal menjadi semakin sering berhubungan dengan Pak Fikri yang menduda, tak jemu dan bosan-bosannya menceritakan betapa hangat pengalamannya dengan Murtiasih. Tentu saja sebagai pria menduda telah cukup lama tidak menikmati tubuh wanita, menjadi terbangun pula rasa ingin tahu Pak Fikri!

Pak Jamal sebagai pejantan kampung yang sangat vital perannya, merencanakan untuk menjebak dan mempersembahkan Murtiasih kepada Pak Fikri. Sementara itu ia pun menghasut Ustadz Mamat untuk secara bergantian menjarah Rofikah dan Sumirah, walaupun usaha kedua siswi genit ini untuk menarik perhatian Ustadz Mamat selama ini belum berhasil. Jadi, justru Ustadz Mamat yang akan mengambil alih jalan cerita menggarap kedua siswi genit ini. Kini hanya tinggal dicari waktu dan tempat yang cocok sekaligus menguntungkan.

Setelah upacara pembukaan madrasah baru, direncanakan untuk para pengunjung sedikit menyumbangkan dana. Dalam kesempatan itu tiga siswi diberikan tugas untuk menjaga kotak pengumpulan uang, dan setelah semua tamu pulang maka mereka akan ditugaskan menghitung uang dana yang masuk. Tak perlu diragukan lagi bahwa Rofikah, Sumirah dan tentu saja Murtiasih yang akan diberikan tugas itu!

Di saat akhir pengumpulan uang serta penghitungan dana masuk, dengan sembunyi-sembunyi Pak Jamal mencampurkan obat tidur dan perangsang ke dalam minuman segar mereka. Ketiga siswi calon korban itu diperhitungkan tanpa banyak perlawanan pasti akan dapat ‘digusur’ ke dalam mobil yang dikendarai oleh Pak Fikri untuk dibawa ke rumahnya yang letaknya cukup terpencil di atas bukit.

Pak Fikri akan mengatur agar rumahnya kosong, semua pembantunya di hari itu diberikan libur serta uang jajan sehingga tak ada seorang pun yang akan mengganggu rencana mesum mereka. Ustadz Mamat akan ikut di dalam mobil itu untuk mencegah agar ketiga siswi tersebut tak melarikan diri dengan misalnya melompat keluar dari mobil di tengah perjalanan. Pak Jamal akan ikut ‘mengawal’ dengan naik motor di belakang mobil sehingga seandainya ada yang lolos dari penjagaan Ustadz Mamat dan keluar dari mobil, maka segera akan dibekuk untuk dipaksakan masuk mobil kembali.

***

Tiga Bulan Kemudian…

Acara pembukaan madarasah dilaksanakan di hari Jum’at, tepat di tengah hari setelah sholat Jum’at. Banyak pemuka desa serta penduduk sekitarnya, terutama orang tua yang mempunyai minat memasukkan anak remaja mereka kesitu, datang serta memberikan sumbangan yang diharapkan.

Setelah upacara pengguntingan pita, peninjauan ruang-ruang kelas, administrasi, asrama dan sebagainya, menyusul acara makan kecil snack seadanya. Kemudian sebagaimana umumnya, disediakan waktu untuk para tokoh daerah memberikan sedikit ceramah serta penerangan rencana pendidikan yang akan diberikan. Sebagai acara penutup, sebagaimana di awal pembukaan diadakan doa bersama, sesudah itu mana para tamu berangsur-angsur pulang dan meninggalkan gedung baru tersebut.

Menjelang jam empat petang, tinggal Pak Fikri serta ketiga siswi yang masih berada di sana guna menghitung uang sumbangan yang masuk. Rofikah, Sumirah dan Murtiasih merasa pusing dan pandangan mata mereka semakin kabur, akhirnya tanpa disadari ketiganya meletakkan kepala mereka di atas meja tempat mereka menghitung uang itu…

***

Lima Puluh Menit Kemudian….

Rumah kediaman Pak Fikri mempunyai pelbagai ruangan cukup besar untuk ukuran desa : ruangan tempat menerima tamu, ruangan makan menyambung dengan dapur, tiga ruangan kamar tidur yang luas dan sebuah agak kecil hanya dipakai untuk menyimpan barang. Selain itu kamar mandi dan toilet bagi sang penghuni dan di belakang juga sama hanya untuk para pembantu.

Menurut rencana Pak Jamal, sebetulnya Murtiasih yang akan ‘dipersembahkan’ kepada Pak Fikri, namun agaknya Pak Fikri yang telah cukup lama tak menikmati tubuh wanita justru mendambakan peranan sebagai lelaki yang merenggut kegadisan dari salah satu siswi genit itu. Pilihannya jatuh kepada Rofikah yang telah sering diliriknya sejak upacara di gedung madrasah baru siang tadi.

Pak Jamal yang merupakan ‘otak’ dari peristiwa mesum petang ini menanyakan kepada Ustadz Mamat apakah ia keberatan untuk memulai sex-party itu dengan Murtiasih, murid kesayangannya.

Ternyata Ustadz Mamat tetap mendambakan Murtiasih meskipun telah direnggut kegadisannya dan digaulinya beberapa kali.

Oleh karena itu Pak Jamal akhirnya merasa senang juga karena sebagai pegawai rendahan akan dapat menggauli Sumirah yang diharapkannya masih utuh kegadisannya.

Ketiga lelaki itu telah membagi jatah masing-masing dan setelah sampai di dalam rumah, mereka menggendong ketiga calon mangsa yang masih setengah sadar itu ke kamar tidur yang diatur dan dibagi oleh Pak Fikri sebagai tuan rumah.

***

Adegan di Kamar Tidur 1   :   Hilangnya Kegadisan Rofikah  

Sebagaimana pada umumnya kodrat alam yang berlaku : anjing yang selalu menyalak jarang akan menggigit, atau seseorang yang banyak bicara dan membualkan diri umumnya adalah pengecut.

Demikian pula dengan Rofikah yang sehari-hari di madrasah berkelakuan genit, banyak bicara serta sering melirik ke arah para lelaki muda atau lansia yang iseng bersiul-siul ke arahnya disaat berjalan. Jika ia melintas di tempat banyak lelaki nganggur duduk di tepi jalan atau warung kopi, maka sengaja cara jalannya dibuat makin melenggok sehingga semakin menarik perhatian para lelaki nganggur. Lenggang dan goyang pinggulnya jelas terlihat lebih berputar menggiurkan, walaupun tertutup dengan sarung panjang. Bulatan pantatnya yang montok menonjol bagaikan mengundang tangan lelaki menjamah, bahkan meremas dan mencubitnya, Rofikah senang dikagumi lelaki.

Namun kini ia telah berada berduaan saja dengan lelaki setengah baya yang dikenalnya sebagai bapak Fikri. Lelaki berusia pertengahan lima puluhan itu bahkan lebih tua sedikit dari ayahnya sendiri, namun terlihat masih cukup gagah. Badannya sangat tegap, berkulit hitam, wajah sedikit kaku dan bengis, mata menatap tajam, hidung lebar agak pesek, bibirnya tebal terhiasi dengan kumis di atasnya. Lelaki yang bernama Pak Fikri dan kini dikenal sebagai sponsor utama dan pembangun madrasah baru itu, telah duduk di sampingnya dan mulai berusaha merayunya.

Rofikah – atau biasa panggilan sehari-harinya Ikah – telah terbangun dari pengaruh obat tidur yang dicampur di dalam minuman és alpukat tadi siang. Kini Ikah berusaha menyadari apa dan dimana ia berada. Dalam posisi setengah duduk Ikah melihat bahwa ia tidak lagi berada di ruangan madrasah, melainkan di sebuah kamar tidur. Rasa takut mulai menyelinap ketika disadarinya bahwa ia tengah duduk di sebuah ranjang yang cukup besar, ditopang bantal kepala besar di punggungnya.

Jilbab yang biasa dipakainya telah turun ke bawah, tak lagi menutupi rambutnya yang kini tergerai bebas ke belakang kepala dan pundaknya. Baju kurung yang dikenakannya telah semrawut tak teratur; bagian dada depan agak terbuka sehingga kulit dadanya yang putih terlihat oleh siapapun di hadapannya. Selain itu sarung yang biasa menutup hingga mata kaki di bawah betis, kini tersingkap ke atas sehingga bukan hanya betis dan lututnya saja yang kelihatan, namun sebagian pahanya yang mulus juga terpampang jelas.

Secara refleks Ikah menarik sarungnya ke bawah paha, disambut dengan seringai lebar mesum oleh Pak Fikri. Ikah menggoyang-goyangkan kepalanya sambil mengucek-ucek matanya seolah tak percaya, namun semuanya bukanlah mimpi melainkan kenyataan yang sebenarnya. Walaupun rasa letih dan ngantuk terpudar dan Ikah mulai menggigil karena ngeri dan takut berada berduaan di kamar tidur dengan lelaki asing, namun ada pula rasa aneh dan hangat mulai menjalari tubuhnya. Tentu saja Ikah tidak menyadari bahwa minuman segar es alpukat tadi selain diberi obat tidur, namun juga dicampuri dengan obat perangsang, yang kini justru mulai menunjukkan pengaruhnya di tubuh Ikah sebagai wanita muda.

“Saya ada dimana, Pak? Tolong, saya mau balik ke madrasah. Saya mau pulang!!” Ikah beringsut menjauh ketika Pak Fikri menggeserkan tubuhnya mendekat dan hampir menyentuhnya.

“Tak usah takut, Neng, bapak tadi senang ngeliat si Neng tidur nyenyak. Sekarang udah bangun dan segar kan? Bapak cuma mau menyenangkan, Neng. Ntar dianterin pulang, bapak janji nih,” Fikri semakin mendekatkan wajahnya ke muka Ikah sehingga tercium bau rokok kretek dari napas di mulutnya.

“Enggak mau ah, Pak. Saya mau pulang, tak baik kita berdua di kamar. Apa nanti kata orang? Apalagi nanti digunjingkan orang, bapak kan sudah ada keluarga,” Ikah berusaha menekan perasaan aneh yang seolah membuatnya gelisah dan juga ada gelora panas di pipi serta bagian-bagian vital di tubuhnya.

“Jangan takut, Neng, bapak cuma mau menyenangkan neng sebagai rasa terima kasih telah bantuin di madrasah tadi. Bapak tak akan menyakiti, cuma mau ngelonin neng sebentar supaya anget,” Fikri semakin melekatkan wajahnya sambil menyentuh lalu mengambil tangan Ikah di genggamannya.

“Udah dong, Pak, Ikah belon pernah begini. Jangan, Pak, engga baik. Lepasin dong, saya janji enggak bilang siapapun, asal bapak lepasin dan pulangin saya,” suara Ikah makin gemetar sambil berusaha menarik tangannya, namun Pak Fikri justru semakin menarik tubuh Ikah ke dalam pelukannya.

“Eenngmmpppffh,” hanya itu yang keluar dari mulut Ikah ketika Pak Fikri menyergap bibirnya sambil langsung melumat dan menciuminya dengan rakus sehingga ia jadi gelagapan. Selama ini kelakuan Ikah sering genit tidak sesuai dengan siswi madrasah, namun ia belum pernah intim dengan lelaki.

Kini – tanpa direncanakannya sendiri seperti yang pernah dilakukannya ketika menjebak Murtiasih – dirinya sendiri masuk ke dalam jebakan dan pelukan seorang lelaki seusia ayahnya. Seorang pria yang telah lama ‘puasa’ setelah meninggalnya sang istri kini terbangun nafsu birahinya! Betapa bahagianya Pak Fikri dapat mendekap tubuh gadis muda yang hangat dan sintal itu, tubuh yang meronta dan menggeliat tanpa hasil malah semakin memacu gairahnya. Membikin kemaluannya jadi semakin menegang ingin keluar!

Ikah menggeliat dan berusaha melepaskan diri ketika badannya yang telah setengah duduk dipaksa untuk kembali rebah terlentang. Rasa hangat dan gatal menyelubunginya ketika Pak Fikri menekan serta menindihnya di kasur, semua kancing dan peniti kebaya serta sarung yang dipakainya mulai berantakan ditarik secara kasar oleh lelaki yang bagaikan kesetanan itu.

“Cupp, cupp… diem, diem… sini sama bapak dikasih rasa anget, bapak sebentar lagi mau nyusu boleh ya? Percuma ngelawan, Neng. Nikmati aja, pasti kita sama-sama senang. Duuuh… nih leher enak dicupangin,” ucap Pak Fikri bagaikan singa sedang mencengkeram mangsanya.

“Eeemmmmh, sssshhhh, aaaaah, lepasiiiin dong! Jangaaan, Paak…” Ikah berusaha mengembalikan akal sehatnya, namun tubuhnya sudah terlanjur dimasuki obat perangsang dan kini semakin jelas terbuka karena sebagian besar busananya direnggut dan ditarik terlepas oleh Pak Fikri. Semakin rakus si lelaki setengah baya itu menekan Ikah sambil mengeluarkan buah dada si gadis dari BH-nya. Bukit kembar Ikah kini terpampang penuh kebanggaan ketika Pak Fikri meremas serta memilin putingnya.

“Auuuuw, aduuuuh! Jangan kasar gitu dong, Pak! Ngiluuu, sakiit, Pak! Pelan-pelan dong!!” Ikah tanpa sadar menengadahkan kepalanya di saat merasakan geli ngilu, apalagi saat putingnya yang memang sangat menantang itu masuk ke mulut Pak Fikri. Benda mungil itu disedot-sedot lalu digigit bergantian. Ikah hanya dapat mendesah dan tanpa disadari kedua tangannya justru mengelus dan mengusap-usap kepala Pak Fikri.

Setelah puas meninggalkan cupangan merah di bukit kembar putih yang menghiasi dada Ikah, kini Pak Fikri semakin menurunkan kegiatan tangannya ke bawah. Ia menyelusup ke arah pusar, menggoda lekukan yang masih murni belum pernah dijamah, semakin mengembara ke bawah mendekati batas yang masih tertutup celana dalam tipis berwarna putih.

“Aaaiiih, udaaaah, Paaak! Cukuuup, jangaaaan diterusiin! Enggaaaak mau yang itu, Pak! Jangaan, Ikah belum pernah gituan, Pak! Lepasin dong, tolong, Pak! Ikah enggak akan ngadu ke siapa pun, ooooh!!” Ikah merasakan dirinya mulai hanyut terbawa arus birahi. Namun sebagaimana umumnya, segenit apapun seorang gadis desa dan bahkan siswi madrasah, namun disadarinya kini ia akan kehilangan milik satu-satunya yang paling berharga, akal sehat Ikah kembali berontak menolak kenyataan ini.

“Udah terlanjur, Neng, ikutin aja. Kalo ngelawan malahan nanti tambah sakit. Nyerah aja ama bapak, ntar pasti pengen minta lagi. Ayo buka kakinya, dijilatin dulu mau ya?” kata Pak Fikri di tengah gejolak nafsunya.

Tanpa menunggu jawaban atau protes dari korbannya, Pak Fikri kembali mencakup mulut Ikah dengan ciuman ganas. Lidah kasar dan besar menerobos membelah bibir mangsanya yang agak merekah, menjarah masuk menyapu langit-langit mulut Ikah. Kemudian Pak Fikri menarik nafas sangat dalam dan panjang seolah-olah ia ingin menyedot habis semua daya perlawanan gadis yang telah dikuasainya ini.

Selain itu kedua tangan Pak Fikri tak henti-hentinya menarik dan melepaskan satu persatu lapisan pakaian pelindung di tubuh Ikah, dan dalam waktu hanya sepuluh menit kemudian, Ikah telah menggeletak dengan hanya celana dalam menutupi auratnya yang intim.

Pak Fikri merasakan bahwa perlawanan Ikah semakin berkurang. Dari belahan bibir gadis itu kini terdengar keluhan dan desahan putus asa, kedua tangannya kini tak lagi menegang berusaha mencakar Pak Fikri, hanya kedua betis jenjang dan paha mulus bergantian menekuk merentang gelisah. Terutama saat Pak Fikri menarik celana dalam Ikah ke bawah sehingga kini terlihat bukit Venus menantang dilindungi bulu-bulu halus.

Pak Fikri semakin bersemangat meremasi bergantian buah dada Ikah dengan tangan kirinya, sementara tubuhnya semakin merosot ke bawah. Mulutnya yang puas menyedot dan menggigit-gigit puting Ikah yang mencuat, semakin turun menjilati pusar, menyepongi perut bawah si gadis hingga akhirnya mencapai lembaran pertama rambut halus pelindung celah nirwana yang akan segera ditembusnya.

“Hmmmmh, memeknya bagus amat, Neng. Mana kecil lagi, masih sempit gini. Bapak jilatin supaya licin mau ya? Pasti neng suka, hmmmmhh, cuppp, srrrrt, cuupp, aaaah! Enak enggak, Neng?” Pak Fikri mulai menciumi dan menjilati vagina Ikah, menyebabkannya semakin gelisah kelojotan.

“Aiiiih, Paaaaak!! Geliiiii, oooohh!! Paak, udaaaah, sssshhhh! Geliiiii, Pak, Ikah enggak tahaan! Sssssh, ooooh, Paaak, jangan diterusin! Aaaaaaiiihh, stop, udaaah, Ikah mau pipiiisss, lepasin! Aaauw,”

Ikah berusaha menggelinjangkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan untuk menahan segala macam rasa geli namun nikmat, terutama saat Pak Fikri selain menjilati memeknya juga menarik mencubit memilin putingnya.

“Asoooy… wuuuih, nih memek merah muda dalemnya. Tuh kelihatan lobang pipisnya, bapak pengen lihat gimana tombol listriknya. Pasti neng ketagihan kalo dijilat seperti kena setrum listrik, iyaaah mau coba ngumpet tapi bapak udah nemuin nih, cupp cupp, ssshhhh, srrrrhh, enak ya dijilat?” pejantan yang kemasukan setan ini rupanya telah menemukan kelentit yang dicarinya.

“Aaaaaaah, ooooohhhh, Ikaah lagi diapain? Ooooohh, auuuuww, engggga mauuu! Jangaaan, Paaak, Ikaaah bener-bener mau pipiiiiiiss, aaauuuuww, aaaaaaahhhh!” dengan suara melengking, akhirnya Ikah mengejang. Tubuhnya melengkung bagaikan busur, tangannya menarik sprei yang dibawanya ke mulut dan digigit sekuatnya sehingga sebagian jeritan sebagai tanda orgasme pertama teredam.

Namun Pak Fikri terus melanjutkan rangsangannya, kelentit Ikah berada diantara jepitan bibirnya yang tebal, dikecup dan digigit dengan mesra namun penuh kegemasan, dan kumisnya yang baplang itu mulai basah kuyup dengan air mazi pelicin yang keluar dari dinding vagina Ikah. Tanpa rasa jijik air pelumas itu dijilat disedotnya, nafsunya sudah naik ke ubun-ubun, kemaluannya telah menegang mengacung mengangguk-angguk. Dan setelah beberapa menit dirasakannya Ikah telah berkurang ketegangan tubuhnya sebagai tanda orgasmenya mulai berakhir, maka tibalah waktunya untuk Pak Fikri mengambil hadiah utama yang diidam-idamkannya, yaitu merenggut kehormatan sang gadis.

Kedua paha dan betis Ikah dikuakkan dan diletakkannya di atas bahunya, bantal kepala agak keras diletakkannya di bawah pinggul Ikah. Dicium dan dijilatinya lagi celah kenikmatan yang telah licin itu, menyebabkan Ikah dalam keadaan setengah sadar melenguh. Pak Fikri telah mengarahkan lembing daging kebanggaannya yang penuh urat dan berwarna coklat hitam mengkilat itu ke arah belahan yang sedikit merekah – perlahan-lahan dimajukannya kepala penisnya, diretasnya kedua bibir kemaluan Ikah, dirasakannya betapa hangat kepala jamurnya terjepit disitu, lalu Pak Fikri menekan…

“Aduuuuh, aaauuuuuww, periiiih, saakiiiit, hentikaaaaan, jangaaaan!! Toloooong Paak, sakiiiiiiit, oouuuuuw!! Aaaampuuuun, Paak, udaaah, sakiiiiiit, aaauuuuuw!!”

Ikah mendadak melolong menjerit-jerit bagaikan hewan disembelih ketika memeknya yang masih sempit itu mulai dibelah oleh penis pria seusia ayahnya. Kedua tangannya membentuk kepalan yang dipukulkannya ke dada Pak Fikri, kemudian kukunya digunakannya untuk mencakar bahu serta lengan lelaki setengah baya yang sedang menindihnya, namun Pak Fikri tetap perlahan-lahan melanjutkan mendorong menekan penisnya.

“Tahaaan dikiiit, Neng, rileks aja. Sssshhhh, rileks, Neng. Jangan dilawan, malahan makin sakit. Dikiit lagi masuk semuanya, Neng, oooh… sempitnya! Uuuuuh, emang bener si neng masih perawan,” desah Pak Fikri menekan kejantanannya semakin lama semakin dalam ke memek Ikah. Betapa sedapnya dan bangganya sebagai pria setengah uzur berhasil menaklukkan gadis muda belia nan montok ini.

Bahu dan kedua lengannya telah penuh dengan dengan cakaran Ikah yang berusaha mengeser-geserkan pinggulnya ke kiri-kanan seolah menghindarkan benda tumpul yang sedang menerobos memeknya, namun semua itu tak diperdulikannya karena Pak Fikri merasakan penisnya kini agak tertahan oleh sesuatu.

Ia menyeringai penuh kepuasan karena dirasakannya bahwa kepala pentungan dagingnya mulai menyentuh lapisan selaput gadis mangsanya. Uuuuh, betapa hebatnya aku ini, sudah hampir mencapai kepala enam akan merenggut kehormatan anak gadis madrasah, demikian di benak Fikri.

Sangat berbeda apa yang dirasakan Ikah saat itu; selain perih karena celah surgawinya dipaksakan melebar untuk menerima penis lelaki pertama kalinya, kini dirasakannya di dalam selangkangannya ngilu dan bagaikan ada benda tajam akan menyayatnya. Ikah kembali merintih sambil meronta-ronta.

Lelaki setengah baya dan cukup lama menduda itu tentu saja kini ingin menikmati bukan saja saat penisnya menembus selaput tipis di kemaluan Ikah, namun juga ekspresi seorang gadis kehilangan milik satu-satunya – sebuah panorama yang akan melekat di benaknya yang lansia namun mesum itu.

Dicekalnya kuat-kuat kedua pergelangan tangan Ikah yang langsing di samping kepalanya sehingga tak dapat dipakai mencakar lagi, ditatapnya wajah korbannya yang menggeleng-geleng ke kiri-kanan seolah tetap menolak apa yang tak dapat dihindarkan lagi. Mulut Ikah yang merah muda basah itu setengah terbuka agak gemetar, lubang hidungnya kembang kempis, keluhan dan rintihan lemah Ikah kini silih berganti dengan dengusan dan suara geraman dari si lelaki pejantan yang amat buas.

“Hmmmmggghh, sssssshgg, bapak tekan lagi nih! Eeeeemmmmfffh, bapak mesti kerja keras nembus pertahanan si neng! Bageeuuur eeeeuuuuyyy, alot juga si neng benteng pertahanannya, bapak maju lagi… aaaaaah, kerasa legaan dikit sekarang! Wah, mentok nih, hhhhhhssssh!” dengus Pak Fikri.

“Aaauuuuww, aduuuuh, aaauuuuuuww, emmpppfffffh!!” jeritan memilukan Ikah teredam kembali oleh ciuman bertubi-tubi dari Pak Fikri yang sangat terangsang melihat betapa ayu memelasnya wajah siswi genit ini ketika kehilangan kegadisannya. Keduanya kini beberapa saat tidak bergerak : Rofikah bagaikan kelinci lemah telah berada dalam cengkraman singa ganas Pak Fikri.

Perlahan-lahan Pak Fikri melepaskan ciumannya, kedua nadi Ikah tetap dicekal ditekannya ke kasur, diberikannya waktu beberapa saat bagi Ikah untuk membiasakan memeknya dibelah oleh benda asing. Setelah itu mulailah Pak Fikri menggerakkan pinggulnya maju mundur. Terkadang amat halus lembut, terkadang agak terputar, lalu diganti dengan sodokan ke pelbagai arah : ke atas, ke samping, ke bawah, sejenak kemudian diganti lagi dengan sodokan dan hunjaman keras brutal menghantam mulut rahim Ikah.

“Wuuuih, enak tenan si neng. Barangnya licin tapi tetep rapet, barang bapak kerasa dipijit-pijit. Pinteer amat neng bahenol. Mulai kerasa enak ya, Neng? Ayo sekarang ngaku sama bapak,” Pak Fikri memuji.

Ikah tak sanggup menjawab, badannya bagai terbawa arus gelombang, selangkangannya dirasakan geli, ngilu, hangat, gatal, nyeri sakit, namun setiap kali dihantam juga ada kenikmatannya sendiri.

Perlawanannya telah sirna, Ikah mulai terbawa dan tenggelam hawa nafsunya sendiri, wajahnya kini menengadah ke atas, mulutnya terbuka mengeluarkan desahan halus wanita muda, rintihannya yang memilukan telah berangsur berubah menjadi dengusan nafas mencerminkan nafsu birahi.

Pak Fikri rupanya cukup kuat dan bertahan sehingga hampir setengah jam ia memompa Ikah, tapi akhirnya mulai dirasakannya gejolak air lahar mendesak keluar dari biji pelirnya. Semakin seru dan cepat dipompanya tubuh montok Ikah, dihantamnya dan dijarahnya dari segala macam arah.

“Aaah, uuuuh, ooooh, aaaah, hhhuuuuhhh, ssssshhhh, bapak udah hampir nembak nih, Neng, banjir di dalem boleh enggak, Neng?” Pak Fikri mendengus-dengus di telinga Ikah sambil menciumi mengecup lehernya yang putih, yang kini telah penuh bercak dan cupangan merah.

“Jangaaaan, Pak, Ikah enggggak mau. Jangan di dalam, Pak, ampuuuun! Ikah nanti hamil, kasihani dong! Aauuuuwww, aaaah, aauuuuw! Tolooong, Pak, Ikah jangan dihamili,” suara Ikah panik terisak-isak karena diingatnya bahwa kemungkinan besar dirinya sedang masa subur.

“Abis gimana dong? Bapak udah mau banjir nih,” Pak Fikri terengah-engah sambil terus memompa.

“Udaaaah dong, Pak. Lepasin Ikah. Jangan di dalem, Pak, oooh… tolooong!!” Ikah semakin tersedu-sedu.

“Iyaa, bapak bisa tahan bentaran lagi ngejosnya. Kalo enggak boleh di dalem, bapak mau nyemprot di tempat lain. Bapak mau banjir di mulut neng aja ya, sekalian neng bapak ajarin nyepong. Mau ya?” rupanya Pak Fikri memperoleh bisikan iblis lagi.

“Enggak mau. Ikah ogah gituan. Jijik, Pak, ooooh… jangan paksa Ikah, kasihani dong!” suara Ikah putus asa diselang-seling isak tangisnya.

“Ya udah kalo Ikah enggak mau, bapak terusin aja banjir di dalem, itung-itung nyebar bibit di perut neng,” Pak Fikri tersenyum lebar merasakan bahwa bagaimanapun akhirnya Ikah akan terpaksa mengalah.

Ikah tidak dapat menjawab lagi, badannya terguncang-guncang disodok oleh Pak Fikri tercampur dengan tangis sesenggukannya. Air mata mengalir membasahi kedua pipinya, namun adegan mengenaskan ini sama sekali tak menimbulkan kasihan pada Pak Fikri, karena semua akal sehatnya telah hilang dikuasai bujukan iblis.

Dirasakannya bahwa pertahanan Ikah sudah hancur berantakan, badannya yang elok montok kini lemas lunglai, dan Pak Fikri yakin meskipun mulutnya menolak namun Ikah pasti akan patuh jika harus memilih antara hamil atau menelan sperma. Perlahan-lahan Pak Fikri mencabut penisnya yang tetap gagah mengacung, terlihat mengkilat licin dilapisi oleh cairan vagina, disamping itu disana-sini tampah bercak-bercak darah di kepala jamurnya sampai ke batang dan rambut kemaluannya.

Pak Fikri merangkak ke atas, setengah duduk setengah berlutut di atas dada Ikah dan kini menyodorkan kemaluannya ke arah mulut Ikah. Karena Ikah melengos memalingkan mukanya, maka Pak Fikri yang merasakan denyutan di biji pelirnya semakin meningkat, segera memegang wajah mangsanya serta memencet hidung Ikah yang bangir. Hal ini tak diduga oleh Ikah yang berusaha menggelengkan kepalanya namun tanpa hasil, dan karena kehabisan nafas maka secara tidak sadar mulutnya membuka sedikit untuk menghirup udara.

Namun celah mulut yang terbuka itu terlalu kecil untuk diterobos rudal Pak Fikri. Oleh karena itu pria setengah baya cabul itu secara sadis mencubit dan menarik puting buah dada Ikah. Tentu saja gadis malang yang telah sangat lelah itu menjerit kesakitan dan mulutnya tanpa disadari membuka sangat lebar, yang mana kesempatan itu tak dilewatkan oleh Pak Fikri dengan segera menerobos masuk secara brutal sehingga kepala jamurnya menyentuh langit-langit di kerongkongan Ikah. Mulutnya kini dipenuh dengan batang penis yang berlumuran air mazi sendiri.

Ikah merasa pengap dan dengan sisa-sisa tenaga yang masih ada, dicakarnya paha Pak Fikri yang berada di kiri-kanan ketiaknya. Namun gerakan itu hanya berhasil beberapa detik karena Pak Fikri lagi-lagi merejang kedua nadinya di atas kepalanya sementara kepala penisnya memenuhi mulut Ikah.

Sedemikian penuhnya mulut Ikah dijejali kemaluan Pak Fikri sehingga siswi madrasah itu kini hanya dapat bernafas mendengus-dengus melalui kedua lubang hidungnya yang mungil kembang-kempis.

“Hmmmmmh, nih mulut memang diciptakan buat nyepongin bapak. Ayooooh buka yang lebaaaar! Iyaaaah begitu, pinternya… oooooh ngimpi apa bapak disepongin Ikah? Iyaaah jilaaaat, Neng, uuuih lobang kencing bapak dikitikin ujung lidah, ooooh bapak enggak tahan lagi mau meledak, aaaaaah!!”

Pak Fikri menekan penisnya sejauh mungkin ke langit-langit mulut mangsanya ketika gelombang demi gelombang sperma meluap dari tabungan biji pelirnya, memasuki lorong di batang penisnya dan menyembur masuk ke kerongkongan Ikah. Mati-matian Ikah menahan nafas dan berusaha melepehkan keluar cairan kental berbau khas laki-laki itu, sepat asin dan dirasakan amat memualkan perutnya. Namun karena besarnya batang penis memenuhi rongga mulutnya dan semburan sperma Pak Fikri begitu banyaknya dan menyemprot seolah tiada hentinya, maka tak ada jalan keluar lain bagi Ikah selain dengan penuh rasa muak menelan air benih Pak Fikri.

Selama satu dua menit simpanan air mazi Pak Fikri yang tersimpan sekian lama itu teguk demi teguk memasuki kerongkongan Ikah sebelum akhirnya penis Pak Fikri mulai mengecil dan akhirnya ditarik keluar oleh sang empunya.

Tanpa ada perlawanan sama sekali, Ikah membiarkan dirinya dalam keadaan telanjang bulat tetap dirangkul dan dipeluk oleh Pak Fikri. Diiringi senyum kepuasan, Pak Fikri membelai badan telanjang itu sambil berulang-ulang membisikkan keinginannya agar Ikah dengan sering selalu mau memenuhi keinginan nafsu sang duda, bahkan ditanyakannya apakah Ikah bersedia menjadi istrinya….

ANAK NAKAL : BUNDA

Namaku Doni. Aku anak nomor 2 dari tiga bersaudara. Kami adalah keluarga yang alim. Ayahku sendiri seorang yang taat beragama. Kakakku seorang aktivis di kampus. Kami benar-benar keluarga yang religius. Aku? Aku sebenarnya kalau dilihat dari luar religius, tapi dibalik itu aku cuma anak biasa saja. Ndak sebegitunya seperti kakak perempuanku.

Kakakku bernama Kak Vidia. Adikku bernama Nuraini. Ibuku? Oh ibuku ini seorang ustadzah. Aku sendiri dikatakan anak nakal oleh ibuku, aku menyebutnya bunda. Ayahku sering menasehatiku untuk tidak bergaul dengan anak-anak geng. Tapi apa boleh dikata, dari sinilah aku banyak mengenal dunia. Memang sih, aku bergaul dengan mereka, tapi tidak deh untuk berbuat yang aneh-aneh. Walaupun aku bergaul dengan mereka tapi aku sadar koq norma-norma yang harus dijaga. Aku bahkan sangat protektif terhadap saudari-saudariku. Ada temenku yang naksir saja langsung aku hajar. Makanya sampai sekarang banyak orang yang takut untuk mendekati kakakku maupun adikku.

Menginjak kelas 2 SMA, keluarga kami berduka. Ayahku kecelakaan. Ketika pulang kantor beliau dihantam oleh truk. Ia berpesan kepadaku agar jadi anak yang baik di saat-saat terakhirnya. Kami semua bersedih. Terutama bunda. Ia selalu menyunggingkan senyumnya tapi tak bisa menyebunyikan raut wajahnya yang sembab. Otomatis setelah meninggalnya ayah, keluarga kami pun banyak berubah.

Rasanya sangat berdosa sekali aku kepada ayahku. Aku sampai sekarang belum bisa jadi anak yang baik. Namun aku berusaha untuk berubah, mulai kujauhi teman-teman gengku. Aku pun mulai membantu bunda untuk bekerja, karena warisan ayah tak bisa untuk membiayai kami semuanya ke depan. Setelah aku pulang sekolah, aku selalu menjaga toko kami. Lumayanlah bisa mencukupi kebutuhan kami. Dari pagi sebelum sekolah aku sudah harus pergi ke grosir, membeli sembako, kemudian menyetok ke toko, setelah itu aku baru pergi sekolah. Pulangnya aku harus menjaga toko sampai sore. Begitulah, hampir tiap hari. Jadi tak ada kegiatan ekstrakurikuler yang aku ikuti.

Membiayai Kak Vidia kuliah, membiayai Nuraini sekolah, bukanlah hal yang mudah. Kak Vidia bahkan untuk uang sakunya sampai rela kerja sambilan. Namun perlahan-lahan kami pun bisa bernafas lega setelah toko kami mulai besar, walaupun begitu kami makin sibuk. Akhirnya kami pun memperkerjakan orang. Anak-anak lulusan SMK. Aku juga sudah kelas 3 SMA. Sebentar lagi lulus. Bingung mau kuliah ke mana. Apa ndak usah kuliah ya? Melihat bunda kelimpungan jaga toko mengakibatkan aku pun mengurungkan niatku kuliah.

Aku lulus dan adikku Nuraini masuk SMA. Dua tahun yang berat. Namun akhirnya toko kami sudah besar, berkat ide-ide yang kami pakai tiap hari akhirnya toko ini pun besar. Jarang ada toko sembako delivery order. Bahkan tidak sampai tiga tahun kami sudah ada waralaba. Bisa beli mobil, bisa renovasi rumah dan sebagainya. Kak Vidia pun sekarang jadi tidak bingung lagi kuliahnya. Ia sempat cuti 2 semester untuk membantu usaha kami.

Itulah profil keluarga kami. Tapi tahukah kalau di balik itu semua ada sesuatu hal yang sebenarnya menarik untuk diceritakan? Sebenarnya ini tak boleh diceritakan karena aib tersembunyi keluarga kami. Dan karena inilah hubunganku dengan kakakku, adikku dan ibuku jadi lebih akrab, bahkan aku dianggap sebagai kepala rumah tangga.

Ceritanya ini dimulai setelah 6 bulan ayah wafat. Aku saat itu benar-benar masih nakal. Menonton bokep sudah biasa bagiku. Bahkan sebenarnya, terkadang aku membayangkan begituan dengan bunda, maupun kak Vidia, atau bahkan terkadang juga dengan Nuraini. Iya, mereka semua pake jilbab, tapi hanya aku yang tahu bagaimana lekuk tubuh mereka, karena di rumah mereka membuka jilbabnya dan pakai pakaian biasa.

Awalnya aku benar-benar iseng sekali. Saat itu aku baru saja beli kamera pengintip. Bentuknya seperti sebuah gantungan kunci, berbentuk kotak kecil. Ketika ditekan tombol rahasianya, ia akan merekam selama kurang lebih 2 jam. Harganya cukup murah kalau dicari di internet, sekitar 500ribu. Aku menggantungkannya di anak kunci, sehingga ketika ke kamar mandi aku selalu mandi duluan, dan kemudian aku taruh di tempat yang bisa mengawasi semuanya. Jadi seluruh penghuni rumah, sama sekali tak curiga. Awalnya tak ada yang tahu, tapi nanti yang pertama kali tahu adalah Kak Vidia, tapi nanti aku ceritakan.

Aku meletakkan kunci itu di gantungan baju. Aku posisikan agar kameranya mengawasi seluruh ruangan kamar mandi. Yang pertama kali masuk setelah aku adalah bunda, kemudian Kak Vidia, lalu Nuraini. Setelah semuanya mandi, aku masuk ke kamar mandi untuk mengambil kamera pengintai. Aku kemudian ke kamar untuk menikmati hasilnya. Aku bisa mengetahui tubuh mulus mereka semua tanpa sehelai benang pun.

Misalnya bunda, rambutnya lurus, tubuhnya sangat terawat, langsing, dadanya besar, mungkin 34C, bahkan yang menarik beberapa minggu sekali bunda mencukur bulu kemaluannya. Kak Vidia juga begitu, kulitnya putih, rambutnya panjang, dadanya ndak begitu besar, 32B tapi putingnya yang bikin aku kaget, berwarna pink. Ini orang bule atau gimana? Tapi begitulah Kak
Vidia. Ia juga sama seperti bunda, mencukur bulu kemaluannya, bahkan halus seperti bayi. Terakhir Nuraini, jangan kira Nuraini cuma anak SMP, ia ini sangat dewasa. Dadanya besar banget, sama kayak bunda 34C. Masih SMP saja dadanya gedhe, gimana klo sudah SMA nanti? Ia pun sama, punya kebiasaan mencukur bulu kemaluan. Sepertinya cuma aku saja yang tidak. Tapi bolehlah ntar coba dicukur. Kayaknya lebih bersih.

Selama sebulan itu aku sering ngocok penisku di depan komputer sambil melihat adegan demi adegan di kamar mandi. Hal itu membuat aku terobsesi kepada mereka. Saking terobsesinya, aku kadang punya alasan untuk bisa menyentuh mereka, seperti mencium pipi adikku, mencium pipi bunda, terkadang juga memeluk Kak Vidia. Tapi mereka semua tak curiga. Dan satu-satunya yang membuatku kelewatan adalah memesan kloroform kepada salah seorang teman gengku. Aku pesan beberapa botol. Untuk stok pastinya. Pertama aku coba ke kucing tetangga. Ketika aku bekep pake sarung tangan yang ada kloroformnya, pingsan tuh kucing. Aku pun menghitung berapa kira-kira waktu yang dibutuhkan oleh kucing ini bisa sadar. Satu jam, dua jam, tiga jam. Lama sekali.

Siapa yang ingin aku coba pertama kali? Kak Vidia ndak mungkin, ia bakal kaget nanti kalau sudah tidak perawan ketika malam pertama dengan suaminya. Begitu juga Nuraini, bisa berabe aku nanti kalau dia melapor ke bunda memeknya perih. Jadi targetku adalah bunda.

***

Seperti biasa bunda menjaga toko waktu itu. Dan aku menyiapkan teh hangat untuk beliau. Aku berikan setetes kloroform di minumannya. Tujuanku sih agar ia pusing saja dan bisa aku suruh istirahat, baru kemudian aku bekap.

“Kamu ndak sekolah, Don?” tanya bunda.

“Tidak dulu bunda, mau bantu toko dulu,” jawabku.

“Lho, jangan. Ada bunda sama mbak Juni koq. Sekolah saja!” kata bunda. Mbak Juni adalah pegawai kami. Ia ada cerita untuk nanti. Ia janda, beranak satu, tapi masih muda. Usianya baru 21 tahun. Menikah muda. Bodynya masih singset.

“Tidak mengapa bunda, Doni udah ijin koq,” kataku.

“Baiklah, tapi cuma hari ini saja ya, jangan ulangi lagi,” katanya.

Bunda lalu meminum teh hangatnya. Aku pura-pura mencatat barang-barang di toko. Mbak Juni juga melakukan hal yang sama. Dan memindah-mindahkan karung beras. Kemudian datang seorang pembeli yang langsung dilayani oleh Mbak Juni.

Efek obat mulai terlihat. Bunda memegang kepalanya. Aku pura-pura peduli, “Kenapa, bunda?”

“Entahlah, bunda tiba-tiba pusing,” katanya.

“Capek mungkin, istirahat saja bunda,” kataku.

“Iya deh, aku istirahat sebentar. Mungkin nanti bisa baikan. Mbak Juni, tolong ya!” kata bunda.

“Iya, bunda,” kata Mbak Juni.

Bunda agak terhuyung-huyung, lalu beliau masuk kamar. Aku pun menyudahi pura-puraku, kemudian pura-pura ke kamarku, tapi sebenarnya menyusul beliau ke kamarnya. Aku beri waktu sekitar sepuluh menit, hingga kemudian terdengar nafas dengkurang halus bunda. Oh sudah tidur. Aku lalu beranikan diri masuk ke kamarnya. Bunda masih pakai jilbabnya, aku siapkan kloroform ke sarung tanganku, dosisnya seperti yang aku berikan ke kucing percobaan kemarin. Dan BLEP!!!

Bunda tak berontak, mungkin berontakannya tak berarti. Tangannya ingin menghalau tanganku tapi lemas. Matanya belum sempat terbuka dan ia pun sudah pingsan. Aku pun sangat senang, ini kemenangan.

Aku lalu kunci pintu kamar bunda. Biar ndak ada siapapun yang masuk. Jantungku berdebar-debar, antara senang, takut dan macem-macem rasanya. Aku duduk di sebelah bunda. Di pinggir ranjang itu aku lihat ujung rambut sampai ujung kakinya. Tanganku mulai bergerilya. Kuraba pipinya, bibirnya, aku buka sedikit, rahangnya aku turunkan hingga ia membuka mulutnya. Sesaat aku ingat ayah, tapi karena aku sudah bernafsu, rasa bersalahku pun aku tepis.

Aku pagut bibir bunda. Aku hisap lidahnya. Penisku mulai tegang, bunda benar-benar tak bereaksi sama sekali, bahkan sekarang bibirnya mulai basah. Wajah bunda sangat cantik, mungkin seperti Ira Wibowo. Bibirnya sangat lembut, tak puas aku menciumi bibir itu. Aku pun mulai meremas-remas dadanya walaupun masih tertutup gamis. Lalu tanganku mengarah ke selakangannya mengelus-elus tempat pribadinya.

Karena semakin bergairah, aku pun melepas celanaku sehingga bagian bawah tubuhku tak terbungkus sehelai benang pun. Penisku sudah mengacung tegang. Urat-uratnya mengindikasikan butuh dipuaskan. Aku arahkan jemari bunda untuk menyentuh penisku, Ohh… lemas aku. Lembut sekali jemari beliau. Aku tuntun tangannya untuk meremas telurnya, aku makin keenakan. Seandainya beliau bangun dan mau melakukannya kepadaku tentunya lebih nikmat lagi.

Aku kemudian naik ke ranjang. Aku berjongkok di depan wajahnya. Penisku aku gesek-gesekkan di pipi, hidung dan bibirnya yang agak terbuka itu. Aku sangat bergairah sekali. Selain itu juga takut ketahuan. Aku buka mulutnya, lalu kucoba masukkan kepala penisku, uhhhh….nikmat banget. Walaupun tak muat, aku buka mulutnya lagi, tangan kiriku mengangkat kepalanya dan tangan kananku membuka mulutnya lebih lebar, lalu kudorong penisku masuk.

Di dalam mulutnya penisku berkedut-kedut. Nikmat sekali. Aku makin bergairah melihatnya yang masih pakai kerudung. Kuambil ponsel dan aku abadikan ketika penisku masuk ke mulutnya. Kumaju-mundurkan penisku sampai mentok, walaupun giginya mengenai penisku rasanya nikmat sekali. Lucunya lidahnya bergoyang-goyang, entah ia mimpi apa, itu semakin membuatku terangsang. Pelan-pelan penisku menggesek rongga mulutnya, kemudian aku tarik keluar. Sekarang aku posisikan telurku di mulutnya. Karena punyaku sudah tercukur bersih aku bisa melihat semuanya. Seolah-olah bunda sedang menjilati telurku.

“Bunda, ohhh… nikmat banget,” racauku.

Kalau terus seperti ini, rasanya aku ingin muntahkan pejuku di wajahnya. Tapi aku tahan. “Tidak, bunda, Doni ingin merasakan ini, bolehkan?” aku meraba vaginanya.

Aku kemudian melepaskan gamis bunda, kancingnya aku buka semua, hingga ia hanya memakai bra dan CD. Aku turun ke bawah. Kuciumi seluruh tubuhnya, perutnya, pahanya, aku jilati semuanya sampai basah. Bahkan mungkin tak ada satupun yang terlewat. Aku lepas BH-nya. Ohh… dada yang dulu ketika kecil aku mengempeng, sekarang aku mengempeng lagi. Aku hisap teteknya, putingnya aku pilin-pilin, kupijiti gemas. Tapi aku tak ingin memberikan cupang di dadanya, nanti ia curiga. Belum saatnya. Ketiaknya yang bersih tanpa bulu pun aku hisap, kujilati. Semuanya aku jilati. Aku pun mencium bau yang aneh, ketika aku menghisapi jempol kakinya. Dan aku lihat CD-nya basah. Bunda terangsang?

“Bunda terangsang? Mau dimasukin bunda?” tanyaku.

Aku pun segera melepaskan CDnya, Dan kuikuti aku telanjang juga sekarang. Punyaku makin berkedut-kedut dan di lubang kencingnya muncul cairan bening. Aku melihat memek bundaku tersayang. Warnanya pink kecoklatan. Inikah tempatku keluar dulu? Betapa bersihnya, ada cairan keluar. Aku segera membuka pahanya, kepalaku mengarah ke sana, kujilati, kuhisap dan klitorisnya aku tekan-tekan dengan lidahku. Intinya lidahku menari-nari di sana seperti lidah ular, menjelajahi seluruh rongga vaginya. Setiap cairan yang keluar aku hisap, rasanya asin-asin bagaimana gitu.

Aku makin bergairah dan sepertinya bunda juga bergairah, ia sangat banjir, bahkan ketika aku colok-colok dengan lidahku, lebih dalam lagi kakinya bergetar. Ia mengeluh….dan mendesis, walaupun masih tidur dan tidak sadarkan diri tapi dia merasakannya. Mungkin ia bermimpi sedang begituan. Kepalanya yang masih memakai jilbab mendongak ke atas, Dan kemudian pantatnya diangkat, tubuhnya bergetar hebat, memeknya mengeluarkan cairan yang sangat banyak, menyemprot bibirku. Aku lalu duduk.

“Bunda orgasme?” tanyaku.

Tentu saja beliau tak menjawab. Sepertinya bunda sudah siap, aku posisikan penisku di ujung vaginanya. Kepala penisku sudah ingin masuk saja. Aku tak sabar, dan… BLESSS….!! Lancar banget, ohhhh… HANGATT…. !! ini ya rasanya memek wanita itu. Aku lalu ambruk di atas tubuh bunda, ia kutindih. Toketnya dan dadaku berpadu, Penisku berkedut-kedut dan anehnya memeknya juga seperti meremas-remas penisku. Ngilu rasanya, tapi nikmat.

“Bunda, seperti inikah bunda rasanya ngentot?” tanyaku. Aku mengabadikan peristiwa ini ke ponselku, kuclose up wajah bunda yang tidur, vaginanya yang sekarang penisku masuk ke sana juga kuabadikan, bahkan posisiku menindih bundaku pun aku abadikan.

“Doni… ohh… puasin, bunda…” terdengar suara bisikan bunda. Apa maksudnya, apakah bunda sadar?

Sejenak aku bingung, ternyata bunda memimpikan aku, bermimpi bersetubuh denganku. Itu membuatku makin bergairah. Aku kemudian menaik-turunkan pantatku perlahan-lahan, menikmati saat-saat ini. Tapi aku hanya punya waktu 3 jam kurang lebih, tak ingin aku sia-siakan kesempatan ini. Kugoyang pantatku naik turun, makin lama makin cepat.

“Bunda… oh… Doni kembali masuk ke tempat bunda,” racauku, makin lama makin cepat. Bunda aku tindih, pahanya terbuka lemas. Dan aku sepertinya akan keluar, oh sperma perjakaku… kemana ya harus keluar?

“Bunda, ke wajah bunda aja ya keluarnya… oohhh… keluar, bunda!!!” seruku. Aku segera mencabut dan berlutut di depan wajah bunda. Penisku kuarahkan ke situ.

CROOT…. CROTT… CROOTTT…. Banyak sekali tembakannya, aku sudah tidak perjaka lagi. Bunda sendiri yang menghilangkannya, spermaku belepotan di wajah bunda, sebagian masuk ke mulutnya, aku terus mengocoknya hingga tetes terakhir, lalu aku bersihkan sisa di ujung penisku ke mulutnya.

Momen ini tak bisa aku lewatkan segera aku abadikan ke ponselku. Aku lalu berbaring lemas di sampingnya. “Bunda… nikmat, bunda,” kataku. Aku peluk dia dari samping sambil memeluk toketnya.

Butuh waktu 15 menit bagiku untuk istirahat sebentar, kemudian aku bersihkan wajahnya dengan tisu yang ada di meja riasnya. Agar tidak bau sperma aku seka wajah ibuku pakai pelembab, biar tak ketahuan. Disaat membersihkan itulah aku terangsang lagi melihat payudaranya. Aku kenyot lagi dua buah toket besar itu. Kubenamkan wajahku ke tengah payudara, kuhisap aromanya yang harum. Aku kemudian menghadapkan tubuh ibuku miring ke tepi ranjang. Ternyata tepat di depan bundaku ada kaca lemari. Sehingga aku bisa melihat tubuhnya di sana.

Penisku yang tegang lagi ingin mencari mangsa. Kuposisikan kepala penisku dari belakang pantatnya. Karena masih basah, mudah sekali penisku masuk. SLEB…!! Oh, kembali kedut-kedut vaginanya. Aku angkat sebelah kakinya, sehingga aku bisa melihat dari kaca penisku masuk di sana. Aku lalu bergoyang maju mundur, kuturunkan kaki bunda, tanganku beralih ke toketnya. Pantatnya benar-benar membuatku terangsang hebat. Enak sekali.

Aku tak sadar siapa yang kusetubuhi sekarang. Yang aku inginkan adalah puncak kenikmatan. Tapi aku tetap pada pendirianku jangan keluarkan di dalam. Belum waktunya. Aku terus menggoyang pantatku maju mundur. Pantat bunda beradu dengan selakanganku. PLOK… PLOK… PLOK… bunyinya sangat menggairahkan. Dan sepertinya. Setiap kali aku ingin orgasme. Aku istirahat sebentar. Menciumi bibirnya, ketiaknya, dan menghisap putingnya. Dan akhirnya aku tak tahan lagi.

“Duh, bunda, maaf ya. Aku keluar lagi,” aku langsung cabut penisku dan kukeluarkan di pantatnya. Spermaku masih banyak aja. Enak rasanya penisku sampai berkedut-kedut berkali-kali setiap spermaku muncrat keluar. Aku istirahat sebentar sambil mengumpulkan tenaga. Ngilu sekali penisku. Aku lalu bangkit membersihkan pantat bunda yang belepotan dengan spermaku.

Aku melihat jam dinding, oh tidak, setengah jam lagi bunda akan sadar, tak sadar aku sudah lama ngentotin bunda. Aku bergegas memakaikan lagi pakaiannya. Jilbabnya yang terkena sedikit sperma aku bersihkan juga. Aku memakaikan lagi branya, tapi entah kenapa aku terangsang lagi. Maklum masih perjaka dan ada mainan baru. Aku lalu melakukan titfuck. Dada bunda mengocok penisku, aku melakukannya sambil sesekali menengok jam dinding, masih ada waktu, aku harus cepat. Aku bantu payudara bunda untuk mengocok penisku, dan aku keluar lagi, spermaku muncrat di belahan toket bunda. Tapi jumlahnya ndak sebanyak tadi,
karena mungkin sudah mulai kosong kantong produksinya. Aku segera bersihkan cepat-cepat, kuposisikan tubuh bunda seperti tadi tidur, aku berpakaian lalu keluar dari kamar bunda. Aku lalu mandi dan membersihkan diri.

***

Bunda terbangun setengah jam kemudian. Ia keluar kamar ketika aku masih menghitung stok toko. Ia menggeliat.

“Kenapa, bunda?” tanyaku.

“Entahlah, bunda koq tidurnya nyenyak ya? Tapi badan bunda pegel-pegel semua. Seperti habis olahraga aja,” jawab bunda. Tapi dalam hati aku senang sekali karena tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Hari itu aku membantu menjaga toko sampai sore. Dan setelah itu aku habiskan waktuku di kamar sambil melihat foto-foto hasil ngentotku dengan bunda tadi. Aku melakukan coli berkali-kali sampai penisku ngilu dan lemas. Malam itu aku tidur nyenyak sekali, entah berapa banyak tissu yang kuhabiskan, yang jelas aku baru sadar tissue di meja kamarku tinggal sedikit sekali.

Hari-hari setelah itu aku jadi berbeda. Siang hari setelah aku pulang sekolah, aku menyiapkan teh hangat untuk bunda, kemudian pasti ia mengantuk dan tidur. Setelah itu aku pasti ngentotin beliau seperti sebelum-sebelumnya, dan kini aku tidak takut lagi seperti dulu. Tapi aku tak melakukannya setiap hari, hanya kalau ada kesempatan saja. Dan itu tidak pasti atau jarang. Kalau aku sedang kepingin saja. Kalau tiap hari bisa bikin bunda curiga. Aku ingin bercinta dengan bundaku dalam keadaan sadar, karena aku setiap ngentot dengan bundaku selalu aku dengar rintihannya memanggil-manggil aku dalam mimpinya. Ia seperti membayangkan ngentot dengan aku. Ini tanda tanya besar. Dan itu terjawab ketika aku melihat rekaman di kamar mandi pada suatu siang setelah aku pulang dari ujian di sekolah.

Aku melihat rekaman video bunda mastrubasi dengan jarinya di kamar mandi. Ia mengocok-ngocok memeknya, sambil berkali-kali memanggil namaku. Kenapa? Apakah ia mengalami ‘mother complex’?

Setelah ia mengeluh panjang, ia lalu menutupi wajahnya sambil menggumam, “Kenapa dengan aku? kenapa? Apa yang aku lakukan? Kenapa aku menginginkan anakku sendiri?”

DEG…!! betapa kagetnya aku mendengar pengakuan bundaku sendiri dari rekaman itu. Ternyata benar, bunda menginginkan aku. Aku jadi ingin saja ngentotin dia setelah ini. Obsesiku kepada ibuku sendiri makin besar. Terlebih ketika tahu bahwa bunda masih haidh, masih produktif berarti.

Malamnya bunda sedang menghitung-hitung penghasilan. Kami di rumah sendirian. Nuraini ikut mabid atau apalah namanya. Kak Vidia juga sedang nginap di kampus ada kegiatan apa gitu. Aku sedang menonton tv sambil sesekali mengamati bunda, mengamatinya saja bikin aku terangsang. Aku berusaha menyembunyikan tegangnya penisku.

“Bunda, bunda capek kayaknya, ndak istirahat?” tanyaku.

“Nanti dulu, Don, masih kurang dikit lagi,” katanya.

“Kalau bunda capek, aku menawarkan diri untuk mijitin bunda kalau tidak keberatan,” kataku.

Bunda tersenyum renyah kepadaku. Ia kemudian masih melanjutkan pekerjaannya. Hingga kemudian acara tv selesai dan aku mematikan tv. Bunda kemudian duduk di sampingku. Aku hampir aja beranjak.

“Lho, katanya mau mijitin bunda?” tanyanya.

“Oh, jadi toh?” kataku.

“Iya dong,” katanya.

Bunda kemudian membelakangiku. Aku lalu mulai memijitinya. Ia masih memakai kerudungnya yang lebar. Aku mulai memijiti pundaknya.

“Oh… enak sekali, Don, pinter juga kamu memijat,” katanya.

“Siapa dulu dong,” kataku.

Aku berinisiatif kalau malam ini aku harus bisa ngentot ama bunda. Aku pun mulai pembicaraan. “Bunda, boleh tanya?” tanyaku.

“Tanya apa?” tanyanya.

“Doni waktu itu lupa sesuatu, trus pulang lagi ke rumah. Nah, Doni mendengar bunda manggil-manggil nama Doni di kamar mandi sambil merintih, emangnya kenapa itu, bunda?” tanyaku.

Bunda terkejut. Jantungnya berdebar-debar, ia bingung mau jawab apa. Ia pun bertanya balik, “Kapan itu?”

“Beberapa waktu lalu, emangnya bunda ngapain sih di kamar mandi?” tanyaku.

“I-itu… nggak ada apa-apa koq,” jawabnya.

“Tapi koq, manggil-manggil nama Doni?” tanyaku.

Bunda terdiam. Aku lalu memeluk bunda dari belakang. Dari situlah aku tahu bahwa jantung beliau berdebar-debar. Bunda lalu bersandar di dadaku. Matanya berkaca-kaca. Ia lalu menutup wajahnya.

“Bunda, kalau bunda misalnya rindu sama ayah, Doni bisa mengerti koq. Mungkin wajah Doni mirip ama ayah,” kataku.

Bunda lalu terisak, kami berpelukan. Bunda bersandar di pundakku. Ia tak berani melihat wajahku. Ia terus memelukku dan aku membelai kerudungnya yang panjang. Cukup lama ia bersandar di pundakku. Sampai aku kemudian mulai memberanikan diri untuk melihat wajahnya.

“Maafkan, bunda, engkau mirip sekali dengan ayahmu, dan bunda rindu dengan sentuhan ayahmu,” katanya.

“Boleh Doni minta sesuatu, bunda?” tanyaku.

“Apa itu?” tanyanya.

“Doni ingin mencium bunda,” kataku.

Ia tersenyum, “Boleh saja, kenapa memangnya?”

“Tapi bukan di pipi, di sini,” kataku sambil menyentuhkan telunjukku di bibirnya.

“Ah, Doni ini koq kolokan banget? Aku ini bundamu, bukan kekasihmu,” kata bunda.

“Sekali saja bunda, Doni ingin tahu rasanya ciuman, please… sekali saja,” kataku.

Bunda terdiam. Ia menatap wajahku. Ia mengangguk walau agak ragu. Aku senang sekali, tersenyum. YES! dalam hatiku.

Aku perlahan mendekatkan wajahku, wajah bunda kutarik ke arahku dan bibirku menempel di bibirnya. Pertama cuma menempel, selanjutnya aku mulai menghisap bibir bunda. Lagi dan lagi. Dan akhirnya kami berpagutan. Nafas bunda mulai memburu. Tiba-tiba bunda mendorongku.

“Tidak, Don, tidak. Kita terlalu jauh. Kita ini ibu dan anak. Ndak boleh beginian,” katanya.

“Lalu kenapa bunda mastrubasi sambil manggil-manggil Doni?” tanyaku.

“Kamu tahu?” tanyanya.

“Iya, Doni tahu. Itu artinya bunda kepingin kan?” tanyaku. “Sampai berfantasi ama Doni.”

Ia tak menjawab. Tampaknya aku menang. Bunda sepertinya pasrah. Aku ingin coba lagi. Kupegang kedua tangannya, aku memajukan wajahku lagi, kini ciumanku disambut. Wajah kami makin panas karena gairah. Lama sekali kami berpagutan, nafas ibuku makin memburu.

Aku lalu menarik wajahku lagi, “Kalau misalnya bunda kepingin dan tidak ada yang bisa memuaskan bunda, Doni bisa koq. Tapi jangan sampai semuanya tahu.”

“Tidak, Don… hhmm…” bibir bunda aku cium lagi sebelum selesai berkata-kata. Ia berusaha mendorongku. “Sudah, Don, sudah… bunda ndak mau, ingat kita ibu dan anak.”

“Lalu kenapa bunda membayangkan dientotin Doni?” tanyaku lagi. Kucium lagi bibirnya.

“Itu.. .hmmmm… itu… itu karena bunda khilaf, maafin bund… hhmfff,” bunda tak kuberi kesempatan melakukan penjelasan. Kuremas-remas dadanya dari luar gamisnya. Bunda pun mendorongku lebih kuat lagi.

“Baiklah, baiklah… bunda memang ingin kamu, bunda ingin ngentot dengan kamu, ayo ngentotin bunda! Sekarang!” katanya. “Buka bajumu!”

Aku lalu menghentikan aktivitasku. Melihat air matanya berlinang, aku mengurungkan niatku. Aku berdiri. “Maafin Doni, bunda. Maaf!”

Aku mencium tangannya lalu berbalik dan masuk ke kamarku. Perasaanku campur aduk setelah itu. Beberapa kali bunda mengetuk pintu kamarku, tapi tak kutanggapi, aku pun tertidur.

***

Paginya aku bangun, kemudian ingin ke kamar mandi. Saat itulah aku dikejutkan karena ternyata bunda ada di dalam kamar mandi telanjang, bener-bener polos. Aku terkejut dan mematung.

“Doni!?” bunda terkejut.

“Oh, maaf, bund,” aku segera menutup pintu kembali. Untuk beberapa saat aku diam di depan pintu kamar mandi. “Biasanya Doni mandi duluan, ndak tau kalau bunda mandi duluan. Habis bunda ndak ngunci sih.”

“Kamu mau mandi?” tanyanya. “Masuk aja!”

“Lho, bunda ‘kan di dalam,” kataku.

“Gak papa, sama bunda sendiri koq malu?” katanya.

Aku agak ragu, tapi kemudian aku pun masuk. Bunda melirikku sambil tersenyum, “Ndak usah malu, copot sana bajunya.”

Aku pun mencopot seluruh pakaianku. Bunda menyiram badannya di bawah shower. Terus terang hal itu membuatku terangsang banget. Penisku langsung menegang. Dan setan pun masuk ke otakku, aku melihat bundaku seperti seorang bidadari, segera aku memeluknya dari belakang, penisku yang sedang tegang maksimal menempel di pantatnya.

“Bunda, maafin, Doni. Tapi Doni ndak tahan lagi!” kataku. Bunda terkejut dengan seranganku. Aku meremas-remas toketnya, kupeluk erat bunda.

“Doni… sabar, Don, sabar!” kata bunda.

“Tapi, aku tak mau melepaskan bunda,” kataku.

Bunda mematikan shower, kemudian membelai tanganku. Aku menciumi lehernya dan menghisapnya dalam-dalam. “Oh, Doni… anak bunda sekarang sudah besar…” katanya. Tangan satunya tiba-tiba menyentuh kepala penisku. Penisku yang sudah tegang itu dipegangnya, makin tegang lagi, lebih keras dari sebelumnya. Kemudian bunda mengocoknya lembut. “Kamu ingin ini kan?”

Aku mengangguk.

“Bunda tahu koq, kamu kan anak bunda,” katanya. “Lepasin bunda sebentar.”

Aku lalu melepaskan pelukanku. Bunda berbalik, tinggi kami hampir sama, tapi aku lebih tinggi sedikit. Matanya menatapku lekat-lekat.

“Bunda, mengakui punya hasrat kepada anak bunda sendiri. Bunda tidak bohong. Itu semata-mata bunda rindu dengan belaian ayahmu. Dan bunda selama ini juga takut untuk bisa menjalin hubungan dengan lelaki lain. Tapi… bunda berpikir keras, apa jadinya kalau bunda berhubungan dengan anak sendiri, itu kan tabu… tapi bunda merasa nyaman bersamamu, hanya denganmu bunda sepertinya ingin, bukan lelaki lain. Dan bunda juga butuh itu,” kata bunda sambil terus mengocok lembut otongku yang udah tegang max.

Aku makin keenakan tak konsen apa yang diucapkan olehnya, tapi ketika ia berlutut di hadapanku dan menciumi kepala penisku, aku baru yakin dan ini bukan mimpi. Bunda mengoral penisku.

“Oh, bunda,” rintihku.

“Bunda akan berikan sesuatu yang engkau tak pernah sangka sebelumnya,” kata bunda. Ia lalu menjilati kepala penisku. Lubang kencingku dijilati seperti kucing. Kedua tangannya aktif sekali, yang satu meremas-remas telurku yang satunya mengocok-ngocok penisku. Penisku yang sudah tegang makin tegang saja.

“Bunda… enak sekali,” kataku.

Lidah bunda menjelajah seluruh permukaan penisku yang tanpa rambut itu. Bunda menjilati pinggiran kepala penisku, membuatku lemas saja. Lalu seluruh batangku dijilatinya. Kemudian dimasukkanlah kepala penisku ke mulutnya. Ia kemudian perlahan-lahan memaju mundurkan kepalanya. Penisku yang besar itu makin masuk ke rongga mulutnya. Ia kemudian menghisapnya dengan kuat. Aku makin lemas. Lemas keenakan.

Bunda lalu mengusap-usap perutku, sesekali meremas-remas pantatku, tanganku pun secara otomatis meremas rambutnya. Kalau misalnya ini film bokep aku pasti sudah coli. Tapi ini tak perlu coli karena ada yang bertugas mengocok penisku di bawah sana. Dengan mulutnya dan oh… lidahnya menari-nari mengitari kepala penisku, aku benar-benar keenakan.

“Bunda… oh… enak banget! Udah, bunda… bunda… Doni… kelu…aaaaarrrr… AAAAHHHH!” aku keluar. Spermaku tak bisa ditahan lagi. Bunda makin cepat memaju mundurkan kepalanya, penisku seperti ingin meledak dan SRETTT… CROOOTTT… CROOOOTTT… entah berapa kali aku menekan penisku ke kerongkongannya sampai ia agak tersedak. Spermaku banyak sekali muncrat di dalam mulutnya.

Bunda mendiamkan sebentar penisku hingga tenang dan tidak keluar lagi. Ia lalu menyedotnya hingga spermanya tidak keluar lagi, dan baru mengeluarkan penisku. Ia menengadahkan tangannya, kemudian ia keluarkan spermaku. Mungkin ada kalau 5 sendok makan. Karena pipi bunda sampai seperti menyimpan banyak air di mulutnya.

“Banyak banget spermamu,” Bunda lalu menciumi baunya. “Baunya bunda suka.” Bunda lalu berdiri menyalakan shower. Membersikan mulut dan tangannya. “Mandi bareng yuk,” katanya.

“I-iya, Bun,” sahutku.

Kami pun mandi bersama. Pertama bunda menyabuni tubuhku. Dari dadaku, perutku, punggungku, kakiku dan penisku pun disabuni. Penisku tegang lagi.

“Ih… masih ingin lagi?” kata bunda sambil menyentil penisku.

“Habis, bunda seksi sih,” kataku.

Bunda tersenyum. “Nanti ya, habis ini.”

Aku pun bergantian menyabuni bunda. Saat itu mungkin aku bukan menyabuni, tapi membelainya. Aku jadi tidak malu lagi untuk mencumbunya. Aku menggosok tubuhnya. Punggungnya aku sabuni, ketiaknya, dadanya aku pijat-pijat, putingnya aku pelintir-pelintir, ia mencubitku.

“Anak Nakal! Ibu nanti jadi terangsang. Sebentar, sabar dulu,” katanya.

Aku tak peduli, shower aku nyalakan untuk membersihkan sabun-sabun di tubuh kami. Aku memanggut bibir bunda. Kemudian aku menetek kepada bunda, kuhisapi putingnya.

“Don, di kamar bunda aja yuk,” katanya. “Mumpung Vidia sama Nur belum pulang.”

Aku mengangguk.

Bunda mengambil handuk dan membersihkan air di tubuhnya, aku pun melakukannya. Dan agak mengejutkannya, aku segera membopongnya.

“Eh… apa ini?” ia terkejut.

“Doni ndak sabar lagi, Bun.” kataku.

“Oh… anak bunda, jiwa muda,” katanya.

Kami keluar dari kamar mandi, aku masih telanjang, demikian juga bunda. Kami lalu masuk ke kamar bunda. Segera bunda aku letakkan di ranjang, kamar aku kunci. Bunda segera mulutnya kupanggut, kuciumi lehernya, payudaranya pun aku hisap-hisap. Kuremas, putingnya aku pelintir-pelintir, kuputar-putar, bunda menggelinjang. Ia remas-remas rambutku. Kuhisap buah dadanya yang putih dan ranum itu hingga membentuk cupangan. Cupangan demi cupangan membekas di buah dadanya yang besar.

“Nak… ohh… bunda terangsang banget,” katanya.

“Bunda, ohh…” aku menciumnya lagi.

Sekarang aku turun ke perutnya, lalu ke tempat pribadinya. Aku tak tinggal diam, segera aku ciumi, aku jilati, aku sapu memeknya yang basah sekali itu.

“Ohhhh… Donn… i-itu… aahhh…” bunda menggelinjang. Kakinya terbuka aku memegangi pahanya. Kulahap habis itu memeknya, klitorisnya pun aku jilati, hal itu membuatnya menggelinjang hebat.

Nafas Bunda mulai memburu. Ia meremas-remas rambutku, ketika aku menuju titik sensitifnya, ia semakin menekan kepalaku. Aku pun makin semakin menekan lidahku, hal itu membuatnya bergetar hebat.

“Don… bunda… bunda keluar… aaahhhh… ahhhh… ahhhhhhhh!!” pinggul bunda bergetar. Sama seperti orgasme-orgasme sebelumnya. Aku pun segera bangkit, melihat reaksi bunda. Pahanya menekan pinggangku. Saat itulah penisku sudah menegang, siap untuk masuk ke sarangnya.

“Bunda… bunda siap?” tanyaku.

“Masukkan… masukkan! Bunda sedang orgasme,” katanya.

Aku pun memposisikan penisku tepat di depan lubangnya, kugesek-gesek, bunda lalu mengangkat kepalanya. Matanya memutih, saat itulah pinggulnya naik dan penisku masuk begitu saja. BLESS!!!

“Ohhhh…!!” mulut bunda membentuk huruf O, menganga merasakan sesuatu yang selama ini ia inginkan. Ia memelukku, dada kami beradu dan aku memagutnya.

Bunda merebahkan dirinya lagi. Aku menindihnya. Aku peluk bundaku. “Bunda, Doni masuk lagi. Masuk lagi ke tempat Doni lahir,” kataku.

“Doni… ohh… iya, iya… sudah masuk, rasanya penuh… ohhh,” kata bunda.

Aku lalu menaik turunkan pantatku. Penisku otomatis menggesek-gesek rongga vaginanya yang becek. Kami berpandangan, mata kami beradu. Pinggul bunda bergerak kiri-kanan membuat penisku makin enak.

“Bunda, bunda… ohh… perjaka Doni buat bunda… ohh… enak bunda… bunda apain penis Doni?” tanyaku sambil melihat matanya.

“Anakku, ohh… bunda enak banget, kepingin keluar lagi, ohh… bunda ndak pernah keluar berkali-kali seperti ini… ohh… aahhh… sshhh,” bunda menatapku lekat-lekat. Kening kami menempel. Bibir kami saling mengecup berkali-kali.

Tak hanya di situ saja, aku sesekali menghisap puting susunya. Keringat kami setelah mandi keluar lagi. Tubuh bundaku yang seksi ini membuatku makin bersemangat untuk menyetubuhinya. Bunda… aku ingin menghamilimu.

“Bunda… ohhh… aku keluar… ahh… ahh… di mana?” tanyaku.

“Ohh… ahh… ahh, terserah Doni,” kata bunda. “Tapi… ohh… jangan di dalam… di luar aja… bunda takut hamil…..”

“Maaf, bunda, tak bisa. Doni ingin menghamili bunda. Ohh, Doni sampai… Sperma perjaka Doni buat bunda… ini… ini…!!”

“Jangan… jangan… Doni… ahhh… aduh… bunda juga keluar… sama-sama… tapi… ahkhh… jangan di dalam…. ahhhhhhhhhhh!!!” bunda mengeluh panjang.

Aku mencium bunda bibir kami bertemu dan pantatku makin cepat bergoyang dan di akhirnya menghujam sedalam-dalamnya ke rahim bunda. Spermaku memancar seperti semprotan selang pemadam kebakaran. Kutumpahkan semua kepuasan ke dalam tempatku dulu dilahirkan. Mata bunda memutih. Pantatnya bergetar hebat karena orgasme. Ia mengunci pinggulku, aku menindihnya dan memeluk erat dirinya sambil menciumnya. Entah berapa kali tembakan, yang jelas lebih dari sebelas. Karena saking banyaknya orgasme itu berasa lama. Memek bunda berkedut-kedut meremas-remas penisku, aku masih membiarkan penisku ada di dalam sana.

Butuh waktu sepuluh menit hingga penisku mengecil sendiri, dan kakinya melemas. Aku pun kemudian bangkit. Bunda tampak lemas, ia seakan tak berdaya. Penisku serasa ngilu. Aku melihat ke vaginanya. Tampak cairan putih menggenang di dalam lubang vaginanya. Aku tersenyum melihatnya. Aku kemudian merebahkan diri di sebelah bunda. Kemudian bunda memelukku, kami pun tidur terlelap.

Siang hari kami terbangun. Aku dulu yang terbangun. Melihat tubuh bundaku telanjang memelukku membuatku terangsang lagi. Aku menciumi bibirnya. Bunda masih tertidur. Aku lalu menggeser badanku, kemudian bangkit. Penisku sudah on lagi, mungkin karena melihat tubuh bundaku. Aku kemudian membuka pantatnya mencari lubang vaginanya. Kemudian segera saja aku masukkan. SLEB… bisa masuk! Masih basah. Mungkin karena sebagian spermaku masih ada di dalam sana.

Aku pun menggoyang-goyang. Maju mundur. Posisiku berlutut sambil bertumpu kepada kedua tanganku. Pinggulku mengebor pantatnya. Bunda membuka matanya, ia tersenyum melihat ulahku.

“Dasar anak muda, ndak ada puasnya,” katanya.

“Bunda… Doni enak, bunda…” kataku.

Bunda cuma diam melihatku. Aku sesekali meremas toketnya. Aku goyang terus sambil kulihat wajahnya. Bunda memejamkan mata, mulutnya sedikit terbuka, mengeluh pelan.

“Bunda, enak banget… hhhmmmmhh… keluar… Doni keluar lagi, bunda…” kataku. “Pantat bunda enak banget.”

“Doni… ahhh… aaaaahhh… bunda juga… koq bisa ya??” kata bundaku.

Tangannya menarik tanganku, aku berlutut sambil menghujamkan sekeras-kerasnya ke memeknya. Aku pun keluar lagi. Tapi tak seperti tadi. Kali ini cuma lima kali tembakan, tapi begitu terasa. Setelah itu aku mencabut penisku dan ambruk.

“Bunda, Doni cinta ama bunda,” kataku.

“Cinta karena nafsu, kamu bernafsu dengan bunda, makanya seperti ini,” katanya.

“Tapi bunda juga ‘kan?” kataku menyanggah.

Bunda diam.

“Bunda tidak bangun? Tidak buka toko?” tanyaku.

“Toko tutup dulu, kemarin ibu bilang ke Mbak Juni untuk tutup dulu,” kata bunda. “Bunda ingin istirahat dulu. Badan bunda serasa sakit semua, sebab sudah lama tidak bercinta lagi.”

Aku mengangguk.

“Kalau begitu, Doni pergi dulu,” kataku.

“Ke mana?” tanyanya.

Aku terdiam.

“Ke mana?” tanyanya lagi.

“Bunda merasa kehilanganku? Berarti bunda juga mencintaiku,” kataku.

Ia mencubit perutku. “Maunya,” katanya. Kami berpanggutan sebentar untuk beberapa lama sebelum kemudian aku meninggalkan kamar bunda tanpa baju.

***

Setelah itu, hubunganku dengan bunda berjalan sembunyi-sembunyi. Bunda sering dan selalu melarangku untuk mengeluarkan spermaku di dalam rahimnya, tapi aku tak peduli. Kalau ada kesempatan, saat itulah kami bercinta. Di dapur apalagi. Dan itu pengalaman yang sangat mendebarkan. Bunda bertumpu kepada wastafel. Dan aku menyodoknya dari belakang. Kami melakukan fast-sex karena saat itu Kak Vidia dan Nuraini ada di rumah. Bahkan terkadang kami mencicil hubungan sex kami ketika Kak Vidia dan Nuraini bolak-balik ke dapur.

Belum, bunda belum hamil. Ia masih menstruasi. Tapi nanti ada saatnya beliau hamil. Karena aku yang memaksanya. Tapi itu nanti. Sekarang beralih ke Kak Vidia dan Nuraini.

GADIS KONTRAKAN : ARINA

Namanya Arina Syafarani Putri. Tidak terlalu tinggi, 25 tahun, cantik, berkerudung, payudara 34B dengan puting bulat kecil berwarna coklat gelap. Arina adalah penghuni kontrakan yang paling tua, paling disegani, dan tentu saja, paling pengalaman soal melayani penis cowok. Sejak kehilangan keperawanan di acara kemping SMA-nya saat kelas 3, Arina berjanji tidak akan melakukannya lagi. Ironisnya, pemerkosaan yang dialaminya di minggu pertamanya menggunakan jilbab oleh teman kampusnya di lab justru menjadi titik balik kebiasaannya. Ia menjadi wanita berjilbab haus sex yang selalu ingin dipuaskan, meski hal itu dapat ditutupinya di lingkungan umum.

Di kontrakan, Arina selalu menjadi tempat Hani, Okta, dan Eva untuk berkonsultasi mengenai seks. Arina juga satu-satunya yang memiliki vibrator dan obat-obatan yang diperlukan jika terjadi hal yang tidak diinginkan, seperti disemburkannya sperma tepat di rahim Hani saat masa suburnya oleh Edwin. Arina sering meminjam pacar-pacar Hani, Eva, atau Okta untuk memuaskan hasrat seksnya.

Siang itu, Arina baru saja akan pulang dari shift-nya di sebuah bank. Ia mengenakan batik berbahan licin berwarna putih dengan beberapa aksen biru dan bunga. Baju tersebut menonjolkan payudara besarnya dengan sempurna, hal ini tentu menjadi santapan teman-teman prianya di kantor yang melihatnya keluar dari WC setelah ganti baju.

“Susunya mbak Arina mantep bener ya. Gede.” bisik seorang office-boy kepada teman di sebelahnya, diikuti sebuah cubitan kecil seorang office-girl di belakang mereka.

“Gak gue kasih susu lagi nih.” ujar sang office-girl ketus sambil berlalu.

***

“As…” Arina yang hendak mengucapkan salam tiba-tiba terhenti saat mendengar suara desahan dan lenguhan yang tidak asing baginya. Ya, tentu saja, Okta dan Bang Kiki, ujarnya dalam hati.

Melangkah pelan menuju teras, Arina melihat pergumulan Bang Kiki dan Okta. Okta yang terduduk pasrah sambil memejamkan mata dengan kepala mendongak sedang memangku Bang Kiki yang terlihat asik menikmati susu gadis itu, menjilat-jilat dan menghisap putingnya. Sesekali digigit dan ditarik kuat-kuat hingga Okta melenguh panjang karena nikmatnya.

“Duhh… ini si abang nagihnya nggak liat-liat tempat ya?” tegur Arina kepada kedua insan itu. Bang Kiki yang mendengar langsung menoleh dan mendapati sosok Arina sedang berdiri di sampingnya.

“Eh, mbak Arina. Hehehe. Biasa, mbak…” jawab Bang Kiki sambil tangannya terus memainkan puting besar Okta. Hal ini membuat Okta terus melayang dalam kenikmatan sehingga tidak menyadari kehadiran Arina di sana.

“Mbak mau?” lanjutnya. Matanya langsung tertuju ke bongkahan buah dada Arina yang menonjol ketat dari balik pakaiannya.

“Yeee… enak aja. Aku kan selalu bayar full, Bang.” ujar Arina sambil sesekali melirik ke arah penis Bang Kiki yang tertancap di memek Okta.

“Ya sudah lanjutkan sana, Bang. Aku masuk dulu ya.” ujar Arina sambil masuk ke dalam, meninggalkan Okta yang tubuhnya masih tertindih Bang Kiki.

“Oke, mbak.” jawab Bang Kiki singkat sambil tiba-tiba menggoyang-goyangkan pinggulnya ke memek Okta.

***

“Wah, dasar. Lagi pada pesta rupanya.” ujarnya dalam hati saat melihat Hani di kamar Okta tengah mengoral penis seorang cowok yang terbaring di sana dengan kaki menjulur ke lantai.

“Hufff… semua pada asik. Aku makan dulu aja deh.” ujarnya pelan kepada diri sendiri sambil menuju meja makan. “Kamu sabar ya,” lanjutnya sambil mengelus vaginanya yang terasa mulai berkedut dan basah.

***

“Kenapa, Ta?” tanyanya sambil menghampiri Okta. Okta tampak terkejut karena sebelum menghampiri Bang Kiki, penis Edwin mengacung dengan tegak dan terlihat sangat besar. Tapi, setelah pergumulannya selesai, penis Edwin tiba-tiba tampak mengecil. Hal tersebut tidak mungkin terjadi jika tidak ada yang menguras isi penis Edwin.

“Dia siapamu?” tanya Arina kepada Okta di sebelahnya.

“Temen chatting doang sih, mbak. Masih perjaka, dia minta diajarin ML, ya aku suruh dateng.” jawabnya.

“Tapi kok penisnya mengecil, tadi pas aku tinggal sebelum ke Bang Kiki tuh gede banget loh. Mbak Arina ya yang habis mainin penis dia sampe isinya keluar?” lanjut Okta.

“Yee… enak aja. Bukan mbaklah, mbak kan selalu bilang-bilang kalo mau ML sama pasangan kalian.” Arina melangkah memasuki kamar Okta.

“Mbak mau ngapain?”

“Cari pelakunya.” jawab Arina singkat meski dia sudah tahu bahwa Hani lah yang telah menggarap cowok itu.

Tanpa banyak bicara, Arina langsung jongkok tepat di depan penis Edwin, membuka paha cowok itu dengan kedua tangan, dan melahap penisnya langsung ke dalam mulutnya. Edwin yang sedang terlelap langsung melenguh saat Arina tiba-tiba menghisap penisnya.

“Ohh… mbak Haniiii… aah… hhh…” desah Edwin.

Arina langsung melepas emutannya dari penis Edwin yang baru saja akan ereksi. Sambil menoleh ke arah Okta yang tampak terkejut dengan kejadian tiba-tiba tersebut, ia berkata singkat, “Maharani Dwi Putrantiwi alias Hani.”

“Wow, mbak. Aku kaget tiba-tiba langsung masuk kamarku dan tau-tau oral penisnya.”

“Hmm, yahh… sebenernya aku udah tahu kalo itu Hani. Cuma mau nyobain aja. Hehehe,” ujar Arina sambil tertawa genit.

“Dasar, mbak ini. Udah lama ya, mbak? Hehehe… si Hani mah, perjakain jatah orang.” dengus Okta sebal sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya yang membuatnya terangkat dan semakin membusung indah.

“Yahh… hampir sebulanan. Hehehe. Makanya vibrator mbak cepet habis baterenya belakangan ini. Hehehe.” Arina tertawa. “Oh ya, kamu mau langsung main lagi apa mandi dulu? Bersihin itu tuh…” tanya Arina sambil menunjuk selangkangan Okta yang masih meneteskan sperma segar dari penis Bang Kiki yang baru saja mencicipi lubang kenikmatannya.

“Duh, iya nih. Masih lemes juga rasanya, pengen mandi dulu. Mbak emang mau ngapain?” tanya Okta.

“Umm… kalo boleh. Selagi kamu mandi, mbak pinjem cowoknya ya.” tanya Arina malu-malu. Sebulan tidak mendapat pasangan pemuas birahi tentu membuat nafsunya bertumpuk. Hal tersebut disebabkan putusnya Hani, Eva, dan Okta dari pacarnya masing-masing.

“Umm… ya udah, mbak. Pake aja dulu. Udah diduluin Hani juga, aku gak masalah nanti terakhir.”

“Wah, oke, Okta! Makasih yaa!!!” Arina kegirangan karena akhirnya bisa memberi makan vaginanya dengan daging asli, bukan daging palsu berwarna putih yang hanya bisa menggali vaginanya tanpa variasi.

Arina langsung masuk ke kamar Okta dan menutup pintunya. Ia terkagum-kagum melihat penis Edwin yang tadinya mengkerut sudah mulai mengembang ke ukuran normal karena hisapannya tadi.

“Dek, Dek,” Arina mencoba untuk membangunkan Edwin, tampaknya ia tidak tertarik untuk bermain di saat Edwin sedang tidur, seperti yang dilakukan Hani.

Edwin perlahan membuka matanya, dilihatnya sosok Arina yang sedang duduk di tepi ranjang sambil tersenyum kepadanya. Saat sepenuhnya sadar, Edwin kaget dan reflek menutup kemaluannya.

“Eh, oh… I-iya. Mbak siapa ya?”

“Kenalin, nama mbak Arina. Mbak juga penghuni kos di sini. Kamu temennya Okta kan?” tanyanya. Melihat Edwin yang terlihat gugup, Arina berusaha menenangkannya, “Udah buka aja. Santai aja kali. Mbak udah biasa lihat penis cowok kok.” lanjutnya.

Mendengar hal itu, Edwin perlahan membuka tangan dari kemaluannya. Dan seperti sulap, penisnya menjadi lebih besar daripada saat sebelum ditutup tadi. Jelas saja, siapa tidak terangsang berduaan saja dengan gadis berkerudung cantik dan berdada montok seperti Arina.

“Gimana?”

“Gimana apanya, mbak?”

“Ah, kamu. Itu, ML sama Okta dan Hani.” tanya Arina penasaran.

“Owhh, baru sama mbak Hani, mbak. Sama mbak Okta cuma baru sempet oral dia aja, belum sempet coba masukin penisku ke vaginanya.” jawab Edwin dengan lebih santai.

“Ohh… Okta lagi mandi sekarang, memeknya habis dipenetrasi sama orang tadi di teras. Dia masih lemes, jadi perlu jeda sebelum main sama kamu.”

“Hah? Mbak Okta diperkosa orang, mbak!?”

“Ummm… yaa, lebih tepatnya ada orang datang, Okta tiba-tiba buka handuk, tiba-tiba penis orang itu di dalam memeknya, semua senang. Nggak diperkosa kok.” jelas Arina. “Sambil nunggu Okta mandi, kamu mau main sama mbak dulu ya?”

“Eh?” Edwin tampak kaget dengan permintaan Arina yang tiba-tiba dan langsung ke poinnya.

“Iya, sejak temen-temen mbak pada putus sama pacarnya, mbak udah lama gak ML, nih. Mumpung ada kamu, mau ya? Gapapa kan sama kerudungan?”

Edwin hanya melongo saat Arina menjelaskan keadaannya. Ia sama sekali tidak menyangka akan bisa mencicipi tubuh gadis berkerudung yang selama ini cuma bisa menjadi fantasi seksnya.

“Kamu ga papa?” tanya Arina yang bingung melihat Edwin terdiam.

“Eh, oh, umm… gak papa kok, mbak. Aku cuma keinget temen SMA-ku. Namanya Syifa, dia kerudungan gitu deh. Waktu study tour ke pantai, aku nggak sengaja pegang dadanya waktu main games. Entah kenapa dia ketagihan, akhirnya kalo senggang dia selalu minta teteknya aku remes-remes. Sampe lulus, aku masih suka remes-remes payudaranya, padahal waktu itu aku punya pacar. Pas dia mau pindah kuliah di Sumatera, dia bilang makasih karena udah bikin dadanya jadi tambah gede. Dan di hari terakhir itu, pertama kalinya dia ngebolehin aku ngisep dada hasil karyaku itu.” cerita Edwin tentang masa SMA-nya.

“Wow, so sweet. Berarti kamu pengalaman sama cewek jilbab ya?” tanya Arina setelah mendengar cerita Edwin.

“Yah, tapi selama 3 tahun aku cuma remes-remes teteknya doang, mbak. Gak ML, nggak ciuman, nggak ngapa-ngapain. Itu pun dari luar baju seragam doang.” jelas Edwin.

“Owhh… kasiaaan. Ya udah, kalo gitu sama mbak aja yuk? Kalo bisa kamu bikin tetek mbak tambah gede juga ya. Hehehe,”

“Ah, punya mbak kan udah gede tuh. Hehehe.”

“Biarin, biar lebih gede dari punya Okta. Haha.”

Tanpa lama, Arina langsung mengarahkan tangan kanannya ke penis Edwin. Diremas-remasnya penis cowok itu dengan lembut, dirasakannya penis itu mengembang sedikit demi sedikit seperti adonan kue. Edwin sendiri menggeser duduknya sehingga kini mereka berdempetan. Ditariknya dagu Arina sehingga kedua bibir mereka mulai beradu.

“Hmmpphhh… hmmppphhhh…” sambil berciuman, Edwin meremas-remas bongkahan dada Arina. Dipijatnya bukit kembar itu dengan lembut. Arina sendiri tidak ketinggalan meremas penis Edwin sehingga batang itu semakin membesar dan tegang.

“Hmmpphh… slurrrppp… sluurrrrpppp…” lidah mereka saling berpagutan di dalam mulut masing-masing. Edwin memejamkan mata, berusaha menikmati bibir tipis Arina. Dikenyotnya bibir merekah itu sambil terus meremas dada Arina yang tampak semakin besar karena terangsang.

Arina meremas-remas batang Edwin seperti sedang memerah susu sapi. Dirasakannya batang itu semakin besar sehingga tangan mungilnya semakin kesulitan memerahnya. Edwin hanya menikmati momen sensual bersama karyawati berjilbab itu, seakan tidak ingin melepaskan kesempatan emas di depan mata untuk menikmati tubuh gadis berjilbab.

Keduanya saling melenguh, menikmati bibir dan remasan satu sama lain. Sudah hampir 20 menit mereka saling berpagut dan meremas. Penis dan payudara keduanya sudah tampak menegang maksimal, siap digarap lebih jauh lagi.

“Hhh… hhh… hhh… Dek, mbak mau tanya,” kata Arina sambil terengah-engah.

“Hhh… hhh… hhh… a-apa, mbak?”

“Kamu punya fantasi seksual?”

Edwin tersenyum mendengar pertanyaan Arina

***

Edwin memegang sebuah pisau. Sambil telanjang, ia berjalan pelan mengitari sebuah tubuh seksi berbungkus jilbab yang sedang duduk di sebuah kursi kayu. Tangan dan kakinya terikat erat dengan tali tambang tipis, sedangkan mulutnya tertutup. Arina terbelalak melihat Edwin menyeringai kepadanya sambil memegang sebuah pisau. Ia merasa sedikit takut, takut karena permintaannya sendiri agar Edwin dapat merealisasikan fantasi seksualnya kepadanya.

Cowok itu mendekati tubuh Arina, dibukanya satu per satu kancing baju gadis itu. Dirasakannya desah nafas yang semakin cepat dari Arina saat Edwin semakin menuju kancing bawah.

“Wooww!!” takjub Edwin saat akhirnya ia disuguhkan kedua bongkahan dada Arina hanya dengan BH. Begitu besar dan menggairahkan, tampak dua gunung Arina mengeras karena sudah diisi birahi oleh jari jemari terampil Edwin.

BRETTT… BRETTTT… SERRRTTTT…!!!

Dengan gerakan pisau yang lihai, Edwin merobek baju Arina, meninggalkan BH dan celana dalam melekat di tubuh gadis itu, dan jilbab tentunya.

Edwin melongo melihat badan Arina yang kini setengah telanjang, begitu putih dan mulus. Tidak ada lipatan di perutnya, begitu rata dan menggairahkan. Pinggang kecilnya membuat Arina tampak memiliki pantat dan payudara besar. Edwin menelan ludah melihat tubuh indah itu terikat tak berdaya, di depannya, di kamar yang tidak ada siapapun kecuali mereka.

SLURRRPPPPP…!!!

Arina mendongak, terdengar lenguhan pelan saat Edwin menjilat belahan dadanya. Ia mencucuk dada besarnya yang hanya tertutup setengah oleh branya yang seksi. Tanpa kesulitan, Edwin melepas kait bra Arina yang berada di depan. Tampaklah kedua gunung kembar gadis itu, begitu besar dan menantang. Puting coklatnya menghias ujung dadanya seperti buah ceri di atas kue tart. Tidak ingin melewatkan pesta, Edwin pun langsung memasukkan ceri coklat itu ke dalam mulutnya, menghisapnya seperti anak kecil mengemut permen favoritnya. Dihisap, diemut, kadang digigit kecil dan ditarik. Edwin membuat Arina bergelinjang dengan permainannya di puttng susu gadis itu.

“Hmmphhhh… hhhmmppphhhh…” Arina tiba-tiba tampak panik saat dilihatnya Edwin mendekatkan mata pisau yang dipegangnya ke puting susunya. Edwin menyeringai kecil. Ditariknya puting susu Arina kuat-kuat dan didekatkannya pisau itu seolah ingin memisahkan puting kecil itu dari dada Arina.

Edwin mulai menggesekkan pisaunya di puting Arina. Arina tampak kesakitan, terlihat dari badannya yang terus bergerak seolah ingin melepaskan diri dari kursi yang mengikatnya tersebut. Kepalanya mendongak, melenguh panjang dan mulai terdengar isakan tangis di baliknya. Edwin terus menikmati gesekan pisaunya dengan puting Arina, gesekan sisi tumpul pisau dengan puting gadis itu benar-benar dinikmati Edwin. Hal yang sama terjadi dengan puting sebelahnya, sehingga tidak terbayang betapa sakitnya Arina karena perlakuan Edwin terhadap puting susunya.

Selesai bermain dengan kedua puting Arina, Edwin mulai melirik ke arah organ intim gadis itu, satu-satunya yang masih tertutup.

BREEETTTT…!!

Satu tarikan, vagina Arina terbuka bebas, menampakkan gundukan daging tebal dengan balutan bulu tipis di sekitarnya. Edwin terbelalak melihat indahnya vagina Arina. Ia mengelusnya, memasukkan jarinya ke dalam, dan sesekali menarik rambut kelamin Arina.

“Mbaak, seksi banget sih?” ujar Edwin pelan sambil perlahan menjilat vagina gadis berjilbab itu, terus naik sampai ia menjilat kedua payudara Arina hingga kemudian berhenti dengan mencium hidung karyawati tersebut.

Arina menggelinjang karena geli oleh serangan lidah Edwin. Edwin terus menyapu seluruh badan Arina tanpa tertinggal setitik pun. Lidahnya berakhir di vagina. Dibukanya lebar-lebar vagina Arina dengan kedua tangannya sebelum lidahnya menyapu bagian dalam lubang pribadi gadis itu. Dirasakannya vagina Arina sudah sangat basah oleh cairan kenikmatannya sendiri. Edwin menjilat dan sesekali menggigit klitoris Arina yang ditemukannya. Arina bergelinjang semakin kuat saat Edwin menggigit dan menarik biji kecil itu, seolah ingin melepasnya dari vagina Arina.

Edwin menghentikan kegiatannya. Ia berdiri memandang Arina yang terengah-engah setelah tubuhnya dijamah habis-habisan oleh cowok itu. Tampak sedikit air mata menitik dari tepi mata Arina, hasil menahan sakit fantasi Edwin terhadap tubuh indah yang telanjang itu.

PLAKK…!!!

Edwin mendapat tamparan keras saat ia memutuskan untuk melepas ikatan Arina dan mengakhiri fantasinya. Arina langsung bangkit dan tanpa pikir panjang mendaratkan tangannya ke pipi Edwin.

“Kamu apa-apaan sih! Aku kira fantasi apa, ternyata seperti itu! Kamu pikir gak sakit apa putingku kamu sayat kayak gitu, klitorisku kamu tarik kayak gitu! Kamu kira… AAAKKKHHHHH…!!!” Arina yang sedang memarahi Edwin mendadak menjerit tertahan saat Edwin menusukkan sesuatu ke tubuh telanjang Arina.

Tubuh Arina bergetar, kepalanya mendongak sambil mulutnya mengeluarkan lenguhan, “Akkhhh… aakkkhhhh…”

Dalam satu serangan tiba-tiba, Edwin menusuk Arina tepat di alat kelaminnya. Tusukan yang begitu dalam hingga mentok ke rahim karyawati bank itu. Arina tidak berdaya di tangan Edwin. Tangan yang saat ini sedang memegang kedua bongkahan pantatnya, mendorong tubuhnya hingga tusukan penis cowok itu di vaginanya mencapai maksimal. Edwin memastikan penis 20 cm-nya menusuk vagina Arina sepenuhnya, seperti yang dilakukannya kepada vagina kecil Hani.

“Akkkhhhh… aaakkkhhhhh…” Arina menjerit kecil karena kelaminnya dipaksa menelan seluruh penis besar Edwin.

Edwin terus menerus mendorong pantat Arina sambil ia sendiri menggoyangkan pinggulnya menusuk-nusuk liang surgawi Arina. Jilbabnya sudah sangat berantakan. Tubuhnya mulai bergetar tanda orgasme hebat akan datang melanda. Edwin yang menyadari hal tersebut semakin cepat mengocok tubuh Arina.

“Sssshhh… aaakkkkkkk… aaaaaaaaaakkkkkk…” pekik Arina saat dirasakannya penis Edwin mendesak rahimnya.

“S-siap… mbak? Akkhhhh…” Edwin memperingatkan Arina bahwa mereka akan segera orgasme hebat.

CROOOT… CROOOT… CROOOOOTTTTT…!!!

Edwin orgasme. Penisnya menyemburkan sperma ke dalam rahim Arina seperti selang air, begitu banyak dan kencang. Tubuh Arina bergetar hebat menerima tembakan peju itu. Lelehan putih sperma tampak mengalir pelan dari celah vagina gadis itu, mengalir turun melalui paha, sebagian langsung menetes ke lantai.

Arina tampak terkulai. Tulangnya serasa dilolosi setelah dilanda orgasme hebat tersebut. Nafasnya tersengal-sengal seolah ia baru saja melakukan olahraga

PLOP!

Begitu bunyi ketika Edwin melepas penisnya dari vagina Arina. Dasar Edwin, penisnya tidak mengecil sedikit pun meski sudah menyemburkan sperma seperti itu. Edwin membopong tubuh lemas Arina ke ranjang. Direbahkannya tubuh telanjang itu dengan kaki terjulur ke lantai. Vagina Arina yang masih melelehkan peju tampak terekspose jelas.

Tidak menyia-nyiakan kesempatan, Edwin mengambil telepon genggamnya dan langsung memotret tubuh indah yang tergeletak hanya tertutup jilbab itu. “Dapet banyak nih gue.” ujarnya salam hati sambil terus mengabadikan tubuh Arina.

“Duh! Tadi gue lupa lagi ngambil foto mbak Hani habis ngentot sama dia.” lanjutnya. Beberapa diambilnya secara selfie. Tampak ia tidur di samping Arina dan mengambil foto mereka berdua, ada juga pose Edwin sedang mengemut puting susunya, sampe pose di mana Edwin foto bersama vagina Arina yang masih mengeluarkan peju dari kelaminnya.

Edwin memang membuat semacam perjanjian dengan teman-temannya, siapapun yang berhasil meniduri cewek selain pacarnya, akan ditraktir teman-temannya yang lain. Sampai saat ini, baru Geri yang sukses mendapat makan dan nonton gratis setelah berhasil menembus memek Shela, adik tingkatnya di kampus, saat diadakan kemping. Shela sendiri memang terkenal binal dan sudah lama tidak perawan, jadi Geri beruntung saat berpasangan dengannya untuk mencari kayu bakar di hutan karena tiba-tiba mahasiswi semester 3 itu menciumnya. Sebagai cowok normal, Geri tentu membalas ciuman tersebut dan berlanjutlah hingga penisnya hinggap di vagina Shela. Berbekal foto dirinya sedang memeluk Shela yang sedang topless dari belakang, Geri langsung makmur saat pulang.

Walau melewatkan tubuh Hani, Edwin tetap merasa menang setelah mendapat bukti fotonya bersama tubuh Arina yang masih tergeletak lemas. Belum lagi setelah ini ia akan mencicipi Okta, semakin makmur lah ia sepulang nanti. Selain Farid, itu pun pacarnya semua, belum ada lagi temannya yang bisa meniduri 3 cewek sekaligus dalam satu hari.

Setelah melihat-lihat foto Arina yang telah diambilnya, Edwin pun kembali bernafsu. Arina yang masih terlihat lemas tidak tahu bahwa akan ada bagian kedua yang diterimanya.

Edwin membalikkan tubuh Arina menjadi tertelungkup, menampakkan bongkahan pantat yang begitu indah dan sekal. “Hhh… hhh… hhh… kamu mau apa lagi, Win?” tanya Arina tanpa bisa mengelak lagi.

Tanpa menjawab, Edwin mengarahkan penisnya ke lubang anus Arina yang tampak masih perawan. Dipegangnya dua bongkah pantat itu dan dibuka sehingga menampakkan lubang kecil anus gadis berjilbab itu.

Tanpa aba-aba dan tanpa belas kasih, Edwin langsung menghujamkan penis besarnya dengan kekuatan penuh, menembus anus Arina dalam sekali hentak.

JLEBBBBB…!!!

“AAAAAAAAAA…!!!”

DINDA

Malam telah larut dimana jarum jam menunjukkan pukul 23.15. Suasana sepi menyelimuti sebuah kost-kostan yang terletak beberapa kilometer dari Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng.. Kost-kostan tersebut lokasinya agak jauh dari keramaian sehingga menjadi tempat favorit bagi siapa saja yang menginginkan suasana tenang dan sepi. Kost-kostan yang memiliki jumlah kamar mencapai 30 kamar itu terasa sepi karena memang baru saja dibuka untuk disewakan,hanya beberapa kamar saja yang sudah ditempati, sehingga suasananya dikala siang atau malam cukup lengang. Saat itu hujan turun lumayan deras, akan tetapi nampak sesuatu telah terjadi disalah satu kamar dikost-kostan itu. Seiring dengan turunnya air hujan,air mata Dinda juga mulai turun berlinang disaat lelaki itu mulai menyentuh tubuhnya yang sudah tidak berdaya itu. Saat ini tubuhnya sudah dalam kekuasaan para lelaki itu, rasa keputus asaan dan takut datang menyelimuti dirinya.

Beberapa menit yang lalu secara tiba- tiba dirinya diseregap oleh seseorang lelaki disaat dia masuk kedalam kamar kostnya setibanya dari sebuah tugas penerbangan. Kedua tangannya langsung diikat kebelakang dengan seutas tali,mulutnya disumpal dengan kain dan setelah itu tubuhnya dicampakkan oleh lelaki itu keatas tempat tidurnya. Ingin rasanya dia berteriak meminta pertolongan kepada teman-temannya akan tetapi kendaraan antar jemput yang tadi mengantarkannya sepertinya sudah jauh pergi meninggalkan kost-kostan ini, padahal didalam kendaraan tersebut banyak teman-temannya sesama karyawan. Dinda Fitria Septiani adalah seorang Pramugari pada sebuah penerbangan swasta, usianya baru menginjak 19 tahun wajahnya cantik imut-imut, postur tubuhnya tinggi dan langsing proporsional. Dengan dianugerahi penampilan yang cantik ini sangat memudahkan baginya untuk diterima bekerja sebagai seorang pramugari. Demikian pula dengan karirnya dalam waktu yang singkat karena kecantikannya itulah dia telah menjadi sosok primadona di perusahaan penerbangan itu. Banyak lelaki yang berusaha merebut hatinya, baik itu sesama karyawan ditempatnya bekerja atau kawan-kawan lainya. Namun karena alasan masih ingin berkarir maka dengan secara halus maksud-maksud dari para lelaki itu ditolaknya. Akan tetapi tidak semua lelaki memahami atas sikap dari Dinda itu. Paul adalah salah satu dari orang yang tidak bisa menerima sikap Dinda terhadap dirinya. Kini dirinya bersama dengan seorang temannya telah melakukan seuatu perhitungan terhadap Dinda.

Rencana busuk dilakukannya terhadap Dinda. Malam ini mereka telah menyergap Dinda dikamar kostnya. Paul adalah satu dari sekian banyaknya lelaki yang menaruh hati kepada dirinya, akan tetapi Paul bukanlah seseorang yang dikenalnya dengan baik karena kedudukannya bukanlah seorang karyawan penerbangan ditempatnya bekerja atau kawan-kawannya yang lain, melainkan dia adalah seorang tukang batu yang bekerja dibelakang kost-kostan ini. Ironisnya, Paul yang berusia setengah abad lebih dan melebihi usia ayah Dinda itu lebih sering menghalalkan segala cara dalam mendapatkan sesuatu, maklumlah dia bukan seseorang yang terdidik. Segala tingkah laku dan perbuatannyapun cenderung kasar, karena memang dia hidup dilingkungan orang-orang yang bertabiat kasar. “Huh rasakan kau gadis sombong !”, bentaknya kepada Dinda yang tengah tergolek dikasurnya.”Aku dapatkan kau sekarang….!”, lanjutnya. Sejak perjumpaannya pertama dengan Dinda beberapa bulan yang lalu, Paul langsung jatuh hati kepada Dinda.

Dimata Paul, Dinda bagaikan bidadari yang turun dari khayangan sehingga selalu hadir didalam lamunnanya. Diapun berniat untuk menjadikannya sebagai istri yang ke-4. Bak bukit merindukan bulan, Paul tidak berdaya untuk mewujudkan impiannya itu. Predikatnya sebagai tukang batu, duda dari 3 kali perkawinan, berusia 51 tahun,lusuh dan miskin menghanyutkan impiannya untuk dapat mendekati sang bidadari itu. Terlebih-lebih ada beberapa kali kejadian yang sangat menyakitkan hatinya terkait dengan Dinda sang bidadari bayangannya itu. Sering tegur sapanya diacuhkan oleh Dinda,tatapan mata Dindapun selalu sinis terhadap dirinya. Lama kelamaan didalam diri Paul tumbuh subur rasa benci terhadap Dinda, penilaian terhadapnyapun berubah, rasa kagumnya telah berubah menjadi benci namun gairah nafsu sex terhadap Dinda tetap bersemi didalam dirinya tumbuh subur menghantui dirinya selama ini.

Akhirnya dipilihlah sebuah jalan pintas untuk melampiaskan nafsunya itu, kalaupun cintanya tidak dapat setidaknya dia dapat menikmati tubuh Dinda pikirnya. Jadilah malam ini Paul melakukan aksi nekat, diapun membulatkan hatinya untuk memberi pelajaran kepada Dinda sekaligus melampiaskan nafsunya yang selama ini mulai tumbuh secara subur didalam dirinya. Kini sang bidadari itu telah tergeletak dihadapannya, air matanyapun telah membasahi wajahnya yang putih bersih itu. “Lihat aku, cewek bangsat…..!”, hardiknya seraya memegang kepala Dinda dan menghadapkan kewajahnya. “Hmmmphh….!!”, jeritnya yang tertahan oleh kain yang menyumpal dimulutnya, mata Dinda pun melotot ketika menyadari bahwa saat ini dia telah berhadapan dengan Paul seseorang yang dibencinya. Hatinyapun langsung ciut dan tergetar tatkala Paul yang berada dihadapannya tertawa penuh dengan kemenangan, “Hahaha….malam ini kamu jadi pemuasku, gadis cantik”. Keringatpun langsung mengucur deras membasahi tubuh Dinda, wajahnya nampak tersirat rasa takut yang dalam, dia menyadari betul akan apa-apa yang bakal terjadi terhadap dirinya. Disaat seperti inilah dia menyadari betul akan ketidak berdayaan dirinya, rasa sesal mulai hadir didalam hatinya, akan sikap- sikapnya yang tidak berhati-hati terhadap Paul. Kini dihadapan Dinda, Paul mulai melepaskan baju kumalnya satu persatu hingga akhirnya telanjang bulat. Walaupun telah berusia setengah abad lebih, namun karena pekerjaannya sebagai buruh kasar maka Paul memiliki tubuh yang atletis, badannya hitam legam dan kekar,beberapa buah tatto menghiasi dadanya yang bidang itu. Isak tangis mulai keluar dari mulut Dinda, disaat paul mulai mendekat ketubuhnya. Tangan kanannya memegang batang kemaluannya yang telah tegak berdiri itu dan diarahkannya kewajah Dinda. Melihat ini Dinda berusaha memalingkan wajahnya, namun tangan kiri Paul secepat kilat mencengkram erat kepala Dinda dan mengalihkannya lagi persis menghadap ke batang kemaluannya.. Dan setelah itu dioles-oleskannya batang kemaluannya itu diwajah Dinda, dengan tubuh yang bergetar Dinda hanya bisa memejamkan matanya dengan erat karena merasa ngeri dan jijik diperlakukan seperti itu. Sementara kepala tidak bisa bergerak-gerak karena dicengkraman erat oleh tangan Paul. “Ahhh….perkenalkan rudal gue ini sayang…..akhhh….” ujarnya sambil terus mengoles-oleskan batang kemaluannya diwajah Dinda, memutar-mutar dibagian pipi, dibagian mata, dahi dan hidungnya. Melalui batang kemaluannya itu Paul tengah menikmati kehalusan wajah Dinda. “Hai cantik !….sekarang sudah kenal kan dengan tongkol gue ini, seberapa mahal sih wajah cantik elo itu hah ? sekarang kena deh ama tongkol gue ini….”, sambungnya. Setelah puas dengan itu, kini Paul mendorong tubuh Dinda hingga kembali terjatuh kekasurnya. Sejenak dikaguminya tubuh Dinda yang tergolek tak berdaya ditempat tidurnya itu. Baju seragam pramugarinya masih melekat rapi dibadannya. Baju dalaman putih dengan dasi kupu-kupu berwarna biru ditutup oleh blazer yang berwarna kuning tua serta rok pendeknya yang berwarna biru seolah semakin membangkitkan birahi Paul, apalagi roknya agak tersingkap hingga pahanya yang putih mulus itu terlihat.

Rambutnya yang panjang sebahu masih digelung sementara itu topi pramugarinya telah tergeletak jatuh disaat penyergapan lagi. “Hmmpphhh…mmhhh…”, sepertinya Dinda ingin mengucapkan sesuatu kepadanya, tapi apa perdulinya paling-paling cuma permintaan ampun dan belas kasihan. Tanpa membuang waktu lagi kini diputarnya tubuh Dinda menjadi tengkurap, kedua tangannya yang terikat kebelakang menempel dipunggung sementara dada dan wajahnya menyentuh kasur. Kedua tangan kasar Paul itu kini mengusap-usap bagian pantat Dinda, dirasakan olehnya pantat Dinda yang sekal. Sesekali tangannya menyabet bagian itu bagai seorang ibu yang tengah menyabet pantat anaknya yang nakal “Plak…Plak…”. “Wah sekal sekali pantatmu…”, ujar Paul sambil terus mengusap-usap dan memijit- mijit pantat Dinda. Dinda hanya diam pasrah, sementara tangisannya terus terdengar. Tangisnya terdengar semakin keras ketika tangan kanan Paul secara perlahan-lahan mengusap kaki Dinda mulai dari betis naik terus kebagian paha dan akhirnya menyusup masuk kedalam roknya hingga menyentuh kebagian selangkangannya. Sesampainya dibagian itu, salah satu jari tangan kanan Paul, yaitu jari tengahnya menyusup masuk kecelana dalamnya dan langsung menyentuh kemaluannya. Kontan saja hal ini membuat badan Dinda agak menggeliat, dia mulai sedikit meronta-ronta, namun jari tengah Paul tadi langsung menusuk lobang kemaluan Dinda. “Egghhmmmmm…….”,Dinda menjerit badannya mengejang tatkala jari telunjuk Paul masuk kedalam liang kewanitaannya itu. Badan Dindapun langsung menggeliat- geliat seperti cacing kepanasan, ketika Paul memainkan jarinya itu didalam lobang kemaluan Dinda.

Dengan tersenyum terus dikorek- koreknyalah lobang kemaluan Dinda, sementara itu badan Dinda menggeliat-geliat jadinya, matanya merem-melek, mulutnya mengeluarkan rintihan- rintihan yang teredam oleh kain yang menyumpal mulutnya itu “Ehhmmmppphhh….mmpphhhh…..”. Setelah beberapa menit lamanya, kemaluan Dindapun menjadi basah oleh cairan kewanitaannya, Paul kemudian mencabut jarinya. Tubuh Dindapun dibalik sehingga posisinya terlentang. Setelah itu roknya disingkapkan keatas hingga rok itu melingkar dipinggulnya dan celana dalamnya yang berwarna putih itu ditariknya hingga bagian bawah Dinda kini telanjang. Terlihat oleh Paul, kemaluan Dinda yang indah, sedikit bulu-bulu tipis yang tumbuh mengitari lobang kemaluannya yang telah membengkak itu. Dengan bernafsunya direntangkan kedua kaki Dinda hingga mengangkang setelah itu ditekuknya hingga kedua pahanya menyentuh ke bagian dada. Wajah Dinda semakin tegang, tubuhnya gentar, seragam pramugarinyapun telah basah oleh keringat yang deras membanjiri tubuhnya, Paul bersiap-siap melakukan penetrasi ketubuh Dinda. “Hmmmmpphhh……….hhhhhmmmmppp…. ..”, Dinda menjerit dengan tubuhnya yang mengejang ketika Paul mulai menanamkan batang kemaluannya didalam lobang kemaluan Dinda. Matanya terbelalak menahan rasa sakit dikemaluannya, tubuhnya menggeliat-geliat sementara Paul terus berusaha menancapkan seluruh batang kemaluannya. Memang agak sulit selain Dinda masih perawan, usianyapun masih tergolong muda sehingga kemaluannya masih sangat sempit. Akhirnya dengan sekuat tenaganya, Paul berhasil menanamkan seluruh batang kemaluannya didalam vagina Dinda.

Tubuh Dinda berguncang-guncang disaat itu karena dia menangis merasakan sakit dan pedih tak terkirakan dikemaluannya itu. Diapun menyadari bahwa malam itu keperawanannya akhirnya terenggut oleh Paul. “Ahh….kena kau sekarang !!! akhirnya Gue berhasil mendapatkan perawan elo !”, bisiknya ketelinga Dinda. Hujanpun semakin deras, suara guntur membahana memiawakkan telinga. Karena ingin mendengar suara rintihan gadis yang telah ditaklukkannya itu,dibukannya kain yang sejak tadi menyumpal mulut Dinda. “Oouuhhh…..baang….saakiitt…banngg….amp uunn …”, rintih Din

“Aakkhh….ooohhhh….oouuhhhh….ooohhhggh… .”, Dinda merintih-rintih, disaat tubuhnya digenjot oleh Paul, badannyapun semakin menggeliat-geliat. Tidak disadarinya justru badannya yang menggeliat-geliat itu malah memancing nafsu Paul, karena dengan begitu otot-otot dinding vaginanya malah semakin ikut mengurut-urut batang kemaluan Paul yang tertanam didalamnya, karenanya Paul merasa semakin nikmat. Menit-menitpun berlalu dengan cepat, masih dengan sekuat tenaga Paul terus menggenjot tubuh Dinda, Dindapun nampak semakin kepayahan karena sekian lamanya Paul menggenjot tubuhnya. Rasa pedih dan sakitnya seolah telah hilang, erangan dan rintihanpun kini melemah, matanya mulai setengah tertutup dan hanya bagian putihnya saja yang terlihat, sementara itu bibirnya menganga mengeluarkan alunan-alunan rintihan lemah, “Ahhh…..ahhhh…oouuhhhh…”. Dan akhirnya Paulpun berejakulasi di lobang kemaluan Dinda, kemaluannya menyemburkan cairan kental yang luar biasa banyaknya memenuhi rahim Dinda. “A..aakkhhh…..”, sambil mengejan Paul melolong panjang bak srigala, tubuhnya mengeras dengan kepala menengadah keatas.

Puas sudah dia menyetubuhi Dinda, rasa puasnya berlipat-lipat baik itu puas karena telah mencapai klimaks dalam seksnya, puas dalam menaklukan Dinda, puas dalam merobek keperawanan Dinda dan puas dalam memberi pelajaran kepada gadis 6cantik itu. Dinda menyambutnya dengan mata yang secara tiba-tiba terbelalak, dia sadar bahwa pasangannya telah berejakulasi karena disakannya ada cairan-cairan hangat yang menyembur membanjiri vaginanya. Cairan kental hangat yang bercampur darah itu memenuhi lobang kemaluan Dinda sampai sampai meluber keluar membasahi paha dan sprei kasur. Dinda yang menyadari itu semua, mulai menangis namun kini tubuhnya sudah lemah sekali. Dengan mendesah puas Paul merebahkan tubuhnya diatas tubuh Dinda, kini kedua tubuh itu jatuh lunglai bagai tak bertulang. Tubuh Paul nampak terguncang-guncang sebagai akibat dari isak tangis dari Dinda yang tubuhnya tertindih tubuh Paul. Setelah beberapa menit membiarkan batang kemaluannya tertanam dilobang kemaluan Dinda, kini Paul mencabutnya seraya bangkit dari tubuh Dinda. Badannya berlutut mengangkangi tubuh lunglai Dinda yang terlentang, kemaluannya yang nampak sudah melemas itu kembali sedikit- demi sedikit menegang disaat merapat kewajah Dinda. Dikala sudah benar-benar menegang, tangan kanan Paul sekonyong-konyong meraih kepala Dinda. Dinda yang masih meringis-ringis dan menangis tersedu-sedu itu, terkejut dengan tindakan Paul.

Terlebih-lebih melihat batang kemaluan Paul yang telah menegang itu berkedudukan persis dihadapan wajahnya. Belum lagi sempat menjerit, Paul sudah mencekoki mulutnya dengan batang kemaluannya. Walau Dinda berusaha berontak namun akhirnya Paul berhasil menanamkan penisnya itu kemulut Dinda. Nampak Dinda seperti akan muntah, karena mulutnya merasakan batang kemaluan Paul yang masih basah oleh cairan sperma itu. Setelah itu Paul kembali memopakan batang kemaluannya didalam rongga mulut Dinda, wajah Dinda memerah jadinya, matanya melotot, sesekali dia terbatuk-batuk dan akan muntah. Namun Paul dengan santainya terus memompakan keluar masuk didalam mulut Dinda, sesekali juga dengan gerakan memutar-mutar. “Aahhhh….”, sambil memejamkan mata Paul merasakan kembali kenikmatan di batang kemaluannya itu mengalir kesekujur tubuhnya. Rasa dingin, basah dan geli dirasakannya dibatang kemaluannya. Dan akhirnya, “Oouuuuhhhh…Dinndaaaa…sayanggg… ..”, Paul mendesah panjang ketika kembali batang kemaluannya berejakulasi yang kini dimulut Dinda. Dengan terbatuk-batuk Dinda menerimanya, walau sperma yang dimuntahkan oleh Paul jumlahnya tidak banyak namun cukup memenuhi rongga mulut Dinda hingga meluber membasahi pipinya. Setelah memuntahkan spermanya Paul mencabut batang kemaluannya dari mulut Dinda, dan Dindapun langsung muntah-muntah dan batuk-batuk dia nampak berusaha untuk mengeluarkan cairan-cairan itu namun sebagian besar sperma Paul tadi telah mengalir masuk ketenggorokannya. Saat ini wajah Dinda sudah acak- acakan akan tetapi kecantikannya masih terlihat, karena memang kecantikan dirinya adalah kecantikan yang alami sehingga dalam kondisi apapun selalu cantik adanya.

Dengan wajah puas sambil menyadarkan tubuhnya didinding kasur, Paulpun menyeringai melihat Dinda yang masih terbatuk-batuk. Paul memutuskan untuk beristirahat sejenak, mengumpulkan kembali tenaganya. Sementara itu tubuh Dinda meringkuk dikasur sambil terisak-isak. Waktupun berlalu, jam didinding kamar Dinda telah menunjukkan pukul 1 dinihari. Sambil santai Paulpun menyempatkan diri mengorek-ngorek isi laci lemari Dinda yang terletak disamping tempat tidur. Dilihatnya album foto- foto pribadi milik Dinda, nampak wajah-wajah cantik Dinda menghiasi isi album itu, Dinda yang anggun dalam pakaian seragam pramugarinya,nampak cantik juga dengan baju muslimnya lengkap dengan jilbab ketika foto bersama keluarganya saat lebaran kemarin dikota asalnya yaitu Bandung. Kini gadis cantik itu tergolek lemah dihadapannya, setengah badannya telanjang, kemaluannya nampak membengkak. Selain itu, ditemukan pula beberapa lembar uang yang berjumlah 2 jutaan lebih serta perhiasan emas didalam laci itu, dengan tersenyum Paul memasukkan itu semua kedalam kantung celana lusuhnya, “Sambil menyelam minum air”,batinnya. Setelah setengah jam lamanya Paul bersitirahat,kini dia bangkit mendekati tubuh Dinda. Diambilnya sebuah gunting besar yang dia temukan tadi didalam laci. Dan setelah itu dengan gunting itu, dia melucuti baju seragam pramugari Dinda satu persatu.

Singkatnya kini tubuh Dinda telah telanjang bulat, rambutnyapun yang hitam lurus dan panjang sebahu yang tadi digelung rapi kini digerai oleh Paul sehingga menambah keindahan menghiasi punggung Dinda. Sejenak Paul mengagumi keindahan tubuh Dinda, kulitnya putih bersih, pinggangnya ramping, payudaranya yang tidak terlalu besar, kemaluannya yang walau nampak bengkak namun masih terlihat indah menghias selangkangan Dinda. Tubuh Dinda nampak penuh dengan kepasrahan, badannya kembali tergetar menantikan akan apa-apa yang akan terjadi terhadap dirinya. Sementara itu hujan diluar masih turun dengan derasnya, udara dingin mulai masuk kedalam kamar yang tidak terlalu besar itu.

Udara dingin itulah yang kembali membangkitkan nafsu birahi Paul. Setelah hampir sejam lamanya memberi istirahat kepada batang kemaluannya kini batang kemaluannya kembali menegang. Dihampirinya tubuh telanjang Dinda, “Yaa…ampuunnn bangg…udah dong….Dinda minta ampunn bangg…oohhh….”, Dinda nampak memelas memohon-mohon kepada Paul. Paul hanya tersenyum saja mendengar itu semua, dia mulai meraih badan Dinda. Kini dibaliknya tubuh telanjang Dinda itu hingga dalam posisi tengkurap. Setelah itu ditariknya tubuh itu hingga ditepi tempat tidur, sehingga kedua lutut Dinda menyentuh lantai sementara dadanya masih menempel kasur dipinggiran tempat tidur, Paulpun berada dibelakang Dinda dengan posisi menghadap punggung Dinda. Setelah itu kembali direntangkannya kedua kaki Dinda selebar bahu, dan…. “Aaaaaaaaakkkkhh………”, Dinda melolong panjang, badannya mengejang dan terangkat dari tempat tidur disaat Paul menanamkan batang kemaluannya didalam lobang anus Dinda. Rasa sakit tiada tara kembali dirasakan didaerah selangkangannya, dengan agak susah payah kembali Paul berhasil menanamkan batang kemaluannya didalam lobang anus Dinda. Setelah itu tubuh Dindapun kembali disodok-sodok, kedua tangan Paul meraih payudara Dinda serta meremas-remasnya. Setengah jam lamnya Paul menyodomi Dinda, waktu yang lama bagi Dinda yang semakin tersiksa itu. “Eegghhh….aakkhhh….oohhh…”, dengan mata merem-melek serta tubuh tersodok- sodok Dinda merintih-rintih, sementara itu kedua payudaranya diremas-remas oleh kedua tangan Paul. Paul kembali merasakan akan mendapatkan klimaks, dengan gerakan secepat kilat dicabutnya batang kemaluan itu dari lobang anus Dinda dan dibaliklah tubuh Dinda itu hingga kini posisinya terlentang.

Secepat kilatpula dia yang kini berada diatas tubuh Dinda menghujamkan batang kemaluannya kembali didalam vagina Dinda. “Oouuffffhhh……”,Dinda merintih dikala paul menanamkan batang kemaluannya itu. Tidak lama setelah Paul memompakan kemaluannya didalam liang vagina Dinda “CCREETT….CCRROOOT…CROOTT…”, kembali penis Paul memuntahkan sperma membasahi rongga vagina Dinda, dan Dindapun terjatuh tak sadarkan diri. Fajar telah menjelang, Paul nampak meninggalkan kamar kost Dinda dengan tersenyum penuh dengan kemenangan, sebatang rokok menemaninya dalam perjalanannya kesebuah stasiun bus antar kota,sementara itu sakunya penuh dengan lembaran uang dan perhiasan emas. Entah apa yang akan terjadi dengan Dinda sang pramugari cantik imut-imut itu, apakah dia masih menjual mahal dirinya. Entahlah, yang jelas setelah dia berhasil menikmati gadis cantik itu, hal itu bukan urusannya lagi.

RIF’AH 3

Rif’ah keluar dari kampusnya. Gadis cantik berjilbab ini sempat gelisah ketika dia menghubungi HP Ummu Nida ternyata HP tersebut tidak aktif namun kemudian dia baru ingat kalau nomor HP Ummu Nida ada dua yang sayangnya nomor satunya dia tidak punya. Tiba-tiba Rif’ah pun teringat Abu Nida dan  seingatnya dia sempat menyimpan nomor HP suami Ummu Nida ini. Nomor HP suami Ummu Nida terekam di HP miliknya ketika beberap waktu lalau, Ummu Nida meminjam HPnya untuk mengontak suaminya. Begitu nomor HP Abu Nida diketemukannya, Rif’ah pun segera menulis SMS menanyakan nomor HP Ummu Nida yang satunya kepada Abu Nida.

Semenit kemudian datang balasan dari Abu Nida yang kini berada di tempat mertuanya untuk menjemput Nida dan Yasmin. Tapi balasan sms itu membuat Rif’ah terkejut luar biasa.

Dengan dahi berkerenyit dan tubuh gemetar dibacanya sms balasan dari suami Ummu Nida ini.

“Oh..ini ukhti Rif’ah ya?baru tahu nomernya…gimana? kerasan khan tinggal di rumah…tiap malam liat live sex “

Dengan tangan gemetar Rif’ah mereplay

“Maksud Abu Nida apa?”

Sesaat kemudian datang balasan dari Abu Nida

“Tiap malam aku main dengan istriku, aku lihat ada jemari kaki yang indah melalui bawah pintu kamar dan aku yakin itu bukan jemari tikus atau kucing dan bukankah ukhti Rif’ah kehilangan pin jilbab berlogo PKS di depan pintu kamar kami?”

Jantung Rif’ah serasa berhenti berdetak membaca sms dari suami Ummu Nida ini. Rif’ah memang sempat kehilangan pin jilbab berlogo PKS pada suatu malam, dan esok paginya dicari-cari tidak ketemu.

Rif’ah tidak membalas sms tersebut, ternyata sms dari Abu Nida berlanjut.

“Sebenarnya jadwalku bersenggama dengan istriku dua kali seminggu…tapi karena aku tahu ada seorang gadis cantik yang menonton….aku jadi bersemangat menambahnya..”

Tubuh Rif’ah menjadi lemas sementara wajahnya memerah membaca sms-sms tersebut. Bahkan kemudian datang mms berupa foto yang ketika dibuka membuat Rif’ah terpekik lirih.

Dalam foto tersebut tampak jelas gambar dia sedang mengintip melalui lubang pintu kamar mereka walaupun suasana agak remang-remang. Agaknya diam-diam Abu Nida merekam aktivitasnya mengintipnya bersama istrinya. Kalau dilihat dari fotonya, Rif’ah menduga kamera atau HP tersebut di letakkan di atas komputer di rumah tersebut.

Rif’ah tak bisa berkata apa-apa  dan tubuhnya menjadi sangat lemas tak bertenaga. Belum hilang keterkejutannya tiba-tiba Abu Nida menelpon. Rif’ah sempat beberapa lama tak berani mengangkatnya namun kemudian dengan dada berdebar kencang, akhwat cantik ini pun mengangkat telepon.

“Rif’ah?” terdengar suara di seberang yang dikenal baik sebagai suara Abu Nida.

“Iyy..Ya..”jawab Rif’ah tergagap.

“Saya punya rekaman film Rif’ah mengintip saya dan istri dan istri saya belum tahu….”

“Terus..?”

“Kalau ukhti berpandangan nggak disampaikan ke istri nanti aku kasih tahu dia”

“Jangan!” sergah Rif’ah seketika

“Aku juga punya rekaman ukhti Rif’ah di kamar mandi.. terpaksa aku buat karena anti lebih dulu melihat tubuh bugil kami.. cuman sayang gambarnya tidak terlalu jelas.”

Tubuh Rif’ah kejang mendengarnya

“Tapi tenang aja..tidak akan jatuh ke orang lain jadi tidak perlu khawatir akan tersebar di internet”

Rif’ah gemetar memegang handphonenya.

“Abu Nida mau memerasku.?” tanya Rif’ah terbata-bata

“Tidak…aku lihat ukhti sangat cantik…Jujur aku tertarik dan aku lihat anti sering curi-curi pandang ke arahku jadi sebenarnya kita sama-sama tertarik khan…..aku butuh istri kedua…Ummu Nida sudah mulai tidak bergairah…Aku ingin anti menjadi istriku…kita kawin di bawah tangan”

Wajah Rif’ah merah padam mendengarnya. Akhwat PKS ini menggigit bibirnya kuat-kuat Akhwat PKS ini tidak menyangka akan menghadapi masalah serumit ini.

“Gimana ukhti….secepatnya ana tunggu jawaban anti! Anti harus mau!”

Rif’ah terpaku tak menjawab apapun.

Di mata Rif’ah, Abu Nida cukup tampan walaupun telah berusia 40 tahun menurut pengakuan Ummu Nida dan yang paling mendebarkan jantungnya, alat vitalnya berukuran istimewa sehingga membuatnya sering mengkhayalkan laki-laki ini menyetubuhinya. Tapi untuk menjadi istri kedua dan kawin di bawah tangan adalah sebuah pilihan yang berat.

“Baik dua hari lagi aku kontak lagi…untuk memastikan anti mau”ujar Abu Nida mengakhiri telponnya.

Rif’ah termangu-mangu. Tubuh akhwat PKS cantik ini menjadi lemas dan akhirnya hanya duduk termenung di bangku taman kampusnya. Untuk kembali ke rumah Ummu Nida sebuah hal yang tidak mungkin setelah mendapat telpon dari Abu Nida seperti itu. Kmebali ke kostnya yang dulu, ada Faizah. Senja mulai membayang

Sementara itu di saat yang bersamaan itu di kantor DPD PKS Kota, tiga perempuan berjilbab lebar terlihat duduk di ruang tamu. Tiga teh botol yang hampir kosong terletak di depan mereka masing-masing. Sudah hampir satu jam ketiganya berbincang di ruang itu bahkan sempat makan siang. Ketika perempuan itu tak lain adalah Ummu Rosyid, Ummu Nida serta Faizah. Dari ketiga perempuan itu yang paling banyak diam adalah Ummu Nida bahkan wajah ummahat beranak tiga ini tampak pucat.

“Jadi mulai hari ini komandan Santika dipegang dik Faizah” ujar Ummu Rosyid.

Faizah yang siang ini memakai jilbab warna hijau mengangguk-angguk sembari tersenyum senang mendengarnya.

“Bukankah begitu Um?”tanya Ummu Rosyid kepada Ummu Nida yang berwajah paling cantik ini diantara ketiganya namun wajah cantik itu terlihat pucat.

Ummu Nida yang banyak termenung itu mengangguk lemah. Sekilas Ummu Nida melirik Faizah namun kemudian dia memalingkan wajahnya ketika melihat Faizah juga tengah memandangnya. Ummahat penyandang sabuk hitam ini masih belum percaya kalau dia kalah dari Faizah. Tapi memang di luar dugaan, kemampuan bela diri Faizah ternyata berada di atasnya. Walaupun dalam karate Faizah cuma sebagai penyandang sabuk hijau, namun akhwat hitam manis ini ternyata menguasai beberapa ilmu beladiri lainnya sehingga membuatnya begitu perkasa. Selain itu usianya juga jauh lebih muda dibanding Ummu Nida yang sering kehabisan nafas dan satu faktor kekalahannya adalah selama seminggu ini dia kehabisan tenaga disetubuhi suaminya berturut-turut tiap malam.

“Baiklah kalau begitu, saya pamit dulu ada acara…nanti mohon Ummu Nida menyampaikan kepada DPW tentang pergantian ini, untuk DPD biar saya sampaikan langsung kepada suami..jadi Ummmu Nida nanti pulang sama Faizah” kata Ummu Rosyid yang kebetulan suaminya adalah ketua DPD.

Ummu Nida kembali mengangguk lemah. Ummahat tiga anak ini berdiri ketika Ummu Rosyid berdiri pamit pulang namun ketika hendak menyalami Ummu Rosyid, Faizah pun berdiri ikut menyalami Ummu Rosyid membuat Ummu Nida mengurungkan niatnya. Faizah terlihat menyalami Ummu Rosyid saling menempelkan pipi dan kemudian berpelukan. Ketika berpelukan itu tangan Faizah sempat meremas pantat Ummu Rosyid yang kebetulan memang montok.

“Ih..anti ini kebiasaaan…remas pantat orang sembarangan!”ujar Ummu Rosyid

Faizah tertawa namun Ummu Nida yang melihat kejadian ini segera membuang muka.

Ketika Ummu Rosyid menyalami Ummu Nida, Ummu Nidapun berdiri bahkan kemudian mengantar Ummu Rosyid hingga ke pintu.

“Faizah itu berbahaya buat akhwat PKS” desis Ummu Nida.

“Kenapa?” tanya Ummu Rosyid

Ummu Nida hendak menjawabnya namun tiba-tiba Faizah telah berdiri di belakangnya membuat Ummu Nida terdiam.

“Ya sudah pamit dulu” ujar Ummu Rosyid berpamitan.

Kedua perempuan berjilbab lebar ini hanya memandangi Ummu Rosyid meninggalkan halaman DPD PKS.

“ Mbak bilang apa sama Ummu Rosyid?”tanya Faizah

“Nggak bilang apa-apa” jawab Ummu Nida dan ummahat beranak tiga ini tersentak ketika kemudian Faizah memeluknya dari belakang.

“Faizah….Faizah apa nggak sadar kalau perbuatan kamu itu nista dan nggak wajar”

“Sudahlah..nggak usah berkhutbah…mbak telah berjanji menjadi pengganti Rif’ah kalau mbak kalah….”desis Faizah dengan tangan menyusuri pantat Ummu Nida yang masih berbalut jubah panjang tersebut.

“Pantat yang bahenol…mbak lebih montok dan menggairahkan dibanding Rif’ah” kata Faizah sambil meremas-remas pantat Ummu Nida yang memang montok dan kenyal tersebut.

”Aku suka bau keringat mbak….Rif’ah terlalu wangi membosankan walaupun gadis itu sangat cantik dan bertubuh sintal, tapi mbak montok dan payuadar mbak gede”

            Tiba-tiba Ummu Nida merasa curiga kalau Faizah bukan perempuan tapi dia adalah laki-laki yang menyusup di barisan akhwat PKS. Dalam keadaan dipeluk Faizah dari belakang, salah satu tangan Ummu Nida membekap selangkangan Faizah.

Faizah terkejut dengan perbuatan Ummu Nida namun sesaat kemudian akhwat hitam manis ini tertawa panjang.

“Tenang mbak….aku bukan laki-laki yang menyamar, kalau pengen lihat..ayo ke kamar” ujar Faizah sambil menarik Ummu Nida ke salah satu kamar di kantor DPD PKS kota. Kamar tersebut adalah salah satu kamar dari tiga kamar di kantor DPD PKS sebagai tempat istrirahat personil atau transit tamu-tamu dari luar kota. Fasilitas dalam kamar tersebut sangat sederhana, sekedar sebuah pembaringan lengkap dengan bantal guling serta satu set meja dan kursi.

Dalam kamar itu, Ummu Nida duduk di kursi memandang Faizah yang berdiri di depannya.

“Sekarang mbak yang montok, liat baik-baik..apakah aku punya kontol atau tidak”kata Faizah sambil tersenyum.

Pertama kali Faizah melepas sepasang kaus kaki yang membungkus kedua kakinya kemudian disusul jilbab lebar warna hijau yang dipakainya hingga terlihat rambutnya yang dipotong pendek seperti polwan.  Ummu Nida tercekat melihat Faizah berpotongan rambut cepak karena baru pertama kali ini melihat Faizah tanpa jilbab.

Setelah itu Faizah melepas jubah panjang  warna coklat yang dipakainya sehingga  Faizah kini hanya terlihat memakai bh warna hitam sementara bagian bawahnya memakai celana training warna coklat gelap. Ummu Nida  melihat Faizah adalah seorang akhwat yang berotot bahkan payudaranya pun tergolong kecil.

Tanpa memperdulikan pandangan Ummu Nida, Faizah melepas BH yang membungkus buah dadanya kemudian celana training yang menutup bagian bawah tubuhnya.. Ummu Nida terkejut ketika melihat Faizah ternyata tidak memakai celana dalam sehingga ketika celana training itu terlepas dari tubuhnya, tubuh Faizahpun bugil tanpa selembar benangpun di tubuhnya.

“Gimana mbak?…aku nggak punya penis khan”

Ummu Nida terdiam, ummahat tiga anak ini ternganga melihat tubuh Faizah bugil di depannya saat ini.Baru pertamakali ini Ummu Nida  melihat Faizah dalam keadaan bugil tanpa selembar benangpun di tubuhnya seperti saat ini.

Tubuh akhwat PKS yang satu ini memang terlihat perkasa apalagi kulitnya yang kecoklatan mengesankan keperkasaannya, walaupun di dadanya tumbuh sepasang payudara berukuran 32 dengan puting susu coklat gelap serta kemaluannya adalah kemaluan wanita. Satu hal yang tak diduga Ummu Nida, ternyata Faizah mempunyai kemaluan dengan rambut yang lebat sehingga sebagian kemaluan Faizah yang cukup montok membukit itu tertutupi oleh lebatnya rambut kemaluannya.

Ummu Nida tidak sempat berpikir lama karena kemudian Faizah yang bugil ini menariknya untuk berdiri lantas memeluknya

“Ayo mbak…mbak juga buka seluruh pakaian mbak” desis Faizah.

Tubuh Ummu Nida mengejang ketika dengan bernafsu Faizah melumat bibirnya sementara tangannya mulai menggerayangi dadanya di balik jilbabnya mencari kancing jubah.

Tanpa di duga keduanya tiba-tiba sebuah mobil masuk ke halaman kantor DPD PKS kota itu. Faizah yang terkejut melepaskan pelukannya kepada Ummu Nida.

“Siapa sih…ngganggu aja!!”umpat Faizah kesal yang lantas dengan tergesa-gesa gadis ini memakai jilbab dan jubahnya tanpa memakai apapun di baliknya.

Ummu Nida pun sejenak merapikan diri ketika di dengarnya ketukan dan salam di pintu.

“Mbak masih hutang sama aku..!” desis Faizah kesal.

Ternyata yang datang adalah Mufidah bersama suami dan kedua anaknya. Ummu Nida dan Faizah menyambut Kabid Kewanitaan DPD yang baru ini. Ummu Nida menyalami Mufidah dengan hangat dan memeluknya sembari menempelkan kedua pipinya. Faizah berbuat yang sama hanya ketika memluknya, tangan Faizah sempat mermas pantat montok Mufidah yang membuat ummahat ini tersentak kaget. Faizah tersenyum. Kekesalannya sedikt terobati karena yang datang adalah seoarang ummahat yang cantik yang dikenalnya sebgai Kabid Kewanitaan DPD menggantikan Ummu Nida yangs ekarang duduk di DPW.

“Saya nyari Ummu Nida….di rumah kosong….terus tadi ketemu Ummu Rosyid katanya Ummu Nida di kantor DPD… ya sudah saya kesini”

Ummu Nida pun tersenyum , wajah ummhata ini tampak leg dan cerah melihat kedatangan Mufidah. Kedua ummahat inipun masuk ke ruangan bagian kewanitaan meninggalkan Faizah sendirian..

“Sebentar ya ukht…”ujar Mufidah.

Faizah mengangguk sedikit kesal. Melihat Mufidah, timbul hasrat kepada ummahat yang satu ini. Faizah  berencana untuk bisa menikmati tubuhnya suatu saat nanti.

Untuk mengusir kekesalannya, Faizah pergi ke teras mencari udara segar. Dilihatnya sebuah Corolla lama terparkir dengan suami Mufidah di dalamnya bersama kedua anaknya yanga agaknya tertidur pulas. Faizah kemudian duduk di lantai teras yang bersih itu sambil membaca sebuah buku.

Dalam corolla merah itu, suami Mufidah melihat seorang akhwat tampak keluar dari kantor DPD PKS lantas duduk di teras. Wajah akhwat itu manis dengan kulit yang kecoklatan dan tubuh yang montok. Melihat wajah akhwat tersebut, suami Mufidah rasanya pernah mengenalnya. Diperhatikannya baik-baik wajah tersebut dan suami Mufidah ini merasa yakin dia mengenal akhwat ini atau mungkin mirip dengan seoarang yanmg dikenalnya.

Faizah yang melihat suami Mufidah ini tengah memperhatikannya tiba-tiba timbul keinginan akhwat ini untuk menggoda suami Mufidah. Dengan tetap membaca buku, kedua lutut Faizah diangkat sehingga dengan posisi seperti ini, Faizah yakin bagian bawah tubuhnya yang siang ini memaki jubah panjang akan terbuka dan terlihat oleh suami Mufidah.

Memang betul dugaan Faizah karena memang suami Mufidah yang bernama Syamsul ini  tengah terkejut ketika dia melihat akhwat yang tengah diperhatikannya itu tiba-tiba merubah posisi duduknya. Dalam posisi duduk seperti itu, terlihat jelas bagian bawah tubuh akhwat tersebut terbuka sehingga Syamsul leluasa melihat betis, paha bahkan selangkangan akhwat tersebut.

Dada Syamsul berdegup kencang ketika melihat akhwat tersebut ternyata tidak memakai celana dalam dan laki-laki ini melihat akhwat tersebut mempunyai bulu-bulu kemlauan yang lebat. Dalam sekejap kontol suami Mufidah ini mengeras melihat selangkangan Faizah yang menggiurkan. Syamsul tidak tahu bahwa Faizah memang sengaja memamerkan bagian tubuhnya yang paling rahasia itu kepada dirinya.

Keasyikan Syamsul hilang ketika dia melihat istrinya keluar dari kantor DPD PKS bersama seorang perempuan berjilbab lebar yang berwajah cantik. Syamsul melihat istrinya melambaikan tangan memanggilnya. Syamsul keluar dari mobil setelah melihat kedua anaknya masih tertidur pulas dalam mobil.

Syamsul menghampir para perempuan berjilbab lebar ini. Faizah yang semula duduk di teraspun kini berdiri. Begitu Syamsul mendekat, giliran Faizah yang terkejut melihat suami Mufidah ini.

“Bang Syamsul!” desis Faizah di sela keterkejutannya.

Syamsul yang mendengar namanya disebut memperhatikan Faizah lebih seksama dan bebrepa detik kemudian laki-laki ini terkejut pula.

“Femmy??”tanya Syamsul agak ragu.

Faizah mengangguk. Femmy adalah nama aslinya

“Lho abang sudah kenal dengan akhwat ini?”sergah Mufidah dengan nada cemburu.

Syamsul mengangguk

“Dia adiknya Hendrik yang sering ke rumah kita dan kita punya hutang kepada Hendrik”

“Ya..dan bang Syamsul punya hutang 25 juta kepada bang Hendrik. Minggu ini dia akan datang ke kota ini, dia sudah beli rumah di sini” timpal Faizah

Giliran Mufidah yang terkejut mendengarnya. Wajah cantik ummahat berusia 32 tahun ini tegang dan tubuhnya gemetar. Bukan karena jumlah hutang yang disebut Faizah, tapi nama Hendrik yang membuat tubuh ummahat ini gemetar.

Bagi Mufidah, Hendrik yang dimaksud bukanlah laki-laki yang asing baginya. Selama di Jakarta sudah dua kali laki-laki ini memperkosanya ketika suaminya tidak ada di rumah. Yang membuat Mufidah gelisah karena walaupun dia diperkosa, tapi Hendrik mampu membuatnya menikmati perkosaan tersebut. Mufidah mendesak suaminya pindah ke kota ini untuk menghindar dari Hendrik tapi ternyata laki-laki yang dihindari Mufidah akhirnya muncul juga di kota ini. Suaminya memang belum tahu perkosaan yang menimpanya

“Bang Hendrik memang sedang memburu kalian!”ujar Faizah pendek membuat Syamsul dan istrinya tegang.

“Kapan dia datang? Begitu dia datang akan kami lunasi hutangnya”ujar Syamsul

“Lusa..dan dia sudah aku kasih tahu alamat rumah kalian”

Mufidah gelisah mendengarnya. Teringat kembali ucapan Hendrik kalau dia ketagihan memperkosanya dan dia akan memburu kemanapun Mufidah pergi.

“Ya sudah..aku pamit dulu…tapi Ummu Nida masih punya hutang sama aku…..buat Bang Syamsul bayar aja hutangnya…..yang tadi gratis aja” ujar Faizah sambil tersenyum menggoda.

Syamsul tergagap mendengarnya, sementara Ummu Nida diam tak berkomentar apapun.

Faizah teringat ucapan bang Hendrik kalau dia tergila-gila dengan istri Syamsul dan ternyata memang pantas istri Syamsul membuat abangnya tergila-gila walaupun abangnya telah mempunyai istri. Namun dirinya agaknya juga mulai tergila-gila dengan Mufidah yang berkulit putih mulus itu. Sambil melamunkan Mufidah, Faizah menstarter sepeda motornya meninggalkan halaman DPD PKS kota.

Di mata Faizah, Mufidah mempunyai nilai tengah-tengah diantara Rif’ah dan Ummu Nida. Dari ketiganya yang paling cantik adalah Rif’ah namun yang paling putih kulitnya adalah Mufidah sedangkan tubuh yang paling montok adalah Ummu Nida. Dari ketiga perempuan itu yang baru dinikmati baru Rif’ah sedangkan Ummu Nida nyaris dinikmatinya malam ini dan Mufidah yang berkulit putih itu kini dalam targetnya.

Mendadak Faizah teringat abangnya yang akan datang lusa. Di benak Faizah timbul rencana untuk bekerja sama agar sama-sama menikmati ketiga tubuh wanita PKS yang molek dan menggiurkan itu. Faizah yakin abangnya juga akan tergila-gila bila disodori Ummu Nida yang bertubuh montok dan berkulit kuning langsat serta berwajah cukup cantik ataupun Rif’ah yang berwajah sangat cantik, sintal dan masih perawan. Faizah tersenyum membayangkan semuanya. Selama dia bergabung dengan PKS baru ketiga perempuan inilah yang membangkitkan nafsunya

Setelah tau Faizah masih tetap di PKS, Rif’ah ketakutan sekali. Terpaksa dia untuk sementara pergi dari tempat kosnya dan tinggal bersama Ummu Nida dan suaminya. Malam itu Ummu Nida merasa mengantuk berat. Dia ingin segera tidur, ini membuat Abu Nida suaminya merasa gembira sebab usahanya berhasil. Abu Nida memang telah memasukkan obat tidur cukup banyak dalam minuman istrinya secara diam-diam. Kalau istrinya sudah tidur dia akan bebas menggarap Rif’ah, akhwat cantik yang sudah lama dia inginkan. Sesudah istrinya tidur nyenyak, Abu Nida mengetuk pintu kamar tidur Rif’ah. Rif’ah sudah menduga bahwa yang mengetuk pintu kamar malam-malam begini tentu Abu Nida. Dengan rasa takut dan ingin tahu Rif’ah membuka pintu. Begitu pintu terbuka AbuNida bertanya,”Belum tidur,Rif’ah?” Jawab Rf’ah,”Belum, Bi.”
“Boleh masuk?” desak Abu NIda. Rif’ah keberatan dan berusaha menolak,”Jangan,Bi ntar Ummu tau gimana?” Jawab Abu Nida, “Ah, nggak bakalan tau dia kan sudah tidur!” Karena Rif’ah mau menolak, akhirnya Abu Nida memaksa masuk kamar dan segera mengunci pintu. Tinggallah mereka berdua dalam kamar, sementara Rif’ah masih memakai jilbab dan jubahnya. Rif’ah ketakutan meskipun dia juga sebenarnya senang sudah berdua dengan Abu Nida. Tanpa basa-basi lagi Abu Nida memeluk tubuh Rif’ah yang sintal itu dari depan dan mendaratkan ciuman-ciuman di bibir merah Rif’ah. Rif’ah menggeliat merasakan ciuman-ciuman bibir Abu Nida yang berkumis dan berjenggot lebat itu. Karena terangsang Rif’ah mulai membalas dengan ciuman yang tak kalah agresif.
Tangan Abu Nida mulai meraba tetek Rif’ah dari luar jubah dan jilbabnya. “Jangan Bi, nggak mau”, R1f’ah mencoba menolak. Tapi Abu Nida tidak peduli, bahkan tangannya mulai menyusup di balik jubah dan BH Rif’ah. “Oouuh!”, Rif’ah menjerit, baru kali ini teteknya dipegang tangan lelaki. Abu Nida mulai membuka kancing-kancing jubah Rif’ah, kali ini Rif’ah tidak melawan, rupanya dia juga sudah terangsang berat. Abu Nida mulai mengisap dan menyedot tetek Rif’ah yang masih kencang dan keras itu. Rif’ah mulai mengerang-ngerang tak menentu dan pasrah dengan segala yang dilakukan Abu Nida meski sebelumnya dia menolak mati-matian.
Abu Nida menyingkap jubah Rif’ah dan meraba-raba memek Rif’ah yang mulai basah itu. Rf’ah mencoba menolak tangan Abu Nida,”Jangan Mas, Rif’ah nggak mau.” Entah mengapa Rif’ah mulai memanggil mas kepada Abu Nida. “Nggak apa-apa, ntar juga enak.” kata Abu Nida tanpa peduli atas penolakan Rif’ah. Lalu Abu Nida melorot celana dalam Rif’ah dan menjilat-jilat memek Rif’ah yang masih perawan itu. Rif’ah malu sekali karena memeknya selama ini sangat dijaganya dari lelaki. Abu Nida mulai memain-mainkan lidahnya di memek Rif’ah. Mendapat perlakuan itu Rif’ah merasa jijik. Tapi rangsangan yang kuat membuatnya tidak tahan mulutnya menjerit-jerit tak karuan. “Ooouuuh, Mass, enaak Mass, terusin aja!” Akhirnya keluarlah cairan dari memek Rf’ah. Rif’ah orgasme.
Kesempatan ini tak disia-siakan Abu Nida. Dia bangun dan mengarahkan kontolnya ke memek Rif’ah yang basah itu. Rif’ah mencoba menghindar, tapi karena badannya lemas akibat orgasme tadi, Rf’ah tak berdaya. Abu Nida mulai menusukkan batangnya yang besar dan panjang itu ke memek Rif’ah. Beberapa kali Abu Nida mendorong tapi kontolnya tidak bisa masuk. Memek Rif’ah benar-benar ketat. Akhrinya Abu Nida membuka paha Rif’ah yang berjubah itu selebar-lebarnya dan menusukkan kontolnya dengan keras. Rif’ah menjerit kesakitan, “Ahhh, sakit mass, pelan-pelan dong…..sshhhh… aaaahhh.” Kepala kontol Abu Nida dapat menembus memek Rif’ah, Abu Nida terus mendorong hingga batang kemaluannya dapat masuk semuanya ke memek Rf’ah. Abu Nida mengocok-ngocok kontolnya maju mundur di memek Rfi’ah. Mula-mula Rif’ah masih merasa sakit tapi lama-lama mulai keenakan dan mengimbangi gerakan dan goyangan Abu Nida. Akhirnya sesudah 1/2 jam Rif’ah menjerit karena memeknya yang berdenyut-denyut itu mulai mengeluarkan cairan orgasmenya. “Masss, aku keluar masss!!!” jerit Rf’ah dengan penuh nafsu memeluk Abu Nida. Abu Nida pun mulai nggak tahan dan memeluk tubuh Rif’ah yang sintal dan padat itu erat-erat. Tubuh Abu Nida mengejang dan menyemburkan air maninya ke rahim Rif’ah. Lalu keduanya terbaring lemas kehabisan tenaga.
“Makasih ya Rif’ah!” kata Abi Nida. Rif’ah tidak menjawab, air mata menetes di pipinya. Perawannya direnggut oleh ikhwan seiornya sendiri. Sejak itu kapan saja Abu Nida mau, Rif’ah harus bersedia dientot. Kalau tidak adegan tadi yang secara diam-diam sudah direkam Abu Nida akan disebar luaska. Ah, kasihan Rif’ah

Sejak itu Rif’ah tidak bisa lagi melepaskan diri dari Abu Nida, selain diancam akan diedarkannya rekaman-rekaman bugilnya Rif’ah sendiri memang ketagihan untuk ngentot dengan Abu Nida. Tapi rupanya ada juga orang-orang lain yang sedang mengincar Rif’ah, akhwat muda yang cantik ini. Salah satunya adalah Mas Syamsul, suami Mufidah dan juga Hendrik, abangnya Faizah alias Femmy itu

INTAN

Intan merupakan seorang mahasiswi kedokteran dari sebuah universitas swasta di Yogyakarta yang terkenal memiliki banyak mahasiswi cantik-cantik serta seksi. Tidak hanya itu saja, disana juga banyak mahasiswi yang katanya bisa di-booking, walaupun dengan harga mahal tentunya. Intan sendiri merupakan mahasiswi kedokteran yang sebentar lagi akan melakukan praktek di daerah terpencil di daerah Purwokerto, Jawa Tengah.

Intan mempunyai seorang pacar yang bernama Rangga, dia hanyalah seorang buruh pabrik, walaupun begitu tekad kerja keras untuk menjadi tulang punggung keluarganya-lah yang membuat Intan jatuh hati dan akhirnya bersedia menjadi pacarnya. Intan sendiri memakai hijab modern ketika keluar rumah, tapi tidak ketika bersama Rangga, seperti sore itu di kontrakan Rangga.

“Aaahh.. uuhh.. Ranggaaa.. nikmatnya, sayangg!” teriakan dan desahan nikmat berasal dari bibir seorang calon dokter yang sehari-harinya berhijab, Intan. Dia sedang mendaki bukit kenikmatan bersama kekasihnya, Rangga. Seperti biasa, sore itu ketika semua teman Rangga pulang ke kampung halamannya masing-masing, dia mengayuh perahu birahi bersama Intan.

“Uuuhh.. memek kamu enak banget ngejepit kontol aku, sayangg.. uuhh!” Rangga hampir tidak tahan untuk menyemprotkan isi testisnya ketika Intan berkata, “Iya, kontol kamu juga nusuk banget ke dalem memek aku, bebbb!”

Intan yang saat itu hanya tinggal memakai bra, masih menggoyang pantatnya di atas pangkuan Rangga. “Uuuhh.. kamu kuat banget sih, sayangg? Udah 15 menit belum keluar juga! Uuuhh!” Rambutnya yang tergerai panjang membuat kesan menggairahkan bagi Rangga.

“Aku udah mau keluar, Yang! Uuuhh.. aku harus keluar dimana nih?” Rangga sudah sangat ingin mengeluarkan spermanya dari tadi pagi ketika melihat foto-foto selfie telanjang Intan yang dikirim via Line.

“Di luar, Sayangg! Uhh.. aku masih masa subur soalnya nih. Uuhh.. bareng-bareng ya, sayangg!” Intan mengingatkan.

Crott! Crott! Hampir lima kali semprotan sperma dari penis Rangga akhirnya jatuh ke atas perutnya sendiri ketika penisnya dikeluarkan dari vagina sempit Intan. Intan pun membantu dengan mengocok penis Rangga agar semua isinya keluar, serta sesekali mengulumnya juga.

“Uuuhh.. sayangku Intan, makasih ya buat ngentot sore ini. Uuuhh.. aku keluar banyak banget nih!” Rangga tidak sadar bahwa Intan hampir klimaks tapi belum mencapai puncak orgasme. Oleh karena itu, dia seolah tidak peduli ketika jatuh tertidur dan Intan mengocok vaginanya sendiri dengan dua jari tangannya sendiri.

“Uuuhh.. uuhh.. Rangga, kontol kamu enak banget. Uuhh.. memekku bakal selalu kangen kontol kamu kalo aku udah di Purwokerto! Uuuhh.. kontol kamu boleh aku bawa gak? Uuuhh!” Itulah kebiasaan Intan untuk menaikkan birahinya, bicara kotor. Dan akhirnya, Crott! Crott! Intan mencapai puncak orgasmenya dan ikut tidur di sebelah Rangga yang sudah terlelap lebih dulu. Intan tidak tersenyum.

***

Keesokan harinya..

Intan terbangun dan memakai sebuah kemeja putih polos yang terlalu besar ukurannya karena itu punya Rangga, dan di dalamnya ia tidak memakai daleman. Dia menuju dapur dan mengambil minum ketika ada suara pintu diketuk.

Tok! Tok! Tok!

Intan sempat mengintip dari jendela, dan itu ternyata adalah Pak Jarwo, ketua RT disini. Intan mengenakan hotpants dan mengancingkan kemejanya sampai atas, dia lalu membuka pintu.

“Iya, Pak Jarwo kan? Ada apa ya, Pak?”

“Eh, ada mbak Intan. Begini, mbak, ada sesuatu yang harus dibicarakan. Boleh saya masuk? Mas Rangga-nya ada? Atau teman-temannya yang lain?”

Bingunglah Intan untuk menjawab pertanyaan tersebut, kalau dibilang ada maka teman-teman Rangga akan dipanggil. Tapi kalau dijawab tidak ada, maka Intan dan Rangga akan langsung diarak keliling desa karena dituduh berbuat asusila. Mata Pak Jarwo pun tak pernah lepas dari paha putih milik Intan, wanita yang selama ini tertutup dan memakai hijab ternyata bisa menjadi binal juga, begitulah pikir Pak Jarwo.

“Tidak ada, Pak.” akhirnya Intan menjawab dengan jujur.

Pak Jarwo tersenyum licik. “Ah, begini… tadi malam ada laporan dari warga bahwa mbak Intan menginap berdua disini dengan mas Rangga. Sudah menjadi etika moral disini bahwa hal tersebut tidak diperbolehkan, bisa jadi fitnah bahkan bisa kita arak keliling desa.” Pak Jarwo menjelaskan duduk permasalahan dengan santai.

“Iya, Pak, saya minta maaf. Lain kali tidak akan saya ulangi lagi.” Intan berusaha memilih kata-kata dengan hati-hati agar tidak salah ucap dan supaya kejadian kali ini tidak menjadi buah bibir masyarakat desa. “Oh ya, bapak mau minum apa? Saya bikinkan kopi ya,” Intan berusaha mengalihkan bahan pembicaraan.

“Tapi ada beberapa syarat ketika mbak Intan ingin kejadian ini tidak menjadi besar, mungkin mbak Intan bisa buatkan saya kopi terlebih dahulu.” ujar ketua RT ini dengan begitu santainya.

Intan pun berjalan menuju dapur diikuti ekor mata Pak Jarwo yang sudah sangat lapar untuk menyantap belahan pantat montok kepunyaannya. Diam-diam Pak Jarwo mengikuti Intan ke dapur, dan seketika itu pula mendekap Intan dari belakang dan menutup mulutnya.

“Ini syarat pertama, saya mau kopi susu dan… susunya langsung dari sini.” Pak Jarwo mengelus pelan payudara Intan yang tidak ditutupi bra dan hanya dilapisi oleh kemeja tipis.

Seketika Intan berusaha berontak, tapi apalah daya Intan melawan kekuatan Pak Jarwo. Intan juga takut Rangga terbangun dan memergoki mereka.

“Hmm.. kamu memang binal, pagi-pagi sudah menggoda saya dengan tidak memakai bra dan celana pendek.” ujar Pak Jarwo.

“Intan baru bangun tidur, Pak Jarwo.” Intan sudah memahami maksud dari Pak Jarwo yang mendekapnya saat ini dan mencoba santai. “Pak Jarwo mau pakai susu? Yang kanan apa yang kiri? Aahh..” kata Intan manja. Seketika itu juga Intan berubah menjadi sangat binal dengan harapan permainan ini cepat selesai.

Mendengar Intan yang dipikirnya susah ditaklukan lalu menjadi seperti pelacur, tak ayal penis Pak Jarwo pun menegang kuat bahkan hampir keluar dari celana bahannya karena saking panjangnya.

“Intan, Intan… kamu luarnya saja berhijab, mahasiswi kedokteran, tapi dalamnya tidak beda dengan para perek yang saya temui di jalanan. Kalau begitu langsung masuk ke syarat kedua, kamu harus menjadi budak seks saya.” kata Pak Jarwo sambil tangannya terus menerus meremas payudara besar milik Intan.

“A-apa, Pak? Budak seks? Intan siap memberikan semuanya buat Pak Jarwo kok, Pak Jarwo bisa entot Intan dimanapun dan kapanpun. Uuuhh.. remas terus tetek Intan dong, Pak. Intan yakin kontol Pak Jarwo lebih bisa muasin memek Intan daripada kontol Rangga.. uuhh.. uuhh..” Intan semakin tidak bisa mengontrol kata-katanya ketika dia merasakan kerasnya penis Pak Jarwo yang sengaja digesekkan ke belahan pantatnya.

“Oke, bawa kopi dan susunya ke ruang tamu. Kamu harus telanjang, hanya pakai handuk dan temui saya. Bisa?” Pak Jarwo dengan sangat jumawa memerintah Intan.

Intan pun berbalik dan mengemuti jari-jari tangan Pak Jarwo sambil berkata dengan suara manja, “Apa pun yang Pak Jarwo mau dengan tubuh Intan, Intan akan berusaha muasin Pak Jarwo dan membuat Pak Jarwo setia sama memek Intan. Uuuhh.. Pak Jarwo tunggu aja di ruang tamu, yaa..”

Usai berkata begitu, Pak Jarwo pun akhirnya meninggalkan Intan di dapur dan menuju ruang tamu. Intan sendiri masih merenung di dapur, dia bingung kenapa dia mau mengiyakan permintaan Pak Jarwo untuk melayaninya pagi ini padahal Rangga, kekasihnya yang tampan, masih tidur nyenyak di kamarnya. Tapi Intan tak ingin dia dan Rangga pada akhirnya dituduh berbuat asusila dan diarak keliling desa, mau ditaruh dimana harga diri dan nama baik keluarganya? Padahal sehari-harinya Intan memakai hijab.

Banyak pertanyaan muncul di kepalanya saat itu. Satu hal yang membuat Intan akhirnya mantap menjadi budak seks Pak Jarwo mulai pagi ini adalah ukuran penis Pak Jarwo yang tadi digesekkan ke pantatnya, seakan membelai vagina dan lubang pantatnya. Intan seketika itu juga tersenyum dan membawa kopi panas ke ruang tamu.

“Ini, Pak, kopinya. Intan mau siap-siap dulu, Pak Jarwo tunggu ya..”

Sambil mengelus pantat Intan, Pak Jarwo berkata, “Iya, pelacur, jangan lama-lama ya.. saya tidak punya waktu banyak.” Pak Jarwo tersenyum menjijikkan.

Intan pun berjalan menuju kamar tidur sambil menggoyangkan pantat, mempertontonkan kemontokan tubuhnya pada Pak Jarwo. Sampai di depan pintu, ia menengok ke belakang dan dengan kerlingan mata nakal, Intan menjilat bibirnya sendiri. Uuuh! Penis milik Pak Jarwo sudah tidak tahan ingin segera mencoblos vagina Intan saat itu juga, tapi Pak Jarwo masih bersabar.

Tak berapa lama kemudian, Intan keluar hanya dengan memakai handuk. Ia berjalan menuju ruang tamu dan duduk menyamping di pangkuan Pak Jarwo. “Pejantannya Intan, nih maunya udah diturutin. Sekarang Pak RT cabul ini mau apalagi?” Intan berusaha menjadi pelacur yang baik walau dalam hatinya masih ada sedikit keraguan.

Pak Jarwo yang ditanya seperti itu malah semakin memuncak birahinya, tapi memang beliau adalah pria yang sudah sangat matang, tidak mau terburu-buru. Maka sambil mengelus lengan Intan yang terbuka, ia berkata, “Sekarang berdiri di hadapan saya, buka handuknya, terus rentangkan sambil kamu duduk di pangkuan saya sekarang. Ayo lakukan!!”

Intan segera berdiri, membuka lipatan handuknya dan memperlihatkan vaginanya yang tercukur rapi serta payudaranya yang montok dengan putingnya yang berwarna pink mencuat ke atas, tanda dia sendiri pun sebenarnya dalam kondisi terangsang. Perlahan-lahan dengan menyunggingkan senyum nakal, Intan duduk di pangkuan Pak Jarwo.

“Hmm.. bapak ini banyak maunya deh, aku juga paham kok caranya muasin tua bandot mesum kayak bapak. Bapak tenang aja ya..” Sehabis berkata begitu, Intan perlahan mendekatkan bibirnya yang ranum ke telinga Pak Jarwo, “Jangan selesai terlalu cepat ya, suamiku sayang.” Intan berbisik dengan begitu mesra dan itu membuat jantung Pak Jarwo semakin berdetak kencang.

Intan mengulum telinga Pak Jarwo dengan pelan dan mesra, dengan tangan masih memegang handuk dan memeluk leher Pak Jarwo, seakan-akan mereka tak ingin terlihat orang lain. Pak Jarwo pun tersenyum licik, menyadari ketidakpercayaannya bagaimana begitu mudah ia menaklukkan mahasiswi kedokteran yang sehari-harinya berjilbab ini. Dengan tangannya yang kasar, Pak Jarwo mengelusi buah dada Intan yang hanya bisa dibayangkannya selama ini.

“Uuuhh.. Pak Jarwo nakal ya tangannya. Kok cuma dielus sih, Pak? Diremes juga dong, ini kan punya bapak sekarang. Hihi,” Intan pun mulai terbawa arus birahi ketika bibirnya menyentuh bibir Pak Jarwo yang kental dengan bau tembakau, tapi itu malah menambah gairahnya untuk mengulum bibir pejantan tuanya.

“Uuhh.. hmm.. mmhh.. hmm.. uuhh.. Pak Jarwo lebih aktif dong! Uuuhh.. hmm.. mmhh..” Lidah mereka berdua saling bertautan, beradu seakan saling mendorong keluar. Kecipak suara mereka juga sangat keras karena Pak Jarwo sangat menyukai seks yang sedikit kasar dan berisik, maka dia coba meludahi mulut Intan dan Intan dengan sangat setia menelan semua air liur Pak Jarwo.

Pak Jarwo meremas payudara Intan dengan sedikit kasar, membuat Intan melenguh nikmat. Jari-jari tua itu mulai memilin puting mahasiswi kedokteran tersebut, pegangan tangan Intan pada handuk pun lepas karena Intan tidak tahan dengan sentuhan-sentuhan tangan Pak RT tersebut. Tangan Intan mengelus rambut Pak Jarwo yang sudah memutih dengan penuh rasa sayang.

“Uuuhh.. Pak Jarwooo.. bapak pasti udah lama gak ngerasain tubuh montok kayak Intan ya? Intan pagi ini jadi istri bapak deh, Intan akan bikin bapak ngerasain surga dunia ya.. uuhh..” Intan menarik kepala Pak Jarwo menuju payudaranya, berharap putingnya diemut bibir tua namun menggairahkan tersebut.

“Hmm.. umm.. mmm.. puting kamu memang manis, sama seperti orangnya. Hihi..” Pak Jarwo mencolek dagu Intan sehingga pipi Intan pun semakin memerah mendengar pujian tersebut.

Pak Jarwo terus mengemuti puting Intan dan akhirnya.. mencupang payudara Intan dengan keras dan berisik. “Auuuww!! Pak Jarwo, pelan-pelan dong ah. Intan gak mau Rangga sampe bangun, nanti Intan gak ngerasain kontol Pak Jarwo pagi ini..”

Pak Jarwo melempar handuk yang tadi dipakai Intan, meremas pantat gadis itu dan menciumi lehernya. Pak Jarwo berubah menjadi beringas karena ia sebenernya sudah tidak tahan dengan segala kata-kata yang keluar dari mulut Intan saat ini.

Intan melenguh menahan desahannya yang sebenarnya sudah tidak tertahankan, ia baru ingat bahwa ia lupa mengunci pintu kamarnya dan Rangga bisa keluar sewaktu-waktu. Tapi rasa takut ketahuan malah membuat birahinya makin meningkat. Intan berusaha melepaskan kancing-kancing kemeja Pak Jarwo saat lidah laki-laki itu semakin ganas melumuri lehernya dengan air liur. Intan melempar kemeja Pak Jarwo entah kemana, ia begitu kagum melihat dada bidang Pak Jarwo yang sedikit berbulu.

“Aaaahh.. Pak Jarwo, biarkan saya yang bekerja melayani bapak ya..” Intan tersenyum manja dan turun dari pangkuan Pak Jarwo secara perlahan sambil menciumi leher lelaki tua itu.

“Aaahh.. Intan, kamu memang pintar sekali memainkan lidahmu di kulit bapak, uuhh!” Pak Jarwo baru kali ini dimanjakan oleh lidah seorang perempuan, apalagi ketika ciuman Intan turun menuju putingnya. Gadis itu mencium, menjilat dan sedikit menggigit puting Pak Jarwo.

Birahi Intan sudah tak tertahankan lagi, ia sudah bertransformasi menjadi layaknya pelacur jalanan yang menghamba pada kenikmatan seksual. Ciumannya kembali turun menuju perut Pak Jarwo yang sudah sedikit membuncit, walau begitu sisa-sisa hasil fitness zaman dulu masih terlihat samar. Hmm.. dengan sedikit tergesa-gesa, Intan mencoba melepas ikat pinggang dan celana panjang milik Pak Jarwo, ia sendiri tidak sabar untuk memanjakan kontol yang tadi digesekkan ke belahan pantatnya.

“Pak Jarwo..” Intan memanggil nama ketua RT tersebut sambil mendesah dan mengerlingkan matanya dengan nakal, tangannya meremas penis Pak Jarwo sambil menciuminya dari luar celana dalam.

Ah, bagai mimpi jadi kenyataan bagi Pak Jarwo sendiri, ia bisa mengelusi rambut seorang Intan yang sedang membuka celana dalamnya dan akhirnya mengelus penisnya. Kulit bertemu kulit.

Bagaikan adegan film slow motion, Intan mengecup pelan kepala penis Pak Jarwo. Cup! Lalu ia mulai menjilati pinggiran penis Pak Jarwo, masih dengan gerakan yang lambat karena Intan ingin meresapi rasa penis yang mungkin akan menjadi penis favoritnya untuk selamanya. Intan menjilat penis Pak Jarwo senti demi senti, sambil menutup matanya bagaikan mencoba pertama kali es krim coklat kesukaannya saat SD.

“Hmm.. mmhh.. umm.. Intan suka rasa Pak Jarwo, mulut ini bakal selalu kangen disentuh kontol Pak Jarwo, hmm.. mmm..” Penis Pak Jarwo makin tegang mendengar Intan berkata kotor seperti itu.

Mulailah Intan memasukkan semua bagian penis Pak Jarwo setelah dirasa cukup basah oleh liurnya. Perlahan, sangat pelan, Intan memasukkan semua ke dalam mulutnya, ia ingin penis tersebut menyentuh ujung tenggorokannya. Lalu juga dengan pelan sekali, Intan melepaskan penis tersebut. Cup! Penis tersebut sudah begitu tegang ketika pada akhirnya Intan menghisapnya, dari pelan perlahan menjadi semakin cepat, cepat dan semakin cepat.

“Uhh.. hmm.. mmhh.. hmm.. Pak Jarwo.. hmm.. mmhh!!”

“Iya, mbak Intan? Kontol saya sepertinya jodoh sama mulut mbak, hehe..”

Tapi Pak Jarwo tetaplah seorang pria tua, ia tak akan tahan kalau begini terus. Maka dari itu sebelum spermanya keluar, segera ia membangunkan Intan dan menyuruh gadis itu kembali dipangku olehnya untuk mulai memasukkan penis ke dalam liang vagina Intan yang sudah begitu basah. Intan juga berpikir kalau lama-lama, Rangga bisa bangun dan memergokinya bergumul mesra dengan Pak Jarwo. Maka Intan pun naik dan duduk di pangkuan Pak Jarwo, tangannya yang lembut memegang dan mengarahkan penis Pak Jarwo ke dekat bibir vaginanya.

“Uuuhh.. Pak Jarwo.. puaskan saya ya, Pak.. cup!” Intan mencium pipi keriput Pak Jarwo dan menurunkan tubuhnya perlahan-lahan supaya penis Pak Jarwo bisa masuk secara sempurna ke dalam lorong vaginanya.

“Hhhh… saya tidak menyangka bisa ngentot sama mbak Intan. Tenang aja, bukan Jarwo namanya kalau gak bisa muasin memek perempuan, hehe..” Pak Jarwo membantu dengan menaikkan pinggulnya guna menyambut pantat Intan yang semakin turun menyelimuti penisnya dengan kehangatan liang vaginanya.

“Uuhh.. hhh.. mmhh.. uuhh!!” Intan mulai mendesah ketika ia mulai memompa penis Pak Jarwo dengan vagina sempitnya yang bak perawan. Sambil menggenjot, ia meremas rambut Pak Jarwo dan menciumi pipinya.

“Aahh.. mbak Intan! Uuhh.. uuhh.. memek mbak enak banget, belum pernah saya menikmati memek seperti ini, uuhh!” Darah tua Pak Jarwo mulai berganti menjadi darah muda kembali, tangannya mengelus punggung dan pantat Intan yang sedikit demi sedikit mulai berkeringat. Kecipak pertemuan penis dan vagina perempuan dan lelaki berbeda usia ini begitu berisik, untung saja Rangga memang terbiasa bangun siang karena ini hari Minggu. Intan yang mengetahui hal itu menerima saja tumbukan penis di vagina yang sehari-harinya hanya diisi oleh penis kekasihnya.

“Uuuhh.. teruusshh, Pak Jarwoo.. kontol bapak memang tidak ada duanyaaa!!” Selesai berkata seperti itu, bibir Intan mencium, mengulum bahkan seperti akan memakan bibir Pak Jarwo, begitu ganas, liar dan beringas. Intan terbiasa menerima perlakuan seksual yang lembut dari Rangga, tapi sekarang ia menjadi liar karena kenikmatan yang kelewat batas.

“Uuuhh.. uuuhh.. mbak Intan! Ayo ganti gaya, saya mau mbak nungging, saya mau doggy style! Uuhh.. hhhh!” Pak Jarwo merasa bahwa ia harus mengeluarkan spermanya di vagina Intan, kalau bisa menghamilinya.

Intan akhirnya turun dari pangkuan Pak Jarwo dan dengan berpegangan pada sofa, ia menunggingkan pantatnya yang montok ke arah Pak Jarwo.

Pak Jarwo berdiri dan mencoba memasukkannya ke vagina Intan saat tiba-tiba ia berkata, “Mbak Intan yang binal, rayu kontol saya biar mau masuk ke memek mbak dong, hehe..” Dia tersenyum menjijikkan.

“Uuhh.. Pak Jarwo.” Intan mendesah sambil menggoyangkan pantatnya seakan menyambut penis Pak Jarwo yang semakin mendekat ke liang vaginanya. “Ayo dong kontolku sayang, masuk ke memek aku. Aku udah gak tahan banget pengen disodok sama kamu, terus disemprot pake peju, uuhh!” Intan berkata dengan manja sambil memperlihatkan muka sayu, menggigit jarinya sendiri dan itu cukup membuat Pak Jarwo kembali menusukkan penisnya ke vagina Intan dengan ganas!

“Uuuhh.. uuhh.. dasar perek nakal! Mahasiswi emang semuanya bisa dipake! Uuhh.. uuhh! Ini bapak entot! Uuuhh!” Pak Jarwo menggenjot vagina Intan dengan ganas, sambil menampar pantat gadis itu sampai memerah.

”Uhh! Uhh! Uuhh! Uuhh!” desahan mereka saling bersahutan tetapi tetap berusaha untuk tidak terlalu keras. Intan juga ikut menggoyangkan pantatnya dan mencari kenikmatan dengan menggosok kelentitnya sendiri menggunakan jari-jarinya.

“Uuuhh.. uuuhh.. terus, Pak Jarwooo!! Sudah hampir setengah jam berlalu, bapak belum keluar juga! Uuhhh!” Intan terus mendesah, sebentar lagi ia akan mencapai klimaksnya!

“Aaahhh.. Pak Jarwoo!! Saya keluaarrrrr!! Aaahhhhh!!” Intan mendorong pantatnya ke belakang dengan keras, ia ingin penis Pak Jarwo menyentuh ujung rahimnya.

“Aaaahhhhh.. nikmatnya, Pak Jarwo.. aahhh.. bapak belum keluar ya? Yuk keluarin aja, Pak, di dalem juga gak papa. Hehe..” Kata-kata Intan yang menggoda membuat Pak Jarwo tidak sabar menyirami vagina mahasiswi kedokteran ini dengan spermanya.

“Aaahh.. aahhh!” Pak Jarwo semakin ganas menusuk vagina Intan sampai suara tumbukan antara pantat Intan dan pinggul Pak Jarwo semakin berisik, untung saja tidak berapa lama kemudian Pak Jarwo merasa bahwa spermanya telah berada di ujung penis dan siap untuk ditembakkan.

“Aaahh.. aaahhh! Memek mbak enak banget! Sumpah saya ndak bohong! Aaahhh.. uuuhh.. saya keluar yaaa.. aaaaaaaaahhhhhhhhh!!!” Dengan satu lolongan kuat dan dorongan yang kuat akhirnya sperma Pak Jarwo meluncur masuk ke dalam rahim Intan.

“Aaaahhh.. akhirnya saya bisa puas ngentot sama memek perempuan kayak kamu, uuhh..” Jatuhlah tubuh tua namun masih bertenaga milik Pak Jarwo ke sofa, ia masih menutup mata dan terengah-engah. Belum benar-benar bangun dari kenikmatan surgawi yang baru ia rasakan.

Intan sendiri juga ikut menyusul merebahkan dirinya di atas tubuh Pak Jarwo, ia bersandar pada dada bidang laki-laki itu sambil memainkan penis Pak Jarwo yang masih sedikit tegang namun sangat basah.

“Hmm.. saya puas banget bisa main sama Pak Jarwo.. hmm, kontol bapak sekarang bebas keluar masuk memek saya deh.. oke pejantanku sayang?” Intan sekarang benar-benar manja dan terlihat tidak mau melepas penis milik Pak Jarwo, ia sudah takluk dan menghamba pada kenikmatan seksual yang diberikan oleh Pak Jarwo.

“Iya, mbak, saya juga puas banget. Hhmm.. ya sudah, pokoknya mbak harus janji selalu sedia memek setiap kali saya sange ya, mbak.. hehe, cup!” Pak Jarwo mengecup kening Intan, membuat perempuan itu semakin terbang melayang.

Akhirnya Pak Jarwo memakai kembali pakaiannya dan pergi dari kontrakan Rangga sebelum hari makin siang dan Rangga kembali terbangun. Sebelumnya, Pak Jarwo dan Intan sempat bertukar liur sebelum mereka berpisah.

Ah, hari yang indah! Intan akhirnya mandi dan pulang meninggalkan Rangga yang sebenarnya.. berpura-pura tidur!!

FATMA

Di kantorku ada seorang wanita berjilbab yang sangat cantik dan anggun. Tingginya sekitar 165 cm dengan tubuh yang langsing. Kulitnya putih dengan lengsung pipit di pipi menambah kecantikannya, suaranya halus dan lembut. Setiap hari dia mengenakan baju gamis yang panjang dan longgar untuk menyembunyikan lekuk tubuhnya, namun aku yakin bahwa tubuhnya pasti indah. Namanya Fatma, dia sudah bersuami dan beranak 2, usianya sekitar 30 tahun. Dia selalu menjaga pandangan matanya terhadap lawan jenis yang bukan muhrimnya, dan jika bersalamanpun dia tidak ingin bersentuhan tangan. Namun kesemua itu tidak menurunkan rasa ketertarikanku padanya, bahkan aku semakin penasaran untuk bisa mendekatinya apalagi sampai bisa menikmati tubuhnya…., Ya…. Benar… Aku memang terobsesi dengan temanku ini. Dia betul-betul membuatku penasaran dan menjadi objek khayalanku siang dan malam di saat kesendirianku di kamar kost. Aku sebenarnya sudah berkeluarga dan memiliki 2 orang anak yang masih kecil-kecil, namun anak dan istriku berada di luar kota dengan mertuaku, sedangkan aku di sini kost dan pulang ke istriku seminggu sekali. Kesempatan untuk bisa mendekatinya akhirnya datang juga,

annisa niyan niya jilbab cantik (1)

Ketika aku dan dia ditugaskan oleh atasan kami untuk mengikuti workshop di sebuah hotel di kota Bandung selama seminggu.

Hari-hari pertama workshop aku berusaha mendekatinya agar bisa berlama-lama ngobrol dengannya, namun Dia benar-benar tetap menjaga jarak denganku, hingga pada hari ketiga kami mendapat tugas yang harus diselesaikan secara bersama-sama dalam satu unit kerja.

Hasil pekerjaan harus diserahkan pada hari kelima. Untuk itu kami bersepakat untuk mengerjakan tugas tersebut di kamar hotelnya, karena kamar hotel yang ditempatinya terdiri dari dua ruangan, yaitu ruang tamu dan kamar tidur.

Sore harinya pada saat tidak ada kegiatan workshop, aku sengaja jalan-jalan untuk mencari obat perangsang dan kembali lagi sambil membawa makanan dan minuman ringan.

Sekitar jam tujuh malam aku mendatangi kamarnya dan kami mulai berdiskusi tentang tugas yang diberikan. Selama berdiskusi kadang-kadang Fatma bolak-balik masuk ke kamarnya untuk mengambil bahan-bahan yang dia simpan di kamarnya, dan pada saat dia masuk ke kamarnya untuk kembali mengambil bahan yang diperlukan maka dengan cepat aku membubuhkan obat perangsang yang telah aku persiapkan.

Dan aku melanjutkan pekerjaanku seolah-olah tidak terjadi apa-apa ketika dia kembali dari kamar. Hatiku mulai berbunga-bunga, karena obat perangsang yang kububuhkan pada minumannya mulai bereaksi. Hal ini tampak dari deru napasnya yang mulai memburu dan duduknya gelisah serta butiran-butiran keringat yang mulai muncul dikeningnya. Selain itu pikirannyapun nampaknya sudah susah untuk focus terhadap tugas yang sedang kami kerjakan Namun dengan sekuat tenaga dia tetap menampilkan kesan sebagai seorang wanita yang solehah, walaupun seringkali ucapannya secara tidak disadarinya disertai dengan desahan napas yang memburu dan mata yang semakin sayu.

Aku masih bersabar untuk tidak langsung mendekap dan mencumbunya, kutunggu hingga reaksi obat perangsang itu benar-benar menguasainya sehingga dia tidak mampu berfikir jernih. Setelah sekitar 30 menit, nampaknya reaksi obat perangsang itu sudah menguasainya, hal ini Nampak dari matanya yang semakin sayu dan nafas yang semakin menderu serta gerakan tubuh yang semakin gelisah.

annisa niyan niya jilbab cantik (2)

Dia sudah tidak mampu lagi focus pada materi yang sedang didiskusikan, hanya helaan nafas yang tersengal diserta tatapan yang semakin sayu padaku. Aku mulai menggeser dudukku untuk duduk berhimpitan disamping kanannya, dia seperti terkejut namun tak mampu mengeluarkan kata-kata protes atau penolakan, hanya Nampak sekilas dari tatapan matanya yang memandang curiga padaku dan ingin menggeser duduknya menjauhiku, namun nampaknya pengaruh obat itu membuat seolah-olah badannya kaku dan bahkan seolah-olah menyambut kedatangan tubuhku.

Setelah yakin dia tidak menjauh dariku, tangan kiriku mulai memegang tangan kanannya yang ia letakkan di atas pahanya yang tertutup oleh baju gamisnya. Tangan itu demikian halus dan lembut, yang selama ini tidak pernah disentuh oleh pria selain oleh muhrimnya. Tangannya tersentak lemah dan ada usaha untuk melepaskan dari genggamanku, namun sangat lemah bahkan bulu-bulu halus yang ada di lengannya berdiri seperti dialiri listrik ribuan volt. Matanya terpejam dan tanpa sadar mulutnya melenguh..

”Ouhh….”, tangannya semakin basah oleh keringat dan tanpa dia sadari tangannya meremas tanganku dengan gemas.

Aku semakin yakin akan reaksi obat yang kuberikan… dan sambil mengutak-atik laptop, tanpa sepengetahuannya aku aktifkan aplikasi webcam yang dapat merekam kegiatan kami di kursi panjang yang sedang kami duduki dengan mode tampilan gambar yang di hide sehingga kegiatan kami tak terlihat di layar monitor. Lalu tangan kananku menggenggam tangan kanannya yang telah ada dalam genggamanku, tangan kiriku melepaskan tangan kanannya yang dipegang dan diremas mesra oleh angan kananku, sehingga tubuhku menghadap tubuhnya dan tangan kiriku merengkuh pundaknya dari belakang. Matanya medelik marah dan dengan terbata-bata dan nafas yang memburu dia berkata

“Aaa…aapa..apaan….nih……Pak..?”

Dengan lemah tangan kirinya berusaha melepaskan tangan kiriku dari pundaknya. Namun gairahku semakin meninggi, tanganku bertahan untuk tidak lepas dari pundaknya bahkan dengan gairah yang menyala-nyala wajahku langsung mendekati wajahnya dan secara cepat bibirku melumat gemas bibir tipisnya yang selama ini selalu menggoda nafsuku. Nafsuku semakin terpompa cepat setelah merasakan lembut dan nikmatnya bibir tipis Fatma, dengan penuh nafsu kuhisap kuat bibir tipis itu.

annisa niyan niya jilbab cantik (3)

“Ja..jangan …Pak Ouhmmhhh… mmmhhhh…”

Hanya itu kata yang terucap dari bibirnya.. karena bibirnya tersumpal oleh bibirku.

Dia memberontak.., tapi kedua tangannya dipegang erat oleh tanganku, sehingga ciuman yang kulakukan berlangsung cukup lama.

Fatma terus memberontak…, tapi gairah yang muncul dari dalam dirinya akibat efek dari obat perangsang yang kububuhkan pada minumannya membuat tenaga berontaknya sangat lemah dan tak berarti apa-apa pada diriku. Bahkan semakin lama kedua tangannya bukan berusaha untuk melepaskan dari pegangn tanganku tapi seolah mencengkram erat kedua tanganku seperti menahan nikmatnya rangsangan birahi yang kuberikan padanya, perlahan namun pasti bibirnya mulai membalas hisapan bibirku, sehingga terjadilah ciumannya yang panas menggelora, matanya tertutup rapat menikmati ciuman yang kuberikan.

Pegangan tanganku kulepaskan dan kedua tanganku memeluk erat tubuhnya sehingga dadaku merasakan empuknya buahdada yang tertutup oleh baju gamis yang panjang.

Dan kedua tangannyapun memeluk erat dan terkadang membelai mesra punggungku. Bibirku mulai merayap menciumi wajahnya yang cantik, tak semilipun dari permukaan wajahnya yang luput dari ciuman bibirku. Mulutnya ternganga… matanya mendelik dengan leher yang tengadah…

”Aahhh….. ouh…… mmmhhhh…. eehh… ke.. na.. pa….. begi..nii…ouhhh …”

Erangan penuh rangsangan keluar dari bibirnya disela-sela ucapan ketidakmengertian yang terjadi pada dirinya..

Sementara bibirku menciumi wajah dan bibirnya dan terkadang lehernya yang masih tertutup oleh jilbab yang lebar…, secara perlahan tangan kanan merayap ke depan tubuhnya dan mulai meremas buah dadanya..

”Ouhhh….aahhh…”

Kembali dia mengerang penuh rangsangan. Tangan kirinya memegang kuat tangan kananku yang sedang meremas buahdadanya. Tetapi ternyata tangannya tidak berusaha menjauhkan telapak tanganku dari buahdadanya, bahkan mengarahkan jariku pada putting susunya agar aku mempermainkan putting susunya dari luar baju gamis yang dikenakannya

“ouh…ouh…ohhh…..”

annisa niyan niya jilbab cantik (3)

Erangan penuh rangsangan semakin tak terkendali keluar dari mulutnya Telapak tanganku dengan intens mempermainkan buahdadanya…, keringat sudah membasahi gamisnya…, bahkan tangan kanannya dengan gemas merengkuh belakang kepalaku dan mengacak-ngacak rambutku serta menekan wajahku agar ciuman kami semakin rapat…

Nafasnya semakin memburu dengan desahan dan erangan nikmat semakin sering keluar dari mulutnya yang indah. Tangan kananku dengan lincah mengeksplorasi buahdada, pinggang dan secara perlahan turun ke bawah untuk membelai pingggul dan pantatnya yang direspon dengan gerakan menggelinjang menahan nikmatnya nafsu birahi yang terus menderanya. Tangan kananku semakin turun dan membelai pahanya dari luar gamis yang dikenakannya… dan terus kebawah hingga ke ujung gamis bagian bawah. lalu tanganku menyusup ke dalam sehingga telapak tanganku bisa langsung menyentuh betisnya yang jenjang..

Ouhhh… sungguh halus dan lembut terasa betis indah ini, membuat nafsuku semakin membumbung tinggi, penisku semakin keras dan bengkak sehingga terasa sakit karena terhimpit oleh celana panjang yang kukenakan, maka secara tergesa-gesa tangan kiriku menarik sleting celana dan mengeluarkan batang penisku yang tegak kaku.

Dari sudut matanya, Fatma melihat apa yang kulakukan dan dengan mata yang terbelalak dan mulut ternganga ia menjerit pelan melihat penisku yang tegak kaku keluar dari dalam celana

”Aaaihhh…”.

Dari sorot matanya, tampak gairah yang semakin menyala-nyala ketika menatap penis tegakku. Belaian tangan kananku semakin naik ke atas…., ke lututnya, lalu…. Cukup lama bermain di pahanya yang sangat halus…., Fatma semakin menggelinjang ketika tangan kananku bermain di pahanya yang halus, dan mulutnya terus-terusan mengerang dan mengeluh nikmat

annisa niyan niya jilbab cantik (4)

“ Euhh….. ouhhhh….. hmmmnnn…. Ahhhhh……”

Tanganku lalu naik menuju pangkal paha…., terasa bahwa bagian cd yang berada tepat di depan vaginanya sudah sangat lembab dan basah. Tubuhnya bergetar hebat ketika jari tanganku tepat berada di depan vaginanya, walaupun masih terhalang CD yang dikenakannya…, tubuhnya mengeliat kaku menahan rangsangan nikmat yang semakin menderanya sambil mengeluarkan deru nafas yang semakin tersengal

“Ouh….ouhhhh…”

Ketika tangan kananku menarik CD yang ia kenakan…., ternyata kedua tangan Fatma membantu meloloskan CD Itu dari tubuhnya. Kusingkapkan bagian bawah gamis yang ia kenakan ke atas hingga sebatas pinggang, hingga tampak olehku vaginanya yang indah menawan, kepalanya kuletakan pada sandaran lengan kursi..,

kemudian pahanya kubuka lebar-lebar.., kaki kananku menggantung ke bawah kursi, sedangkan kaki kiriku terlipat di atas kursi. Dengan masih mengenakan celana panjang, kuarahkan penisku yang keluar melalui sleting yang terbuka ke lubang vagina yang merangsang dan sebentar lagi akan memberikan berjuta-juta kenikmatan padaku.

Ku gesek-gesekan kepala penisku pada lipatan liang vaginanya yang semakin basah..

”Auw…auw….. Uuhhhh….. uuuhhh…. Ohhh ….”

Dia mengaduh dan mengeluh… membuatku bertanya-tanya apakah ia merasa kesakitan atau menahan nikmat, tapi kulihat pantatnya naik turun menyambut gesekan kepala penisku seolah tak sabar ingin segera dimasuki oleh penisku yang tegang dan kaku…. Lalu dengan hentakan perlahan ku dorong penisku dan… Blessshhh….

annisa niyan niya jilbab cantik (5)

Kepala penisku mulai menguak lipatan vaginanya dan memasuki lorong nikmat itu dan..

“AUW… AUW…. Auw… Ouhhh……uhhhh…… aaahhhh…”

Tanpa dapat terkendali Fatma mengaduh dan mengerang nikmat dan mata terpejam rapat…., rintihan dan erangan Fatma semakin merangsangku dan secara perlahan aku mulai memaju mundurkan pantatku agar penisku mengocok liang vaginanya dan memberikan sensasi nikmat yang luar biasa.

Hal yang luar biasa dari Fatma ternyata dia terus mengaduh dan mengerang setiap aku menyodokkan batang penisku ke dalam vaginanya. Rupanya dia merupakan tipe wanita yang selalu mengaduh dan mengerang tak terkendali dalam mengekspresikan rasa nikmat seksual yang diterimanya. Tak berapa lama kemudian, tanpa dapat kuduga, kedua tangan Fatma merengkuh pantatku dan menarik pantatku kuat-kuat dan pantatnya diangkatnya sehingga seluruh batang penisku amblas ditelan liang vagina yang basah, sempit dan nikmat. Lalu tubuhnya kaku sambil mengerang nikmat

“Auuuww…. Auuuwww…… Auuuuuhhhh….. Aakkkhhhh…..”

kedua kakinya terangkat dan betisnya membelit pinggangku dengan telapak kaki yang menekan kuat pantatku hingga gerakan pantatku agak terhambat dan kedua tangannya merengkuh pundakku dengan kuat dan beberapa saat kemudian tubuhnya kaku namun dinding vaginanya memijit dan berkedut sangat kuat dan nikmat membuat mataku terbelalak menahan nikmat yang tak terperi

Lalu …. badannya terhempas lemah…, namun liang vaginanya berkedut dan meremas dengan sangat kuat batang penisku sehingga memberikan sensasi nikmat yang luar biasa.

annisa niyan niya jilbab cantik (6)

Gairah yang begitu tinggi akibat rangsangan yang diterimanya telah mengantarnya menuju orgasmenya yang pertama. Keringat tubuhku membasahi baju membuatku tidak nyaman, sambil membiarkannya menikmati sensasi nikmatnya orgasme yang baru diperolehnya dengan posisi penisku yang masih menancap di liang vaginanya, aku membuka bajuku hingga bertelanjang dada tetapi masih mengenakan celana panjang.

Lalu secara perlahan aku mulai mengayun pantatku agar penisku mengocok liang vaginanya.

Rasa nikmat kembali menderaku akibat gesekan dinding vaginanya dengan batang penisku. Perlahan namun pasti, pantat Fatma merespon setiap gerakan pantatku. Pinggul dan pantatnya bergoyang dengan erotis membalas setiap gerakanku.

Mulutnyapun kembali mengaduh mengekspresikan rasa nikmat yang kembali dia rasakan

“Auw…Auw… Auuuwww…. Ouhhh…. Aahhh…”

Rangsangan dan rasa nikmat yang kurasakanpun semakin menjadi-jadi. Dan erangan nikmatnyapun terus-menerus diperdengarkan oleh bibirnya yang tipis menggairahkan sambil kepala yang bergoyang kekiri dan ke kanan diombang-ambingkan oleh rasa nikmat yang kembali menderanya

“Auw…Auw… Auuuwww…. Oohhh… ohhh… oohhh…”

annisa niyan niya jilbab cantik (7)

Erangan nikmat semakin tak terkendali dan seolah puncak kenikmatan akan kembali menghampirinya hal ini tampak dari gelinjang tubuhnya yang semakin cepat dan kedua tangannya yang kembali menarik-narik pantatku agar penisku masuk semakin dalam mengobok-obok liang nikmatnya dan kedua kakinya sudah mulai membelit pantatku. Namun aku mencabut penisku , dan hal itu membuat Fatma gelagapan sambil berkata terbata-bata

“Ke..napa…..di cabut…? Ouh…. Oh…”

Dengan sorot mata protes dan napas yang tersengal-sengal…

“Ribet ….”

Kataku, sambil berdiri dan membuka celana panjang sekaligus dengan CD yang kukenakan.

Lalu sambil menatapnya

“Gamisnya buka dong..!”

Dia menatapku ragu.., namun dorongan gairah telah membutakan pikirannya apalagi dengan penuh gairah dia melihatku telanjang bulat di hadapannya, maka dengan tergesa-gesa dia berdiri dihadapanku dan melolosi seluruh pakaian yang dikenakannya…, mataku melotot menikmati pemandangan yang menggairahkan itu. Oohhh….

kulitnya benar-benar putih dan halus, penisku terangguk-angguk semakin tegang dan keras. Dia melepaskan gamis dan BHnya sekaligus, hingga dihadapanku telah berdiri bidadari yang sangat cantik menggairahkan dalam keadaan bulat menantangku untuk segera mencumbunya.

Dalam keadaan berdiri aku langsung memeluknya dan bibirku mencium bibirnya dengan penuh gairah…. Diapun menyambut ciumanku dengan gairah yang tak kalah panasnya. Bibir dan lidahku menjilati bibir, pipi lalu ke lehernya yang jenjang yang selama ini selalu tertutup oleh jilbabnya yang lebar…. Fatma mendongakkan kepala hingga lehernya semakin mudah kucumbu… Penisku yang tegang menekan-nekan selangkangannya membuat dia semakin bergairah.

Dengan gemetar, tangannya meraih batang penisku dan mengarahkan kedepan liang vaginanya yang sudah sangat basah dan gatal., kaki kanannya dia angkat keatas kursi sehingga kepala penisku lebih mudah menerobos liang vaginanya dan blesshh….. kembali rasa nikmat menjalar di sekujur pembuluh nadiku dan mata Fatmapun terpejam merasakan nikmat yang tak terperi dan dari mulutnyapun erangan nikmat

“Auw… Auww… Oohh….. akhhh….”

annisa niyan niya jilbab cantik (8)

Kepalanya terdongak dan kedua tangannya memeluk erat punggungku. Lalu pantatku mulai bergerak maju mundur agar batang penisku menggesek dinding vaginanya yang sempit, basah dan berkedut nikmat menyambut setiap gesekan dan kocokan batang penisku yang semakin tegang dan bengkak. Diiringi dengan rintihan nikmat Fatma yang khas… …

”Auw… Auw… Ouhh… ouhh…ahhh…”

Sambil pantatku memompa liang vaginanya yang nikmat, kepala Fatma semakin terdongak ke belakang sehingga wajahku tepat berada didepan buahdadanya yang sekal dan montok, maka mulut dan lidahku langsung menjilati dan menghisap buah dada indah itu.. putting susunya semakin menonjol keras. Fatma semakin mengerang nikmat…

”Auw… Auw… Ouhh… ouhh…ahhh…”

Gerakan tubuh Fatma semakin tak terkendali, dan tiba-tiba kedua kakinya terangkat dan membelit pinggangku, kemudian dia melonjak-lonjankkan tubuhnya sambil memeluk erat tubuhku sambil menjerit semakin keras …

”Auw… Auw… Ouhh… ouhh…ahhh…”.

Kedua tanganku menahan pantatnya agar tidak jatuh dan penisku tidak lepas dari liang vaginanya sambil merasakan nikmat yang tak terperi… Tak lama kemudian kedua tangannya memeluk erat punggungku dan mulutnya menghisap dan menggigit kuat leherku. Tubuhnya kaku…., dan dinding vaginanya meremas dan memijit-mijit nikmat batang penisku. Dan tak lama kemudian

“AAAAUUUUWWWW………..Hhhooohhhh….”

Dia mengeluarkan jeritan dan keluhan panjang sebagai tanda bahwa dia telah mendapatkan orgasme yang kedua kali…

Tubuhnya melemas dan hampir terjatuh kalau tak ku tahan. Lalu dia terduduk di kursi sambil mengatur nafasnya yang tersengal-sengal, badannya basah oleh keringat yang bercucuran dari seluruh pori-pori tubuhnya.

Tapi dibalik rasa lelah yang menderanya, gairahnya masih menyala-nyala ketika melihat batang penisku yang masih tegang mengangguk-angguk. Aku duduk disampingnya dengan nafas yang memburu oleh gairah yang belum terpuaskan. Tiba-tiba dia berdiri membelakangiku, kakinya mengangkang dan pantatnya diturunkan mengarahkan liang vaginanya agar tepat berada diatas kepala penisku yang berdiri tegak.

Tangan kanannya meraih penisku agar tepat berada di depan liang vaginanya dan … bleshhhh….

annisa niyan niya jilbab cantik (9)

“AUUWW…. Auww…. Ahhhh…”

Secara perlahan dia menurunkan pantatnya sehingga kembali batang penisku menyusuri dinding vagina yang sangat nikmat dan memabukkan..

”Aaahhh……”

erangan nikmat kembali keluar dari mulutnya. Lalu dia mulai menaik turunkan pantatnya agar batang penisku mengaduk-ngaduk vaginanya dari bawah..

Semakin lama gerakannya semakin melonjak-lonjak sambil tiada henti mengerang penuh kenikmatan, kedua tanganku memegang kedua buahdadanya dari belakang sambil meremas dan mempermainkan putting susu yang semakin keras dan menonjol. Kepalanya mulai terdongak dan menoleh kebelakang mencari bibirku atau bagian leherku yang bisa diciumnya dan kamipun berciuman dalam posisi yang sangat menggairahkan… lonjakan tubuhnya semakin keras dan kaku dan beberapa saat kemudian kembali batang penisku merasakan pijatan dan remasan yang khas dari seorang wanita yang mengalami orgasme sambil menjerit nikmat

“AAAUUUUUWWWWW…….. Aaakkhhhh………”

Namun saat ini, aku tidak memberi waktu padanya untuk beristirahat, karena aku merasa ada dorongan dalam tubuhku untuk segera mencapai puncak, karena napasku sudah tersengal-sengal tidak teratur, maka kuminta ia untuk posisi nungging dengan kaki kanan di lantai sedang kaki kiri di tempat duduk kursi sedangkan kedua tangannya bertahan pada kursi. Lalu kaki kananku menjejak lantai sedang kaki kiriku kuletakkan dibelakang Kaki kirinya sehingga selangkanganku tepat berada di belahan pantatnya yang putih, montok dan mengkilat oleh basahnya keringat. Tangan kananku mengarahkan kepala penisku tepat pada depan liang vaginanya yang basah dan semakin menggairahkan. Lalu aku mendorong pantatku hingga blessshhh….

annisa niyan niya jilbab cantik (10)

“Auw… Auw… Ouhhhh….”

Kembali ia mengeluh nikmat ketika merasakan batang penisku kembali memasuki dirinya dari belakang. Kugerakan pantatku agar batang penisku kembali mengocok dinding vaginanya. Fatma memaju mundurkan pantatnya menyambut setiap sodokan batang penisku sambil tak henti-henti mengerang nikmat..Ouh… ohhh…ayoo.. Pak…ayo… ohh…ouhh…” Rupanya dia merasakan batang penisku yang semakin kaku dan bengkak yang menandakan bahwa beberapa saat lagi aku mencapai orgasme. Dia semakin bergairah menyambut setiap sodokan batang penisku, hingga akhirnya gerakan tubuhku semakin tak terkendali dan kejang-kejang dan pada suatu titik aku menancapkan batang penisku sedalam-dalamnya pada liang vaginanya yang disambut dengan remasan dan pijitan nikmat oleh dinding vaginanya sambil berteriak nikmat

“Auuuuwwwhhhhhhh…… Aakkhhh…….”

Dan diapun berteriak nikmat bersamaan denganku. Dan Cretttt…. Creeetttt… crettttt spermaku terpancar deras membasahi seluruh rongga diliang vaginanya yang nikmat…

Tubuh Fatma ambruk telungkup dikursi dan tubuhkupun terhempas di kursi sambil memeluk tubuhnya dari belakang dengan helaan napas yang tersengal-sengal kecapaian… punggungku tersandar lemas pada sandaran kursi sambil berusaha menarik nafas panjang menghirup udara sebanyak-banyaknya.

Dan kuperhatikan Fatmapun tersungkur kelelahan sambil telungkup di atas kursi. Sambil beristirahat mengumpulkan napas dan tenaga yang hilang akibat pergumulan yang penuh nikmat, mataku menatap tubuh bugil Fatma yang basah oleh keringat. Dan terbayang olehku betapa liarnya Fatma barusan pada saat dia mengekspresikan kenikmatan seksual yang menghampirinya. Semua itu diluar dugaanku.

Aku tak menyangka Fatma yang demikian anggun dan lemah lembut bisa demikian liar dalam bercinta…… Mataku menyusuri seluruh tubuh Fatma yang bugil dan basah oleh keringat….

Uhhh……. .. Tubuh itu benar-benar sempurna …… Putih , halus dan mulus…. Beruntung sekali malam ini aku bisa menikmati tubuh indah ini.

annisa niyan niya jilbab cantik (11)

Aku terus menikmati pemandangan indah ini, sementara Fatma nampaknya benar-benar kelelahan sehingga tak sadar bahwa aku sedang menikmati keindahan tubuhnya… Semakin aku memandangi tubuh indah itu, perlahan-lahan gairahku muncul kembali seiring dengan secara bertahap tubuhku pulih dari kelelahan yang menimpaku.

Dalam hati aku berbisik agar malam ini aku bisa menikmati tubuh Fatma sepuas-puasnya sampai pagi. Membayangkan hal itu, gairahku dengan cepat terpompa dan perlahan-lahan penisku mulai mengeras kembali….

Perlahan tanganku membelai pinggulnya yang indah, dan bibirku menciumi pundaknya yang basah oleh keringat…., namun nampaknya Fatma terlalu lelah untuk merespon cumbuanku, dia masih terlena dengan kelelahannya… mungkin dia tertidur kelelahan.

Posisi kami yang berada di atas kursi panjang ini membuatku kurang nyaman…, maka kuhentikan cumbuanku, kedua tanganku merengkuh tubuh indah Fatma dan dengan sisa-sisa tenaga yang mulai pulih kubopong tubuh indah itu ke kamar.

Dengan penuh semangat aku membopong tubuh bugil Fatma kearah kamar.

Kuletakkan tubuhnya dengan hati-hati dalam posisi telentang. Fatma hanya melenguh lemah dengan mata yang masih terpejam. Aku duduk di atas kasur sambil memperhatikan tubuh indah ini lebih seksama.

Semakin keperhatikan semakin terpesona aku akan kesempurnaan tubuh Fatma yang sedang telanjang bugil. Kulit yang demikian putih , halus dan mulus….. dengan bagian selangkangan yang benar-benar sangat indah dan merangsang.

Di sela-sela liang vaginanya terlihat lelehan spermaku yang keluar dari dalam liang vaginanya mengalir keluar ke sela-sela kedua pahanya.. Aku mengambil tissue yang ada di pinggir tempat tidur dan mengeringkan lelehan sperma itu dengan penuh perasaan.

Fatma menggeliat lemah., lalu matanya terbuka sedikit sambil mendesah..

”uhhh……”

Bibir dan lidahku tergoda untuk menciumi dan menjilati batang paha Fatma yang demikian putih dan mulus. Dengan penuh nafsu bibir dan lidahku mulai mencumbu pahanya. Seluruh permukaan kulit paha Fatma kuciumi dan jilati… tak ada satu milipun yang terlewat. Lambat laun gairah Fatma kembali terbangkitkan, mulutnya mendesis nikmat dan penuh rangsangan

annisa niyan niya jilbab cantik (12)

“uhhh….. ohhhh… sssssttt…”

Sementara telapak tanganku bergerak lincah membelai dan mengusap paha, pantat, perut dan akhirnya meremas-remas buahdadanya yang montok. Erangannya semakin keras ketika aku memelintir putting susunya yang menonjol keras

“Euhh….. Ouhhh…. Auw…… Ahhh…”

Disertai dengan gelinjang tubuh menahan nikmat yang mulai menyerangnya. Penisku semakin keras dan aku mulai memposisikan kedua pahaku di bawah kedua pahanya yang terbuka, lalu mengarahkan penisku ke tepat di lipatan vaginanya yang basah dan licin.

Kugesek-gesekan kepala penisku sepanjang lipatan vaginanya, tubuhnya semakin bergelinjang…., pantatnya bergerak-gerak menyambut penisku seolah-olah tak sabar ingin ditembus oleh penis tegangku. Namun aku terus merangsang vaginanya dengan penisku…., dia semakin tak sabar …… tubuhnya semakin bergelinjang hebat.

Dan akhirnya ia bangkit dan mendorong tubuhku hingga telentang di atas kasur, dia langsung menduduki selangkanganku… mengangkat pantatnya dan tangannya dengan gemetar meraih penisku dan mengarahkan ke tepat liang vaginanya, lalu langsung menekan pantatnya dalam-dalam hingga……. Blessshhhh……. batang penisku langsung menerobos dinding vaginanya yang basah namun tetap sempit dan berdenyut-denyut. Mataku nanar menahan nikmat…., napasku seolah-olah terhenti menahan nikmat yang ku terima…

”Uhhhh…..”

annisa niyan niya jilbab cantik (13)

Mulutku berguman menahan nikmat. Dengan mata terpejam menahan nikmat, Fatmapun mengaduh.

”Auuww…. OOhhhhhhh……”

Pantatnya dia diamkan sejenak merasakan rasa nikmat yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Lalu secara perlahan dia menaik turunkan pantatnya hingga penisku mengocok-ngocok vaginanya dari bawah….. Erangan khasnya kembali dia perdengarkan

“Auw….. auw…. auw… euhhhh…..”

Semakin lama gerakan pantatnya semakin bervariasi…, kadang berputar-putar…. Kadang maju mundur dan terkadang ke atas ke bawah bagaikan piston sambil tak henti-hentinya mengaduh nikmat…

Gerakannya semakin lincah dan liar, membuat aku tak henti-hentinya menahan nikmat. Kembali aku terpana oleh keliaran Fatma dalam bercinta…., sungguh aku tak menyangka…..Wanita sholeh…., anggun dan lembut ini begitu liar dan lincah.

”Ouhhhh…. ouhhhh …”

Aku pun mengeluh nikmat menyahuti erangan nikmat yang keluar dari bibirnya yang tipis. Buahdadanya yang montok dan indah terguncang-guncang keras akibat gerakannya yang lincah dan membuatku tanganku terangsang untuk meremasnya, maka kedua buahdada itu kuremas-remas gemas. Fatma semakin mengerang nikmat

“Auw…. Auw….auhh….ouhhh…”

Lalu gerakannya semakin keras tak terkendali…, kedua tangannya mencengkram erat kedua tanganku yang sedang meremas-remas gemas buahdadanya…,, dan badannya melenting sambil menghentak-hentakkan pantatnya dengan keras hingga penisku masuk sedalam-dalamnya….

Dan akhirnya tubuhnya kaku disertai dengan jeritan yang cukup keras

“Aaaaakkhhhsssss………….”

Dan tubuhnya ambruk menindihku……. Namun dinding vaginanya berdenyut-denyut serta meremas-remas batang penisku…. Membuatku semakin melayang nikmat….

Ya…. Fatma baru saja memperoleh orgasme yang pertama di babak kedua ini…. Dengan tubuh yang lemas dan napas yang tersengal-sengal bagaikan orang sudah melakukan lari marathon bibirnya menciumi lembut pipiku dan berkata sambil mendesah…

”Bapak…. Benar-benar hebat….”

Lalu mengecup bibirku dan kembali kepalanya terkulai di samping kepalaku sehingga dadaku merasakan empuknya dihimpit oleh buahdadanya yang montok.

Penis tegangku masih menancap dengan kokoh di dalam liang vaginanya, dan semakin lama denyutan dinding vaginanyapun semakin melemah… Kugulingkan tubuhnya hingga tubuhku menindih tubuhnya dengan tanpa melepaskan batang penisku dari jepitan vaginanya.

annisa niyan niya jilbab cantik (14)

Tangan kananku meremas-meremas buah dadanya diselingin memilin-milin putting susu sebelas kiri, sementara bibirku menjilati dan menghisap-hisap putting susu sebelah kanan, sambil pantatku bergerak perlahan mengocok-ngocok vaginanya.

Perlahan namun pasti…, Fatma mulai menggeliat perlahan-lahan…, rangsangan kenikmatan yang kulakukan kembali membangkitkan gairahnya yang baru saja terpuaskan…

“Emmhhh…… euhhhh……… auh……..”

Dengan kembali dia mengerang nikmat… Pinggulnya bergoyang mengimbangi goyanganku…. Kedua tangannya merengkuh punggungku….

“Auw…. Auw…… ahhh….auhhh…”

Kembali dia mengaduh dengan suara yang khas, menandakan kenikmatan telah merasuki dirinya… Goyang pinggulnya semakin lincah disertai dengan jeritan-jeritannya yang khas. Dalam posisi di bawah Fatma menampilkan gerakan-gerakan yang penuh sensasi… Berputar…., menghentak-hentak …, maju mundur bahkan gerakan patah-patah seperti yang diperagakan oleh penyanyi dangdut terkenal. Kembali aku terpana oleh gerakan-gerakannya…. Yang semua itu tentu saja memberikan kenikmatan yang tak terhingga padaku….. Sambil mengerang dan mengaduh nikmat…, tangannya menarik kepalaku hingga bibirnya bisa menciumi dan menghisap leherku dengan penuh nafsu. Gerakan pinggul Fatma sudah berubah menjadi lonjakan-lonjakan yang keras tak terkendali, kedua kakinya terangkat dan membelit dan menekan pantatku hingga pantatku tidak bisa bergerak, Kedua tangannya menarik-narik pundakku dengan keras dengan mata terpejam dan gigi yang bergemeretuk.

Dan akhirnya tubuhnya kaku sambil menjerit seperti yang yang disembelih…

”AAkkkkkhhhh…….”

Kembali Fatma mengalami orgasme untuk ke sekian kalinya…. Aku hanya terdiam tak bisa bergerak tapi merasakan nimat yang luar biasa, karena walaupun terdiam kaku, namun dinding vagina Fatma berkontraksi sangat keras sehingga memijit dan memeras nikmat batang penisku yang semakin membengkak Tak lama kemudian tubuhnya melemas…., kedua kakinya sudah terjulur lemah Kuperhatikan napasnya tersengal-sengal…, Fatma menatap wajahku yang berada diatas tubuhnya.,

Lalu dia tersenyum seolah-olah ingin mengucapkan terima kasih atas puncak kenikmatan yang baru dia peroleh….

Kukecup bibirnya dengan lembut… Tubuhku kutahan dengan kedua tangan dan kakiku agar tidak membebani tubuhnya, Sambil bibirku terus menciumi bibir, pipi, leher , dada, hingga putting susunya untuk merangsangnya agar gairahnya segera bangkit kembali…

Kuubah posisi tubuhku hingga aku terduduk dengan posisi kedua kaki terlipat dibawah kedua paha Fatma yang terangkat mengapit pinggangku. Buahdadanya yang indah dan basah oleh keringat begitu menggodaku. Dan kedua tanganku terjulur untuk meremas-remas buah dada yang montok dan indah

“Euhh…. Euhhh…. “

Kembali tubuhnya menggeliat merasakan gairah yang kembali menghampirinya. Sambil kedua tanganku mempermainkan buahdadanya yang montok…, pantatku kembali berayun agar penisku kembali mengaduk-ngaduk liang vagina Fatma yang tak henti-hentinya memberikan sensasi nikmat yang sukar tuk dikatakan….

Hentakan pantatku semakin lama semakin keras membuat buah dadanya terguncang-guncang indah. Erangan nikmat yang khas kembali dia perdengarkan…. Kepalanya bergerak ke kanan dan kekiri seperti dibanting oleh rasa nikmat yang kembali menyergapnya…

Pinggul Fatma mulai membalas setiap hentakan pantatku….., bahkan semakin lama semakin lincah disertai dengan lenguhan dan jeritan nikmat yang khas…. Kedua tanganku memegangi kedua lututnya hingga pahanya semakin terbuka lebar membuat gerakan pinggulku semakin bebas dalam mengaduk dan mengocok vaginanya.

“Auw….Auw…. Auw…. Aahhh….ahhhh”

Erangan nikmat semakin meningkatkan gairahku…. Dan penisku semakin bengkak…. Dan ternyata dengan posisi seperti membuat jepitan vagina semakin kuat dan membuatku semakin nikmat. Dan tanpa dapat kukendalikan gerakanku semakin liar tak terkendali seiring dengan rasa nikmat yang semakin menguasai diriku… Fatmapun mengalami hal yang sama…, penisku yang semakin membengkak dengan gerakan-gerakan liar yang tak terkendali membuat orgasme kembali dengan cepat menghampirinya dan dia pun kembali menjerit-jerit nikmat menjemput orgasme yang segera tiba…

“Auw….Auw…. Auw…. Aahhh….ahhhh”

Akupun merasa bahwa orgasme akan menghampiriku…., tanpa dapat kukendalikan gerakan sudah berubah menjadi hentakan-hentakan yang keras dan kaku. Hingga akhirnya orgasme itu datang secara bersamaan dan kamipun menjerit secara bersamaan bagaikan orang yang tercekik.

“AAkkkkkkhhssss…………..”

annisa niyan niya jilbab cantik (15)

Pinggul kami saling menekan dengan keras dan kaku sehingga seluruh batang penisku amblas sedalam-dalamnya dan beberapa saat kemudian. Creetttt….creeettttt…. cretttt…..

Sperma kental terpancar dari penisku menyirami liang vagina Fatma yang juga berdenyut dan meremas dengan hebatnya… Tubuhkupun ambruk… ke pinggir tubuh Fatma yang terkulai lemah…., namun pantatku masih diatas selangkangan Fatma sehingga Penisku masih menancap di dalam liang vaginanya. Kami benar-benar kelelahan sehingga akupun tertidur dalam posisi seperti itu….

Malam itu benar-benar kumanfaatkan untuk menikmati tubuh Fatma sepuas-puasnya.. Entah berapa kali malam itu kami bersetubuh……., yang kutahu adalah kami selalu mengulangi berkali-kali…. Hingga hampir subuh…. Dan tertidur dengan pulasnya karena semua tenaga telah terkuras habis …

Pagi-paginya sekitar jam 6 pagi aku mendengar Fatma menjerit..

”Apa yang telah terjadi..? Kenapa bisa terjadi begini..?”

Lalu dia menangis tersedu-sedu sambil tiada henti mengucap istigfar…. Sambil tak mengerti mengapa kejadian semalam bisa terjadi.

Tak lama kemudian dia berkata padaku sambil menangis

“Sebaiknya bapak secepatnya meninggalkan tempat ini…!”

katanya marah . Akupun keluar kamar memunguti pakaianku yang tercecer diluar kamar dan mengenakannya serta keluar dari kamarnya sambil membawa laptop dan kembali ke kamarku. Sedangkan Fatma terus menangis menyesali apa yang telah terjadi.

Sejak saat itu selama sisa masa workshop, Fatma benar-benar marah besar padaku, dia memandangku dengan tatapan marah dan benci. Aku jadi salah tingkah padanya dan tak berani mendekatinya.

Dan sampai hari terakhir workshop Fatma benar-benar tidak mau didekati olehku. Setelah aku keluar dari kamar hotelnya, Fatma terus menangis menyesali apa yang telah terjadi. Dia tak habis mengerti mengapa gairahnya begitu tinggi malam tadi dan tak mampu dia kendalikan sehingga dengan mudahnya berselingkuh denganku.

Ingat akan kejadian semalam, kembali dia menangis menyesali atas dosa besar yang dilakukannya. Dia merasa sangat bersalah karena telah menghianati suaminya, apalagi pada saat dia mengingat kembali betapa dia sangat menikmati dan puas yang tak terhingga pada saat bersetubuh denganku….

Ya… dalam hatinya yang paling dalam, secara jujur Dia mengakui, bahwa malam tadi adalah pengalaman yang baru pertama kali dialami seumur hidupnya, dapat merasakan kenikmatan orgasme yang berulang-ulang dalam satu malam, Dia sampai tidak ingat, entah berapa puluh kali dia mencapai puncak orgasme, akibatnya dia merasakan tulangnya bagaikan dilolosi sehingga terasa sangat lemah dan lunglai, habis semua tenaga terkuras oleh pertarungan semalam yang begitu sensasional. Dan hal itu belum pernah dia alami selama berumah tangga dengan suaminya.

Suaminya paling top hanya mampu mengantarnya menjemput satu kali orgasme bersamaan dengan suaminya, setelah itu tertidur sampai subuh dan itupun jarang sekali terjadi.

Yang paling sering adalah dia belum sempat menjemput puncak kenikmatan, suaminya sudah ejakulasi terlebih dahulu, meninggalkan dia yang masih gelisah karena belum mencapai puncak.

Dan peristiwa tadi malam, benar-benar istimewa karena dia mampu mencapai kenikmatan puncak yang melelahkan hingga berkali-kali. Ingat akan hal itu kembali dia menyesali diri…, kenapa dia mendapatkan kenikmatan bersetubuh yang luar biasa harus dari orang lain dan bukan dari suaminya sendiri…. Kembali dia menangis……

Dia berjanji untuk tidak mengulanginya lagi dan bertobat atas dosa besar yang dilakukannya. Dan dia akan menjauhi diriku agar tidak tergoda untuk yang kedua kalinya. Itulah sebabnya selama sisa waktu workshop, dia selalu menjauh dariku. Hari terakhir workshop, Fatma begitu gembira karena akan meninggalkan tempat yang memberinya kenangan “buruk” ini dan Dia begitu merindukan suaminya sebagai pelampiasan atas kesalahan yang sangat disesalinya.

Sehingga begitu tiba di rumah, dia memeluk suaminya penuh kerinduan. Tentu saja suaminya sangat bahagia melihat istrinya datang setelah seminggu berpisah. Dan malamnya setelah anak-anak tidur mereka melakukan hubungan suami istri.

Fatma begitu bergairah tidak seperti biasanya, dia demikian aktif mencumbu suaminya. Hal ini membuat suaminya aneh sekaligus bahagia, aneh… karena selama ini suaminyalah yang meminta dan merangsangnya sedangkan Fatma lebih banyak mengambil posisi sebagai wanita yang menerima, tapi kali ini sungguh beda…

Fatma begitu aktif dan bergairah. Tentu saja perubahan ini membuat suaminya sangat bahagia, suaminya berfikir… baru seminggu tidak bertemu saja istrinya sudah demikian merindukannya sehingga melayani suaminya dengan sangat bergairah.

Dan akhirnya suaminyapun tertidur bahagia Namun, lain yang dialami suami, lain pula yang dialami oleh Fatma, malam itu Fatma begitu kecewa, Dia begitu bergairah dan berharap untuk meraih puncak bersama suaminya, namun belum sempat dia mencapai puncak, suaminya telah sampai duluan.

Suaminya mengecup bibirnya penuh rasa sayang, sebelum akhirnya tertidur pulas penuh kebahagiaan, meninggalkan dirinya yang masih menggantung belum mencapai puncak. Fatmapun melamun…… Terbayang olehnya peristiwa di hotel, bagaimana dia bisa mencapai puncak yang luar biasa secara berulang-ulang.

“Uhhh……”

Tanpa sadar dia mengeluh Di bawah alam sadarnya dia berharap kapan dia dapat kembali merasakan kepuasan yang demikian sensasional itu..? Namun buru-buru dia beristigfhar setelah sadar bahwa peristiwa itu adalah suatu kesalahan yang sangat fatal.

Namun….., kekecewaan demi kekecewaan terus dialami Fatma setiap kali dia melakukan hubngan suami istri dengan suaminya. Dan selalu saja dia membandingkan apa yang dialaminya dengan suaminya; dengan apa yang dialaminya waktu di hotel denganku.

Hal itu membuatnya tanpa sadar sering menghayalkan bersetubuh denganku pada saat dia sedang bersetubuh dengan suaminya, dan hal itu cukup membantunya dalam mencapai kepuasan orgasme.

Dan tentu saja kondisi seperti itu membuatnya tersiksa, tersiksa karena telah berkhianat terhadap suaminya dengan membayangkan pria lain pada saat sedang bermesraan dengan suaminya. Semakin betambah hari, godaan mendapatkan kenikmatan dan kepuasan dariku semakin besar karena dia tidak bisa mendapatkannya dari suaminya. Dan akhirnya dia menjadi sering merindukanku. Tentu saja hal ini merupakan siksaan baru baginya.

Itulah sebabnya, satu bulan setelah peristiwa di hotel, Fatma tidak terlihat membenciku. Bahkan secara sembunyi-sembunyi dia sering memperhatikan dan menatapku dengan tatapan penuh kerinduan.

Dia tidak marah lagi bila didekati olehku, bahkan dia tersenyum penuh arti bila bertatapan denganku. Hal ini tentu saja membuatku bahagia Namun perubahan itu, tidak membuat tingkah lakunya berubah.

Tetap saja Fatma menampilkan sosok wanita berjilbab yang anggun dan sholehah. Hingga pada waktu istirahat siang, dimana rekan-rekan sekantor sedang keluar makan siang, Aku mendekati Fatma yang kebetulan saat itu belum keluar ruangan untuk beristirahat dan dengan hati-hati aku berkata padanya

“Bu…, maaf saya atas kejadian waktu itu…!”

Aku berharap-harap cemas menunggu reaksinya…, namun akhirnya dia menjawab dengan jawaban yang sangat melegakan,

“Sudahlah Pak, itu semua karena kecelakaan…, saya juga minta maaf…, karena tadinya menganggap, itu semua adalah kesalahan bapak…., setelah saya pikir…, sayapun bersalah karena membiarkan itu terjadi…”.

Dan selanjutnya sambil tersenyum manis, dia mohon ijin padaku untuk istirahat makan siang. Dan meninggalkan diriku di ruangan itu. Sejak saat itu terjadi perubahan drastis atas sikapnya terhadapku, dia menjadi sering tersenyum manis padaku…, bisa diajak ngobrol olehku, bahkan kadang-kadang membalas kata-kata canda yang aku lontarkan padanya..

Tentu saja perubahan ini, menimbulkan pikiran lain pada diriku…, Ya… pikiran untuk bisa kembali menikmati tubuhnya…., tapi bagaimana caranya…?

KETIKA IBLIS MENGUASAI 3

Seminggu sebelum memasuki hari raya Ai’dul Adha maka Ustadz Mamat memperoleh tugas lebih banyak daripada biasanya. Selain itu beberapa siswi dari madrasah tempatnya mengajar memiliki suara sangat merdu menarik dan karena itu mereka mempunyai minat untuk mengikuti perlombaan kajian Musabaqqoh Tilawatil Qur’an. Dan untuk pemenang perlombaan di desa ini akan dicalonkan maju ke kontes di daerah propinsi dan selanjutnya untuk memasuki taraf nasional.

Berhubung dengan keadaan ini maka Ustadz Mamat diberikan tugas untuk melatih para calon, dimulai dengan hari Rabu sampai dengan hari Jum’at malam, dengan perkataan lain bahwa Ustadz Mamat akan meninggalkan istrinya, Aida, selama paling sedikit selama tiga hari tiga malam.

Dalam minggu pertama semuanya berjalan lancar dan Ustadz Mamat dapat memberikan kuliah secara sepantasnya di pesantren desa Jamblangan, para pelajar semuanya wanita dalam tingkat kelas tiga mutawassitah (kurang lebih seperti SLTP). Para siswi yang di pedesaan lebih sering disebut santriwati itu berjumlah dua puluh tiga dan usia mereka rata-rata sekitar 15-16 tahun, dalam istilah orang kota lebih sering disingkat ABG alias Anak Baru Gede. Pada umumnya para siswi itu cukup alim saleh dan berkelakuan sopan santun, apalagi di hadapan guru mereka : Ustadz Mamat.

Namun dimanapun selalu iblis mencari mangsa, dan untuk menaklukkan mangsa sangat berharga, yaitu seorang Ustadz, maka iblis memakai anak buah atau kaki tangan, dalam hal ini dalam bentuk dua orang santriwati genit bertubuh amat denok bahenol. Kedua gadis santriwati itu baru masuk usia lima belas tahun, bernama Rofikah dan Sumirah, bertetangga dekat di desa itu. Kedua orang tua mereka cukup berada sebagai pengusaha perkebunan perkebunan karet, sedangkan satunya adalah pemilik perkebunan teh. Dalam kisah yang akan terjadi terlibat pula gadis ketiga bernama Murtiasih alias Asih yang sekali tak perayu, namun kelak juga akan menjadi korban Ustadz Mamat!

Rofikah yang sehari-hari dipanggil Ikah dan Sumirah yang biasa dipanggil Irah merupakan teman akrab, hampir selalu mereka berdua, berjalan bersama dan di sekolah pesantren itupun mereka selalu duduk berdua. Keduanya mempunyai sifat genit perayu dan dengan body yang sangat yahud menantang mereka sangat senang jika diperhatikan oleh para lelaki.

Mereka tak perduli apakah yang mengawasi dan menggoda ketika mereka berjalan adalah anak lelaki muda seusia mereka atau lelaki tua yang bahkan sudah jauh lebih tua dari ayah mereka. Pokoknya mereka berpendapat bahwa tubuh mereka yang memang terlihat sangat montok dengan toket menonjol itu adalah juga pemberian sang pencipta. Jadi mereka dengan sengaja bangga memperlihatkannya penuh kebanggaan dan bahkan merasa mempunyai ‘kekuasaan’ jika para lelaki bersiul-siul melihat goyang pantat mereka!

Karena wajah keduanya banyak kemiripannya maka orang di desa itu sering berbisik-bisik bergosip apakah kedua gadis itu sebetulnya keluar dari ‘satu cetakan’. Alasan daripada gosip itu adalah karena ibu dari Rofikah dan Sumirah adalah kakak beradik, sedangkan ayah dari Rofikah maupun Sumirah tergolong ‘lelaki hidung belang’ yang senang jajan di luar.

Bukan menjadi rahasia lagi bahwa kedua pria itu sangat sering keluar masuk ke rumah kakak/adik ipar mereka sampai jauh malam, dan itu sering pula terjadi jika sang tuan rumah sedang kebetulan keluar. Pola kehidupan mereka tentu saja memberikan pengaruh kepada anak perempuan mereka yang mulai memasuki usia remaja. Rofikah dan Sumirah termasuk anak yang dimanja, mereka memakai busana berbahan mahal, dan meskipun mereka sebagaimana umumnya gadis di daerah desa selalu berpakaian muslimah dengan jilbab, namun cara melirik, tingkah laku dan penampilan genit mereka berlawanan dengan kebiasaan akhwat yang seharusnya alim shalihah. Ketika mereka masuk pesantren itupun tidaklah atas keinginan untuk memperdalam ilmu agama dan memperdalam keimanan, tapi lebih sekedar ikut-ikutan basa-basi.

Setelah memperoleh pelajaran dua kali dari Ustadz Mamat sebagai guru dan mengalunkan suara dalam latihan untuk musabaqoh , mulailah timbul rencana nakal mereka. Dari mulut ke mulut mereka mengetahui dalam waktu singkat bahwa Ustadz Mamat sering bermalam di pesantren itu karena ia tinggal cukup jauh, dan untuk itu Ustadz Mamat harus meninggalkan keluarganya.

Di dalam ruangan kelas, Sumirah dan Rofikah selalu duduk di bangku terdepan berhadapan dengan tempat duduk atau panel kayu dimana Ustadz Mamat selalu berdiri. Mereka sengaja melirik genit ke arah Ustadz Mamat, jilbab yang dipakai agak dilonggarkan sehingga rambut mereka yang ikal keluar, dan dengan suara lantang dibuat-buat, mereka sering mengajukan pertanyaan yang sebenarnya sama sekali tak perlu.

Selanjutnya mereka menggesek-gesekkan kaki dan betis secara bergantian dengan perlahan namun ritmis, sehingga kaus kaki yang dipakai menjadi turun melorot akibat gesekan itu. Dengan demikian terlihatlah kaki mereka yang berhias jari-jari mungil dengan kuku terawat dan jari-jari itu pun sengaja mereka gerakkan membuka menutup.

Tak sampai disitu saja, Rofikah dan Sumirah dengan sengaja juga membuka belahan bibir mereka yang terlihat basah mengkilat, mengeluarkan lidah mereka untuk membasahi bibir mereka, dan entah pensil atau ballpoint yang mereka pegang untuk menulis sering dimasuk-keluarkan di mulut mereka, terlihat bagaikan dikulum, dijilat dan dihisap-hisap.

Semuanya itu mula-mula belum disadari oleh Ustadz Mamat, namun sebagai lelaki akhirnya matanya ‘terpancing’ oleh gerakan nakal kedua muridnya itu. Apalagi jika kedua santriwati itu diakhir pelajaran seolah-olah tanpa sengaja menguap dan mengulét meluruskan tubuh dengan menaikkan kedua lengan mereka tinggi-tinggi ke udara, maka terlihatlah busungan kedua gunung montok di dada mereka.

Hanya dalam waktu tiga hari maka Ustadz Mamat mulailah sukar untuk berkonsentrasi sepenuhnya memberikan pelajaran. Sering kalimat yang telah direncanakannya untuk diucapkan ‘menghilang’ begitu saja karena godaan iblis dalam bentuk rayuan kegenitan kedua murid penggoda itu. Namun Ustadz Mamat tetap berusaha melawan godaan yang akan menghancurkan seluruh kehidupannya, ia dengan khusyuk berdoa dan sholat di luar waktu yang pada umumnya. Diharapkannya apa yang terpantau di matanya selama memberikan pelajaran dapat terusir dari benaknya.

Selama mengajar di kelas maka Ustadz Mamat dapat sementara mengalihkan perhatiannya kepada bahan kuliahnya, namun jika ia berada di kamarnya menjelang malam hari sebelum tidur, muncullah lamunan serta rasa kesepian karena ia tak berada di kamar tidurnya sendiri dan tak ada kehangatan tubuh istrinya.

Memasuki minggu ketiga, apa mau dikata Ustadz Mamar jatuh sakit setelah tiba di tempat mengajarnya itu. Tubuhnya panas dingin, sehingga tak mampu mengajar dan hanya dapat tidur hampir seharian di asrama penginapannya di pesantren. Di tengah malam jum’at hitam pekat dengan hujan lebat, ketika dalam keadaan demam menggigil itu maka Ustadz Mamat dengan tubuh berkeringat dingin mengalami halusinasi, ia memasuki situasi alam mimpi bagaikan sedang dihipnotis sehingga kesurupan…

Ustadz Mamat merasakan udara sekitarnya amat dingin hingga menggigil dan gigi-giginya beradu satu sama lain, badannya terasa sangat penat berat dan ia tak mampu menggerakkan kaki tangannya. Samar-samar dilihatnya sesosok tubuh berjilbab mendekati ranjangnya, sosok wanita berjilbab langsing ini meletakkan kain basah dingin di jidatnya sehingga terasa amat nyaman. Sesudah itu wanita berjilbab ini berusaha melepaskan kaos oblong yang dipakainya, dan bukan hanya itu, kain sarung belikat yang dipakai dirasakannya dilepas dari ikatan pinggang, lalu diturunkan ke bawah.

Ustadz Mamat berusaha protes namun tak ada suara yang keluar dari mulutnya, selain itu kaki tangannya seberat lempengen timah sehingga tak mampu digerakkannya untuk melawan.

“Pssst, pakaian Ustadz yang sudah basah kuyup dengan keringat, jika tak ditukar maka bapak akan semakin sakit. Tenang saja, pak Ustadz, saya hanya ingin menolong.” Samar-samar Ustadz Mamat mendengar suara wanita yang halus dan merdu berbisik di telinganya.

“Siapakah yang sedang menolong dan merawatku saat ini – apakah malaikat, tapi ini… ini… aku kenal dia : istriku sendiri, Aida!” batin Ustadz Mamat.

Ustadz Mamat merasakan bahwa tubuh bagian atasnya kini telah dilepaskan dari kaos oblongnya, dan sesudah itu tubuh bagian bawahnya sebagian besar telah dilolosi dari kain pelikat penutupnya. Ustadz Mamat menggeleng-gelengkan kepala merasakan tak berdaya, sementara tubuhnya dirasakan semakin basah mandi keringat panas dingin. Namun yang sangat diluar dugaannya adalah sesuatu yang halus hangat dengan agak nakal kini menyelinap ke selangkangannya, dan sebelum ia dapat menolak atau mencegah, dirasakannya bahwa penisnya telah keluar dari balik celana dalamnya!

Banyak ahli psikologis mengatakan bahwa mimpi adalah bunga orang tidur dan disaat mimpi sering sekali keluar adegan yang sebenarnya sangat didambakan dalam situasi sehari-hari, namun tak pernah dapat tercapai atau terlaksana. Bayangan wanita berjilbab itu – terutama suara merdunya semakin lama semakin dikenalinya karena telah begitu sering didengarnya setiap hari, namun, namun… tak mungkin, itu tak mungkin, istriku Aida yang demikian alim shalihah pasti tak akan melakukan hal tak senonoh ini! Ustadz Mamat tak mau mempercayai telinga dan matanya yang masih kabur. Ini hanya mimpi, ini hanya fatamorgana. Aku sedang sakit demam panas, sehingga mengigau tak karuan, aku… aku… sebagai lelaki memang terkadang ingin hal ini, tapi… tapi…

‘Penolakan’ Ustadz Mamat yang sedang tak berdaya itu hanya dapat bertahan sementara saja karena dirasakannya bahwa kemaluannya kini dicengkeram dan dicekal di dalam genggaman jari-jari halus. Jari-jari itu kini dengan sengaja naik turun di batang kejantanannya, menyentuh mengusap dan mengelus lembut kepala jamurnya yang telanjang karena disunat. Bagian pinggiran topi baja yang sangat peka itu kini dijadikan sasaran: disentuh dan digesek-gesek tanpa henti, bahkan kini kuku jari tangan yang halus itu menyentuh lubang kencing di tengah kepala penisnya, menyebabkan semakin sering membuka, menutup, membuka bagaikan mulut ikan sedang megap-megap kekurangan oksigen.

Ustadz Mamat berusaha melawan mati-matian perlakuan yang belum pernah dialaminya, keringat semakin mengucur membasahi seluruh tubuhnya sehingga terlihat semakin mengkilat. Semuanya hanya sia-sia saja karena lembing kejantanannya yang selama minggu-minggu terakhir memang kurang teratur memperoleh ‘perhatian’ kini mulai memberikan reaksi, mulai bangun dengan gagah menegang dan berdenyut mengangguk-angguk seolah meminta lebih banyak perhatian!

“Jangan umma, jangan diterusin… bapak sudah sembuh, tinggalkan bapak sendiri!” protes Ustadz Mamat.

“Ini obat yang manjur pak Ustadz, bukan obat biasa… jangan dilawan pak Ustadz, percuma saja. Bapak akan keluar keringat sebanyak mungkin, itu keringat jahat – biarkan keluar…. saya cuma mau nolong, dilanjutkan ya pengobatannya pak Ustadz?”

Tanpa menunggu jawaban Ustadz Mamat yang sedang berkutat melawan proses alamiah kelelakiannya, bayangan wanita berjilbab yang semakin mirip dengan istrinya itu kini menundukkan kepalanya, dan meskipun tertutup jilbab namun terlihatlah apa yang sedang terjadi!

“Aaaaahhh… oooooohhhh… ummu, jangaaan… abba mau diapakan?! Oooooohhh… siiiaaaah… aaaaaiiii…” Ustadz Mamat mengeluh mendesah tak karuan ketika dirasakannya ‘si otong’ kini memasuki ruangan hangat berdinding halus, kepala penisnya mulai disapu dan diusap dibelai oleh… oleh… ini tak mungkin terjadi, tapi… tapi… Ya Allah, istriku sedang mengulum kejantananku!! Bukankah istriku Aida selalu menolak untuk mengoralku karena jijik, tapi kenapa kini dia mau?

Dan benar sekali apa yang diucapkan wanita berjilbab itu: seluruh badan Ustadz Mamat semakin basah kuyup mandi keringat ketika ‘dimanjakan’ oleh bayangan istrinya sendiri, Aida. Oooh… hal ini tak pernah kubayangkan, tapi… tapi… ooooh… dia belajar dari mana? Betapa pandainya Aida mencakup, mengulum, menghisap, menyedot serta membelai pusat kejantananku! Aaaaaah… bahkan liang kencingku kini disodok-sodok oleh ujung lidahnya. Oooooooh… nikmaaaatnya! Bagaimana aku akan tahan terhadap godaan ini?

“Aaaaaaaaaah…!!!” Dan disertai dengan dengusan bagai banteng terluka, maka Ustadz Mamat menyemburkan air mazinya. Karena sedang demam maka lahar kelelakiannya pun dirasakan sangat panas menyemprot di saluran dalam penisnya. Namun berbeda jika ia sedang bermasturbasi ketika masih bujangan, maka kali ini tak ada setetespun yang berceceran membasahi selangkangannya, jadi berarti… ini artinya… istrinya telah menelan semuanya dengan lahap… apakah benar begitu?

Ustadz Mamat ingin melihat dan bahkan menekan kepala istrinya yang tertutup jilbab itu ke arah selangkangannya agar semua spermanya dapat ditelan oleh Aida, namun… namun… dimanakah wanita dalam bayangan mimpinya yang telah memberikannya kenikmatan tak terhingga itu?

Perlahan-lahan Ustadz Mamat sanggup menegakkan tubuh bagian atasnya, dan dengan kecewa tak dapat ditemukannya istrinya, Aida – apakah semua itu hanyalah imajinasi, hanya khayalan? Namun mengapa tubuhnya yang penuh keringat itu kini terasa lebih mantap, lebih nyaman, dan gigilannya menghilang! Benarkah apa yang dikatakan bayangan wanita berjilbab itu bahwa semua ‘keringat jahat’ yang menyebabkan demamnya kini telah keluar disedot dan dihirup oleh si wanita berjilbab tadi – dimanakah dia…?

Ustadz Mamat merasa sangat lelah sehingga tak terasa ia kembali tertidur pulas.

Esok harinya Ustadz Mamat berusaha memberikan pelajaran lagi, tubuhnya masih dirasakannya belum mantap seluruhnya, juga kepalanya masih agak pusing dan berat, namun demamnya telah menghilang, itu yang terpenting. Hari itu Ustadz Mamat memberikan bahan pelajaran yang ringan saja, juga dengan hikmat didengarkannya suara murid-muridnya yang berlatih musabaqoh tillawatil itu.

Diusahakannya agar semua perhatiannya tertuju kepada bahan pelajaran, namun kedua penggoda yang duduk di barisan depan kembali melakukan segala macam upaya untuk menarik perhatiannya. Ustadz Mamat selalu mencoba menghindarkan pandangan matanya ke arah Rofikah dan Sumirah yang genit itu. Kedua pelajar itupun tak banyak diberikan kesempatan untuk bertanya, sehingga kedua murid ini semakin penasaran, dan iblis yang mendalangi Sumirah dan Rofikah juga tak mau begitu saja menyerah mentah-mentah.

Iblis yang telah berhasil menggoda Ustadz Mamat di dalam mimpi erotis disaat demam itu kini memakai kelemahan Mamat sebagai laki-laki normal yang telah mengalami kenikmatan di-oral, pasti pengalaman ini sangat menyenangkan dan ingin dialami kembali! Jika kedua murid yang genit itu tak langsung berhasil menggodanya, maka sang iblis mengganti siasat : mungkin Ustadz Mamat justru akan tergoda oleh gadis yang alim shalihah seperti istrinya sendiri.

“Istrimu sudah dijadikan budak seks-nya pak Sobri, bahkan adikmu Farah juga telah digarap oleh pak Burhan, kini giliranmu untuk terjerumus jurang nista, ini akan kuatur,” demikian rencana iblis!

Sering duduk di barisan depan namun agak menyamping adalah seorang santriwati termuda serta tercantik bernama Murtiasih atau lebih sering dipanggil dengan nama panggilan sehari-hari Asih.

Berbeda dengan Sumirah dan Rofikah, maka Murtiasih berpakaian sehari-hari sangat sederhana dengan bahan biasa saja. Ia tidak memakai make-up untuk pipinya, maskara untuk alis matanya, lipstik untuk bibirnya, atau perhiasan mahal menyolok, kuku jarinya pun terawat rapih alamiah tanpa diberikan warna tambahan apapun. Semuanya itu justru lebih memberikan daya tarik, ibarat bunga desa yang murni tanpa cacat cela. Badannya yang kecil ramping mulai menunjukkan tanda-tanda kewanitaan yang baru bersemi bagaikan putik bunga masih kuncup namun ujung atasnya mulai merekah dan menimbulkan hasrat untuk lebah menghisap madunya.

Iblis mengetahui hal ini dan ‘lebah’ yang akan dipakai oleh sang iblis adalah dalam bentuk lelaki yang sedang kesepian. Ustadz Mamat diawal mula tidak memperhatikan adanya santriwati cantik manis ini, karena Asih tak banyak bicara, duduk tenang di kelas menyimak pelajaran yang diberikan oleh gurunya. Di waktu istirahat pun Asih umumnya memakai kesempatan untuk membaca serta mengulang bahan pelajaran yang baru diterimanya, dan usai sekolah maka Murtiasih langsung pulang tanpa méjéng ke tempat lain.

Perhatian Ustadz Mamat terhadap gadis ABG Asih sebagai akibat godaan iblis baru muncul setelah pengalaman khayalan mimpi saat menderita demam panas. Di hari-hari berikutnya barulah Ustadz Mamat ‘menyadari’ bahwa dalam kelas yang diajarnya ada seorang gadis muda belia, ayu cantik manis alamiah tanpa memakai tambahan apapun, selalu berkelakuan sopan santun, dan lemah lembut.

Berbeda dengan Irah dan Ikah yang berusaha menampilkan tonjolan tubuh mereka yang sexy, maka Asih selalu menghindarkan perhatian mata lelaki dengan bertingkah lalu sewajar mungkin. Namun biar bagaimana pun secara alamiah Asih tidak mungkin mencegah pertumbuhan badannya yang semakin padat dan sintal : di atas pinggangnya nan langsing semakin membusung gundukan daging di dadanya, sedangkan di bawah pinggangnya terlihat pinggul serta pantat bulat bahenol yang bergoyang ke kiri dan ke kanan serta berputar sangat lembut jika ia sedang berjalan.

Asih tak menyadari sama sekali bahwa dirinya kini menjadi pusat perhatian dari tiga orang! Tidak hanya Ustadz Mamat yang semakin lama semakin tertarik kepadanya, tetapi ada dua orang sekelas dan sesama jenis yang merasakan ‘kalah persaingan’ yaitu Ikah dan Irah! Keduanya tak mengerti mengapa perhatian Ustadz Mamat kini lebih menjurus kepada Asih yang mereka anggap ‘mentah’ dan tak mempunyai keistimewaan sama sekali. Mengapa usaha mereka menonjolkan keindahan tubuh mereka yang sexy tak berhasil mengundang mata Ustadz Mamat, sedangkan Asih dengan kecantikan alam sekedarnya dan tubuh ABG yang baru ‘melentis’ mempunyai daya tarik lebih?!

Rasa kejengkelan dan kekecewaan yang semakin terpendam perlahan-lahan berubah menjadi dendam dan memang hal ini merupakan bagian dari kehebatan dan kelicikan iblis dalam mengadu domba anak manusia sehingga menjadi ‘buta’. Semakin manusia kehilangan akal sehatnya dan saling membenci sehingga akhirnya gontok-gontokan dan bahkan saling membunuh seperti yang terjadi di pelbagai tempat di dunia pada saat ini, maka semakin senanglah iblis yang menyeringai dan tertawa terbahak-bahak.

Ikah dan Irah mengasah otak mereka yang telah dipengaruhi iblis : jika mereka berdua tak berhasil langsung menjebak Ustadz Mamat, maka biarlah Asih dijadikan ‘korban’ terlebih dahulu.

‘Kegagalan’ mereka mendekati Ustadz Mamat adalah karena adanya Asih, oleh karena itu saingan muda belia itu biarlah digarap oleh Ustadz Mamat. Namun peristiwa perlecehan sang Ustadz terhadap Asih itu akan direkam dan dijadikan senjata ampuh untuk ‘menguasai’ Ustadz Mamat – dengan demikian maka secara tak langsung akhirnya Ustadz Mamat akan dapat takluk dan tunduk kepada Ikah dan Irah untuk memenuhi keinginan seks mereka, sedangkan Asih pun telah ternoda…

Untuk melaksanakan rencana itu, mereka akan membayar tukang sapu pembersih pesantren di situ : mang Jamal namanya – duda berusia lima puluh dua tapi masih tegar gagah perkasa dan gemar pada daun muda.

Karena Asih sifatnya sangat alim dan sukar diajak untuk pergi mejeng seperti gadis remaja lain seusianya, maka harus dicari akal untuk menjebaknya – dan mereka mencari ‘kelemahan’ alias ‘ke-naif-an’ Asih, terutama sifatnya yang selalu bersedia menolong orang yang sedang kesusahan.

Setiap hari Jum’at para santriwati di pesantren itu hanya mendapatkan pelajaran beberapa jam dan sebelum jam sebelas mereka sudah dibubarkan untuk memberikan kesempatan sholat jum’at. Kesempatan ini dipakai oleh Ikah dan Irah serta mang Jamal yang sudah dibayar oleh keduanya dan menjadi kaki tangan mereka. Mang Jamal diberikan petunjuk bagaimana merekam adegan terlarang Ustadz Mamat dengan Asih menggunakan handphone mereka, dan bahkan dijanjikan bahwa setelah Murtiasih dikorbankan kepada Ustadz Mamat, maka setelah itu juga boleh ‘dicicipi’ oleh Mang Jamal!

Tentu saja mang Jamal sangat senang memperoleh tawaran luar biasa itu, ibarat dapat lotere dobel: bukan saja memperoleh duit, namun juga bisa mengintip dan merekam adegan terlarang, bahkan sesudah itu dapat menikmati tubuh muda Murtiasih. Mang Jamal dengan ukuran rudal luar biasa dan berpengalaman begitu banyak dengan wanita di desa selama ini yakin bahwa apa yang akan dialami Murtiasih ketika kehilangan kesuciannya pertama kali dengan Ustadz Mamat tak akan dapat dibandingkan dengan apa yang akan dirasakannya di dalam cengkraman ‘aku Mang Jamal, si pejantan tangguh!’

Sehari sebelumnya yaitu hari Kamis, Ikah dan Irah telah memberikan perintah kepada mang Jamal agar membawakan minum air seperti biasanya kepada Ustadz Mamat ketika mengajar di kelas. Namun di hari Jum’at ini minuman air ditambah dengan obat tidur yang diambil oleh Ikah dari kamar tidur ayahnya yang memang mempunyai gangguan sukar tidur, sehingga mendapatkan obat penenang dari dokter. Selain itu dicampuri pula ramuan obat kuras perut desa untuk membuat Ustadz Mamat pusing dan perutnya sangat mulas, sehingga tak lama kemudian ia memohon maaf permisi dengan tergesa-gesa dan mengundurkan diri langsung kembali ke kamarnya sendiri di asrama pesantren itu.

Di asrama pesantren hanya terdapat tiga kamar tidur, sebuah kamar mandi dan WC yang letaknya di belakang. Juga ada sebuah WC kecil untuk pengunjung yang terletak di depan di daerah kamar penerima tamu. Kamar tamu itu hanya sederhana dengan sebuah meja kecil, dua kursi dan sebuah bangku panjang.

Mamat sebenarnya ingin melanjutkan memberikan kuliahnya, oleh karena itu ia merebahkan diri dibangku panjang kamar tamu yang kebetulan letaknya paling dekat dengan WC kecil, namun keinginannya kalah dengan rasa lemas dan ngantuk hingga ia tertidur pulas di bangku panjang itu.

Pimpinan pesantren terpaksa memberikan izin jam bebas untuk para siswi dengan anjuran mengulang apa yang telah diberikan, sambil menunggu waktu sholat tengah hari sebelum para siswi diperbolehkan pulang. Namun karena waktu menunggu sangat lama maka para siswi umumnya meminta izin pulang untuk melakukan sholat di desa kediaman masing-masing, dan karena pemimpin pesantren kebetulan mempunyai urusan penting dan juga ingin pulang lebih dahulu maka akhirnya permintaan para siswi dikabulkan. Terkecuali Asih yang memang selalu baru dijemput oleh adik laki-lakinya dengan motor, setelah sang adik ini sendiri sholat di masjid jami’ dekat tempat kerjanya sendiri sebagai montir motor.

Ikah dan Irah tahu bahwa Asih akan tetap berdiam di kelas sambil menunggu waktu untuk sholat dan dijemput adik laki-lakinya itu, dengan pelbagai alasan kedua kaki tangan iblis itupun tetap berada di kelas dengan alasan juga akan dijemput. Tanpa curiga apapun Asih juga menerima tawaran minum air yang dibawa oleh Ikah, sangat segar kata Ikah, memakai sari kelapa muda dengan campuran aroma jeruk. Air minum itu memang sangat menarik aromanya seperti yang dikatakan Ikah, namun dicampur pula dengan obat tidur yang dipakai oleh ayah Ikah dari dokter .

Setelah lewat sekitar sepuluh menit dan yakin bahwa tak lama lagi obat tidur itu akan mulai bekerja, maka kedua siswi yang penuh akal licik itu mengajak Asih berjalan-jalan sebentar di kompleks pesantren untuk menghirup udara segar sambil melemaskan kaki, tawaran yang mana diterima Asih karena mulai merasa ngantuk sehingga telah beberapa kali menguap panjang.

Tanpa curiga Asih yang sangat polos dan sangat lugu itu ikut berjalan di luar, melihat-lihat tanaman bunga yang baru saja ditanam pak Jamal. Tanpa terasa dan tanpa disadari Asih, mereka semakin mendekati bangunan dimana disitu terdapat kamar para dosen, termasuk kamar yang dipakai oleh Ustadz Mamat – bangunan yang juga dikelilingi oleh semak pohon tinggi, dimana pak Jamal telah menunggu mangsanya…!

Ketika Asih telah cukup dekat dengan semak belukar tempat persembunyiannya, maka meloncatlah pak Jamal ke belakang Murtiasih dan hanya dengan satu pukulan keras di belakang leher, santriwati cantik itu pun langsung jatuh pingsan. Sebelum tubuh Asih jatuh ke tanah, maka Ikah dan Irah langsung menopang dari kiri kanan, sedangkan pak Jamal menyanggah dari belakang sambil memeluk pinggang langsing Asih.

Kesempatan itu dipakai oleh si lelaki hidung belang untuk merasakan betapa lembutnya tubuh santriwati Asih, terutama ketika kedua tangan jail pak Jamal sempat menjangkau ke depan dan menyentuh buah dada Asih. Dengan sangat perlahan-lahan ketiga orang itu membopong Asih dan membawanya ke bangunan di belakang pesantren, dimana terdapat beberapa kamar tidur yang diantaranya dipakai oleh Ustadz Mamat. Sebagai orang yang bekerja membersihkan kompleks pesantren situ maka pak Jamal tahu persis dimana kamar Ustadz Mamat berada, dan kesitulah mereka bertiga membopong tubuh Asih.

Setelah mengintip ke dalam dan melihat bahwa Ustadz Mamat masih tidur nyenyak, mereka dengan sangat hati-hati membopong Murtiasih melewati kamar tamu di asrama pesantren itu, sambil melihat betapa nyenyaknya Ustadz Mamat tidur sehingga mendengkur keras, mereka menuju ke belakang dan meletakkan Murtiasih di ranjang kamar tidur yang biasa dipakai oleh Ustadz Mamat.

Ketiga manusia penuh akal bulus dan telah dipengaruhi iblis itu kemudian keluar lagi, pak Jamal membawa bantal guling dari kamar tidur disitu, lalu berjingkat di depan jendela depan yang selalu terbuka dan letaknya tak jauh dari bangku panjang dimana Ustadz Mamat masih terlelap, lalu dilemparkannya bantal itu ke arah Ustadz Mamat sehingga akhirnya si guru agama ini pun terbangun.

Meskipun masih merasakan agak ngantuk dan kurang mantap, Ustadz Mamat memaksakan dirinya untuk ke belakang dimana ada wastafel dan disitu dibasuh serta dicuci mukanya sehingga terasa matanya agak segar. Dilihatnya jam tangannya yang telah menunjukkan jam setengah sebelas siang, lalu diingatnya kembali apa yang telah dialaminya tadi pagi ketika merasa pusing, sakit perut, mulas dan ngantuk tak tertahankan, sehingga ia mengundurkan diri kembali ke kamarnya ini.

Ustadz Mamat menyadari bahwa pasti murid-murid nya sudah pulang dan bubaran, dan tugasnya telah selesai minggu itu, tak ada yang dapat dilakukannya lagi selain pulang naik bus ke desanya. Dengan langkah lunglai ia memasuki kamar tidurnya dengan niat membereskan pakaian, dan bagai terkena sihir, Ustadz Mamat berdiri di ambang pintu kamar tidurnya, matanya membelalak melihat sosok tubuh anak gadis ramping, meskipun masih sangat muda namun telah terlihat lekuk likunya yang sangat jelas. Selain itu kain sarung penutup bawahnya agak tersingkap sehingga kaki betis nan mungil dengan jari-jari mungil agak kemerahan tampak jelas, dan wajahnya… itu Murtiasih !!!

Kaki Ustadz Mamat terasa gemetar, tak tahu apa yang harus dikerjakannya. Kenapa muridku berada di dalam kamarku – apa yang terjadi, apa yang harus kulakukan sekarang ? Aku telah mengundurkan diri dari memberikan pelajaran tadi karena alasan tak enak perut. Jika aku lapor bicara dengan siapapun maka pasti aku dituduh dengan sengaja kembali ke kamarku karena ingin melakukan hal tak senonoh dengan muridku sendiri. Apakah aku tunggu saja atau aku bangunkan Murtiasih lalu aku lepaskan ia pulang ke rumahnya? Aku sendiri sudah ingin pulang ke rumah, jadi ya sebaiknya akan aku usahakan membangunkan muridku ini.

Setelah mengambil keputusan maka Ustadz Mamat dari ambang pintu mulai memanggil nama muridnya agar terbangun. “Murtiasih, Asih, Asih, bangunlah nak… udah siang nih, bangunlah dan pulang balik ke rumah… udah usai semua, bangunlah, Asih… bangun!!” Ustadz Mamat berusaha membangunkan dengan suara lembut agar tak mengejutkan muridnya.

Namun Murtiasih masih tidur pulas sehingga akhirnya Ustadz Mamat melangkah lebih maju dan mendekati tepi kasur, disaat mana Murtiasih menarik kakinya sehingga kain sarungnya tersingkap. Sangat tergugah semangat Ustadz Mamat ketika melihat pemandangan yang sama sekali diluar dugaannya akan muncul, sementara iblis mulai membisikkan dan menghasut di benak Ustadz Mamat.

“…lihatlah kaki mungil itu, lihatlah pergelangan kakinya yang sedemikian langsing, lihatlah betis bagai tanaman padi Cianjur, lihatlah betapa putih mulus kulitnya, dekatilah, sentuhlah, usaplah…”

Beberapa menit Ustadz Mamat berusaha menggunakan akal sehat dan nuraninya sebagai guru agama, namun godaan iblis ternyata semakin kuat. Mata Ustadz Mamat semakin terpukau melihat kaki dan betis mulus Murtiasih, darahnya semakin berdesir, tanpa disadari si otong di selangkangannya mulai terbangun.

“…ayohlah, tunggu apa lagi? Tak ada manusia yang melihat, kamu sangat menderita berhari hari tak berada di ranjang dengan istrimu, tak menjamah istrimu, tak menggarap istrimu, siapa tahu dia bahkan mempunyai lelaki lain yang menggaulinya, apa salahnya kalau kamu bergaul dengan wanita lain – apalagi ini muridmu sendiri yang kamu tahu amat alim shalihah, pasti belum pernah disentuh lelaki, ajari dia nikmatnya bercinta, kamu lakilaki pertama yang…”

Perlahan-lahan Ustadz Mamat melepaskan semua baju yang dipakainya , kini ia hanya memakai celana dalam saja. Setelah itu ia duduk di tepi kasur yang cukup lebar untuk dua orang itu dimana Murtiasih terbaring, lalu dengan perlahan Ustadz Mamat merebahkan dirinya di samping sang murid. Disentuhnya pipi Asih yang sedemikian licin, didengarnya hembusan nafas sangat lembut dan halus dari hidung gadis itu, diusapnya pipi Murtiasih lalu jarinya turun mendekati sudut bibir merah muda yang terlihat agak basah mengkilat sedikit terbuka. Ustadz Mamat tak sanggup lagi menahan gejolak birahinya dan pada saat bersamaan, Murtiasih membuka matanya dan langsung menjerit dan sekaligus berusaha bangkit serta bangun dari posisi rebahnya.

“Eeehmmmfpppffh… aummmppph… eemmmssshhhppph… ennnnnggghh…” teriakan Murtiasih langsung teredam oleh mulut Ustadz Mamat yang dengan bibir tebalnya menciumi secara rakus. Berbeda dengan disaat ia bercinta dengan Aida istrinya, maka kali ini benak Ustadz Mamat sudah dikuasai oleh iblis sehingga semua tindakannya menjadi kasar.

Seolah diberikan bantuan energi gaib maka tenaga Ustadz Mamat pun menjadi berlipat ganda, tubuhnya yang hanya memakai celana dalam kini menindih badan mungil muridnya. Kedua tangan Murtiasih yang berusaha mendorong dada Mamat dicekal pergelangannya dan ditekan ke kasur di atas kepala hanya dengan satu tangan kiri, sedangkan tangan kanan Ustadz Mamat berusaha membuka beberapa kancing penutup kebaya si gadis baru remaja itu.

Tak lama gamis berwarna putih milik Murtiasih telah terbuka dan muncullah dua gundukan bukit mungil tertutup BH krem. Murtiasih yang telah ditindih tak berdaya itu menggeliatkan tubuhnya mati-matian ke kiri dan ke kanan bagai cacing kepanasan, tapi hal ini justru semakin memacu nafsu birahi guru agama yang sedang kesurupan itu. Akibat gelengan kepalanya ke kiri dan ke kanan dalam usahanya menghindarkan ciuman buas, lepaslah jilbab penutup kepalanya, sehingga rambut hitam pekat ikal bergerai ke samping dan ke bahu Asih, menambah cantiknya wajah gadis muda itu.

“Tolooooong… lepaskaan! Ustadz mau apa? Jangaaaan… pak Ustadz! Ingaaaat… sadaaar… insyaaaaaflah… pak Ustadz! Ini perbuatan jahanaam… sialaaaan… paaak Ustadz… jangaaaan!!” demikian teriakan Murtiasih ketika ciuman Ustadz Mamat kini beralih ke arah telinganya, menghembus dan menjilat-jilat disitu, menyebabkan rasa geli dan nikmat.

Namun Ustadz Mamat sudah sepenuhnya dikuasai oleh setan, dengan ganas ciuman dan kecupannya menjalar ke leher jenjang yang putih, disedot dan digigit-gigitnya kecil kulit halus Murtiasih, sehingga langsung muncul bekas cupangan berwarna merah yang tentu saja menimbulkan rasa bangga di benak sang Ustadz. Hanya dalam waktu sangat singkat pergulatan antar dua insan dengan tenaga tak sebanding itu telah menunjukkan siapa pemenang dan siapa yang akan menjadi korban.

“Hmmmmmhh… wanginya kamu, Asih. Badanmu harum, bapak tak tahan… jangan melawan ya, bapak ingin menyayangi kamu… tak akan menyakiti kalau kamu tak melawan, relaks dan nyerah saja!!” ujar Ustadz Mamat berusaha menenangkan gadis manis di bawah tindihannya yang kini mulai menangis terisak-isak.

Sambil tetap menindih tubuh mangsanya, Ustadz Mamat kini telah berhasil menyingkap BH Murtiasih ke atas, dan terlihatlah bukit kembar yang sedemikian indahnya, tidak besar namun sangat sekal, padat ranum berputing coklat muda kemerahan mengacung indah mengundang setiap lelaki untuk menyentuh. Demikian pula Ustadz Mamat yang langsung meremas buah dada kanan Murtiasih dengan tangan kanannya, sedangkan mulutnya segera mengatup buah dada kiri dengan penuh kegemasan, sementara kedua pergelangan tangan Murtiasih tetap dicengkeram dan direjang di atas kepalanya.

“Bukan main legitnya nih tetek, bapak jadi gemes geregetan… bapak remes-remes ya, siapa tahu bisa keluar susu asli, hhhhmmmmmm… ini pentil kayak kerucut, pasti enak dihisap dan dikenyotin… nduk geulis pasti geli ketagihan, duuuuh… enggak tahan lagi bapak pingin gigit biar nduk ngerasain ngilu,” celoteh Ustadz Mamat yang benar-benar telah kehilangan kesadaran dan martabatnya.

“Auuuuh… auuuuw… engggaaak mauuu… toloooong… oooooh… ngiluuuuu, paaaak Ustaaadz… jangaaan… aiiiiih… auuwww… sakiiiiiit… udaaaah… Asih enggak mau… lepasin Asih… kasihani Asih, pak Ustadz… tolooong…”

“Hehehe… tahan dikiiit, nduk… pasti nanti geli keenakan… ntar malahan minta lagi, ketagihan kamu…” lanjut Ustadz Mamat sambil tak henti-hentinya gencar meremas, memilin, menghisap, dan menggigit-gigit puting yang semakin mengeras dan peka itu.

Murtiasih semakin tak berdaya dan lemas menghadapi serangan bertubi-tubi dari guru bejatnya, namun di ujung-ujung pembuluh syaraf di tubuhnya yang remaja kini mengalir dan bergejolak rasa hangat dan nyaman sebagai jawaban dari rangsangan yang diterimanya. Rasa nikmat mulai menguasai pori-pori kulitnya, menyebar dari kepala ke seluruh tubuhya – terutama di bagian yang diraba, disentuh, d usap, dan diciumi serta digigiti oleh Ustadz Mamat, menjadi semakin peka, penasaran ingin menagih lebih banyak lagi.

Baju kurung panjang yang dipakai Murtiasih telah semakin tersingkap akibat pergulatannya dengan Ustadz Mamat, apalagi ketika tangan kanan guru bejatnya itu mulai menurun dari buah dadanya ke arah perut, meraba dan menggelitik pusarnya yang cekung. Tak lama kemudian tangan itu semakin mengembara ke bawah pusar, menyelinap semakin turun, dan terus turun ke dalam ke arah bawah mencari ‘harta karun’ yang amat mahal. yang tak mungkin bisa dibeli dengan apapun, dan hal ini membuat Murtiasih sementara sadar dan kembali meronta-ronta, namun Ustadz Mamat semakin gigih menindihnya, sehingga Asih semakin pengap dan merasakan sukar bernafas ditindih tubuh lelaki untuk yang pertama kali dalam seumur hidupnya.

“Udaaah… jangaaaan… toloooong, paak Ustadz… Asih masih perawan… ooooh… kasihani Asih, paak… huuuuu… ngggaaak maaauuu… lepasin Asih, paak Ustadz… saya enggak akan bilang siapapun… Asih mau pulang, pak…” pinta Asih dengan suara memelas disela-sela isak dan tangis sesenggukannya.

“Sssssh… anak manissss, ssssh… Asih sayang, kamu makin cantik… nikmati sajalah… rasakan nikmatnya… Asih mulai basah juga kan, hehehe…” Ustadz Mamat semakin beringas dan jarinya telah menyentuh bagian tengah celana dalam muridnya yang ternyata memang terasa basah melembab.

“Hhhhmmmm… ayoooh ngaku, nduk bahenol… udah pengen pipis ya? Ayolah… tak usah ditahan… nanti bapak jilati…” Ustadz Mamat semakin naik nafsu birahinya ketika meraba bukit kemaluan Asih yang membasah.

Tubuh kedua insan berlainan jenis itu telah mandi keringat akibat pergumulan mereka, seorang Ustadz yang telah dipengaruhi iblis berusaha merenggut kegadisan muridnya, sedangkan sang murid berusaha mempertahankan mati-matian milik satu-satunya yang seharusnya akan dipersembahkan kepada sang suami setelah upacara resmi akad nikah dan pengucapan ijab kabul nanti.

Meskipun Mamat telah menikah dengan Aida, seorang wanita alim cantik jelita [kini telah menjadi korban nafsu birahi pak Sobri, baca kisah sebelumnya], namun iblis telah mempengaruhinya serta membujuknya untuk menikmati kembali bagaimana rasanya merenggut keperawanan seorang gadis ABG.

…sangat berbeda menikmati sebuah lubang yang telah sering kamu pakai dibandingkan celah hangat sempit yang tak pernah dilewati kemaluan lain, banggalah jika kejantananmu memperoleh kesempatan pertama menembus selaput tipis ABG itu. Bayangkanlah wajahnya meringis menahan sakit disertai rintihan memilukan memohon ampun, alangkah bedanya memasuki lubang istrimu yang sudah sering digauli...” Demikianlah bisikan iblis telah merasuki dan memenuhi benak Ustadz Mamat!

Ustadz Mamat kini telah melepaskan celana dalamnya sendiri dan tercengang bahwa kemaluannya sedemikian tegang keras mengacung bagaikan meriam sundut zaman baheula. Tak pernah selama ini dirasakan alat kejantanannya itu sedemikian gagah perkasa dan mendadak muncul lagi impian yang dialami ketika sakit demam. Diingatnya bahwa rudalnya dimanjakan, disepong, dikulum dan dijilat, serta dihisap oleh wanita gaib mirip dengan Aida, istrinya sendiri. Namun Ustadz Mamat tahu bahwa istrinya yang sedemikian alim mukminin tak akan mau melakukan hal yang selalu dikatakannya haram serta sangat menjijikkan itu. Kini timbullah keinginannya untuk merasakan hal itu dilakukan oleh seorang gadis murni tulen yang belum pernah disentuh oleh lelaki.

Aah… betapa bahagianya aku, pikirnya… Namun gadis demikian alim ini pasti takkan mau menyerah begitu saja – terkecuali mungkin jika dimulai dengan rangsangan sama, yaitu jika akulah yang memulai merangsangnya habis-habisan secara oral.

Dengan tekad baru yang dibantu bisikan iblis, maka Ustadz Mamat mengerahkan seluruh tenaganya untuk segera melepaskan pakaian muridnya. Bagaikan singa yang mencabik-cabik kelinci lemah, kedua tangan dan kaki Ustadz Mamat bergerak sedemikian sigap dan cekatan melepaskan melucut ke bawah dan ke atas semua busana penutup tubuh dan aurat Murtiasih. Bagaimanapun gadis malang itu berusaha untuk melawan, sang iblis seolah melemahkan daya tahannya, sedangkan tenaga Ustadz Mamat seolah berlipat ganda. Hanya dalam waktu beberapa menit saja, sempurnalah kedua tubuh insan itu telanjang bulat, tubuh Murtiasih kuning langsat ditindih oleh badan Ustadz Mamat yang hitam legam.

Ustadz Mamat kini merosot turun ke bawah untuk menciumi perut halus nan datar milik Murtiasih, dijilat-jilatnya pusar gadis itu hingga ia menggelinjang ke kiri dan ke kanan merasakan kegelian, apalagi ketika bibir rakus Ustadz Mamat mencucup serta menyupangi bagian bawah pusarnya, juga mendengus ke arah lipatan paha kiri kanan. Murtiasih kini merasakan sangat malu namun sekaligus nafsunya makin tergelitik disaat bukit venusnya disentuh.

“Uummmh… wanginya nih paha, bageur euy… putih licin mulus… enak ya neng, diusap? Dijilat juga enak ya, neng… bapak ciumin sambil digigit mau ya, neng? Uuummmhh…” puji Ustadz Mamat tak ada habisnya.

Murtiasih berusaha mengelak dan menendang dengan kakinya sambil mencoba membalikkan serta menggulingkan diri, tapi Ustadz Mamat telah menduga gerakan perlawanan ini. Kedua paha Murtiasih yang putih mulus itu langsung dihempaskan ke atas bahunya, sehingga terjuntailah betis langsing bak padi cianjur yang membunting memukul lemah ke punggung sang Ustadz. Dalam posisi tak berdaya itu, Murtiasih kembali merasakan kedua buah dadanya menjadi sasaran remasan kasar tangan Ustadz Mamat, terutama putingnya dipilin dan dicubit tak henti-henti, menyebabkan rasa ngilu dan nyeri tak terkira.

Namun yang sama sekali tak diduga adalah mulut Ustadz Mamat disertai nafas hangatnya melekat dan mengendus bukit kemaluannya, tak hanya sampai disitu saja, tak lama kemudian mulut itu mulai bermukim di gerbang kegadisannya, lalu terasa juluran lidah basah bagaikan ular mencari jalan di antara bulu halus kemaluannya, menyelinap ke dalam dan menjilati dinding celah surgawinya.

“Huhuhu… jangaaan, paaak… Asih tak mau diginiin… huhuhu… insyaaflah, pak… belum terlambaat… oohh…. aaahhh… sssshhhh… nnnggggaak maaauu… udaaaah… lepaaaasin… Asih mau pulaaang… aaaah… oooh…”

“Hmmmmh… wangi amat memek gadis alim belon pernah dicowel lelaki ini… licinnya nih bibir bawah, merah muda lagi… tuh kelihatan lobang pipisnya, hhhhhhmmmh… ada bulan sabit tipis, pasti selaput gadis… emang betul kamu belon pernah dijamah lelaki ya… ooooh… bapak jadi yang pertama nih,” tiada henti Ustadz Mamat menjilat, mengecup liang kenikmatan Asih sambil geram mengaguminya .

Perhatian Ustadz Mamat beralih ke lipatan atas bibir kemaluan Murtiasih, dimana tonjolan daging bagaikan penis kecil mengintip keluar. Tanpa ragu lagi jilatan serta ciuman si Ustadz yang dikuasai iblis kini menuju ke situ. Murtiasih menggeliat menggelinjang dan meronta sekuat tenaga karena ia merasakan untuk pertama kalinya ibarat disengat aliran listrik, pahanya membuka mengatup liar, menekan menjepit kepala pemerkosanya yang semakin menggiatkan rangsangannya tanpa kasihan.

“Oooooohhh… aaaaahhhh… paaaaakk, udaaaaah… ssssshhhh… hmmmsssh… ooooooh… lepasin, paaaak… Asih mesti ke belakang… aaaaahh… tolooooong, paaaak… Asih mauuu pipiiiiiiss… aaauuw… aaaahhhh…” dengan teriakan melengking disertai lengkungan tubuh mengejang ke atas, Asih mengalami orgasmenya yang pertama, sementara Ustadz Mamat merasakan betapa bibirnya basah kuyup oleh air mazi yang berlimpah ruah.

Ustadz Mamat sangat puas melihat hasil usahanya merangsang gadis manis ABG yang masih polos dan lugu itu. Kini Murtiasih telah mengalami pertama kalinya kenikmatan badaniah, telah tiba saatnya untuk pengalaman itu diperluas dengan menjadikannya seorang wanita dari seorang gadis.

Mamat meletakkan bantal di bawah pinggul Murtiasih sehingga semakin terangkat meninggi, lalu diletakkannya kembali kedua paha putih mulus yang masih bergetar halus disertai kejangan lemah ke atas pundaknya. Dimajukannya letak tubuhnya sendiri sehingga sendi paha Murtiasih menekuk ke arah buah dadanya sejauh dan semaksimal mungkin, dalam posisi mana terlihat belahan vagina Murtiasih yang telah basah oleh cairan lendir kewanitaannya, dan sedikit terbuka bibir memeknya.

Penis Ustadz Mamat yang lumayan besar telah menegang mengangguk-angguk dan menempatkan dirinya diantara belahan bibir memek yang agak kemerahan terhias rambut sangat halus di tepinya itu.

Murtiasih yang masih dalam keadaan lemah setelah mencapai orgasme, mendadak tergugah menyadari betapa posisinya yang sangat memalukan, terbuka lebar selangkangan dan celah kewanitaannya. Secara naluri disadarinya bahwa yang kini tengah menyentuh-nyentuh memeknya adalah kemaluan Ustadz Mamat yang mencari jalan masuk, dan dengan sangat panik Murtiasih berusaha mendorong bahu serta dada sang Ustadz yang berada di atasnya, bahkan Murtiasih berusaha mencakar muka gurunya itu.

Namun Ustadz Mamat dengan sigap mencekal kembali kedua pergelangan tangannya dan menekannya ke kasur di samping kepalanya yang kini sudah tak terlindung jilbabnya. Dengan demikian habislah daya Murtiasih mengelakkan nasibnya : kehilangan kegadisannya dicengkeraman sang Ustadz cabul.

“Aaaaahhh… aduuuuuuhhh… aauuuuuuuwww… toloooong, paaak… aaauuuuuw… saakiiiiiit… aduuuuhh… aauuuummpfffh… eemmmmpppffhh…” jerit memilukan Murtiasih langsung teredam oleh ciuman buas Ustadz Mamat ketika kejantanannya mulai meretas menembus liang sempit gadis ABG korbannya.

“Tenang… rileks, neng, sakitnya cuma sebentar… santai aja… bapak mau masuk lebih dalam lagi, tahan sedikit… sebentar lagi neng pasti ketagihan… duh, sempitnya si neng behenol… hhhmmmmh…” Ustadz Mamat berusaha menghibur sambil memajukan pinggulnya makin maju menekan semakin dalam.

“Aaauuuw… sakiiit… udaaah, pak, Asih tak kuat… sakiiit sekali… aaaauw… kasihani Asih, pak… ampuuun, huhuhu… bapak jahat… lepasin… ooooh, keluarin… sakiiiiiit… ampuuuuun… udaaah…” tangis Murtiasih dan rintihannya menimbulkan iba, namun semua terlambat karena Ustadz Mamat merasa kepalang basah.

Bleeeez… bleeeez… mili demi mili penis Ustadz Mamat membelah memasuki lorong kenikmatan yang akhirnya jebol pertahanannya ketika selaput tipis berbentuk bulan sabit itu terkoyak, menyebabkan rasa sakit di tengah selangkangan Murtiasih bagaikan disayat sebuah pisau tajam. Di hadapan mata Murtiasih muncul ribuan bintang bagaikan kunang-kunang di tengah malam ketika rasa perih sakit menimpanya, tangisannya tetap teredam, hanya butir air mata mengalir di kedua pipi mulusnya.

Tanpa memperhatikan keadaan korbannya yang masih merasa tersiksa, mulailah Ustadz Mamat bergerak maju-mundur, terkadang diarahkannya arah lembing dagingnya ke atas, juga ke kanan, lalu ke kiri, ke kanan lagi, lalu dengan keras dihunjamkannya sedalam mungkin sehingga beradu dengan mulut rahim Murtiasih yang penuh ujung syaraf sangat peka.

Sekitar sepuluh menit Ustadz Mamat melakukan jelajahannya dengan kecepatan yang sama, dan ketika dirasakannya bahwa biji pelirnya telah mulai bergolak bagaikan berisi cairan mendidih, maka dipercepatnya gerakan tarik-dorong maju-mundur pinggulnya sehingga…

“Aaaaaaahhh… oooooooh… iiyaaaaahh, jepit terus penis bapak… oooooh… anaaak pinteer, sempitnya si neng bahenol… iyaaaah, pijit-pijit terus… remas terus, oooooh… bapak tak tahan lagi nihh, ooooohhh…” demikian bunyi geraman Ustadz Mamat bagaikan hewan buas menikmati mangsanya. Dia menekan sekuat tenaga kepala penisnya diambang rahim Murtiasih ketika lahar panas spermanya membanjiri seluruh liang kewanitaan sang murid yang baru saja direnggut keperawanannya itu.

Murtiasih telah tak berdaya apa-apa lagi, semua tenaganya telah terkuras karena melawan sia-sia, peluh membasahi tubuhnya yang mungil bahenol, matanya berkaca-kaca, hidung bangir mancung dengan lubang mungil kembang-kempis seiring isak tangisnya, bibir merahnya merekah setengah terbuka, dari mana hanya terdengar dengusan dan desahan lembut.

Ya, gadis alim shalihah ini telah sepenuhnya ditakluki oleh guru bejatnya, akibat bisikan dan pengaruh iblis yang bersuka ria menyaksikan semua usahanya kini telah berhasil – juga dengan para pengintip di balik jendela!

Seperempat jam kemudian kedua insan yang berpelukan telanjang bulat di kasur itu dikejutkan oleh masuknya tiga orang ke kamar tidur Ustadz Mamat. Mereka adalah Sumirah, Rofikah dan pak Jamal disertai seringai lebar cengengesan, semuanya dengan penuh kepuasan menunjukkan hasil rekaman di dalam ponsel. Pelbagai adegan terlarang terlihat jelas, dimulai dengan Ustadz Mamat yang mendekati ranjang dimana Murtiasih tengah tidur dengan liku-liku tubuhnya yang mungil tapi menantang.

Kemudian jelas bagaimana Ustadz Mamat melepaskan bajunya sehingga hanya memakai celana dalamnya, dilanjutkan semua adegan pergulatan Ustadz Mamat dan korbannya, mulai dari Murtiasih berpakaian lengkap dengan jilbab, sampai semuanya dilepaskan secara paksa sehingga bugil. Sangat jelas pula adegan Ustadz Mamat meng-oral Murtiasih, dimana akhirnya perlawanan gadis malang itu runtuh dan mengalami orgasmenya yang pertama. Yang menjadi puncak klimaks pengambilan foto dan adegan bergerak itu adalah tentunya pada saat Murtiasih direnggut keperawanannya, bahkan terlihat jelas secara close-up bagaimana wajah yang meringis kesakitan disertai linangan air matanya.

Kini lengkaplah kehancuran posisi Ustadz Mamat dan Murtiasih : keduanya tak mampu melawan dan dibawah ancaman ketiga kaki tangan iblis itu, maka dimasa depan mereka menjadi permainan bagaikan budak belian untuk memenuhi kemauan dan keinginan nafsu birahi mereka. Sumirah dan Rofikah menjadikan Ustadz Mamat budak seks lelaki mereka, sedangkan pak Jamal memperoleh kesempatan menikmati tubuh Murtiasih, juga mereka terkadang melakukan secara bersama-sama…

Pak Jamal yang memang terkenal sebagai bandot desa sangat menyukai kaum muda itu langsung meminta ‘upahnya’. Pak Jamal tak perduli keadaan Murtiasih yang masih babak belur kehabisan tenaga melayani nafsu hewaniah Ustadz Mamat. Ketika Murtiasih berusaha melarikan diri berputar-putar di ruangan tamu dan ke arah belakang, maka Sumirah dan Rofikah langsung membantu menerkam rekan sekelasnya itu. Mereka membantu memegangi kedua tangan Murtiasih di atas kepalanya dan tersenyum penuh kepuasan melihat betapa sia-sia Murtiasih menggeliat meliuk-liukkan badannya yang telanjang bulat, ketika akhirnya pak Jamal dengan batang penis kebanggaannya menindih mangsanya itu. Murtiasih terbelalak tak percaya apa yang dilihatnya : kemaluan pak Jamal sangat besar, hitam, penuh dengan urat-urat berdenyut, panjang dan lingkarannya melebihi lengan bayi!

Tak mampu lagi menahan emosi, rasa ngeri, takut, dan habisnya tenaga, akhirnya Murtiasih hanya melihat semua dihadapan matanya menjadi abu-abu, berputar, sebelum semuanya menggelap… Namun itu tak menghalangi keinginan pak Jamal untuk menikmati tubuh ABG sintal bahenol penuh keringat, dan dengan buasnya mulailah ia memaksa memasuki secara susah payah celah sempit idamannya. Kesulitan coba diatasinya dengan berkali-kali meludahi memek Murtiasih. Akhirnya dengan susah payah pada usahanya yang kelima kali, barulah penis yang besar itu meretas jalan masuk ke lubang surgawi Murtiasih. Rasa perih saat dinding vaginanya dipaksa melebar semaksimal mungkin menyebabkan Murtiasih sadar, merintih dan menjerit kesakitan.

Ratapannya tanpa henti tidak menimbulkan rasa kasihan pak Jamal yang menggenjotnya bagaikan sedang mengerjai perempuan desa lainnya. Permohonan ampun Murtiasih hanya menyebabkan gelak tawa yang menyebalkan – akhirnya suara Murtiasih terhenti disaat pak Jamal orgasme dan menyemburkan seluruh isi biji pelirnya. Murtiasih hanya berdoa memohon agar ia tidak hamil…

Ketika kakak lelakinya menjemput dan menanyakan mengapa mata Murtiasih merah membengkak, maka ia hanya menjawab sepintas lalu dengan suara lirih bahwa ia mengalami sakit kepala. Sang kakak hanya menggelengkan kepalanya tanpa curiga sama sekali bahwa adiknya telah menjadi korban permainan terlarang, dan mereka bergoncengan pulang ke rumah.

Apakah Ustadz Mamat kini telah insyaf dan tobat dengan kelakuannya – atau tetap dipengaruhi oleh iblis, sehingga ketiga iparnya yang tak kalah cantik dengan istrinya: Farah yang telah digarap oleh pak Burhan si rentenir kakap, Nurul Tri Lestari dan Asma Maharani yang masih bujangan dan tak menduga sama sekali bahwa Ustadz Mamat telah berubah menjadi monster seks , juga akan menjadi korbannya dalam waktu tak lama lagi…?

NYAI SITI 13

Begitu mengetahui kedatangan ayahnya, Salamah segera berpaling ke Bayu; menyuruh pemuda itu agar lekas bersembunyi. Akan sangat berbahaya kalau mereka dipergoki berdua di tempat seperti ini, ditambah juga kondisi pakaian mereka yang sama-sama awut-awutan.

Namun sebelum Salamah sempat berucap, Bayu sudah meloncat menghilang. Dengan ringan ia menyelinap ke balik sesemakan sambil membawa baju dan celananya yang berserakan. Sekarang tinggal Salamah yang duduk kebingungan, berusaha membenahi pakaiannya dengan cepat sebelum ayahnya tiba di situ. Beruntung, tepat saat Haji Tohir membelokkan langkahnya, Salamah sudah pura-pura duduk diam dengan baju tertata rapi.

“Lho, Nduk… ngapain kamu disini?” tanya Haji Tohir kaget, tak menyangka akan menemukan Salamah di gubuk terpencil itu.

“Ehm… Abah sendiri, ada apa kesini?” kilah Salamah.

“Ah, Abah hanya jalan-jalan…” Haji Tohir menatap heran pada putrinya. “Ayo pulang, sudah sore. Nggak baik anak gadis sendirian di tempat seperti ini.” ajaknya.

Salamah mengangguk dengan kikuk, berharap ayahnya tidak melihat lipatan kain celana dalam yang tadi tak sempat ia gunakan. Salamah kini mengantongi kain itu. “Iya, Bah.” Ia segera turun dan mengikuti ayahnya. Payudaranya yang tak berkutang terasa bergesekan geli saat ia berjalan, membuat Salamah bergetar ringan hingga Haji Tohir kembali bertanya.

“Kamu nggak apa-apa?” tanya lelaki itu, curiga.

“Ah, aku hanya kedinginan.” jawab Salamah lirih.

Haji Tohir hanya mengangguk dan meneruskan langkahnya. “Kamu jangan suka pergi sendirian. Di kampung ini sekarang nggak aman, banyak perempuan yang tiba-tiba hamil tanpa diketahui siapa bapaknya,”

“I-iya, Bah.” Salamah mengangguk muram. Tanpa membantah, ia ikuti Haji Tohir yang berjalan kembali ke rumah. Sekilas diliriknya tempat Bayu bersembunyi, kemanakah pemuda itu sekarang? batin Salamah dalam hati. Ia pasti akan merindukannya.

Bisakah mereka bertemu kembali? Salamah sangat berharap.

***

Selepas kepergian Salamah, Bayu balik lagi ke tempat dimana dia selama ini menghabiskan waktu: di sebuah gubuk tua di lereng tepi desa. Di sana dia memikirkan peristiwa yang barusan terjadi. Kegagalannya memetik kesucian Salamah sangat disyukuri sekaligus juga disesalinya sedikit. Namun yang paling merisaukan pikirannya adalah keberhasilan Dewo yang kembali sanggup melampiaskan nafsu bejatnya.

Bayu merasa bersalah dengan hilangnya kesucian dua orang gadis yang disetubuhi oleh Dewo. Sambil berjalan menyusuri pematang, benaknya berpacu bagaimana dirinya bisa mengalahkan Dewo, sempat terbersit juga apakah Dewo sudah tahu dengan keberadaannya di desa ini. Laki-laki tua itu tampak lebih waspada sekarang, ditambah juga Dewo seperti meningkatkan daya sirepnya. Bayu harus berusaha lebih keras lagi untuk melawannya.

Saat sedang berpikir seperti itu, Bayu melewati rerimbunan pohon. Matahari semakin condong ke barat, membuat burung-burung hitam kecil berarakan kembali ke sarangnya. Di kejauhan terdengar suara aliran air sungai yang mengalun deras, sementara di dekatnya, Bayu mendengar suara seorang wanita yang sedang mendesah-desah. Ah, apa-apaan ini! Apakah telinganya tidak salah dengar?

Namun semakin didengarkan, Bayu semakin yakin bahwa ia tidak keliru. Rintihan itu adalah milik seorang wanita yang sedang keenakan menikmati hasrat birahinya. Melihat sekeliling, Bayu jadi curiga; jangan-jangan ini ulah si Dewo. Tidak mungkin orang normal mau ngentot di tempat terbuka seperti ini tanpa campur tangan pelet Dewo. Apalagi musuhnya itu kelihatan belum puas tadi, Bayu sudah keburu mengganggunya ketika Dewo ingin mencoba lubang pantat Mila dan Nurmah.

Dengan langkah berjingkat, Bayu pun melangkah mencari arah sumber suara. Ia sedikit mengerahkan ilmunya untuk menjaga diri, siapa tahu ini jebakan yang dipasang oleh Dewo. Menatap waspada, Bayu mendatangi rerimbunan pohon yang terletak tak jauh di sebelah kirinya. Semak berduri yang menutupi sama sekali tidak menghalangi langkahnya.

Ia terus menyelinap tanpa suara sampai berdiri sangat dekat dan dirinya langsung kaget begitu mengetahui kalau ternyata suara desahan itu berasal dari seorang perempuan yang memakai jubah, sedangkan jilbabnya terlepas dan menyangkut di leher seperti membentuk syal. Dan disana ada Dewo! Dugaan Bayu benar, ini semua memang ulah laki-laki tua itu.

Jarak Dewo dengan wanita itu hanya tiga meter, korbannya kali ini tampak tengah meremas-remas bongkahan payudaranya dengan tangan kiri sambil mengobel memeknya dengan tangan kanan. Tubuh perempuan itu tampak pasrah dan lemas, bersandar di sebuah pohon besar. Dari pandangan matanya, terlihat sekali kalau ia sama sekali tidak menyadari kelakuannya yang salah.

“Ehm… ahh…” perempuan itu mendesah menikmati masturbasinya, sementara Dewo terus memperhatikan sambil tersenyum menjijikkan.

Bayu yang mengintai dari balik semak kembali menggeram marah, namun dia masih saja terus memperhatikan. Kali ini dia tidak ingin bertindak terburu-buru, jangan sampai Dewo dapat lolos lagi. Wanita korbannya kali ini tampak cantik dan montok, tipe kesukaan si Dewo. Seolah-olah tidak menyadari kedatangan Bayu, wanita itu terus melakukan remasan pada payudara dan kocokan dua jari di liang memeknya. Ia juga tetap mendesah-desah membayangkan sesuatu yang membuat gairahnya terangsang.

Apakah ini salah satu pelet baru Dewo, yang sanggup mempengaruhi pikiran seseorang tanpa harus menyentuhnya? Kalau memang benar, berarti Bayu sudah salah perhitungan. Ilmu pelet Dewo ternyata beberapa tingkat di atasnya. Lelaki tua sama sekali tidak bisa diremehkan. Bayu harus banyak belajar lagi kalau ingin benar-benar bisa menandinginya.

Wanita itu semakin liar, satu demi satu kancing jubahnya dilepaskan hingga tinggal dua buah saja yang tersisa. Dia kemudian mengeluarkan salah satu bulatan payudaranya yang berukuran besar dari cup bh-nya dan meremas-remasnya dengan sepenuh hati. Putingnya yang mungil dan berwarna merah kecoklatan juga tak lupa ia pilin dan pijit-pijit kuat.

Bayu yang melihat kejadian itu hanya bisa diam dan bengong dari balik semak. Tanpa terasa batang kontolnya mulai mengeras. Melihat wanita berjubah dengan rambut terurai panjang sampai ke pantat dan jilbabnya yang kini berubah menjadi syal di leher, membuat Bayu membayangkan seandainya itu adalah Salamah yang tadi hampir bisa ia setubuhi namun gagal karena ayahnya datang.

Akibatnya Bayu jadi tidak tahan. Dilihatnya Dewo hanya diam di depan sana, seperti tidak berniat untuk memegang apalagi merusak kehormatan wanita itu. Mungkin tidak ada salahnya kalau Bayu sedikit menahan diri, toh melawan Dewo sekarang juga percuma. Dengan kondisi terangsang seperti ini, Bayu tidak akan bisa berkonsentrasi. Sementara Dewo tampak berkuasa dengan memancarkan hawa jahat untuk memikat korbannya.

Maka Bayu kemudian membuka celananya dan bermaksud untuk coli agar nafsunya sedikit tersalurkan. Mungkin dengan begitu ia jadi bisa berpikir jernih. Dilihatnya perempuan itu semakin tinggi mengangkat kain jubahnya, seperti ingin memperlihatkan seluruh pantat dan belahan memeknya pada Dewo. Dengan mengangkangkan kakinya lebar-lebar, ia mendesah, “Ayo buka celananya, Pak Dewo… saya pingin lihat kontol bapak.”

Dewo hanya tersenyum menyeringai dan tetap berdiri diam. Sepertinya ia memang berniat untuk tidak menyentuh perempuan itu.

Merasa aman, sambil mulai mengocok batang kontolnya, Bayu memperhatikan bagaimana bagusnya tubuh perempuan itu. Teteknya yang besar terlihat begitu putih dan membulat kencang, pentilnya berwarna coklat kemerahan dan agak panjang, mungkin karena sering dihisap. Lalu selangkangannya, terlihat hitam karena bulu-bulunya yang lebat, tapi bibir memeknya membelah panjang berwarna merah muda; membuka dan menutup perlahan seiring kocokan tangan perempuan itu, memperlihatkan kedalaman lubangnya yang nampak basah dan berkilatan oleh air lendir.

Yang paling mengagumkan adalah itilnya yang begitu besar, hampir sebesar puting susunya. Kepala itil itu tampak merah muda, menyembul separuh dari kulit yang menutupinya, seperti kontol kecil yang tidak disunat. Sungguh luar biasa, belum pernah Bayu melihat itil sebesar itu. Milik Salamah yang meski sangat indah, jadi tidak ada apa-apanya.

Tangan perempuan itu terus mengusap-usap bagian luar memeknya, sambil sesekali jari telunjuknya masuk perlahan-lahan ke dalam lubangnya yang sudah merekah indah. Ia menggerakkannya keluar-masuk seperti kontol yang tengah menusuk memek. Sementara tangan yang satu lagi memegangi itilnya diantara telunjuk dan ibu jari dan memilin-milinnya cepat hingga jadi semakin besar.

Bayu pun tidak mau kalah. Dengan nafsu semakin berkobar, ia mulai mengusap-usap kepala kontolnya yang 14 cm, kemudian menggenggam batangnya dan mulai mengocoknya cepat sambil terus memperhatikan perempuan itu.

“Ahh… ahhh…. ugh…!!” perempuan itu mulai mendesah-desah dan memeknya pun mulai menimbulkan suara berdecak-decak karena basah, tampak cairan kental yang berwarna putih susu mengalir sedikit membasahi selangkangannya.

Bayu onani sambil terus memperhatikannya. Sungguh tidak pernah ia sangka akan berbuat begini dengan salah satu korban Dewo, bahkan dengan Dewo berdiri hanya beberapa langkah di depan sana. Kalau gurunya sampai tahu, Bayu pasti akan sangat dimurkai! Namun Bayu juga tidak bisa memungkiri rasanya yang begitu nikmat.

“Auw!” perempuan itu menjerit dan mencabut jarinya, tangannya kini meremas-remas kedua teteknya dengan keras manakala sebuah semburan memancar deras dari liang memeknya. Rupanya ia sudah memperoleh orgasme pertamanya.

Dengan tubuh terkejang-kejang, ia mengerang dan menggoyang-goyangkan pinggulnya ke kiri dan ke kanan. Hanya dengan sedikit menggesek kembali tonjolan itilnya, tidak lama perempuan itu kembali mengeluarkan lenguhan keras dan memeknya pun kembali berdenyut-denyut cepat. Orgasme kedua berhasil ia raih hanya dengan selisih beberapa detik, kali ini dengan disertai cairan putih susu yang memancar agak banyak. Dan rupanya orgasme ketiga dan keempatnya juga turut mengalir. Perempuan itu seperti hampir menangis ketika merasakan sensasinya yang sungguh sangat nikmat.

Perempuan itu tergolek dengan lemas seperti balon yang kekurangan angin. Air cintanya tampak berceceran di paha dan rerumputan di depannya. Bayu terus memperhatikan sambil mengocok-ngocok terus batang kontolnya yang sudah terasa begitu keras dan tegang. Ia membayangkan wanita itu adalah Salamah. Akan ia puaskan anak Haji Tohir itu dengan kejantanan kontolnya. Akan dibuatnya Salamah bertekuk lutut dan terus menghiba untuk tetap disetubuhi. Bayu rasanya tak sabar ingin segera merasakan kembali kehangatan tubuh gadis itu.

Pikirannya yang bercabang membuat Bayu jadi lengah, dan itu adalah sebuah kesalahan fatal. Di saat hampir mencapai orgasme, ia jadi tidak waspada terhadap bahaya yang mungkin bisa menimpa dirinya karena pikiran Bayu fokus untuk segera ejakulasi.

..”Ahhh… ahhh… ayo, Salamah, aku hampir sampai…” Bayu bergumam sendiri sambil terus mengocok batang kontolnya. Dibayangkannya Salamah sedang mengoralnya saat itu.

Dia tidak sanggup lagi untuk bertahan karena kocokannya yang begitu nikmat, dan begitu spermanya mulai menyembur keluar… Saat itulah tiba-tiba sebuah benda keras menghantam kepalanya.

Bukkkk!!! Hanya suara itu yang terdengar, kemudian Bayu sudah tergeletak pingsan dengan tangan masih memegang kontolnya dan cairan pejuh yang masih meleleh keluar seolah-olah tidak mau berhenti menyemprot.

“Heheheheh… mampus kamu!!!” Dewo terkekeh sambil memegang batangan kayu yang telah ia gunakan untuk memukul Bayu sampai pingsan. “Makanya jangan usil sama orang tua, kau bocah… hahahahah,” tawa Dewo dengan senyum penuh kemenangan.

Dengan kejam, Dewo kemudian memukul sekali lagi kepala Bayu untuk memastikan pemuda itu pingsan beneran. Setelah dirasa cukup, Dewo dengan berbisik memanggil nama seseorang, “Nyai… Nyai Siti… kemarilah! Sudah pingsan ini bocah sok jagonya,” panggil Dewo dengan suara serak

Nyai Siti yang dipanggil kemudian bergegas ke semak dimana Dewo dan Bayu yang pingsan berada. Tersungging senyuman di bibirnya! Ternyata Dewo menggunakan Nyai Siti untuk mengalahkan Bayu. Dewo sebenarnya tahu dirinya dikuntit oleh Bayu saat memperawani Mila dan Nurmah, dan kemudian memanfaatkan situasi untuk meminta bantuan Nyai Siti saat Bayu sedang berduaan dengan Salamah.

Malam mulai turun di kampung itu. Langit perlahan menghitam dan denyar kekuningan yang tadi masih nampak di sebelah barat, kini sudah berubah menjadi kelabu. Rerimbunan di tengah persawahan berangsur-angsur hening, hanya suara jangkrik dan hewan malam yang ganti memecah kesunyian tersebut.

“Tuan Dewo, mana imbalan yang tadi kamu katakan padaku jika rencana ini berhasil?” tanya Nyai Siti menagih janji.

Dewo dengan senyum tersungging  kemudian menjawab, “Iya, lonteku, pasti aku kasih… tapi tolong bantu aku mengikat tangan bocah ini ke belakang, dan kakinya juga,”

Tanpa pikir panjang lagi, Nyai Siti segera membantu Dewo mengikat Bayu dengan tali yang sudah mereka siapkan dari rumah. Nyai Siti yang melihat kontol Bayu hanya berkata, “Ihh… kontol segini kecilnya mau main-main..!!” bisiknya sambil memasukkan kontol itu ke balik celana. Nyai Siti sempat nakal juga, saat memegang kontol Bayu, sempat ia mengurutnya sehingga peju Bayu menetes di tangan dan kemudian dijilatinya rakus.

“Lebih gurih punya Tuan Dewo,” ujarnya manja, dan Dewo hanya tertawa menanggapi.

Setelah beres mengikat Bayu hingga jadi tidak bisa bergerak, Nyai Siti kemudian mendekati Dewo. Dengan jubah masih awut-awutan dan jilbab tetap melingkar di leher, Nyai Siti mulai melepas celana Dewo.

“Tunggu, Nyai..!!” sela Dewo. “kamu rapikan jubah sama jilbabmu, serta rambutmu yang terurai itu… aku nggak mau ngentotin kamu kalau kamu tidak rapi,” pintanya tak ingin dibantah.

Nyai Siti pun tanpa diperintah dua kali langsung merapikan jubahnya. Kancingnya ia pasang kembali setelah terlebih dahulu memasukkan dua bulatan payudaranya ke balik bh. Perempuan itu juga menggelung rambutnya dan merapikan jilbabnya yang sudah lecek. Dengan cepat penampilannya kembali sebagai istri Kyai Kholil yang sangat disegani di seluruh kampung.

“Heheheh… gitu kan cantik kamu, lonteku,” puji Dewo.

Nyai Siti hanya tersenyum dan tanpa disuruh kemudian menyingkap kaos Dewo ke atas dan mulai mencium serta menghisap puting lelaki tua itu. Dewo hanya berdiri diam sambil sesekali meremasi payudara empuk Nyai Siti. Dengan sambil berdiri, Nyai Siti melakukan foreplay terhadap si Dewo. Kepekatan malam dan nyanyian jangkrik serta suara hewan seolah menjadi saksi kebejatan dua insan itu.

Puas dengan ciuman di dada, Nyai Siti kemudian turun menjilati perut buncit Dewo dan berhenti di pusarnya. Di sana ia bermain-main dengan menjilati pusar Dewo sambil tangannya memelorotkan celana kolor yang Dewo pakai dan mulai meremas-remas serta mengocok-ngocok kontol lelaki keriput itu. Perlakuannya membuat gairah Dewo mulai meningkat. Di otak cabulnya langsung terbersit ide untuk melakukan persetubuhan liar dan sangat kotor dengan Nyai Siti. Dewo seperti ingin melampiaskan nafsunya yang tadi sempat terputus dengan Mila dan Nurmah.

“Ehmph…” Ciuman Nyai Siti turun ke selangkangan Dewo dan terus sampai ke batang kontolnya. Nyai Siti sangat meresapi kontol Dewo saat menjilati maupun mengulumnya, dan bahkan berkali-kali lidahnya menggelitik lubang kencing Dewo.

“Ugh… Nyai,” Diperlakukan seperti itu, Dewo hanya mampu memegang kepala Nyai Siti yang terbungkus jilbab merah dan kemudian menggerakkannya maju-mundur. Ia mendorong batang kontolnya keras-keras sampai menyentuh rongga kerongkongan Nyai Siti yang sudah terbiasa dimasuki kontol panjang Dewo.

“Nyai, malam ini aku akan memberikanmu hadiah yang nggak mungkin kamu lupakan… heheheh,” kata Dewo sambil memaju-mundurkan kontolnya di mulut manis Nyai Siti.

Nyai Siti hanya mendongak ke atas sambil mengedipkan kedua matanya tanda setuju, karena mulutnya masih tersumpal kontol Dewo.

“Nyai, aku ingin kamu menjadi liar malam ini di balik rimbunnya semak ini,” kata Dewo lagi. Dia kemudian menghentikan aktivitasnya mengentot mulut Nyai Siti dan berktaa, “Sebentar, Nyai… aku akan mencari beberapa daun pisang untuk alas kita,”

Nyai Siti mengangguk sambil berkata, ”Baik, cintaku, tuanku, suamiku.”

Dewo bergegas pergi ke arah sungai untuk mencari daun pisang yang tumbuh di sekelilingnya dengan tidak memakai celana. Dibiarkan kontolnya yang panjang bergelantungan seperti pentungan pos ronda. Biar saja kalau ada yang melihat; kalau laki-laki, toh tidak akan bisa melawan ilmunya. Sedangkan kalau perempuan, akan ikut ia ajak main bersama Nyai Siti, itu malah asyik.

Tak berapa lama, Dewo sudah kembali dengan membawa delapan helai daun pisang. Pelan ia menatanya di tanah untuk dijadikan alas. Kini mereka sudah memiliki tempat ideal untuk melampiaskan hasrat bercinta yang brutal, liar, dan kotor.

Dewo yang berdiri kemudian meraih dagu lancip Nyai Siti dan berkata, ”Nyai, kamu memang budak dan gundikku yang cantik dan setia.”

Nyai Siti tersipu malu mendengar pujian Dewo. Dan sambil mendongak ke arah laki-laki itu yang masih berdiri, ia juga berkata. ”Aku akan selamanya menjadi budak, gundik atau lontemu, Tuan Dewo. Apapun yang kamu inginkan dari tubuhku akan kuberi. Apapun yang kamu suruh dan perintahkan akan kulakukan, karena di depanku dirimu adalah seorang laki laki perkasa. Semua bagian tubuhmu, aku sangat menyukainya, Tuan Dewo,” desah Nyai Siti.

“Lanjutkan omonganmu yang romantis itu, Nyai, supaya aku bisa lebih liar, brutal, dan kotor saat memakai tubuhmu,“ kata Dewo.

Sambil tetap mendongak ke atas memandang Dewo yang memegang dagunya, Nyai Siti berkata, ”Tuan Dewo bisa memakai tubuhku kapan saja, dimana saja, saat Tuan mau. Akan kulayani dirimu lebih dari suamiku yang letoy itu, Tuan. Aku ingin mulut, anus, dan vaginaku engkau pakai untuk apapun, Tuan. Semua bagian tubuhmu sangat menggodaku, Tuan, dan aku ingin bisa memilikinya tanpa terlewatkan sedikitpun. Jika boleh dan Tuan mengijinkan, Tuan bisa menggunakan mulutku saat kencing, memakai lidahku saat Tuan selesai beol, bahkan aku ingin tanganku bisa menjadi penampung bagi kotoranmu, Tuan,” kata Nyai Siti.

Mendengar apa yang diucapkan oleh Nyai Siti, terbakarlah gairah Dewo dan segera ingin membuktikan kata-kata itu. Maka Dewo kemudian meminta Nyai Siti untuk mengoral kontolnya. Dengan patuh Nyai Siti melakukannya. Dia mengulum, menghisap dan mengocok-ngocok kontol Dewo dengan gemas, seperti wanita yang baru pertama melihat kejantanan milik pasangannya.

Siapa pun pasti tak akan menyangka wanita yang dalam keseharian selalu tampil dengan busana muslim yang rapat dan menjadi guru mengaji ibu-ibu di kampung ini, ternyata juga lihai dalam urusan kulum-mengulum penis.

“Ehm… yah, teruskan, Lonteku!” Sambil menikmati kocokan dan kuluman pada batang kontolnya, Dewo meremasi tetek Nyai Siti yang menggantung indah. Bongkahan payudara itu terasa sangat lembut dan enak saat diremas. Bahkan puting-putingnya langsung mengeras setelah beberapa kali Dewo memerah dan memilin-milinnya.

Dewo ternyata mengentot mulut Nyai Siti dengan sangat brutal, ia menusuk begitu kuat dan dalam, bahkan sampai mentok ke tenggorokan perempuan cantik itu “Uekkkhhh…!!!” Nyai Siti tersedak oleh kontol panjang Dewo.

Tapi Dewo terus melakukannya kembali sampai empat kali, sebelum kemudian dengan kasar mendorong Nyai Siti dengan kakinya tepat di dada sampai perempuan itu jatuh terlentang. Seperti tidak sabar Dewo menyobek celana dalam Nyai Siti dan menyumpalkannya ke mulut si guru ngaji.

“Ahmoph…” Nyai Siti tergagap kaget, namun tidak memprotes. Malah ia mengangkang untuk membuka kedua pahanya lebar-lebar, memamerkan liang memeknya yang berbulu sangat lebat pada Dewo. Benda itu tampak lebar dan membukit. Jembutnya sangat lebat dan hitam pekat, kontras dengan paha Nyai Siti yang kuning langsat.

Puas memandangi bagian paling merangsang di selangkangan wanita itu, keinginan Dewo untuk menyentuh Nyai Siti menjadi tak tertahankan. Ia julurkan lidah sejenak untuk membasahinya. Dewo mengusap-usap jembut Nyai Siti yang keriting dan tumbuh panjang sambil terus menyusupkan lidahnya ke dalam hingga menimbulkan bunyi kemerisik.

Untuk bisa melihat lubang vaginanya, ia harus menyibak rambut-rambut yang menutupi memek Nyai Siti dengan kedua tangannya. Bibir luar benda itu tampak tebal dan kasar karena sudah sering dipakai oleh Dewo. Bagian dalamnya berwarna coklat kemerahan, ada lipatan-lipatan daging agak berlendir dan sebuah tonjolan itil sebesar jari kelingking. Dewo segera menjentik-jentik itil itu dengan jari telunjuknya sebelum kemudian menggigitnya rakus.

“Aghmph…” Nyai Siti langsung mendesah dan sedikit menggelinjang. Dewo sangat senang karena Nyai Siti menyukai dan keenakan oleh jilatan lidahnya. Dari liang sanggama perempuan itu mulai keluar lendir yang terasa asin.

Dewo terus mencucup dan menghisapnya hingga lendir itu banyak yang tertelan masuk ke kerongkongannya. Diperlakukan seperti itu membuat Nyai Siti seperti kesetanan. Tubuhnya bergetar hebat dan ia semakin merintih sambil meremasi sendiri kedua tetek besarnya. Disaat Nyai Siti masih mendesis kegelian, Dewo dengan brutal kemudian memasukkan kontolnya ke vagina perempuan cantik itu.

“Oughhh… oughhh…” hanya rintihan suara itu yang terdengar pelan dari mulut Nyai Siti karena teredam oleh celana dalamnya. Tangan istri Kyai Kholil itu mengalung di leher Dewo dengan erat dan kuat, matanya membeliak-beliak sambil meremasi sendiri kedua teteknya.

Melihat itu, Dewo langsung mengulum dan menghisapi puting Nyai Siti. Pentil susunya yang berwarna coklat kemerahan terasa mengeras saat ia hisap kuat-kuat. Makin lama menyodok dan mengaduk-aduk, Dewo merasakan lubang memek Nyai Siti menjadi semakin basah. Rupanya semakin banyak lendir yang keluar. Bunyinya cepok… cepok… cepok… setiap kali batang kontol Dewo menusuk masuk.

Sampai akhirnya tubuh Nyai Siti mengejang saat mendapatkan orgasmenya, namun Dewo masih terus menggenjot kuat. Kontolnya ia tekan hingga bibir memek Nyai Siti yang berkerut-kerut seperti ikut melesak masuk. Namun saat ditarik, seluruh bagian dalamnya seakan ikut keluar, termasuk jengger ayamnya yang menggelambir.

Pemandangan itu membuat Dewo kian terangsang dan kian bersemangat untuk memompa. Apalagi tetek besar Nyai Siti juga ikut terguncang-guncang mengikuti hentakan yang ia lakukan. Dewo makin bernafsu dan makin mempercepat irama kocokannya.

Nyai Siti tak dapat menyembunyikan kenikmatan yang ia rasakan. Perempuan itu merintih dan mendesah dengan mata membeliak-beliak menahan nikmat. Sesekali ia remasi sendiri susunya sambil mengerang-erang. Dan kembali istri Kyai Kholil itu orgasme, tubuh moleknya terkejang-kejang dengan cairan memek memancar deras.

“Aghh…” Dewo juga memperoleh kenikmatan yang sangat sulit untuk dilukiskan. Meski lubang memek Nyai Siti semakin terasa longgar, tetapi tetap memberi kenikmatan tersendiri hingga pertahanannya nyaris jebol.

Dewo segera menghentikan genjotannya. Dengan tubuh masih menindih Nyai Siti dan kontol tetap menancap di liang memeknya, Dewo mendekatkan wajah ke muka Nyai Siti dan mengambil celana dalam yang menyumpal di mulut perempuan cantik itu. Celana itu terasa sangat basah karena air liur Nyai Siti yang terserap ke serat kain, sehinga kerongkongan Nyai Siti jadi sangat kering sekali.

“Kasihan kamu, lonteku. Kamu pasti kehausan ya?” tanya Dewo. “buka mulutmu, Nyai,”

Saat Nyai Siti membuka mulutnya, Dewo segera meludahkan air lurnya beberapa kali ke dalam mulut Nyai Siti. Dengan rakus Nyai Siti langsung mengecap dan menelannya karena sangat haus, dan menimbulkan sensasi luar biasa saat dirinya menelan ludah Dewo.

Kedua kaki Nyai Siti yang panjang langsung membelit pinggang Dewo dan menekannya kuat-kuat. Selanjutnya ia membuat gerakan memutar pada pinggul dan pantatnya. Memutar dan seperti mengayak. Akibatnya batang kontol Dewo yang berada di kedalaman lubang vaginanya serasa diperah. Kenikmatan yang Dewo rasakan kian memuncak. Terlebih ketika dinding- dinding vagina Nyai Siti tak hanya

Memerah, tetapi juga mengempot dan menghisap. Kenikmatan yang diberikan oleh perempuan itu benar-benar makin tak tertahankan.

”Aaahh… ssshh… enak banget. Aku nggak kuat… enak banget…!!” Dewo merintih, dan… Plupp…!!! Suara kontolnya saat terlepas dari memek Nyai Siti.

Dewo kemudian berdiri dan membiarkan Nyai Siti telentang di atas daun pisang untuk beristirahat. Dewo tidak ingin keluar dengan begitu cepat. Ia kemudian melepas kaosnya dan kemudian merobeknya. Penuh nafsu Dewo memandangi Nyai Siti yang masih telentang dengan jilbab dan jubah yang sudah terangkat hingga ke pinggang serta kancing  jubah atas yang terbuka seluruhnya hingga kedua bulatan payudaranya mengintip keluar.

Dengan sensasi ini Dewo kemudian mendekati Nyai Siti dan membuatnya tengkurap. Dewo kemudian mengikat tangan Nyai Siti ke belakang dengan menggunakan sobekan kaosnya, dan membalikkannya telentang. Selanjutnya Dewo menduduki dada Nyai Siti dan mengangkat kepalanya agar menyepong lagi batang kontolnya. Kali ini Dewo tidak melakukannya dengan brutal, karena dia menginginkan air liur Nyai Siti untuk membasahi kontolnya.

Setelah dirasa cukup, Dewo menarik kontolnya dari mulut Nyai Siti dan kemudian menyumpal lagi mulut perempuan itu dengan celana dalamnya. Berikutnya dengan kasar Dewo menunggingkan pinggul Nyai Siti dan mengangkat jubahnya sampai ke perut dan tanpa ampun langsung menyodomi anus istri Kyai itu. Malam itu Dewo seperti ingin melampiaskan semua hasratnya yang tertahan cukup lama pada Nyai Siti.

Aksi yang dilakukannya sampai hampir satu jam membuat Nyai Siti orgasme beberapa kali dan membuat anusnya lecet sampai mengeluarkan bercak darah. Perempuan itu sudah terlihat hampir pingsan, namun Dewo senang sekali bisa memperlakukan Nyai Siti dengan brutal, kasar, dan kotor. Nyai Siti sendiri sangat heran dengan Dewo malam ini, karena sudah mengentot anus, mulut, dan memeknya, tapi belum keluar setetes pejuh pun dari kontol lelaki tua itu. Dewo benar-benar kuat malam ini. Meski kepayahan, tapi tak urung Nyai Siti tersenyum juga menikmatinya.

“Nyai, istirahatlah beberapa menit karena aku akan memberikan sensasi baru untukmu,” kata Dewo.

“Aku sangat puas dan senang sekali, Tuan mau memaki anus, mulut, dan memekku. Walaupun aku lelah, aku sangat ingin melayani apa yang Tuan inginkan,” jawab Nyai Siti, terengah.

Mendengar ucapan Nyai Siti yang seolah masih mampu itu, Dewo kemudian meminta Nyai Siti untuk menjilati kaki-kakinya; mulai dari telapak sampai ke paha dan batang kontolnya. Nyai Siti pun dengan patuh melakukannya. Sensasi itu membuat kontol Dewo semakin menegang panjang. Birahinya kembali naik.

Segera dimintanya Nyai Siti untuk rebah telentang. Dewo kemudian merobek sisa baju yang dikenakan Nyai Siti dan menempatkan batang kontolnya diantara payudara perempuan cantik itu. Nyai Siti yang mengerti segera menjepit kontol panjang Dewo dengan bulatan payudaranya, ia tekan dua gunung kembar yang sangat besar itu memakai kedua tangannya.

“Ehm… aku suka susumu, Nyai.” rintih Dewo yang mendapat pijatan nikmat. Ia menikmati aksi Nyai Siti sambil membayangkan Salamah, apakah payudara gadis itu juga akan seenak ini saat dipakai nanti? Hmm, mudah-mudahan saja.

Goyangan tetek Nyai Siti semakin kencang. Dan puncaknya, ia menjepit kontol panjang Dewo sambil mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi. Dewo mengejang saat kedutan pada batang penisnya kian terasa. Sampai akhirnya, “….ini, Nyai, madunya keluar…!!!” Dia menjerit begitu cairan pejuhnya muncrat membasahi muka Nyai Siti.

Nyai Siti langsung membuka mulutnya untuk menerima semburan pejuh Dewo yang sangat banyak sekali. Setelah dikulum dan ditampungnya beberapa saat, cairan kental itu kemudian langsung ia telan semuanya. Selanjutnya Nyai Siti membersihkan kontol Dewo dengan menjilat-jilatnya gemas.

Benar-benar di luar dugaan, mereka bercinta di alam bebas dengan diiringi kesunyian malam selama hampir tiga jam. Sementara itu Bayu masih belum sadar karena lukanya juga lumayan parah, kepalanya tampak berdarah.

Dewo kini berniat untuk membuktikan kata-kata Nyai Siti. “Nyai, ayo ikut aku sebentar,“ kata Dewo sambil menggandeng tangan Nyai Siti menjauh dari hamparan daun pisang. “Aku mau beol nih…!” Dewo kemudian berjongkok, “mana mulutmu buat nampung air kencingku?” tagihnya.

Nyai Siti segera tengkurap ke tanah dengan muka menghadap selangkangan Dewo. Rakus ia mengulum kembali kontol panjang Dewo yang mulai mengalirkan air seni secara perlahan-lahan. Nyai Siti langsung meminum dan meneguk semuanya. Dan sementara Dewo beol mengeluarkan kotorannya, Nyai Siti tetap setia mengulum dan menjilati kontol laki-laki itu yang sesekali mengeluarkan kencing saat mengejan.

Selesai beol, Dewo kemudian meminta Nyai Siti untuk telentang beralaskan daun pisang. Ia lalu memposisikan anusnya di mulut Nyai Siti. Nyai Siti yang tahu keinginan Dewo segera melakukan tugasnya menjilati anus Dewo yang barusan beol sampai bersih. Setelah dirasa cukup, Dewo kemudian memakai celana kolornya kembali.

“Nyai, mari kita pulang… dan bocah ini kita bawa ke rumah, akan aku jadikan pelayanku,” kata Dewo puas.

“Baik, Paman Dewo.” Nyai Siti buru-buru membenahi jubah dan jilbabnya, sedang bh dan cd-nya tidak bisa dipakai lagi karena disobek oleh Dewo.

Dewo dengan bertelanjang dada kemudian memanggul tubuh Bayu untuk dibawa ke rumah Kyai Kholil.

NYONYA MAJIKAN

Aku sempat melihat ekor gerakan sesosok bayangan melintas di samping rumah. Tempias cahaya lampu taman membantu mataku untuk melihat sosok itu melompat pagar rumah tuanku. Namun, hujan yang turun deras membuat malam makin kelam, hingga aku kehilangan jejak orang yang mencurigakan itu. Kuedarkan pandanganku. Tapi, orang itu terlalu sigap menyelinap.

Aku mencoba menakutinya dengan menggonggong sangat keras. Kuharap orang itu panik, dan kabur dengan sendirinya. Tapi aku kecewa. Beberapa gonggongan panjang yang kulepas tak mendapatkan reaksi apa-apa. Malam tetap terbungkus kesunyian. Dan aku merasa menggigil sendirian. Jejak bedebah itu tak kulihat lagi. Aku pun bergidik. Bayangan kengerian mengepungku: orang itu menjeratku dengan kawat baja dan mengantarkan tubuhku di penjual tongseng, seperti ratusan bahkan ribuan kawan-kawanku.

Kantuk yang menggelayut di mataku keempaskan. Tatapan mataku terus kebelalakkan. Begitu orang itu tampak, akan langsung kuterkam. Gigi dan taringku rasanya sudah tidak sabar mengoyak urat nadi di lehernya. Awas! Waspadalah hei bedebah!

Aku menggonggong lagi. Sangat keras. Kukatakan, aku sangat tidak senang kepada tamu yang tidak sopan, yang datang malam-malam dan menambah pekerjaaanku. Semestinya aku sudah tidur, bermimpi bisa bertemu dengan Moli, anjing tetangga yang lama kutaksir itu. Aku sangat ingin bercinta dengannya, dalam mimpiku malam ini. Tapi cita-cita itu telah digugurkan oleh orang yang tidak tahu diri itu. Dasar tidak manusiawi!

Mendadak kudengar sebuah benda jatuh di depanku. Kuamati. Ternyata segumpal daging sapi segar. Aku sangat hafal baunya. Tuanku setiap pagi dan sore memberiku daging seperti itu. Si pelempar itu mungkin menduga aku langsung menyantap daging itu. Aku tersenyum masam. Daging itu hanya kulihat lalu kutinggalkan. Aku bukan anjing bodoh yang tidak bisa membedakan mana daging segar dan mana daging penuh racun. Orang itu juga terlalu meremehkan. Dia mengira aku bisa diakali hanya dengan segumpal daging. Bukannya sombong. Pengalamanku menjadi anjing belasan tahun membuat aku sangat terlatih untuk membedakan mana pemberian yang tulus dan mana pemberian yang basa-basi, penuh pamrih bahkan ancaman. Melihat caranya memberikan daging saja aku sudah sangat tersinggung. Betapa orang itu tak punya sopan santun. Aku memang sangat mengharap pemberian orang, tapi aku bukan pengemis. Meskipun anjing, aku tetap punya harga diri. Martabat anjing harus kujunjung tinggi.

Mungkin orang itu kecewa, melihat aku acuh tak acuh. Tapi dia tidak menyerah. Ini usaha yang sangat kuhargai. Ia melemparkan lagi segumpal daging. Kali ini lebih besar. Namun, aku hanya menatapnya sebentar, lalu berlalu. Aku memang sengaja mengaduk-aduk perasaannya, biar dia kecewa dan mengurungkan niat buruknya untuk mencuri. Sengaja kupakai cara yang lebih manusiawi agar tidak jatuh korban. Aku tak ingin lagi melihat ada maling babak belur bahkan mati dihajar massa gara-gara tertangkap. Aku sangat sedih dengan nasib manusia yang celaka itu, meskipun hal itu membuat aku bersyukur: ternyata menjadi anjing seperti aku jauh lebih beruntung daripada menjadi orang miskin. Sungguh, aku mensyukuri rahmat ini.

Lama tak ada reaksi. Aku menduga orang itu kecewa, lalu pergi begitu saja. Diam-diam aku pun bersyukur, malam ini ada orang telah mengurungkan niat jahatnya. Bagiku ini sebuah prestasi. Meskipun aku ini hanya anjing, binatang yang sering dicerca dan dinistakan, aku toh masih punya niat baik.

Namun, kebanggaan yang diam-diam menggumpal dalam rongga dadaku itu, akhirnya pudar. Ketika aku mengitari rumah tuanku, aku melihat orang itu duduk di pojok halaman di bawah pohon rambutan. Aku mundur beberapa langkah, siap-siap melawan jika orang itu menyerangku. Kepada sesama anjing, aku bisa menduga niatnya. Tapi kepada manusia? Ah, hati manusia tak bisa dijajaki. Penuh misteri. Mereka bisa saja menyimpan rapi kekejaman di balik senyum ramahnya. Aku harus waspada. Awas!

Orang itu tetap saja diam. Aku mencoba mendekat. Ia tetap diam. Kuberikan gonggongan lirih, seperti berbisik. Tapi dia memberikan isyarat agar aku diam. Aku pun menurut. Kudekati dia. Kuamati orang itu. Dari tempias cahaya lampu, tampak wajahnya lebih tua dari usianya, penuh kerut-merut. Melihat urat-uratnya, ini pasti orang susah! Urat orang susah sangat tidak teratur dan membentuk garis yang serba melengkung. Aku tahu itu, karena dulu, aku cukup lama bergaul dengan para gelandangan yang mendiami gubuk-gubuk di pinggir sungai, sebelum aku dipungut sebagai anjing piaraan tuanku.

Ya, Tuhan, dia menangis. Baru kali ini kulihat ada calon maling begitu cengeng. Tapi sebentar… tangisnya sangat dalam. Ya sangat dalam. Dan tanpa sadar aku jadi terharu (baru kali ini ada anjing yang terharu). Tapi, aku selalu waspada. Siapa tahu itu tangis buaya. Bisa saja diam-diam ia menyimpan pisau, dan siap dihunjamkan di perutku. Maka, kuambil jarak beberapa depa. Kulihat apa reaksi selanjutnya. Orang itu tetap asyik dengan tangisnya. Ia menyebut empat anaknya yang tidak bisa bayar sekolah dan hendak dikeluarkan gurunya. Ia menyebut anak gadisnya yang kini harus dirawat di rumah sakit karena diperkosa oleh tetangganya. Ia menyebut nama istrinya yang hamil lagi (untuk yang terakhir ini aku terpaksa tidak bisa terharu).

Semula kupikir dia sengaja menjual iba kepadaku. Bukankah kebanyakan manusia itu tukang main drama yang ujung-ujungnya hanya menelikung pihak lain? Tapi, sebagai anjing yang terbiasa membedakan mana yang tulus dan mana yang basa-basi, aku berani menyimpukan bahwa kesedihan orang ini cukup meyakinkan. Entah kenapa, naluriku memaksaku berpikiran begitu.

Aku pun mulai menimbang-nimbang untuk memberikan kebebasan orang ini bisa masuk rumah tuanku, mengambil sedikit barang-barang agar tangis anak istrinya berhenti. Kukibaskan ekorku, mengenai kakinya. Dia memandangku. Kulihat sumur penderitaan yang begitu dalam dan gelap. Tangannya mengelus-elus kepalaku. Kubalas sentuhan itu dengan kibasan ekorku yang menyentuh kakinya. Rupanya ia tanggap. Ia pelan-pelan bangkit, menyiapkan berbagai peralatan, ada besi pengungkit, drei, pukul besi, alat pemotong besi, alat pemotong kaca, linggis kecil dan masih banyak yang lain. Ternyata perlengkapan maling jauh lebih lengkap dan canggih daripada bengkel. Aku terharu sekaligus bangga dengan usahanya untuk menjadi maling beneran. Maling pun tetap harus serius, agar tidak konyol dicincang massa.

Pelan-pelan ia menyelinap ke pepohonan. Hujan turun makin deras. Aku terpejam dan tidak ingin membayangkan apa yang dilakukan orang itu di rumah tuanku. Diam-diam aku merasa berdosa atas pengkhianatanku, namun aku juga berdoa semoga orang itu selamat. Yang kubayangkan hanyalah tangis anak istrinya di rumah.

Dan ternyata apa yang terjadi di dalam melebihi semua bayanganku. Bukan saja mendapat harta curian, orang itu juga memperoleh kepuasan dari istri tuanku yang selama ini memang tidak pernah puas. Ini kuketahui saat aku mengintip setengah jam kemudian setelah orang itu tak kunjung keluar. Dari jendela kamar, bisa kulihat orang itu dan istri tuanku sedang bergumul rapat di meja dapur. Sementara tuanku yang tukang tidur molor di kamar sendirian tanpa pernah mengetahui perbuatan istrinya.

Entah apa yang sebenarnya terjadi. Tapi kalau aku boleh menebak, istri tuanku pasti terbangun saat mendengar suara seseorang yang masuk ke dalam rumahnya. Atau kalau tidak, dia yang baru balik dari kamar mandi, memergoki pencuri itu di ruang tengah. Sempat terjadi pergumulan sejenak, tapi istri tuanku yang sehari-hari berjilbab itu kalah tenaga. Ia dengan mudah diringkus. Si pencuri yang tidak kukenal, demi melihat kemolekan tubuh istri tuanku, perlahan tergiur. Melihat kesempatan yang amat terbuka, iapun memperkosanya.

Tapi dasar istri tuanku yang memang gila seks, diperkosa bukannya berteriak malah menikmati. Dikasih satu malah minta nambah. Jadilah pencuri itu tidak kunjung keluar dari rumahnya, malah kini sibuk memuaskannya. Jilbab yang sehari-hari ia kenakan hanya berfungsi untuk menutupi hasrat bejatnya ini. Wanita itu membalas ciuman si pencuri dengan sangat ganas dan bernafsu, bukti bahwa dirinya sudah terbakar nafsu birahi yang amat sangat. Bahkan tangannya sudah berani meremas dan mengocok penis orang tak dikenal yang sudah masuk ke dalam rumahnya ini.

Orang itu memutar badannya sehingga kepalanya yang tadi berada di atas, kini menghadap ke vagina istri tuanku. Aku yang sudah sering menjilatinya bisa membayangkan bagaimana bentuk benda itu. Kalau sudah terangsang seperti ini, vagina istri majikanku itu akan mekar sempurna dengan permukaan mengkilat basah oleh cairan. Baunya akan semakin kentara, keluar dari lorongnya yang terus berkedut-kedut pelan seiring dengan desah nafasnya.

Pencuri tua itu merengkuk pantat istri tuanku yang montok, yang sehari-hari tertutup oleh gamis panjang untuk menyembunyikan kemolekannya. Dia meremas-remasnya sebentar sebelum lidah dan bibirnya mulai mempermainkan vagina istri tuanku yang berada tepat di depan mukanya. Jilatannya yang agak berbeda, yang aku yakin masih lebih enak jilatanku, ternyata sanggup membuat istri tuanku melenguh.

“Ouh… ouh… aku tak tahan… aku tak tahan… ouhh…” erangnya.

Tapi orang itu tak mempedulikannya, ia terus menjilat dan menghisap dengan begitu rakus. Bahkan terkadang menusukkan lidahnya ke dalam liang vagina istri tuanku yang beraroma harum. Gerakan pantat wanita itu jadi semakin tak karuan. Sebagai balasannya, bibirnya mulai melumat penis pencuri itu dengan penuh nafsu. Jilatan dan hisapannya tampak bervariasi, tanda kalau sudah sering melakukannya. Bukan kepada suaminya, tapi kepada penisku. Anjing penjaga rumahnya!

“Ouhh…” orang itupun melenguh nikmat. Kembali ia berkonsentrasi mengoral vagina perempuan cantik itu. Kali ini dengan ganas dan cepat, sampai istri tuanku jadi menjerit-jerit karenanya. Untung suaminya tidak bangun.

“Aah… Pak! Aku tak tahan… aku tak tahan… masukkan… masukkan sekarang… auh!!”

Tak mempedulikan permintaan itu, pencuri itu semakin bersemangat mengoral vagina indah yang tersaji di depannya. Sampai akhirnya badan istri tuanku menghentak, lalu menggulingkan tubuh di atas meja untuk bertukar posisi. Kini si pencuri yang berbaring, sementara ia sendiri duduk berjongkok dan mengarahkan penis si pencuri yang sudah berdiri tegak ke arah liang vaginanya yang sudah sangat basah, lalu perempuan itu menekan pantatnya ke bawah sampai…

”Blessshh…!!” penis pencuri itu mulai memasuki liang vaginanya perlahan-lahan. Mata istri tuanku tampak nanar berkunang-kunang merasakan kenikmatan yang sukar untuk dilukiskan tersebut.

Perlahan-lahan pantatnya mulai bergerak turun naik, sementara kedua tangannya merengkuh pundak si pencuri sambil bibirnya dengan penuh nafsu menciumi dan menghisap bibir laki-laki tua itu. Semakin lama, gerakan pantatnya menjadi semakin cepat. Kepalanya sudah terdongak dengan deru nafas mendengus seperti orang yang sedang berlari.

“Ehh… euh… hekks… hekss… euh…” dengusan itu terus menerus keluar seiring dengan hempasan pantatnya yang menekan selangkangan si pencuri.

”Ahh… ahh… auh…” laki-laki itu ikut mendengus merasakan penisnya seperti dikocok-kocok, dipelintir dan dihisap-hisap dengan sangat nikmatnya. Matanya terbuka dan menutup untuk menahan nikmat yang tak terperi.

Dengan suara seramai itu, tuanku masih saja tidur. Tidak heran sih, karena sering juga aku menindih tubuh istrinya tepat di sebelahnya, dan dia masih saja tidur. Dia kalau tidur memang seperti orang mati. Karena itulah dia memeliharaku untuk menjaga rumahnya. Namun kali ini aku melalaikan tugas mulia tersebut. Maafkan aku, Tuan.

Merasa kakinya kurang nyaman, istri tuanku segera meluruskan kakinya sehingga dia jadi telungkup menindih tubuh orang tak dikenal itu. Tangannya masih meraih pundak si pencuri sebagai pegangan dan buah dadanya ditempelkan pada dada laki-laki itu. Kemudian kembali ia memaju mundurkan pantatnya agar vaginanya dapat bergesekan dengan penis pencuri itu. Gerakannya menjadi semakin cepat, kedua kakinya mulai kejang-kejang lurus dan erangannya juga semakin memburu.

“Ouh… hekss… heks… heks…”

Dan akhirnya, dia menjerit panjang, “Aaaaaahhhhkkkks…”

Badannya kembali melenting terdiam kaku, mulutnya menggigit pundak pencuri itu dan kedua tangannya menarik pundak laki-laki itu dengan sangat keras. Beberapa detik kemudian keluar helaan nafas panjang darinya seperti melepas sesuatu yang sangat nikmat. ”Ouhhhhhh…” Pantatnya berkedut-kedut, dan terjadi konstraksi yang sangat hebat di dalam vaginanya.

Si pencuri merasakan cengkeraman yang sangat kuat di seluruh batang penisnya dan diakhiri dengan kedutan-kedutan dinding vagina istri tuanku yang seperti memijit-mijit ringan, membuatnya jadi melenguh menerima sensasi yang sangat nikmat ini.

“ohh…” keluhnya.

Kedutan pantat istri tuanku semakin lama semakin melemah dan akhirnya tubuhnya ambruk menindih tubuh si pencuri. Cukup lama dia menikmati sensasi orgasme sambil telungkup lemas di atas tubuh laki-laki itu, sebelum kemudian matanya terbuka menatap sambil berkata, “Sudah sangat lama aku tidak merasakan orgasme yang demikian nikmat… makasih, Pak!“ katanya sambil mengecup bibir pencuri itu.

Laki-laki itu hanya tersenyum manis padanya sambil membalas kecupannya dengan menghisap bibir istri tuanku dalam-dalam. Kedua tangannya memeluk erat sambil kembali menggerakkan pinggangnya ke atas dan ke bawah, membuat penisnya yang masih tegang menancap kembali menggesek dinding-dinding vagina istri tuanku. Gesekan itu memberikan kenikmatan pada mereka berdua.

“Ouhhh… ouhh…” lenguh pencuri itu saat penisnya dengan lancar keluar masuk di liang vagina yang masih tetap sempit menjepit dan meremas-remas begitu ketat itu meski sudah dua kali orgasme.

Begitu juga istri tuanku. Kenikmatan yang mulai kembali menjalari seluruh urat syarafnya membuatnya mendengus nikmat. “Ouhhh… ouhh…”

Gerakan pencuri itu membangkitkan kembali gairahnya yang baru saja mendapatkan orgasme. Gesekan-gesekan ini memberikan kenikmatan padanya sehingga akhirnya pantatnya kembali bergerak maju mundur dan ke atas ke bawah untuk meraih kenikmatan yang lebih. Dia kembali memompakan tubuhnya di atas tubuh si pencuri, dan gerakannya semakin lama menjadi semakin cepat, sambil kembali erangan nikmatnya yang khas keluar dari mulutnya yang tipis.

“Ehh… euh… hekks… hekss… euh…” dengusan itu terus menerus keluar seiring dengan hempasan pantatnya yang menekan selangkangan si pencuri, dan tak lama kemudian kembali kedua kakinya kejang-kejang lurus dan erangannya semakin cepat memburu

“Ouh… hekss… heks… heks…” Dan akhirnya, dia kembali menjerit panjang, “Aaaaaahhhhkkkks…”

Badannya kembali melenting terdiam kaku, mulutnya menggigit pundak si pencuri dengan pantatnya berkedut-kedut ringan. Semakin lama semakin melemah dan akhirnya tubuhnya kembali ambruk menindih tubuh si pencuri untuk kesekian kalinya. Kali ini tidak bisa bergerak lagi karena sudah kehabisan tenaga. Dia menggelosorkan tubuhnya ke samping. Sambil berbaring miring, mereka saling berhadapan dan berpelukan.

Istri tuanku berkata kepada laki-laki itu dengan suara tersengal-sengal kehabisan napas. “Pak, aku sangat lelah… namun sangat puas… tapi kepuasanku belum sempurna kalau vaginaku belum disemprot oleh ini.” katanya sambil meraih penis si pencuri yang masih tegang menantang.

Memang luar biasa besar nafsu seks yang dimiliki oleh istri tuanku ini, bahkan aku sendiri kadang juga kewalahan menghadapinya. Jilbab lebar yang sehari-hari ia kenakan telah dengan sempurna menyembunyikan tabiatnya yang satu ini.

Si pencuri yang belum mencapai puncak, tidak ingin berlama-lama istirahat. Takut nafsunya surut dan penisnya melemah, maka mulai ia menindih tubuh molek istri tuanku. Kembali tangannya meremas-remas buah dada indah milik perempuan cantik itu serta memilin-milin putingnya yang menjulang menantang. Kemudian kembali bibirnya menciumi bibir istri tuanku dengan penuh nafsu sambil mendorong pantatnya begitu kepala penisnya tepat berada di depan liang vagina.

Blessh… penisnya kembali menusuk dan menjelajahi liang sempit yang sudah sangat basah milik istri tuanku itu. Mereka melenguh berbarengan menahan nikmat. Pantat orang itu mulai mengayuh agar penisnya bisa lancar keluar masuk menggesek-gesek dinding vagina istri tuanku yang selalu tidak pernah puas. Gerakannya semakin lama menjadi semakin cepat dan berirama. Di sisi lain, pinggul istri tuanku juga mulai bergerak membalas setiap gerakannya sehingga lenguhan dan erangan nikmat mereka terdengar saling bersahutan.

“Ouh… ohhh… enak banget, Mbak… ohhhh…” dengus orang itu.

“Auh… auh… makasih, Pak! Oouh… nikmatnya… ohhh…” erang istri tuanku. Gerakan pinggulnya kini sudah tak beraturan lagi sehingga terdengar suara yang cukup keras dari beradunya alat kelamin mereka berdua.

Demikian pula dengan gerakan pinggul orang itu, juga semakin keras dan kuat. Hingga akhirnya mulutnya mulai meracau, ”Ouh… Mbak, a-aku… mau… keluar… ouh…”

Dan istri tuanku juga meracau sambil menarik-narik tubuh pencuri itu dengan sangat keras. “Ayo, Pak… bareng-bareng…”

Dan akhirnya secara bersamaan mereka menjerit bersahutan melepas nikmat mencapai orgasme. Badan pencuri itu dan badan istri tuanku melenting sambil terkejang-kejang pelan. Sperma kental pencuri itu terpancar beberapa kali membasahi seluruh rongga vagina istri tuanku ini, yang dibalas olehnya dengan kontraksi dan kedutan-kedutan yang hebat di dalam liang vaginanya, menandakan mereka mendapat puncak orgasme yang tak terlukiskan nikmatnya secara hampir bersamaan.

Lalu badan pencuri itu ambruk jatuh menimpa tubuh istri tuanku. Wanita itu segera menggesernya ke samping agar tidak membebaninya. Mereka berbaring sejenak sambil berpelukan untuk merasakan sisa-sisa orgasme yang masih melanda. Tak lama kemudian, mata istri tuanku terbuka. Ia memandang pencuri itu dengan tatapan penuh kepuasan sambil berkata lemah.

“Baru kali ini aku dapat merasakan berkali-kali orgasme yang luar biasa nikmatnya dalam satu kali persetubuhan… huh, benar-benar melelahkan namun sangat memuaskan dan tak mungkin terlupakan…” katanya sambil mencium mesra bibir laki-laki itu.

Lalu sambungnya lagi, “Kalau tahu senikmat dan sepuas ini yang kudapat dari Bapak… tak perlu pake diancam tadi.” katanya sambil tersenyum. “Dan aku rela menanggung segala akibatnya asal aku bisa mendapatkan nikmat seperti ini dari Bapak…” kata istri tuanku mulai melantur.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 01.30 malam, sudah cukup larut. Pencuri itu harus segera pulang. Maka segera ia berdiri dan mengenakan pakaiannya kembali. Ia bertanya kepada istri tuanku sebelum pergi. “Apakah kita bisa mengulanginya lain waktu?”

“Tentu, Pak. Bahkan malah aku yang meminta pada bapak untuk bisa memberikan kenikmatan seperti tadi lagi dan lagi.“ katanya sambil mencubit mesra pinggang laki-laki itu.

Kemudian dia juga mengenakan pakaiannya kembali lengkap dengan jilbab lebar dan baju panjangnya. Tidak lebih dari lima menit, orang itu telah keluar membawa bungkusan. Aku hanya berdoa semoga saja dia bukan maling yang rakus dan hanya mencuri arloji, hand phone, atau benda lainnya. Dengan langkah yang gagah, ia menjumpaiku. Tangannya mengelus-elus kepalaku. Segaris senyuman kini terpahat di bibirnya.

Aku menunduk. Perasaanku campur aduk. Tiba-tiba kesedihanku pun jebol. Aku menangis dengan suara ringkikan kecil. Orang itu merasa serba salah. Ia merengkuh tubuhku dan hendak memangku aku. Tapi aku menolak dengan halus. Ia mencoba memberiku segumpal daging. Dengan bahasa isyarat, ia meyakinkan bahwa daging itu murni, bukan seperti yang dilemparkannya sebelumnya. Tapi aku merasa kehilangan selera makan.

Tiba-tiba kudengar kegaduhan dari dalam rumah. Tuanku menjerit-jerit histeris, rupanya ia sudah mengetahui kalau rumahnya dibobol. Kudengar ia menyebut kalung berlian milik istrinya yang hilang. Laki-laki gendut itu berteriak-teriak sambil berlari keluar, diiringi letusan senapan yang membabi buta. Kata “maling” diteriakkan berulang-ulang. Aku memukul kaki orang itu dengan ekorku, dan berharap ia segera berlari.

Ia tampak panik, dan canggung. Mungkin ia merasa berat berpisah denganku. Tapi aku terus memaksanya untuk segera lari. Aku sangat panik. Kulihat tuanku berlari makin mendekati tempat pertemuan kami. Senapannya terus menyalak. Aneh, maling itu tetap diam. Aku memaksanya lari. Tapi ia hanya berlindung di balik pohon rambutan. Sial, muncul kilat. Tempat kami mendadak terang dalam sekejap.

Kontan tuanku langsung melepas timah panas. Orang itu tumbang, rebah ke tanah. Muncrat darah merah dari dadanya. Aku menggonggong sangat keras. Aku marah kepada tuanku yang sangat kejam. Tapi tuanku justru mengelus-elus kepalaku. Dia merasa bangga punya anjing piaraan yang telah menyelamatkan hartanya dari jarahan maling malang itu. Aku menggonggong makin keras. Makin keras, hingga orang-orang pun keluar rumah. Mereka mengelu-elukan aku. Hampir tak ada yang peduli dengan mayat maling malang itu yang membujur kaku… Mata maling itu tetap saja melotot, seperti menatapku. Terus menatapku. Aku masih mendengar tangisnya, tangis anak dan istrinya. Tangis itu sangat panjang dan dalam, penuh kesunyian.

BU ANIEZ

Keluarga kami, bertetangga dengan keluarga Pak Aniez, rumah sebelah, terutama mama dan Bu Aniez, walau usia mereka terpaut jauh, mama berusia 46 sementara Bu Aniez 32 tahun. Mama dan Bu Aniez sering belanja bersama atau sekedar jalan-jalan saja. Saya  sering dimintai tolong untuk menyetir, walau mereka bisa mengemudi sendiri.

“Fan, kamu ada acara, nggak?” kata mama jika nyuruh saya.

Mengantar mereka, saya suka, karena aku termasuk anak mama. Sayapun menjadi ikut-ikutan akrab dengan Rida, anaknya Bu Aniez yang baru berusia lima tahun. Rida sering kuajak main. Di balik itu aku mulai senang juga, karena bisa bersama Bu Aniez yang cantik, putih bersih. Nampak anggun dengan pakaian jilbab modis rapat sekali. Di rumahpun dia sering memakai jilbab. Tingginya kira-kira 165 cm, tapi masih tinggian saya sedikit, beberapa centimeteran. Wajahnya cantik, mempesona dan indah, betapa indahnya yang tidak nampak, di balik pakaiannya, apalagi di balik beha? Ah pikirku agak galau. Lambat laun aku menjadi tertarik dengan Bu Aniez ini, gejala ini baru timbul dua bulan terakhir ini. Kami berdua sering beradu pandang dan saling melempar senyum. Entah senyum apa, aku kurang paham? Paling tidak bagiku atau saya yang terlalu GR. Sering suara memanggil lewat bibirnya yang indah “Ifan….” Itu yang menjadi terbayang-banyang, suara sangat merdu bagiku dan menggetarkan relung-relung hatiku. Ia di rumah, bersama Rida dan Parmi, pembantunya. Suaminya kerja di luar kota, pulangnya dua minggu sekali atau kadang lebih.

Pagi itu saya tidak ada jadwal kuliah, setelah mandi, sekitar pukul 08.00 saya keluar rumah, maksudku cari teman untuk kuajak ngobrol. Suasana sepi rumah-rumah di kompleks perumahan kami, banyak yang sudah tutup karena para tetangga sudah pada pergi kerja. Kalaupun ada, hanya pembantu mereka. Tetapi Bu Aniez, rupanya masih ada di rumah, karena mobilnya masih di carport. Mungkin dia belum berangkat kerja. Iseng-iseng aku masuk rumah itu setelah mengetuk pintu tak ada tanggapan. Aku langsung masuk, karena aku sudah terbiasa keluar-masuk rumah ini, bila disuruh mama atau sekedar main dengan Rida. Pagi itu Rida sudah pergi sekolah diantar Parmi. Di dalam rumah, terdengar suara gemercik air dari kamar mandi.

“Siapa ya?” terdengar suara dari kamar mandi

“Saya, Bu, Ifan, mau pinjam bacaan” jawabku beralasan.

“O… silakan di bawah meja… ya”

“Ya Bu, terima kasih…”kataku

Sambil duduk di karpet, membuka-buka majalah, saya membayangkan, pasti Bu Aniez telanjang bulat di bawah shower, betapa indahnya. Tiba-tiba pikiran nakalku timbul, aku pingin ngintip, melangkah berjingkat pelan, tapi tak ada celah atau lubang yang akses ke kamar mandi. Justru dadaku terasa gemuruh, berdetak kencang, bergetaran. Kalau ketahuan bisa berabe! Akhirnya kubatalkan niatku mengintipnya, kembali aku membuka-buka buku.

 

Beberapa menit kemudian terdengar pintu kamar mandi bergerak, Bu Aniez keluar. Astaga…, Tubuh yang sehari-hari selalu ditutup rapat, kini hanya memakai lilitan handuk dari dadanya sampai pahanya agak ke atas, sembari senyum lalu masuk ke kamarnya. Aku pura-pura mengabaikan, tapi sempat kelihatan pahanya mulus dan indah sekali, dadaku bergetar lebih keras lagi. Wah belum apa-apa, sudah begini. Mungkin aku benar-benar masih anak-anak? Pikirku. Rasa hatiku pingin sekali tahu apa yang ada di kamar itu. Aku pingin nyusul! Perhatianku pada bacaan buyar berantakan, fokusku beralih pada yang habis mandi tadi. Dalam kecamuk pikiranku, tiba-tiba Bu Aniez menyapa dari dalam kamar:

“Kamu nggak kuliah, Fan?” katanya dari dalam kamar

“Tid..dak, …eh nanti sore, Bu” jawabku gagap, hari itu memang jadwal kuliahku sore.

Mungkin ia tahu kalau aku gugup, malah mengajak ngomong terus.

Mengapa aku tidak ikut masuk saja, seperti kata hatiku padahal pintu tidak ditutup rapat. Lalu aku nekad mendekat pintu kamarnya dan menjawab omongannya di dekat pintu. Kemudian aku tak tahan, walau agak ragu-ragu, lalu aku membuka sedikit pintunya.

“Masuk saja, enggak apa-apa, Fan” katanya

Hatiku bersorak karena dipersilakan masuk, dengan sikap sesopan-sopannya dan pura-pura agak takut, saya masuk. Dia sedang mengeringkan rambutnya dengan hairdryer di depan meja rias.

“Duduk situ, lho Fan!” pintanya sambil menunjuk bibir ranjangnya.

“Iya,… Ibu… enggak ke kantor”  sambil duduk persis menghadap cermin meja rias.

“Nanti, jam sepuluhan. Saya langsung ke balaikota, ada audensi di sana, jadi agak siang” katanya lagi.

Sesaat kemudian dia menyuruh saya membantu mengeringkan rambutnya dan sementara tangannya mengurai-urai rambutnya. Kembali aku menjadi gemetar memegang hairdryer, apalagi mencium bau segar dan wangi dari tubuhnya. Leher belakang, bahu, punggung bagian atasnya yang putih mulus merupakan bangun yang indah. Aku memperhatikan celah di dadanya yang dibalut handuk itu, dadaku bergetar cepat. Tanpa sengaja tanganku menyenggol bahu mulusnya, ”Thuiiing…” Seketika itu rasanya seperti disengat listrik tegangan 220V.

“Maaf, Bu” kata terbata-bata

“Enggak pa-pa… kamu pegang ini juga boleh. Daripada kamu lirik-lirik, sekalian pegang” katanya sambil menuntun tangan kananku ke arah susunya, aku jadi salah tingkah. Rupanya dia tahu lewat kaca rias, bila saya memperhatikan payudaranya. Dadaku tambah bergoncang. Aku menjadi gemetar, percaya antara ya dan tidak, aku gemetaran memegangnya. Maklum baru kali ini seumur-umur.

Beberapa saat kemudian dia beranjak dari tempat duduknya, sambil berkata:

“Kamu sudah pernah sun pacarmu, belum?” tanyanya mengagetkan

“Ah.. Ibu ada-ada aja, malu….kan…”

“Ngapain malu, kamu sudah cukup umur lho, berapa umurmu?

“Dua puluh satu Bu..”

“Sudah dewasa itu. Kalau belum pernah cium, mau Bu ajari… Gini caranya” katanya sambil memelukkan tangannya pada bahuku. Kami berdiri berhadapan, tubuhnya yang dibalut handuk warna pink itu dipepetkan pada tubuhku, nafasnya terasa hangat di leherku. Wanita cantik ini memandangku cukup lama, penuh pesona dan mendekatkan bibirnya pada bibirku, aku menunduk sedikit. Bibirnya terasa sejuk menyenangkan, kami berciuman. Seketika itu dadaku bergemuruh seperti diterpa angin puting beliung, bergetar melalui pori-pori kulitku.

“Kamu ganteng, bahkan ganteng sekali Fan, bahumu kekar macho. Aku suka kamu.” katanya

“Sejak kapan, Bu?” kataku di tengah getaran dadaku

“Sejak… kamu suka melirik-lirik aku kan?!”

Saya menjadi tersipu malu, memang aku diam-diam mengaguminya juga dan suka melirik perempuan enerjik ini.

“Ya sebenarnya aku mengagumi Ibu juga” kataku terbata-bata

“ Tuh… kan?! Apanya yang kamu kagumi?

“Yeahh, Bu Aniez wanita karier, cantik lagi…” kataku

“Klop, ya…” sambil mengecup bibirku

 

Kembali kami berpagutan, kini bibirku yang melumat bibirnya dan lidah Bu Aniez mulai menari-nari beradu dengan lidahku. Aku mulai berani memeluk tubuhnya, ciuman semakin seru. Sesekali mengecup keningnya, pipinya kemudian kembali mendarat di bibirnya. Karena serunya kami berpelukan dengan berciuman, tanpa terasa handuk yang melilit pada tubuhnya lepas, sehingga Bu Aniez tanpa sehelai kainpun, tapi dia tidak memperdulikan. Rasanya aku tidak percaya dengan kejadian yang aku alami pagi itu. Aku mencoba mencubit kulitku sendiri ternyata sakit. Inilah kenyataannya, bukan mimpi. Seorang wanita dengan tubuh semampai, putih mulus, payudaranya indah, pinggulnya padat berisi, dan yang lebih mendebarkan lagi pada pangkal pahanya, di bawah perutnya berbentuk huruf “V” yang ditumbuhi rambut hitam sangat sedap dipandang. Pembaca bisa membayangkan betapa seorang anak remaja laki-laki berhadapan langsung perempuan cantik tanpa busana di depan mata. Saya memang sering melihat foto-foto bugil di internet, tapi kali ini di alam nyata. Luar biasa indahnya, sampai menggoncang-goncang rasa dan perasaanku. Antara kagum dan nafsu birahi bergelora makin berkejar-kejaran di pagi yang sejuk itu.

Bu Aniez membuka kaosku dan celanaku sekalian dengan cedeku. Dalam hitungan detik, kini kami berdua berbugilria, berangkulan ketat sekali, payudaranya yang indah-montok itu menempel dengan manisnya di dadaku, menambah sesak dadaku yang sedang bergejolak. Perempuan mantan pramugari pesawat terbang ini terus merangsek sepertinya sedang mengusir dahaga kelelakian. Penisku ngaceng bukan main kakunya, saya rasa paling kencang selama hidupku. Apalagi jari-jari Bu Aniez yang lentik nan lembut itu mulai menimang-nimang dan mengocok-ngocok lembut. Rasanya nikmat sekali.

Lambat-laun tubuhnya melorot, sambil tak henti-hentinya menciumiku mulai dari bibir, ke leher, dada dengan pesona permainan lidahnya yang indah di tubuhku. Sampai pada posisi belahan payudaranya dilekatkan pada penisku, digerak-gerakkan, naik-turun beberapa saat. Ah… nikmat sekali.

Sampai dia terduduk di pinggir ranjang, aku masih berdiri, penisku diraih lidahnya menari-nari di ujungnya, kemudian dikulum-kulum. Rasanya luar biasa nikmatnya, sebuah sensasi yang memuncak. Rasanya sampai sungsum, tulang-tulang dan ke atas di ubun-ubun. Tanganku meraih susunya, keremas-remas lembut, empuk dan sejuk dengan puntingnya yang berwarna merah jingga itu. Secara naluri aku pilin-pilin lembut, dia mendesah lirih. Ku rasakan betapa enaknya susunya di kedua telapak tanganku. Setelah sekitar lima menit, dia membaringkan diri di ranjang dengan serta merta aku menindih tubuh molek itu dan dia sambut dengan rangkulan ketat, kami saling membelai, saling mengusap, bergulat dan berguling. Kaki kami saling melilit, dengan gesekan exotic, membuat  tititku kaku seperti kayu menempel ketat pada pahanya. Susunya disodorkan pada bibirku, lalu puntingnya ku-dot habis-habisan, saking nafsunya. Sementara itu kuremas lembut payudaranya yang sebelah, bergantian kiri-kanan. Kepalaku ditekankan pada dadanya, sehingga mukaku terbenam di antara kedua susunya, sambil kuciumi sejadi-jadinya. Perempuan ayu ini mendesis lembut, lalu tangannya mengelus tak melepas penisku.

Aku benar-benar tak tahan, dengan permainan ini nafsuku makin menjadi-jadi, saat ini rasanya penisku benar-benar ngacengnya maksimal sepanjang sejarah, keras sekali dan rasanya ingin memainkan perannya. Aku lalu mengambil posisi menindih Bu Aniez yang tidur terlentang. Pada bagian pinggul antara perut dan pangkal paha tercetak huruf V yang ditumbuhi rambut tipis dan rapi. Ketika aku mencoba membuka pahanya nampak lobang merekah warna pink. Kuarahkan senjataku ke selakangannya, pahanya agak merapat dan kutekan. Tapi rasanya hanya terjepit pahanya saja, tidak masuk sasaran. Paha putih mulus itu ku buka sedikit, lalu kutekan kembali dan tidak masuk juga. Adegan ini saya lakukan berulang kali, tapi belum berhasil juga. Perempuan dengan deretan gigi indah itu malah ketawa geli. Penisku hanya basah karena kena cairan dari Vnya. Dia masih ketawa geli, saya menjadi kesal dan malu.

“Tolonginlah… Bu, gimana caranya…” pintaku

“Kamu keburu nafsu… tapi tak tahu caranya” katanya masih ketawa

 

Lalu Bu Aniez memegang penisku kemudian diarahkan pada selakangannya, tepatnya pada lobang kewanitaannya. Pahanya di renggangkan sedikit dan lututnya membentuk sudut kiri-kanan

“Sekarang tekan, pelan-pelan” bisiknya

Kuikuti petunjuknya, dan kutekan pinggulku hingga penisku masuk dengan manisnya. Saat kumasukkan itu rasanya nikmat luar biasa, seolah-olah aku memasuki suatu tempat yang begitu mempesona, nyaman dan menakjubkan. Pada saat aku menekan tadi, Bu Aniez mengerang lembut.

“Ahhh…..Ifan…….” desahnya

“Kenapa,….. sakit Bu.?.” tanyaku

“Nggak…sihh, enakan….malah “ jawabnya yang kusambut dengan tekanan penisku yang memang agak seret.

“Saya juga enakan, Bu.. enak banget”

“Tarik dan tekan lagi Fan. Burungmu gede mantap….” katanya.

Aku ikuti arahannya dan gerakan ini menimbulkan rasa sangat nikmat yang berulang-ulang seiring dengan gerakan pinggulku yang menarik dan menekan. Saat aku tekan, pinggul Bu Aniez ditekan ke atas, mungkin supaya alat seks kami lebih ketat melekat dan mendalam. Di bawah tindihanku dia mengoyang-goyangkan pinggulnya dan kedua kakinya dililitkan ketat pada kakiku. Kadang diangkat ke atas, tangannya merangkul bahuku kuat sambil tak hentinya menggoyangkan pinggulnya. Aku melakukan gerakan pinggul seirama dengan gerakannya. Sesekali berhenti, berciuman bibir dan mengedot susunya. Kami benar-benar menyatu. Nikmat abiz!

“Enak ya Fan, beginian?!” katanya disela-sela kegiatan kami

“Yah.. enak sekali Bu” kataku

Kami melakukan manuver gerakan bergulung, hingga Bu Aniez di atasku. Dalam posisi begini ia melakukan gerakan lebih mempesona. Goyangan pinggulnya semakin menyenangkan, tidak hanya naik turun, tetapi juga meliuk-liuk menggairahkan sambil mencuimiku sejadi-jadinya. Kedua tangannya diluruskan untuk menompang tubuhnya, pinggulnya diputar meliuk-liuk lagi. Setelah sekitar lima belas menit, suasananya semakin panas, sedikit liar. Perempuan berambut sebahu itu makin bergairah dan menggairahkan, susunya disodorkan pada bibirku dan ku santap saja, saya senang menikmati susunya yang montok itu. Dalam menit berikutnya gerakannya makin kuat dan keras sehingga ranjangnya turut bergoyang. Kemudian merebahkan diri telungkup menindihku, dengan suaranya.

“Ah.. uh… eh…. a….ku…..keluarrr  Fan” katanya terengah-engah.

Aku terpana dengan pemandangan ini, bagaimana tingkahnya saat mencapai puncak, saat orgasme, benar-benar mengasyikkan, wajahnya merona merah jambu. Sebuah pengalaman benar-benar baru yang menakjubkan. Nafasnya terengah-engah saling berburu. Beberapa menit kemudian gerakan pinggulnya makin melemah dan sampai berhenti. Diam sejenak kemudian bergerak lagi “Ah…” orgasme lagi dan beberapa saat kemudian wanita yang susunya berbentuk indah ini terkapar lemas, tengkurap menindih tubuhku.

Suasananya mendingin, namun aku masih membara, karena penisku masih kuat menancap pada lobang kewanitaan Bu Aniez, kemudian di merebahkan disisiku sambil menghela nafas panjang.

“Aku puas Fan…”

“Permainan Bu hebat sekali” kataku

“Sekarang ganti kamu, lakukan kayak aku tadi” katanya lagi

Kemudian aku kembali menunggangi Bu Aniez, dia terlentang pahanya dibuka sedikit. Dan penisku kuarahkan pada selakangannya lagi seperti tadi, disambut dengan tangannya menuntun memasukkan ke Vnya.

“Tekan Fan! Main sesukamu, tapi jangan terlalu keras supaya nikmat dan kamu tahan lama.”  Sambil memelukku erat kemudian mencium bibir.

Saya mulai memompa wanita cantik bertubuh indah ini lagi, dengan menggerak-gerakkan pinggulku maju-mundur berulang-ulang. Ia menyambut dengan jepitan vaginanya ketat terasa mengisap-isap. Saat kutekan disambut dengan jepitan ini yang seolah dapat merontokkan sendi-sendiku. Dan tentu saja menimbulkan rasa nikmat bukan kepalang. Nikmat sekali! Sampai pada saatnya, beberapa menit kemudian…

“Aku mau keluar Bu…….” kataku terengah-engah

“Tahan dulu Sayang, aku juga mau keluar lagi kok… terus digoyang…nih… pentilku didot” katanya terengah-engah juga.

Aku mengedot susunya dan meremas-remas, sambil memompanya. Sepertinya aku diajak melayang-layang di angkasa tinggi. Setelah beberapa menit, ada sebuah kekuatan yang mendorong mengalir dari dalam tubuhku. Semua tenaga terpusat di satu tempat menghentak-hentak menerobos keluar lewat penisku. Spermaku keluar memancar dengan dahsyatnya, memenuhi lorong birahi milik Bu Aniez, diiringi dengan rasa nikmat luar biasa.  “Ahh….uh…ehh..”suara erangan kami bersahut-sahutan.

Nafas kami berdua terengah-engah saling memburu, kejar-kejaran. Betapa nikmatnya perempuan ini walau lebih tua dari saya, tapi dahsyat sekali. Bu Aniez sangat mempesona. Saya memang pernah mengeluarkan sperma dengan cara onani atau mimpi basah, tapi kali ini mani-ku yang memancar dan masuk ke vagina seorang perempuan, ternyata membawa kenikmatan luar biasa dan baru kali ini aku rasakan, dengan dorongan yang menghentak-hentak hebat, apalagi dengan Bu Aniez, seorang perempuan yang aku kagumi kecantikannya. Seolah-olah ujung rambutku ikut merasakan kenikmatan ini. Dahsyat dan menghebohkan!

Setelah beberapa menit aku terkapar lemas di atas tubuh wanita si kaki belalang itu (ini istilahku; kakinya indah sekali kayak kaki belalang), lalu melihat jam di dinding menunjuk pukul 09.16. Astaga, berarti aku bermain sudah satu jam lebih. Lalu aku mencabut penisku, dan segera ke kamar mandi diikuti Bu Aniez, sambil mencium pipiku.

“Terima kasih ya Fan” katanya sambil menciumku

“Sama-sama Bu..” kami kembali berciuman.

Aku berpakaian kembali, kemudian segera keluar rumah, karena takut kalau-kalau Parmi dan Rida pulang.

Sore harinya ada kuliah di kampus, selama mengikuti kuliah aku tidak concern pada dosen. Aku selalu teringat pagi itu, betapa peristiwa yang menyenangkan itu berlangsung begitu mulus, semulus paha Bu Aniez. Padahal hari-hari sebelumnya, mendapat senyumannya dan melihat wajahnya yang cantik, aku sudah senang. Tadi kini aku telah merasakan semuanya! Sebuah pengalaman yang benar-benar baru sekaligus negasyikkan. Lalu aku nulis sms.

“Gimana Bu Aniez, lanjutkan?” teks SMSku

“Kapan, …Yang….?” jawabnya

Lalu kami sepakat malam ini dilanjutkan. Mama dan papaku pergi keluar rumah pukul 19.00 ada acara di kantor papa. Sebelum berangkat, saya pamit mama dan aku beralasan pada mama untuk mengerjakan tugas di rumah teman.

“Mungkin, kalau kemalaman saya tidur di sana Ma” kataku pada mama

Semula mama keberatan, tapi akhirnya mengijinkan.

Aku sudah tidak sabaran, kepingin rasanya ke rumah sebelah. Tapi Bu Aniez bilang kalau datang nanti setelah Rida dan Parmi tidur. Rasanya menunggu kayak setahun.

Sekitar pukul sembilan malam ada sms masuk dari Bu Aniez

“Mrka dah tdr, kemarilah…”

“Aku berangkat, Mi” kataku pada pembantuku, tahunya aku ke rumah teman.

“Nggak pakai motor Mas..?” tanya Mimi

“Dijemput temanku diujung jalan” kataku

Malam itu gerimis, aku berangkat ke rumah sebelah, tapi jalanku melingkar lingkungan dulu untuk kamuflase, agar Mimi tidak curiga.

Setelah mengambil jalan melingkar, aku langsung masuk rumah dan disambut Bu Aniez dan langsung masuk kamar. Nyonya rumah mengunci pintu, mematikan lampu tengah dan masuk kamar. Rida tidur di kamar sebelah, sedang Parmi tidur di kamar belakang dekat dapur dan akses ke ruang utama di kunci juga. Sehingga cukup aman.

Lampu meja kamar masih menyala redup, Bu Aniez masuk kamar dan mengunci pintu dengan hati-hati. Dia mengembangkan tangannya dan kami berpelukan kembali. Seperti sepasang kekasih yang sudah lama tidak ketemu. Kami mulai bermain cinta, kucium bibir indah perempuan ini, kamipun mulai hanyut dalam arus birahi. Malam itu ia memakai gaun tidur katun dominasi warna putih berbunga, kubuka kancingnya dan kelepas dengan gemetaran. Beha dan cedenya warna putih dan indah sekali. Diapun mulai membuka kaos lalu celana panjang yang kupakai, kami kembali berpelukan, bercumbu saling beradu lidah dan setiap inci kulit mulusnya kuciumi dengan lembutnya.

“Kamu tak usah keburu-Buru, waktu kita panjang” katanya

“Ya, Bu tadi pagi saya takut ketahuan…maka buru-buru.” kataku sambil membuka kait behanya, (agak lama karena belum tahu caranya) dan menarik pita yang melingkar di kedua bahunya. Lalu aku menciumi payudaranya wajahku kubenamkan di sela-selanya, sambil mengedot punting susunya bergantian kiri kanan. Saya suka sekali memainkan benda kembar milik Bu Aniez ini. Perempuan cantik itu mulai mendesah lembut. Lalu kutarik cedenye ke bawah melalui kakinya dan diapun menarik juga cedeku, kami saling tarik dan akhirnya kami tanpa busana seperti pagi tadi pagi.

Kami berdua mulai mendaki gunung birahi, bergandengan tangan bahkan berpelukan menaiki awan-awan nafsu dan birahi yang makin membara. Nafas desah dan leguhan beriring-iringan dengan derai hujan di luar rumah. Kucoba memainkan seperti di bf yang pernah aku lihat. Pahanya kubuka lebar-lebar aku mempermainkan Vnya dengan jemariku, bibir, klitoris, serta lobangnya berwarna merah jambu menggairahkan. Sesekali kumasukkan jariku dilobang itu dan menari-nari di sana. Lalu tak ketinggalan lidahku ikut menari di klitorisnya dan mengedot-edot. Kuperlakukan demikian perempuan matang-dewasa itu bergelincangan sejadi-jadinya. Bu Aniezpun tidak kalah dahsyatnya dia mengedot penisku penuh nafsu. Lidahnya menari-nari pada kepala Mr P-ku, berputar-putar dan kemudian diemut, diedot habis-habisan, nikmat sekali. Kami saling memberi kenikmatan, saya sampai kelimpungan.

“Ayoo…masukkan Fan…, aku tak tahan….” bisiknya terengah-engah, setelah beberapa menit  mengedot.

Saya mulai memasukkan kelelakianku ke dalam lubang kewanitaannya, memompa sepuas-puasnya. Kami berdua benar-benar menikmati malam itu dan ber-seks-ria yang mengasyikkan bersama si tubuh indah putih itu, dengan bentuk pinggul yang menggetarkan itu.

Pendakian demi pendakian ke puncak kenikmatan kami lalui berdua yang selalu diakhiri kepuasan tiada tara, dengan menghela nafas panjang, nafas kepuasan. Kami terkapar bersama, di atas ranjang. Kami saling mengusap, dan mencium lembut, setelah selakangannya ku bersihkan dengan tisu dari spermaku yang tumpah keluar vaginanya. Kami berbaring berpelukan, masih telanjang, kaki kananku masuk di antara pahanya, sementara paha kirinya kujepit di antara pahaku. Kaki kami saling berlilitan.

“Fan, sementara aku sendirian….dan kamu ‘belum terpakai…’ kita bisa main kayak gini ya…” katanya sambil mengusap-usap dadaku, setelah keletihan sirna.

“Ya Bu, saya juga suka kok, bisa belajar sama Bubu Aniez…” kataku yang disambut dengan kecupan dipipiku.

“Aku jadi ingat Fan, ketika kamu sunat dulu, saya baru saja menempati rumah ini. Ingat nggak?” katanya sambil menimang-nimang tititku.

“Ingat Bu, waktu itu Bu Aniez manten baru ya… Dan ternyata Bu Aniez yang pakai pertama kali senjataku ini….” jawabku dan dia mengangguk mengiyakan jawabanku sambil tersenyum lebar.

Malam semakin pekat dan dingin, namun api cumbuan semakin membara. Berbagai gaya telah diperkenalkan oleh Bu Aniez, mulai dari gaya konvensional, 69, dogie sytle, sampai gaya lainnya yang membawa sensasi demi sensasi. Beberapa puncak kenikmatan telah kuraih bersama Bu Aniez. Sayang sekali saya lupa sampai berapa kali aku mencapai puncak kenikmatan. Entah sampai berapa kali aku menaiki Bu Aniez, malam itu? Kulihat Bu Aniez tidur pulas setelah melakukan beberapa kali pendakian berahi yang melelahkan, sampai tak sempat berpakaian kembali. Terngiang olehku sesekali bisikannya setelah tenaganya pulih kembali:

“Lagi yukk Fan…” kemudian kamipun memulai lagi.

Pagi telah tiba, dengan pelan aku membuka mata, namun tidak membuat gerakan dan menggeser posisiku pagi itu. Saya terjaga masih berpelukan dengan Bu Aniez  dan aku yang hanya berselimut. Sambil kulihat sekitar kamar, pakaianku bercampur dengan pakaian Bu Aniez berantakan di lantai kamar. Wanita cantik itu tersentak ketika melihat jam dinding menunjukkan pukul 05.05, rencananya aku akan pulang subuh tadi, sebelum Parmi bangun, tapi kami keenakan kelonan, tertidur, kesiangan. Apalagi semalaman hampir tidak tidur, mengarungi samudra raya kenikmatan bersama Ibu ayu ini.  Lalu aku bertahan, di dalam kamar sampai Parmi mengantar Rida berangkat sekolah.

Setelah Parmi pergi bersama Rida, aku bersiap pulang tapi sebelumnya kami mandi bersama. Lagi-lagi nafsu menyala-nyala kembali, lalu aku bergulat lagi dengan Bu Aniez, sampai kepuasan itu datang lagi. Aku baru pulang, sekitar pukul 07.30 dan Bu Aniez berangkat kerja dan menitipkan kunci rumah ke saya seperti biasanya dan nanti diambil Parmi.

Langkah hubungan ini masih berjalan dengan manisnya, tanpa hambatan berarti. Hambatannya hanya, bila di rumahnya situasi tidak memungkinkan, karena ada orang lain atau suaminya di rumah. Lima tahun sudah aku berjalan dalam lorong-lorong kenikmatan yang menyenangkan bersama Bu Aniez. Kalau tidak di rumah, di rumahku juga pernah dan sesekali kami lakukan di hotel, bila kondisi rumah tidak memungkinkan. Di rumah biasanya pagi hari menjelang Bu Aniez berangkat ke kantor, sementara dan Rida dan Parmi ke sekolah.

Seperti pagi itu aku dapati dia siap berangkat ke kantor, sudah pakai bleser dan celana coklat muda dan kerudung coklat motif Bunga, pakaian seragam kerja. Aku masuk ke rumahnya, langsung berpelukan dan berciuman mesra. Serta merta aku membuka kancing dan membuka celana panjang dan cedenya dengan cepat.

“Kok tidak tadi… Saya mau berangkat nih…?

“Tadi bantu mama dulu. Sebentar aja kok Bu, kita sudah dua minggu tidak main” bisikku.

Dia tidak mau di bad, karena sudah pakaian rapi, nanti pakaiannya kusut, berantakan. Hanya dengan gaya doggie style, dia menunduk, tangannya berpegangan pada bibir meja.  Lalu saya masukkan tititku dari belakang. Sudah beberapa menit, menembak tapi saya belum sampai puncak.

“Saya capek Fan, gini… aja….” katanya terengah-engah sambil berdiri dan tititku tercabut.

Kemudian perempuan yang masih menggunakan bleser dan kerudung itu duduk di meja, kedua tangannya ke belakang menompang tubuhnya. Sedangkan kedua kakinya diangkat dan ditaruh di atas kedua lenganku, sehingga tempiknya (Vnya), tampak merah merekah menantang. Lalu aku segera memasukkan kembali tititku pada lobang kehormatannya itu.

“Cepetan keluarkan Fan, terlambat aku nanti….” katanya lirih.

“Ya Bu” kataku sambil mulai menggenjot kembali.

Kegiatan ini seperti gerak hidrolis, keluar-masuk, namun nikmatnya luar biasa. Sampai beberapa menit kemudian aku keluarkan dengan tenaga hentakan kuat dan ditandai pancaran spermaku keluar kencang dengan kenikmatan dahsyat pula. Bu Aniez juga mengerang panjang bersaut-sautan, sambil memeluk aku erat sekali dan mencium bibir, kakinya ditautkan pada pinggangku. Beberapa menit kemudian selesai, saya mengeluarkan sperma dengan semprotan yang tidak kalah dahsyatnya dari waktu-waktu sebelumnya, mengantar kepada kepuasan, walau terkesan tergesa-gesa. Setelah membersihkan diri, perempuan tinggi semampai itu bergegas memakai celananya kembali. Kemudian aku mencium keningnya lalu dia berangkat ke kantor. Pagi itu rasanya nikmat sekali seperti hari-hari sebelumnya.

Rasanya saya tidak bosan-bosannya menikmati hubungan ini bersama Bu Aniez. Makanya banyak orang yang suka main beginian, tua muda semuanya, seperti yang sering kita baca dan lihat di media. Kini Bu Aniez bertambah anak, Refa namanya yang berumur empat tahun, mungkin saja dia itu hasil benihku. Sementara lakon itu kini masih berlangsung.

Tamat.

MURTI 13 : AISYAH

Murti menjanda. Sudah genap seratus hari sejak kematian Pak Camat, Murti menyandang status barunya. Bahkan orang-orang menambahi embel-embel di belakang status barunya sehingga lengkap sudah; Murti si janda kembang. Sudah menjanda, kaya pula. Tidak heran kalau banyak lelaki yang antri, baik yang terang-terangan ataupun yang sembunyi-sembunyi. Tapi Murti tetap setia bersama Gatot dan orang-orang komplek mulai yakin kalau Murti dan Gatot memang ditakdirkan untuk menjadi pasangan dewa-dewi. Sang dewa seorang duda, sang dewi baru saja menjanda. Cocok sekali.

Sekarang Murti sudah mau belajar nyetir dan gurunya adalah Gatot. Tiap hari sepulang dari mengajar, Murti langsung memanggil Gatot lewat dapur rumahnya. Kadang yang muncul adalah Gatot sendiri, tetapi kadang pula Aisyah. Seperti sore ini, ketika ia memanggil Gatot, yang nongol malah Aisyah.

“Mana Gatot, Aisyah?” tanya Murti penuh harap.

“Masih sholat, Bu Murti.” jawab Aisyah.

“Kalau sudah suruh ke rumah ya.” pesan Murti.

“Baik, Bu.” Aisyah mengangguk, lalu masuk ke dalam dan menuju kamar Gatot. Perlahan ia membuka pintu dan duduk di tepi tempat tidur dimana Gatot sedang berbaring. Gatot tidak sedang sholat seperti yang Aisyah katakan pada Murti, laki-laki itu masih tidur.

“Mas Gatot, bangun!” panggil Aisyah dengan suara merdu.

Gatot menggeliat malas dan entah sengaja atau tidak, tangannya hinggap di paha Aisyah. Gatot mengelusnya pelan sambil bergerak bangun. “Ada apa, Aisyah?” tanyanya dengan suara serak.

“Mas dipanggil Bu Murti di rumahnya.” kata Aisyah.

“Baiklah. Aku kesana ya,” sahut Gatot.

“Mas…” Aisyah memanggil.

“Apa lagi, Aisyah?” tanya Gatot penuh rasa sayang.

“Ah, tidak apa-apa. Hati-hati saja di jalan ya, Mas.” pesan Aisyah menyembunyikan maksud yang sebenarnya.

“Hati-hati di jalan atau hati-hati bersama Murti?” goda Gatot seperti mengetahui isi batin Aisyah.

“Mas Gatot ini…” Aisyah tersenyum merajuk. ”Sudah pergi sana. Kasihan Bu Murti lama menunggu.”

Gatot mencium kening Aisyah sebelum pergi, tangannya juga sempat mampir ke dada Aisyah dan meremasnya pelan satu persatu, merasakan betapa empuk dan padatnya benda bulat itu. Ukurannya juga menjadi semakin besar karena keseringan dipegangi oleh Gatot. Memang belum ada ikatan resmi diantara mereka, tapi hal-hal semacam tadi sudah menjadi rutinitas yang Gatot dan Aisyah lakukan setiap hari.

“Hati-hati di rumah ya, Aisyah. Kunci saja pintunya.” pesan Gatot sebelum pergi.

“Baik, Mas.” Aisyah mengangguk, dan sekali lagi membiarkan Gatot meremas gundukan payudaranya.

Gatot meninggalkan Aisyah dan menuju rumah Murti. Tinggallah Aisyah seorang diri, duduk termenung di depan cermin sambil memperhatikan dirinya sendiri. Aisyah membandingkan keadaannya sebelum dan sesudah tinggal di rumah Gatot. Aisyah merasakan perubahan besar yang terjadi. Dulu sewaktu masih menetap di Cemorosewu, ia adalah sosok yang taat beribadah, tidak pernah melakukan hal-hal tabu yang melanggar norma agama dan norma susila. Ia dulu adalah sosok wanita yang benar-benar bersih dan suci, tanpa pernah tersentuh sedikitpun oleh tangan lelaki.

Tapi tidak dengan sekarang. Ia memang masih taat menjalankan sholat lima waktu, namun juga rajin melakukan hal-hal yang dulunya ia anggap tabu. Norma susila dan agama telah ia langgar. Tubuhnya telah tersentuh oleh tangan seorang lelaki. Kebersihan dan kesucian dirinya telah luntur digerus sensasi yang sangat menggoda hati.

“Masih pantaskah aku mengenakan kerudung ini?” pikirnya seorang diri.

Sementara Gatot sudah bersama Murti. Sejenak Gatot teringat Aisyah, tapi terganggu oleh suara Murti yang mendesah. Gatot berpaling dan mendapati seraut wajah Murti yang semakin bening. Ia kembali memfokuskan diri ke jalan raya.

“Apa yang kamu rasakan saat ini, Murti?” tanya Gatot membuka obrolan.

”Aku merasa bebas, Tot. Benar-benar sangat bebas.” kata Murti sambil merentangkan kedua tangannya, seperti berusaha memamerkan tonjolan buah dadanya yang besar kepada Gatot.

“Kamu memang bebas, tapi harus kamu ingat jangan sampai kebebasan itu membuatmu bablas.” pesan Gatot.

“Jangan mengajariku, Tot. Bukankah kebebasanku ini menguntungkanmu juga, menguntungkan kita?” sahut Murti tidak terima.

“Aku tidak berharap keuntungan apapun dari keadaanmu ini, Mur.” tegas Gatot.

“Munafik.” Murti mencibir. ”berapa kali kamu tidur denganku selama Pak Camat masih hidup? Sekarang Pak Camat sontoloyo itu sudah mati dan kamu bebas meniduriku kapan saja, berapa kalipun yang kamu inginkan. Bukankah begitu?” tuduh Murti.

“Pikiranmu tidak sama dengan pikiranku, Mur.” Gatot menggeleng. ”Aku malah ingin kebobrokan ini berhenti.” katanya kemudian.

“Oh, jadi begitu ya?” Murti berkata ketus. ”Setelah kamu puas mencabik-cabik hati dan tubuhku ini, kamu mau meninggalkanku begitu saja? Jangan sampai aku menganggapmu pengkhianat, Tot!” ancamnya.

“Aku tidak berkhianat, Mur. Ini demi mengakhiri jalan kita yang sesat.” jelas Gatot.

Murti mendengus. Ia pindah posisi dan duduk di depan Gatot, masih dalam satu jok. Ia mengambil alih kemudi dari kekuasaan Gatot sementara pantatnya ia tancapkan di pangkuan Gatot. Pantaslah kalau Aisyah khawatir bila Gatot sudah bersama Murti karena setelah menjadi janda, Murti semakin terang-terangan dan semakin berani. Contohnya ya kali ini.

“Pegangi pahaku, Tot!” pinta Murti tegas.

“Kamu nggak bakalan jatuh, Mur. Ini belajar mobil, bukan belajar motor.” jelas Gatot santai.

“Apa sih susahnya membantu aku?” sungut Murti ngambek.

“Kamu sudah mulai mahir, Mur. Cobalah berani nyetir sendiri.” kata Gatot.

Murti mendorong Gatot kesal. Gatot jadi tidak punya ruang untuk sekedar melonggarkan badan. Mau tidak mau ia harus memegangi pinggul Murti agar tidak merosot ke bawah. Pinggul yang semakin bulat bagai biola. Murti memang telah tampil beda dan bergaya anak muda. Rambutnya dipotong pendek. Bulu matanya dibikin lentik. Bajunya model tank top tanpa lengan. Bawahnya dipadu dengan rok mini. Murti yang cantik jadi makin menarik. Tidak ada sama sekali kerut kerut di wajah dan kulitnya. Semua sama seperti puluhan tahun silam. Masih sangat kencang.

“Semakin muda saja kamu, Mur.” bisik Gatot.

“Semakin membuatmu tergoda kan?” Murti tersenyum.

Wanita pembelenggu memang punya seribu cara dan seribu pesona untuk membuat pria terjatuh. Itulah Murti, wanita pembelenggu paling berani yang membuat Gatot tak kuat hati. Kalau sudah begitu, Gatot langsung membayangkan wajah Aisyah. Ia harus bertahan demi cintanya pada Aisyah.

“Sudah cukup untuk hari ini, Mur. Dan kamu sudah bisa kemana-mana tanpa sopir lagi. Kamu bisa jadi sopir buat dirimu sendiri.” kata Gatot sambil menjauhkan tubuhnya.

“Bagaimana kalau kamu kuberi gaji tiga kali lipat?” tantang Murti.

“Aku menghargai jasa dan pengorbananmu padaku, Mur. Tapi aku harus mulai memikirkan diriku sendiri, hidupku sendiri.” tampik Gatot.

“Kita bisa hidup bersama sampai mati, Tot. Aku mencintaimu.” Murti memandang Gatot penuh rasa sayang.

“Akupun pernah mencintaimu, Mur. Tapi itu sudah lama sekali. Dan sekarang aku mencintai orang lain.” kata Gatot terus terang.

“Siapa dia, Tot! Siapa yang berani merenggut hatimu dariku?” seru Murti tak terima.

“Kelak kamu akan tahu siapa dia.” Gatot berkilah, tidak ingin menyeret Aisyah dalam masalah ini.

“Aku tidak sabar untuk tahu siapa dia. Biar aku cari sendiri.” tekad Murti. Ia mengantar Gatot sampai depan rumahnya. Murti berbasa-basi sejenak dengan Aisyah lalu pergi lagi entah kemana, sama sekali tidak curiga kalau gadis di depannya inilah yang sudah merebut hati pujaan hatinya..

Gatot senang karena Murti sudah pintar menyetir. Tapi melihat wajah Aisyah yang mendung, kesedihannya langsung menggantung. Gatot merangkul bahu Aisyah dan membawanya masuk ke dalam rumah. Mendung di wajah Aisyah masih belum sirna. Senyum di bibir merah itu tak kunjung merekah. Dan mata bening itu seakan menahan airmata agar tidak tumpah. Tapi itu gagal. Airmata Aisyah jatuh di dada Gatot.

“Menangislah sepuasmu, Aisyah. Habiskan kesedihanmu,” kata Gatot sabar.

“Mas Gatot jahat,” lirih suara Aisyah tersendat-sendat di sela tangis.

“Aku memang jahat, Aisyah. Aku membuatmu cemburu kan?” tebak Gatot.

“Bu Murti, Mas. Kenapa Mas Gatot tidak bisa lepas darinya?” tanya Aisyah.

“Aku ingin seperti itu, Aisyah. Tapi kebaikan Murti belum sempat kubalas.” sahut Gatot.

“Tidak adakah cara lain yang bisa mengurangi cemburu ini, Mas?” Aisyah semakin masuk ke dalam rengkuhan Gatot, menumpahkan cemburu yang serasa menghanguskan jiwa. Dihelanya napas lalu mendongak, sesaat diam begitu keningnya dikucup oleh Gatot.

“Bu Murti semakin cantik ya, Mas?” tanya Aisyah dengan suara lebih jelas.

“Itu penilaianmu?” Gatot bertanya balik.

“Juga semakin berani berpakaian, Mas.” tambah Aisyah.

“Kamu iri?” Gatot tersenyum sambil membelai wajah cantik Aisyah.

“Aah, Mas Gatot ini. Aku serius, Mas.” Aisyah merajuk.

Murti memang semakin berani, bukan hanya dalam hal penampilan, juga sudah semakin berani pergi sendiri. Masa-masa bebas ia nikmati dengan puas. Kini Murti sudah berada di dalam ruang karaoke salah satu kafe. Ia menyanyi sampai puas dengan ditemani sebotol minuman kelas atas. Pengunjung bersorak dan sebagian ikut berkaraoke dan berjoget bersamanya. Murti bagai bintang baru yang menyihir pecinta karaoke. Sampai larut malam Murti berada di kafe.

Murti bukan lagi seorang guru dan bukan pegawai negeri. Seisi kota sudah tahu kabar itu. Murti dipecat karena sering mangkir dari tugasnya mengajar. Murti dipecat karena murid-muridnya sering memergoki gurunya tiap malam keluyuran di kafe-kafe. Murti dipecat karena dianggap merusak citra pegawai negeri sipil. Tapi Murti tidak serta merta melarat. Malah kini menjadi salah satu konglomerat. Rumahnya yang di komplek sudah dijual pada Aisyah. Murti kini tinggal di pusat kota, di perumahan residence dan menempati rumah super mewah bertingkat tiga. Hanya untuk dirinya sendiri. Apa pekerjaan Murti setelah dipecat tidak ada yang tahu dengan jelas. Yang pasti Murti sering didatangi orang dan wartawan. Sampai seisi komplek akhirnya tahu kalau Murti jadi bintang film dan penyanyi. Itu setelah warga komplek menonton sinetron yang dibintangi oleh Murti.

“Itu kan Bu Murti ya, Mas?” kata Aisyah pada Gatot saat nonton tv berdua. Seperti biasa, pakaian atasnya terbuka, menampakkan gundukan payudaranya yang besar, yang selalu jadi mainan favorit Gatot dikala senggang.

“Iya. Dia sudah merubah nasibnya, Aisyah.” kata Gatot sambil terus meremas dan mengusap-usapnya pelan. Putingnya yang mungil ia pilin-pilin ringan sambil sesekali menjilat dan mengecupnya lembut kalau sudah merasa tak tahan.

“Uhh… juga sikapnya ya, Mas. Ikut berubah,” lirih Aisyah diantara rintihannya. Hisapan Gatot pada ujung buah dadanya terasa geli sekali, namun Aisyah sama sekali tidak berniat untuk menghentikannya karena terus terang ia juga menikmatinya.

”Iya,” Gatot membenarkan perkataan Aisyah. Sikap Murti memang berubah seiring perubahan nasibnya. Setiap kali bertemu di jalan atau di pusat perbelanjaan, Murti hanya mau melambaikan tangan tanpa mau bertegur sapa, apalagi berbagi senyuman. Gatot sadar senyum Murti kini mahal dan berharga puluhan juta. Murti hanya mau tersenyum di televisi, tersenyum kepada orang-orang yang telah membayarnya berjuta-juta.

Murti seperti kacang lupa akan kulitnya, lupa pada komplek dan tanah kelahirannya, tempat nenek buyut dan orangtua serta suaminya dikubur. Murti tidak sekalipun mengunjungi komplek sejak namanya melejit. Murti lebih suka mengunjungi tempat dimana banyak orang mengagumi dan mengelu-elukan namanya. Gatot tentu makin senang karena perubahan nasib dan sikap Murti berimbas sangat besar pada diri dan kehidupannya. Ia kini bisa lebih mendekatkan diri dan memadukan hati bersama Aisyah.

“Apa kita perlu mengundang Bu Murti, Mas?” tanya Aisyah sambil mengusap mesra puncak kepala Gatot yang masih asyik menyusu.

“Tidak usah, Aisyah. Kita gelar resepsi sederhana saja. Cukup orang-orang komplek dan kerabatmu dari Cemorosewu.” jawab Gatot dengan mulut penuh bongkahan payudara Aisyah. Ia terus mencucup dan mengulumnya tanpa pernah merasa bosan.

“Saya sudah pesan dua ratus undangan, Mas. Semoga memberi restu pada pernikahan kita nanti.” wajah Aisyah memerah, tampak sangat menikmati sekali apa yang dilakukan Gatot pada tubuh sintalnya.

“Puji syukur, Aisyah. Sudah mantapkah hatimu?” tanya Gatot sambil mencucup puting susu kiri Aisyah kuat-kuat.

“Auw!” Aisyah menggelinjang geli, namun segera meminta Gatot agar melakukan juga pada yang kanan. ”Ehm… sudah, Mas. Saya ikhlas lahir batin menjadi istri Mas Gatot.” bisiknya dengan paras berbinar.

“Terima kasih, Aisyah. Aku akan berjuang menjadi suami yang baik buatmu.” Setelah mengangguk, Gatot melanjutkan kembali jilatan dan hisapannya di buah dada Aisyah.

“Saya percaya mas pasti bisa.” Yakin Aisyah. “Sudah ashar, Mas. Bukankah setelah ini Mas ada undangan ke musholla?” ingatnya sambil menarik kepala Gatot menjauh.

“Hampir aku lupa.” Gatot tersenyum, ”Terima kasih sudah mengingatkan.” katanya sambil kembali mencium puting Aisyah untuk yang terakhir kali.

Itulah Gatot yang sekarang. Ia telah menjelma kembali seperti saat masih kanak-kanak dulu. Ia kembali bahkan semakin rajin ke musholla untuk ikut pengajian dan sholat berjamaah. Suara merdu Gatot kembali terdengar lima kali dalam sehari mengumandangkan adzan. Dan di hari minggu seperti ini, Gatot punya aktivitas membantu Pak Ustadz mengajar anak-anak komplek mengaji dan qiroah.

Penduduk komplek sangat senang dan menaruh hormat padanya. Orang-orang mulai suka membandingkan Gatot dan Murti. Kata orang-orang komplek, lebih baik sesat terlebih dahulu lalu sungguh-sungguh tobat daripada sebaliknya. Kata orang-orang, Murti adalah contoh yang tidak baik. Kalau ingin jadi anak baik, tirulah Gatot, kata orang-orang tua pada anaknya. Tapi Gatot selalu meluruskan. Yang paling patut ditiru adalah hal-hal yang membawa kebaikan, jangan meniru jalan sesat yang pernah ia jalani. Itu selalu dikatakan Gatot.

Kebaikan itulah yang kini menulari komplek. Orang-orang tua pula yang menganjurkan Gatot agar segera menikahi Aisyah agar terhindar dari fitnah. Gatot tidak marah dan langsung memenuhi anjuran itu. Secara agama ia telah sah menjadi suami Aisyah disaksikan penghulu desa. Tinggal mengesahkan lewat jalur resmi. Dan resepsi pernikahan itu sudah dirancang, tinggal tunggu sebar undangan.

Lain ladang lain pula belalang. Lain Gatot tentu lain pula Murti. Sekarang Murti ada di salah satu pantai terkenal untuk menjalani sesi pemotretan. Ia dijadikan model sebuah majalah dewasa. Murti sudah siap dengan kostumnya berupa bikini merah hati. Gambarnya diambil beberapa kali dalam berbagai pose dan gaya yang berani nan menantang. Berlatar belakang pantai biru dan pantulan jingga mentari yang hampir tenggelam, lekukan tubuhnya sungguh indah dan mempesona, membuat fotografer tidak sedetikpun memicingkan mata.

“Lebih lebar, cut!” teriak sang pengarah gaya.

“Kakiku sakit,” rintih Murti.

“Sekali lagi. Setelah ini selesai.” kata laki-laki berkaca mata itu.

Murti kembali berpose, kali ini berbaring telentang di hamparan pasir putih. Tangan dan kakinya terentang lebar-lebar, membuat dadanya menghujam tajam dan menjulang ke langit. Kakinya membentang sangat lebar dan sudut-sudut selangkangannya sangat jelas membayang. Sang pengarah gaya tertawa puas, fotografer juga puas.

“Mbak Murti adalah model paling berani yang kami kontrak,” kata pengarah gaya.

“Saya hanya berusaha profesional, Mas. Sesuai perjanjian dalam kontrak.” kata Murti sambil membersihkan punggungnya dari pasir.

“Kami yakin edisi terbaru kami nanti laku keras. Silahkan kalau Mbak Murti mau mandi.”

“Terima kasih. Saya mau langsung pulang saja.” sahut Murti.

Selesai pemotretan, Murti langsung meninggalkan pantai. Entah kenapa ada sebuah kerinduan menyelinap. Ia rindu pada orang-orang yang telah terlupakan, terutama sekali ia rindu pada Gatot. Ia ingin sekali berkunjung ke komplek, tapi takut dan ragu. Ia takut akan dihujat oleh warga komplek yang telah membencinya. Ia ragu apakah Gatot masih mau menerimanya seperti dulu atau sudah berubah. Bagaimana pula dengan Aisyah, masihkah Aisyah menganggapnya seorang ibu dan kakak. Murti terbayang-bayang semua itu dan matanya berlinang. Ia memutar mobil dan mengurungkan niat berkunjung ke komplek.

Ditolehnya jam yang melingkar di lengan lalu menggumam pelan, “Aku harus syuting film.”

Syuting dan syuting terus, itulah kesibukan sehari-hari Murti. Tak peduli siang malam ia harus menjalani semuanya demi mendapatkan uang. Dengan cepat uang bisa ia dapat, namun secepat itu pula uang itu lenyap. Murti selalu merasa serba kurang. Kurang cantik, kurang seksi, dan kurang yang lain yang membuatnya rajin ke salon, rajin ke pusat-pusat senam demi menjaga tubuh.

“Mbak Murti,” sebuah suara memanggil.

Murti terhenyak. Ia membuka kaca mobil dan mendapati wajah yang sangat dikenalnya. Sayang sekali ia berada di lampu merah. “Hai, Dewi.” balasnya sambil melambaikan tangan.

“Mbak, ini undangan buat mbak. Datang ya,” kata Dewi.

“Kamu mau nikah?” tanya Murti.

“Iya. Maaf, saya buru buru. Ayo, Mbak.” Dewi pamit permisi.

Murti menyimpan undangan dari Dewi dan kembali menjalankan mobil karena lampu telah berubah hijau. Masih ada kawan lama yang tidak membencinya. Dewi masih sudi mengundangnya ke pesta pernikahan. Apakah Dewi juga mengundang Gatot? pertanyaan itu berseliweran di kepala Murti.

Tentu saja Dewi juga mengundang Gatot karena kini mereka bertetangga. Dewi telah membeli rumah di komplek, rumah milik almarhum Mbah Surti. Dewi bahkan kini telah sampai di depan rumah Gatot. Dewi memarkir mobilnya dan berjalan ke pintu rumah Gatot.

“Assalamualaikum,” teriaknya memberi salam dan mengetuk pintu.

“Waalaikum salam,” terdengar suara renyah menjawab salam. Tak lama kemudian pintu terbuka bersama seraut wajah cantik. “Mbak Dewi, silahkan masuk, Mbak.” kata Aisyah ramah

“Mana Gatot, Aisyah?” tanya Dewi.

“Tadi diajak Pak RT. Mbak Dewi ada perlu apa?” tanya Aisyah.

“Nih undangan buat kalian. Jangan sampai nggak datang ya?” Dewi mengancam sambil tersenyum.

“Mbak Dewi nikah? Kenapa nggak bilang-bilang, Mbak?” Aisyah terlihat ikut senang.

“Sengaja kubuat surprise buat kamu dan Gatot.” jawab Dewi.

“Selamat ya, Mbak. Kami pasti hadir.” janji Aisyah.

“Oh ya, Aisyah. Baru saja aku bertemu, Murti. Jadi sekalian kuundang dia.” terang Dewi.

“Bagaimana kabar Bu Murti, Mbak?” tanya Aisyah penasaran.

“Sepertinya baik baik saja. Murti semakin sering ada di tv ya,” kata Dewi.

“Iya, Mbak.” Aisyah mengangguk. ”Karirnya semakin maju. Saya ikut bersyukur.”

“Tapi Murti juga berubah, Aisyah. Aku sekarang jadi asing dengannya.” Dewi menggumam.

“Itulah, Mbak. Bukan cuma Mbak Dewi saja yang merasakan perubahan itu, saya dan Mas Gatot juga.” dukung Aisyah.

“Sangat disayangkan ya, Aisyah. Padahal kalian, terutama Gatot, adalah orang-orang terdekat Murti.” sahut Dewi. ”Sudah ah. Aku pulang dulu. Sampaikan salam ke Gatot. Assalamualaikum,” wanita itu kemudian pamit.

“Waalaikumsalam,” jawab Aisyah sambil mengantar ke depan pintu.

Sepeninggal Dewi, tak sampai sepuluh menit kemudian, Gatot pulang. Bahkan Aisyah masih belum menyimpan undangan yang tergeletak di atas meja. Aisyah segera membawa undangan itu dan menyusul Gatot ke dalam ruang tengah. Ia menggelar karpet dan memberi Gatot bantal.

“Ada undangan dari Mbak Dewi, Mas.” bisiknya mesra.

“Undangan apa, Aisyah. Biar jelas, bicara dekat sini.” kata Gatot.

Aisyah menggeser duduknya dan merapat ke telinga Gatot, membisikkan sesuatu yang membuat Gatot terkejut. Gatot segera menyambar undangan dari tangan Aisyah, tapi Aisyah mempermainkan undangan itu hingga Gatot jadi gemas. Sekali tubruk, Aisyah terguling-guling di karpet dan Gatot memungut undangan yang terlepas dari tangan Aisyah.

“Akhirnya menikah juga si Dewi.” kata Gatot gembira.

“Mas kenal calon suaminya?” tanya Aisyah.

“Tidak terlalu kenal, tapi aku tahu Aldo adalah pegawai kecamatan juga.” jawab Gatot.

“Berarti cinta lokasi dong. Enak ya, Mas, mereka sama-sama pegawai negeri.” kata Aisyah.

“Hei, kamu menyesal ya kawin sama duda tanpa pekerjaan sepertiku?” todong Gatot.

“Ihh, siapa juga yang menyesal. Rasakan ini,” Aisyah menghujani Gatot dengan cubitan bertubi-tubi. Pada cubitan terakhir, Gatot menahan jemari Aisyah tetap di bawah perutnya. Bahkan ia menggesernya sedikit hingga Aisyah bisa menyentuh batang penisnya yang sudah mulai menegang.

”Mas?” Aisyah menatap sayu, perlahan cubitannya melemah dan tidak terasa sama sekali karena ia sudah berada di bawah himpitan tubuh kekar Gatot. Malah yang ada, Aisyah mulai mengusap-usap penis Gatot perlahan hingga membuatnya jadi semakin besar dan menegang sempurna.

Merasa mendapat balasan, Gatot mencium pelan bibir tipis Aisyah. Mata Aisyah terpejam, menikmati ciuman itu. Gatot melanjutkan dengan memainkan lidahnya di mulut Aisyah, yang dibalas oleh gadis itu dengan hangat. Perlahan tapi pasti, tangan Gatot merayap ke dada Aisyah, lalu menekan-nekan bukit indah itu perlahan.

”Auh! Mas!” Aisyah melenguh, sama sekali tidak ada penolakan. Malah semakin Gatot meremas, semakin kuat Aisyah memagut.

”Aisyah, Mas pengen!” bisik Gatot manja.

”Lakukan, Mas. Aisyah sudah sepenuhnya milik Mas.” jawab Aisyah sambil mengangguk pelan dan tersenyum.

Ya, yang mereka lakukan memang bukan lagi zinah, malah sebuah amanah. Kini Gatot sudah bisa memiliki Aisyah seutuhnya, mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Gatot berhak atas diri Aisyah dan Aisyah wajib menyerahkan dirinya dengan ikhlas. Lampu telah dipadamkan dan karpet telah dihamparkan. Dalam keremangan malam, Gatot melanjutkan sentuhannya. Sambil berciuman, tangannya mulai merambah ke dalam baju Aisyah.

”Shh…” Aisyah mendesah halus saat tangan Gatot juga mengusap kulit pahanya, dan terus merayap hingga jauh ke pangkal paha. Disana Gatot menggelitik nakal yang dibalas oleh Aisyah dengan meremas tonjolan di celana Gatot perlahan.

”Adik kamu sudah bangun, Mas.” bisiknya mesra dengan tangan terus mengusap-usap.

”Dekat denganmu selalu membuatnya bersiaga, Aisyah.” jawab Gatot dengan birahi memuncak. Ia sudah tidak peduli lagi dimana mereka berada. Segera diangkatnya kaos Aisyah sehingga ia bisa meremas bukit kembar itu sesuka hati. Mereka juga terus berciuman. Penuh nafsu.

”Hmm… shh… uuh…”Aisyah mendesah saat Gatot menciumi lehernya yang putih jenjang. Laki-laki itu juga membuka tali branya lalu menjilati bukit Aisyah yang kenyal dengan begitu rakus. Gatot menjelajahinya dengan sapuan lidah dan ciuman mesra, ia juga menekan-nekan bukit itu serta menghisapi putingnya yang tegak memerah secara bergantian.

Ciuman dan jilatan itu membuat Aisyah merintih lirih, ”Mmh… Mas! Shh… ahh…” Ia mengambil jari Gatot lalu mengulumnya.

Gatot terus menjilati puting Aisyah secara perlahan sambil sesekali menggigit-gigit kecil. Suara desahan Aisyah membuat penis Gatot jadi bertambah keras. ”Mhh… shh… ahh… terus, Mas!!” Aisyah mengerang penuh nafsu.

Gatot sekarang meremas dan mengangkat kedua bukitnya, menghisap sekaligus menggigiti putingnya secara bergantian. Aisyah membalas dengan membuka retsleting Gatot. Untungnya Gatot memakai celana yang berkancing hingga dengan mudah Aisyah melakukannya. Wanita itu segera meremas penis Gatot begitu benda coklat panjang itu meloncat keluar. Dengan gerakan maju-mundur, Aisyah mulai mengurut-urut penis Gatot yang sudah mulai mengeluarkan pelumas.

Mereka berpindah posisi. Dengan setengah duduk, Gatot membuka rok panjang Aisyah. Wanita cantik yang sudah resmi jadi istrinya itu menatap sayu. Gatot hanya tersenyum dan meneruskan aksinya. Aisyah membantu dengan meluruskan kedua kakinya, memudahkan Gatot untuk membuka seluruh bajunya. Kini Aisyah cuma mengenakan celana dalam saja. Tubuh sintalnya terekspos jelas di depan Gatot, begitu putih dan mulus sekali. Gatot tak berkedip saat melihatnya. Berapa kalipun ia menatap tubuh Aisyah, ia selalu menyukainya.

Dari sela-sela celana dalam, Gatot menikmati ketebalan bulu-bulu kelamin Aisyah. Juga belahan vaginanya yang sudah melembab sempurna. Pelan Gatot menggerakkan jarinya, memainkan klitoris Aisyah yang terasa mengganjal di depan lubang selangkangannya. Perbuatannya itu membuat Aisyah jadi mendesah penuh nafsu. ”Mas! Sshh… hmm…”

Gatot menunduk untuk mulai menciumi paha Aisyah yang putih mulus sambil terus memainkan jari di arah labium minoranya. Dengan gemas ia gigiti paha perempuan cantik itu, lalu menempelkan lidahnya di pangkal paha Aisyah yang sudah membuka lebar. Aisyah meremas kedua bukitnya sendiri penuh nafsu, dengan lidah menjilati bibirnya berulang-ulang.

”Ouh… Mas!” rintih Aisyah saat Gatot membuka celana dalam putihnya. Tercium bau khas vagina yang lembab. Gatot segera menciumi vagina yang mulai basah berlendir itu.

”Auw! Auw! Ahh…” erangan dan desahan Aisyah semakin kuat terdengar saat lidah Gatot mulai menusuk-nusuk ke dalam liang sempit itu. Sesekali Gatot juga menjilati klitoris Aisyah dan menghisapnya pelan.

”S-sudah, mas! Geli! Auwh…” rintih Aisyah begitu Gatot memasukkan satu jari untuk memijat gelembung kecil di dinding dalam klitorisnya. Ia menjambak rambut sang suami. Kaki Aisyah mengejang, mengikuti gesekan jari Gatot di titik sensitifnya.

”Ahh… Mas! Shh… terus… ahh… ahh…” lagi-lagi Aisyah mengerang saat Gatot menggerakan lidahnya naik-turun di permukaan klitorisnya. Vagina gadis itu sudah basah kuyup oleh lendir bercampur air ludah Gatot.

Gatot terus menghisap sambil jarinya menjalar-jalar di bagian dalam liang vagina Aisyah, menggerakkannya keluar-masuk, sebelum akhirnya kembali memijit-mijit biji klitoris gadis itu. Sentuhan Gatot membuat desahan dan erangan Aisyah menjadi semakin cepat, menandakan gejolak birahi yang semakin memuncak. Tidak beberapa lama, Aisyah tampak mengejang pelan.

”Mas! Ahh… a-aku… mhh… shh…” Tubuh Aisyah mengejang-ngejang sesaat dengan diiringi oleh erangan nafasnya yang berat. Di puncak klimaksnya, Gatot menatap wajah Aisyah yang terpejam rapat. Begitu indahnya pemandangan ini.

Puas menikmati orgasmenya, Aisyah membuka mata dan mencium mesra pipi Gatot. ”Terima kasih ya, mas. Sekarang giliran kamu,” bisiknya dengan tangan kembali mengurut-ngurut penis Gatot yang semakin menegang penuh.

”Jilat donk!” pinta Gatot sambil tertawa.

”Yee… maunya!” balas Aisyah, namun tetap membuka mulutnya dan mulai menelan batang coklat panjang itu. Seperti memakan es krim, ia memainkan lidahnya di batang penis Gatot sambil mengurut-ngurut kantongnya yang berisi dua bola mungil.

”Ini isinya apaan sih?” tanya Aisyah sambil bibirnya terus menghisap.

”Ugh… itu yang bikin kita bisa punya anak, Aisyah.” selain erangan nikmat, hanya itu yang keluar dari mulut Gatot.

Aisyah mengangguk mengerti dan terus mengulum batang penis Gatot sampai memerah dan basah seluruhnya. Setelah dirasa cukup, dan sebelum Gatot meledak duluan seperti kemarin, cepat-cepat Aisyah menarik mulutnya.

”Sudah, Mas. Lakukan sekarang!” pintanya dengan mata menatap mesra.

Gatot tersenyum dan mengangguk mengiyakan. Ia belai rambut Aisyah yang panjang sepundak. Tanpa menunda lebih lama, dengan posisi setengah tidur, Gatot menuntun Aisyah agar duduk di atas batang penisnya sambil berpegangan pada bahunya. Menggunakan tangan kanan, Aisyah menumpu keseimbangan, sementara tangan kiri ia gunakan untuk menuntun penis Gatot ke arah lubang kenikmatannya.

”Ahhh…” mereka mendesah bersama-sama saat alat kelamin keduanya mulai bertemu dan bertaut mesra satu sama lain. Meskipun bukan perawan lagi, vagina Aisyah tetap terasa sempit. Gatot jadi terasa terus memperawani gadis itu. Mungkin karena ukuran penisnya yang cukup besar, atau memang lubang di tubuh Aisyah yang terlalu mungil. Yang jelas, mereka jadi sama-sama nikmat karenanya.

Dengan gerakan perlahan, mereka mulai bercinta dalam posisi duduk. Aisyah memeluk tubuh Gatot agar tetap seimbang, sementara Gatot balas memegangi bulatan payudara Aisyah agar tidak lari kemana-mana. Mereka juga kembali berpagutan mesra.

”Ughh… Aisyah… sempit sekali… shh… ahh… enak!” rintih Gatot penuh kenikmatan.

”Iya Mas… shh… aku juga enak!” balas Aisyah tak mau kalah. Karena berada di atas, ia jadi menguasai permainan. Sesekali Aisyah memutar-mutar pantatnya hingga membuat penis Gatot serasa dipijit-pijit ringan. Ia juga menggosok-gosok kantung ajaib milik Gatot hingga membuat laki-laki itu makin menggelinjang kegelian.

”Ughh… Aisyah!” Gatot melepaskan ciumannya agar bisa mengerang. Dilihatnya batang kemaluannya yang bergerak keluar masuk di vagina sempit Aisyah. Bibir vagina itu terlihat seperti mengulum-ngulum batang penisnya. Suara berdecak terdengar sesekali akibat vagina Aisyah yang sudah begitu basah berlendir.

”Ehm… enak, Mas?” tanya Aisyah sambil terus mengoyangkan pinggulnya.

Gatot mengangguk dan berbisik, ”Ganti posisi, Aisyah!”

Tanpa perlu disuruh dua kali, Aisyah segera melepaskan tautan alat kelamin mereka dan mengambil posisi merangkak. Gatot menciumi pinggulnya sejenak sebelum kembali memain-mainkan ujung penis di mulut vagina sang istri, membuat Aisyah jadi mendesah lirih karenanya.

”Ughh… shh… Mas… cepetan!” Tangan kiri Aisyah menekan pantat Gatot agar segera memasukkan batang penisnya.

Gatot langsung kembali membenamkan kemaluannya di lubang kenikmatan sang istri. Sleep! Jelebb!

”Ughh…” Aisyah mengerang nikmat bercampur perih. Apalagi saat Gatot mulai bergerak maju mundur penuh nafsu, erangan dan desahannya menjadi semakin keras. Aisyah berusaha membantu proses itu dengan memaju mundurkan pantatnya berlawanan dengan irama tusukan Gatot. Terus seperti itu sampai belasan menit kemudian, tampak Aisyah mulai mempercepat gerakannya.

”Mas! Shhaa… arghhh… a-aku…” tubuh Aisyah mengejang mencapai klimaksnya. Cairan hangat mengalir deras membasahi batang penis Gatot, yang dibalas oleh Gatot dengan semakin mempercepat gerakan pinggulnya agar ia bisa segera muncrat menyusul sang istri.

”Aisyah! Oughh… nikmatnya!” rintih Gatot sambil menekan kuat-kuat batang penisnya ke liang rahim Aisyah berbarengan dengan cairan spermanya yang menyembur deras. Cairan kental itu berhamburan memenuhi lorong kelamin Aisyah hingga membuatnya jadi begitu basah dan licin.

Saat Gatot mencabut alat kelaminnya, tampak ada beberapa cairan itu yang mengalir keluar. Gatot meraupnya dengan tangan dan mengoleskannya ke bulatan pantat Aisyah yang masih menungging. Setelah basah dan mengkilat, ia kemudian menarik tubuh bugil Aisyah dan menaruhnya ke dalam pelukan.

”Aku mencintaimu, Aisyah!” bisik Gatot sungguh-sungguh dengan tangan melingkar di permukaan payudara gadis itu.

”Aku juga, Mas.” balas Aisyah lembut sambil menempelkan hidungnya ke bibir Gatot. Mereka tersenyum puas. Sesaat keduanya saling berciuman sebelum sama-sama tertidur pulas tak lama kemudian, bermimpi merajut berjuta-juta impian tentang masa depan.

Neng Mimin

feby fadillah jilbab hot (21)

Ruang tamu Aminah penuh sesak oleh ibu-ibu anggota tahlilan mingguan. Sebelum acara dimulai, seperti biasa mereka kasak-kusuk saling berkicau mengobrolkan hal-hal tak penting. Kali ini pembicaraan mereka terpusat pada Suliha, juragan toko kelontong, yang ditengarai memiliki resep khusus agar cantik mendadak. Suliha yang jadi bahan kekaguman orang-orang sekitarnya duduk kaku sok melamun, padahal telinganya bergerak-gerak kala menangkap bisik-bisik pujian dari dua ibu di sebelahnya.

feby fadillah jilbab hot (1)

Aku sendiri asyik mendengarkan hipotesis Yarni dan Nurtini. Sebagai orang yang tahu keseharian Suliha -keduanya jadi pramuniaga di toko Suliha- mereka berkoar-koar memaparkan resep ajaib kemulusan kulit juragannya. Ibu-ibu yang menyimak -termasuk aku- terbengong-bengong sampai tanpa sadar mulut kami terbuka.

“Dia beli kosmetik racikan dokter. Katanya bisa mencegah kerut, memudarkan flek-flek hitam, melicinkan kulit, dan yang terpenting… bisa jadi.. AWET MUDA!”

Nurtini tak mau kalah bicara. “Iya benar. Sebulan sekali dia ke dokter kulit. Di kota sana. Pulang-pulang bawa segepok printal-printil kosmetik dalam wadah kecil-kecil. Segini,” Nurtini mempertemukan jari telunjuk dan jempol, membentuk lingkaran kecil. “Mahal lho itu. Katanya lima ratus ribu. Juraganku itu emang hebat deh! Kayak artis pokoknya!” sumbar Nurtini pongah.

“Kenapa tiba-tiba Suliha tergerak mendatangi dokter kulit, Nur?” celetukku.

feby fadillah jilbab hot (20)

Yarni langsung memotong dengan jawabannya, meski Nurtini sudah siap angkat bicara. “Takut suaminya selingkuh. Kan adik iparnya baru ketahuan selingkuh sama sales kosmetik keliling. Makanya dia jadi gencar mempercantik diri, takut suaminya ketularan. Sekarang sih, pria gampang cari perempuan cakep. Kosmetik udah banyak macemnya. Makanya kalo punya duit, sebaiknya disisihin buat kecantikan. Biar suami kita ndak neko-neko. Kayak juraganku tuh, suaminya mesra. Makin cinta sama Suliha.”

Aku manggut-manggut membenarkan pernyataan Yarni. Sayangnya tak lama kemudian, Martinah, sang ketua tahlilan, sudah bertepuk tangan mendiamkan pesertanya yang mencicit riuh rendah. Acara akan dibuka dengan pembacaan Surat Yasin bersama-sama. Pembicaraan mengenai Suliha pun beralih. Aku memancangkan mata pada buku kecil ‘Surat Yasin dan Tahlil’, sementara pikiranku melayang-layang memikirkan ucapan Yarni.

feby fadillah jilbab hot (2)

***

Sesampai di rumah, kuutarakan niat pada Mas Yanto, suamiku, perihal keinginanku mengunjungi dokter kulit. Bukannya mendukung, Mas Yanto justru menyuguhkan gelagat keberatan, meski responsnya diperhalus.

Kebanyakan pria memang aneh. Jika pasangannya berusaha mempercantik diri, kadang diremehkan atau diabaikan. Namun manakala melihat perempuan yang lebih cantik -entah memang cantik alami atau polesan-, mereka akan terkagum-kagum seakan melihat boneka India.

“Ini kan demi Mas sendiri. Mas pasti seneng dong punya istri cantik,” aku bersikukuh.

“Iya. Tapi uangnya kan sayang. Lima ratus per bulan cuma buat beli dempul wajah, sayang toh?”

Aku terdiam dengan kening mengerut.

“Lagian kamu itu sudah cantik, Min. Kulitmu kuning mulus gitu. Mau diapain lagi?”

“Ya.. Kan buat mencegah keriput. Flek hitam. Biar awet muda,” ucapan Yarni kembali kucetuskan.

Mas Yanto menghela nafas. Sepertinya dia kebingungan harus menentukan sikap. Aku menunggu, memandangnya dengan intens, mendesak keteguhannya oleh tatapanku. Usahaku berhasil. Mas Yanto mengedikkan bahu.

“Ya sudahlah, terserah. Awas nanti wajahmu rusak,” ujarnya pasrah sekaligus mengingatkan. Kuraih kedua tangannya, mengecupnya bergantian.

feby fadillah jilbab hot (3)

***

Genap tiga minggu sudah aku menggunakan paket kosmetik dari Dokter Lusi, seorang dokter kulit di kota. Suliha juga menggunakan jasa dokter ini. Begitulah informasi yang berhasil kukorek dari Nurtini. Aku benar-benar merasa surprise melihat perubahan kulit wajahku. Jadi kelihatan licin, lebih putih, dan halus. Beberapa orang yang menyadari perubahan wajahku pasti memuji. Membuatku jadi salah tingkah seperti seekor kucing dibelai tuannya.

“Astaga! Mimin makin cantik aja! Kulitnya jadi licin begitu!”

“Wah, Yanto pasti tambah seneng kamu makin cantik begitu, Min!”

Saat orang-orang mengomentariku, Mas Yanto justru bersikap tak acuh. Jujur aku jadi sedikit gemas. Jarak 35 km kutempuh, panas-panas naik bis untuk mempercantik diri demi dia, tapi tak sedikitpun Mas Yanto menawarkan komentar walau hanya satu kalimat pendek saja. Aku merasa tak dihargai.

Parahnya lagi akhir-akhir ini dia sering lembur sampai larut malam. Alasannya loading barang mau ekspor. Dia terpaksa bekerja sampai jauh melebihi batas jam pulang karena bertugas sebagai karyawan gudang, bagian yang bertanggung jawab menghitung barang yang dikirim. Suamiku bekerja di pabrik furniture.

Tentu saja aku tak mempercayai ucapannya begitu saja. Setahuku pabrik tempat dia bekerja hanya melakukan ekspor seminggu dua kali. Berbagai prasangka buruk tumpang tindih menguasai akal sehatku. Menjelang subuh kutumpahkan bongkahan kedongkolanku padanya.

feby fadillah jilbab hot (4)

“Jangan-jangan ada yang lebih menarik di kantor.”

“Apa sih, Min. Pagi-pagi kok malah nuduh.”

“Iyalah. Udah aku bela-belain ke dokter kulit nguras tabungan demi Mas, taunya yang mau dipamerin malah pulang tengah malam. Aku berbuat begini ini demi Mas. Mas ngerti ndak?”

Mas Yanto masygul menatap lantai.

“Lagian, Mas kan bisa ndak usah lembur. Gantian ama Jatmiko. Orang gudang kan ndak cuma Mas Yanto aja toh?”

Senyap.

“Pokoknya aku ndak mau Mas pulang malem-malem lagi. Nanti ibu-ibu sini pada nanya lagi. Nanti dikiranya Mas sudah ndak sayang lagi sama aku. Malu.”

Mas Yanto bangkit, menyambar handuk yang telah tak jelas warnanya dari jemuran. Tanpa merespon omelanku dia langsung masuk kamar mandi. Aku serasa bicara dengan tembok. Tak ada reaksi balik.

feby fadillah jilbab hot (5)

***

Masih menyimpan kejengkelan akibat diabaikan suami, aku berangkat ke pasar dengan hati gemas. Di kedai Mak Trisni, penjual gorengan, duduk Nurtini, Yarni, dan Martinah. Mereka memanfaatkan momen antri dengan berdiskusi.

“Eh, Mimin. Seger banget wajahnya,” puji Yarni sambil matanya mengamatiku dari ujung sandal hingga ujung jilbab.

Aku tersenyum. “Lagi ngobrolin apa nih? Kok kayaknya serius amat?”

Seketika nada suara Yarni merendah, nyaris berbisik. “Suami Suliha selingkuh”

Aku terkesiap.

“Mungkin suaminya ndak betah ama Suliha. Dia terlalu galak sih. Siapa juga yang tahan sama orang judes. Meskipun cinta,” Nurtini unjuk komentar.

“Padahal ya.. Suliha sudah cantik begitu, masih saja diduakan. Memang jadi istri itu ndak gampang. Harus bisa memahami suami,” imbuh Martinah.

“Suliha tau dari mana?” tanyaku.

“Suaminya sering pulang malem. Nah, tiga hari yang lalu, Suliha sengaja jemput suaminya pake mobil ke kantor malem-malem. Ketahuan deh,” jelas Yarni.

Pikiranku terbang mengenang kejadian beberapa hari terakhir. Kegelisahan menyergapku menimbulkan sedikit kepanikan. Jangan-jangan Mas Yanto selingkuh di pabrik. Buktinya sekarang dia tak terlalu mempedulikanku. Sering lembur lagi.

Tak mau berlama-lama di situ, aku segera pamit. Aku tak mau mereka juga menduga hal-hal buruk mengenai suamiku yang juga sering telat pulang.

feby fadillah jilbab hot (6)

Setiba di rumah, sayup-sayup terdengar dering handphone. Aku menemukannya di atas meja kamar. Rupanya Mas Yanto lupa membawanya. Layar handphone hanya menampilkan deretan angka saja. Maka aku pun mengangkatnya. Segera aku mendapat kejutan.

“Siang. Pak Yanto-nya ada?”

Waktu serasa berhenti. Suara perempuan, sedikit centil. “Maaf, ini siapa?” tanyaku kaku.

“Saya Sinta. Kemarin kami sudah janji mau ketemu sepulang kerja nanti…”

Tangan kananku melorot perlahan, kubiarkan lenganku menggantung dengan handphone masih dalam genggaman. Tak sanggup lagi kudengar ucapan lanjutan perempuan yang mengaku Sinta itu. Astaga! Mas Yanto… Benarkah dia?? Tak mampu kuteruskan dugaanku.

***

Dadaku menggelegak dihentak emosi tinggi. Tak ada pilihan lain kecuali mendatangi pabrik, menuntut penjelasan Mas Yanto, dan kalau bisa menyeretnya pulang sekalian. Kadangkala suami juga harus diberi pelajaran agar tidak ’nakal’. Aku tak mau tahun pertamaku menduduki singgasana perkawinan koyak moyak gara-gara perselingkuhan.

feby fadillah jilbab hot (7)

Segera aku pergi ke kamar untuk ganti baju. Kulepas daster gombrong yang kukenakan, niatnya ingin kuganti dengan kemeja dan rok panjang saja. Di depan cermin aku mematut diri. Kupandangi tubuhku yang kini tinggal ber-beha dan bercelana dalam saja.

Kuperhatikan buah dadaku yang terlihat cukup padat dan berisi, tidak tampak turun sama sekali karena aku memang belum pernah menyusui. Kalau menyusui Mas Yanto sih sudah sering tiap malam. Lalu agak ke bawah, tampak perutku yang masih langsing dan ramping. Di bawah lagi, kulihat pinggulku yang besar seperti bentuk gitar dengan pinggang yang kecil. Kemudian aku menyampingkan tubuhku hingga pantatku terlihat, masih tampak menonjol dengan kencangnya. Yang terakhir paha dan betisku, masih kencang dan berbentuk mirip perut padi, seksi sekali.

“Mas Yanto sudah punya semua ini, tapi masih nyari yang lain.” batinku getir. Tak terasa mataku mulai meneteskan butiran bening. Hatiku sakit sekaligus juga marah.

Disaat aku masih merenung, tiba-tiba kudengar sebuah langkah kaki. Mang Roji, tukang yang sudah dua hari ini bekerja membetulkan tembok di halaman belakang, berteriak memanggilku.

“Neng, Neng Mimin.” Dia ada perlu. Mungkin minta air putih seperti biasanya, aku memang belum ngasih tadi.

feby fadillah jilbab hot (8)

“I-iya, Mang.” Tak ingin dia menunggu lama, segera kusambar handuk untuk menutupi tubuh polosku. Kuintip kedatangannya dari celah pintu. “Ada apa, Mang?” aku bertanya.

Lelaki tua tetanggaku itu tidak langsung menjawab, dia tampak kaget melihatku. Memang tidak biasanya aku berlaku begini. Inilah untuk pertama kalinya ia melihatku tanpa jilbab, dan aku yakin dia juga tahu kalau aku cuma berbalut handuk saja saat ini.

“I-itu, Neng. Semennya habis.” Dia berkata dengan terbata.

Aku tersenyum dan menutup pintu sebentar. Kuambil uang yang ada di laci lemari dan kuangsurkan kepadanya. Sekali lagi, hanya tanganku yang keluar. “Segini cukup?”

Mang Roji mengangguk dan menerimanya, tapi ia tidak langsung pergi.

“Ada lagi, Mang?” aku bertanya heran.

Tidak menjawab, Mang Roji malah melangkah mendekat. “Neng,” ia memanggil dengan sorot mata aneh.

Aku mulai takut. “Mang mau apa?” pekikku tertahan sambil berusaha menutup pintu kamar, tapi aku terlambat, Mang Roji sudah keburu mengganjalnya dengan kaki.

feby fadillah jilbab hot (9)

“Neng Mimin cantik sekali,” ia menyeringai mesum, menampakkan gigi-giginya yang ompong dan bau rokok.

Aku berjengit bingung dan kembali berusaha mendorong pintu, tapi tetap saja sia-sia. “Mang Roji jangan macem-macem ya, sana cepet keluar!” bentakku marah.

Tetapi laki-laki itu bukannya mematuhi perintahku, malah kakinya melangkah maju satu demi satu masuk ke dalam kamar tidurku. “Saya cuma mau satu macem aja kok, Neng.” Ia menatap tubuhku dengan lapar. “Ngentot sama neng Mimin, mumpung suami neng lagi nggak ada.” katanya berani.

Nyaliku ciut. Terus terang, melawannya hanya akan percuma. Aku sudah pasti kalah. Jadi, apa yang bisa kulakukan? “Mang, sudah aku bilang… cepat keluar dari sini!” bentakku lagi dengan mata melotot.

“Silakan Neng teriak sekuatnya, tidak akan ada yang dengar!” ucapnya dengan mata menatap tajam padaku. Terutama bulatan payudaraku yang tampak mau tumpah.

Sepintas kulihat celah jendela yang berada di sampingku, apa aku lompat saja dari situ? Ah, sepertinya tidak akan muat. Aku menemui jalan buntu. Betapa malangnya nasibku, sudah ditinggal suami selingkuh,eh sekarang malah mau diperkosa kakek tua.

Detik demi detik berlalu, dan tubuh Mang Roji semakin dekat dan terus melangkah menghampiriku. Terasa jantungku semakin berdetak kencang dan tubuhku semakin menggigil karenanya. Aku pun mulai mundur teratur selangkah demi selangkah, aku tidak tahu harus berbuat apa saat itu sampai akhirnya kakiku terpojok ke bibir ranjang tidurku.

feby fadillah jilbab hot (10)

“Mang… jangan!” kataku dengan suara gemetar.

“Huehehe…!” suara tawa laki-laki itu saat melihatku mulai kepepet.

“Jangan, Mang!” jeritku begitu Mang Roji yang sudah berjarak satu meteran dariku, tiba-tiba meloncat menerjang tubuhku hingga aku langsung terpental jatuh di atas ranjang dan dalam beberapa detik kemudian tubuh tukang itu langsung menyusul jatuh menindih tubuhku yang telentang.

“Setan alas! Bangsat! Lepaskan aku!” aku terus berusaha meronta saat dia mulai menggerayangi tubuhku yang tidak berdaya dalam himpitannya.

Perlawananku yang terus-menerus dengan menggunakan kedua tangan dan kedua kaki lumayan membuatnya kewalahan juga sehingga Mang Roji kesulitan saat berusaha menciumi pipi dan bibirku. Tapi tangannya tetap berhasil menangkup kedua payudaraku dan meremas-remasnya kuat hingga membuatku jadi menjerit kesakitan.

“Auw! Hentikan! Lepaskan aku!” teriakku sambil mendorong lebih keras. Dan tanpa kuduga, berhasil terlepas.

Merasa mendapat kesempatan, segera aku mundur untuk menjauh dari tubuhnya. Kubalikkan tubuhku dan berusaha merangkak, namun aku masih kalah cepat dengannya, ia berhasil menangkap celana dalamku dan menariknya hingga tubuhku pun kembali jatuh terseret ke pinggir ranjang. Lalu secepat kilat Mang Roji melepas celana dalam putihku itu hingga bongkahan pantatku terbuka lebar.

Namun aku terus berusaha melarikan diri, tak peduli dengan keadaan tubuhku yang sudah hancur-hancuran. Handukku entah terlempar kemana, sementara bongkahan payudaraku sudah dari tadi mencuat dari tempatnya. Meski masih mengenakan beha, aku benar-benar tampak seperti telanjang.

“Mau kemana, Neng?” Mang Roji melangkah cepat dan sekali lagi berhasil menangkap tubuhku. Aku masih berusaha untuk berontak, tapi tiba-tiba saja pinggulku seperti terasa kejatuhan benda berat hingga aku jadi tidak dapat bergerak lagi.

feby fadillah jilbab hot (11)

“Mang… jangan, Mang… aku mohon!” kataku berulang-ulang sambil terisak menangis.

Namun rupanya laki-laki tua itu sudah kesurupan dan lupa siapa yang sedang ditindihnya. Begitu melihat tubuhku yang sudah mulai kecapekan dan kehabisan tenaga, segera ia menggenggam lengan kananku dengan sigap dan menelikungnya ke belakang sehingga aku jadi sepenuhnya menyerah sekarang. Begitu pula dengan lengan kiriku, yang kemudian diikatnya kuat-kuat entah dengan apa. Setelah itu kurasakan betis kananku digenggamnya kuat-kuat lalu ditariknya hingga menekuk bertemu kaki kiri, dan diikatnya juga.

Aku jadi tidak bisa bergerak sama sekali.

“Saya ingin ngerasain tubuh molek Neng Mimin.” bisiknya dekat telingaku. “Sejak kemarin saya sudah menginginkan mendapatkan kesempatan seperti sekarang ini.” katanya lagi dengan napas memburu.

“Tapi aku ini istri orang, Mang.” kataku mencoba mengingatkan.

“Justru malah enak. Kalau Neng sampai hamil, masih ada bapaknya.” balasnya sambil melepas ikatan behaku. Kini aku sepenuhnya telanjang, aku bugil total di depannya. Tidak terperikan betapa malu dan marahnya diriku, tapi aku sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa.

“Hhh… hmm… uhh…” desah nafasnya memenuhi telingaku saat ia mencoba mencumbu pipiku. “Saya pengen dapat kepuasan dari Neng Mimin.” katanya sambil terus mendengus-denguskan hidungnya di seputar telingaku hingga tubuhku jadi merinding dan geli.

Laki-laki itu segera melepas pakaiannya sendiri, lalu tubuhku dibaliknya hingga telentang. Aku dapat melihat tubuh polosnya saat itu. Bener dia kurus dan dekil, tapi kulihat kontolnya begitu panjang dan besar. Mau tak mau aku harus membandingkan dengan milik suamiku –satu-satunya penis yang pernah kulihat seumur hidupku– dan harus kuakui, Mang Roji lebih unggul. Sangat unggul malah, karena penis suamiku seperti tidak apa-apanya bila dibandingkan dengan miliknya.

“J-jangan, Mang.” aku merengek ketakutan, takut kemaluanku akan robek saat dimasuki kontolnya yang seperti kentongan itu.

feby fadillah jilbab hot (12)

Tapi Mang Roji dengan tidak peduli malah menarik kakiku sampai pahaku melekat pada perutku, lalu aku dipangkunya di atas kedua kakinya yang diselonjorkan, mirip anak perempuan yang tubuhnya sedang dipeluk ayahnya. Dan itu memang benar, karena usiaku yang baru 24 tahun memang lebih cocok jadi anaknya. Tangan kiri Mang Roji menahan pundakku sehingga kepalaku sekarang bersandar pada dadanya yang kurus, sedangkan tangan kanannya meremasi kulit pinggul, paha dan pantatku yang kencang dan putih bersih itu secara bergantian.

“M-Mang… j-jangan, Mang!” ucapku berulang-ulang dengan terbata-bata, mencoba mengingatkan pikirannya untuk yang terakhir kali.

Namun Mang Roji dengan senyum terkulum di bibir, terus saja meraba-raba pahaku penuh nafsu.

“Ouh… ssh… euh…” desisku pada akhirnya dengan tubuh menegang menahan geli. Aku seperti terkena setrum saat kurasakan tangannya melintas membelai belahan pahaku. Apalagi telapak dan jemari tangannya sesekali berhenti tepat di tengah-tengah lipatan pahaku dan mengelus lembut disana, membuatku jadi semakin tak tahan.

“Mang… eeh” rintihku lebih panjang lagi dengan tubuh bergetar sambil memejamkan mata. Entah kenapa aku jadi seperti ini. Aku yang awalnya begitu takut dan menolak, sekarang malah menikmati segala sentuhannya.

Memang masih terbersit rasa jengah di hatiku, tapi itupun dengan cepat terhapus saat kurasakan jemari nakal Mang Roji yang mulai mengusap-usap bibir vaginaku. Tangannya terus menyentuh dan bergerak dari bawah ke atas, lalu kembali turun lagi dan kembali ke atas lagi dengan perlahan sampai beberapa kali. Sebelum kemudian mulai sedikit menekan-nekan hingga ujung jari telunjuknya tenggelam dalam lipatan bibir vaginaku yang mulai terasa berdenyut-denyut, gatal dan geli.

Apakah ini karena efek perselingkuhan suamiku? Entahlah. Tapi yang jelas, semakin aku mengingatnya, semakin aku bertambah bergairah. Segala kelakuan Mang Roji semakin kunikmati. Jerit penolakanku sudah lama sirna, berganti dengan desahan dan rintihan yang perlahan namun pasti membuat kami jadi semakin terhanyut.

Tangan Mang Roji terus meraba dan menggelitik-gelitik bagian dalam bibir vaginaku, membuat birahiku yang mulai naik jadi terpancing dengan begitu cepatnya. Apalagi sudah cukup lama tubuhku tidak pernah mendapatkan kehangatan dari suamiku yang selalu sibuk dan sibuk. Dan sekarang ditambah dia berselingkuh, aku jadi semakin marah saja.

feby fadillah jilbab hot (13)

Biar saja dia bersenang-senang dengan… siapa namanya… ya, Sinta. Benar, Sinta. Peduli setan. Kalau dia bisa bersenang-senang, aku juga bisa. Daripada diperkosa cuma dapat letih dan sakit, kenapa aku tidak menikmatinya saja? Toh aku tidak rugi-rugi apa. Sambil itung-itung balas dendam juga kepada Mas Yanto, suamiku yang brengsek itu, yang sangat tidak tahu diri. Sudah capek-capek istrinya tampil cantik, eh dianya malah nyari wanita lain di luar.

Rasakan, Mas! Ini istrimu lagi dientot orang lain, dan aku akan menikmatinya.

Memutuskan begitu… entah siapa yang memulai duluan, tiba-tiba saja kurasakan bibirku sudah beradu dengan bibir Mang Roji yang kasar dan bau tembakau. Kami saling berpagut mesra, sama-sama menjilat, mengecup, dan menghisap liur yang keluar dari mulut masing-masing. Tak kusangka orang setua Mang Roji bisa pintar dalam bersilat lidah.

“Ouh… Neng Mimin, wajah cantikmu benar-benar merangsang sekali!” ucapnya dengan nafas semakin memburu.

Sungguh tak kusangka, ucapan seperti malah kudapat dari orang lain. Harusnya kan suamiku yang mengatakannya. Bukankah aku tampil cantik juga demi dia… Dengan hati semakin sakit, akupun pasrah saja saat Mang Roji menarik tubuhku hingga kedua buah dadaku yang tumbuh menantang berada tepat di depan mukanya.

Dan kemudian, “Ouh… Mang!” rintihku panjang dengan kepala menengadah ke belakang menahan geli bercampur nikmat yang tiada henti saat mulutnya dengan rakus memagut buah dadaku yang ranum itu. Kurasakan mulut Mang Roji menyedot, memagut, bahkan menggigit-gigit puting susuku sambil sesekali menarik-narik dengan menggunakan giginya.

feby fadillah jilbab hot (14)

Entah mengapa ada perasaan nikmat yang luar biasa menyelubungi hatiku saat ia melakukan itu, seakan-akan ada sesuatu yang telah lama hilang kini kembali, datang merasuki tubuhku yang sedang dalam keadaan tidak berdaya dan pasrah ini.

“Bruk…” tiba-tiba Mang Roji melepaskan tubuhku yang sedang asyik-asyiknya menikmati segala sentuhannya. Aku terjatuh di atas ranjang tidurku.

Namun itu tidaklah lama, karena beberapa saat kemudian kurasakan bagian bibir vaginaku dilumat olehnya dengan begitu buas seperti orang yang kelaparan. Mendapat serangan seperti itu kontan tubuhku langsung menggelinjang-gelinjang dan rintihan serta erangan suaraku semakin meninggi akibat menahan geli bercampur nikmat, bahkan sampai-sampai kepalaku bergerak menggeleng ke kanan dan ke kiri secara berulang-ulang.

Cukup lama mulut Mang Roji mencumbu dan melumati bibir vaginaku, terlebih pada bagian atasnya yang paling sensitif itu, tempat dimana klitorisku yang mungil berada. Kini benda itu sudah menebal dan membengkak parah.

“Mang… s-sudah… ouh… ampun!” rintihku panjang dengan tubuh mengejang-ngejang menahan geli yang menggelitik bercampur nikmat yang luar biasa rasanya saat itu. Lalu kurasakan tangan Mang Roji mulai rebutan dengan bibirnya. Kurasakan jarinya dicelup ke dalam lorong kecil kemaluanku untuk mengorek-ngorek segala isi di dalamnya.

“Ouh… Mang!” desisku menikmati alur permainannya yang terus terang belum pernah kudapatkan, bahkan dengan suamiku sendiri.

“Sabar, Neng. Mang suka sekali dengan yang satu ini!” suara Mang Roji yang setengah menggumam karena ia terus menjilat dan menghisap-hisap kemaluanku tanpa henti. Setelah puas, baru mulutnya naik mendekati wajahku sambil meremas-remas buah dadaku yang ranum dan kenyal.

feby fadillah jilbab hot (15)

“Neng Mimin… saya entot sekarang ya,” bisiknya lebih pelan lagi dengan nafas mendesah-desah.

Aku tidak menjawab. “Eee…” pekikku begitu kurasakan ada benda yang cukup keras dan besar mendesak-desak setengah memaksa ingin masuk di belahan bibir vaginaku.

“Tahan, Neng… dikit lagi… tahan ya…” bisiknya sabar.

“Aah… s-sakit, Mang!!” jeritku keras-keras menahan ngilu yang amat sangat, bahkan duburku sampai serasa ikut berdenyut-denyut karena saking ngilunya.

Dengan usaha yang cukup menguras tenaga –akibat kontolnya yang terlalu besar, sedangkan memekku sangat mungil dan sempit– akhirnya batang penis Mang Roji tenggelam seluruhnya. Beberapa saat lamanya, tukang bangunan tua itu mendiamkannya dengan sengaja. Dia seperti ingin menikmati pijitan-pijitan halus dinding-dinding kemaluanku pada batang penisnya. Dan memang itulah yang terjadi, karena memekku memang selalu bergetar bila dimasuki penis. Suamiku sudah mengakuinya.

Ah, mengingat Mas Yanto membuatku jadi sakit hati kembali. Dan sakit hati itu bermuara menjadi gairah baru yang sangat membutuhkan pelampiasan. Segera aku menggerakkan pinggulku, mengajak Mang Roji untuk mulai memompa dan menggoyangkan kemaluan masing-masing. Dia yang mengerti segera menarik keluar batang penisnya secara perlahan-lahan dan setelah itu didorongnya masuk lagi, juga dengan perlahan-lahan. Seakan-akan ingin menikmati setiap gesekan pada dinding-dinding lorongku yang sangat rapat dan hangat.

feby fadillah jilbab hot (16)

“Ahh… Mang!” aku merintih. Dan begitu pula dia. Kurasakan makin lama gerakan pinggul Mang Roji menjadi semakin cepat dan kuat sehingga tubuhku mulai terguncang-guncang dengan hebatnya. Kami berdua mengerang dengan penuh kenikmatan.

“Ahh… Neng… enak!!” rintihnya sambil mencari kedua putingku yang sudah sangat menegang dan memencetnya keras-keras. Tubuh kami berdua sudah banjir oleh keringat.

“Mhh… awhh… Mang, terus… lebih cepet lagi!” rintihku semakin bernafsu, dan akhirnya menjerit kuat tak lama kemudian tanda sudah mencapai klimaks. Cairanku tumpah ruah memenuhi bantal dan sprei.

Tahu kalau aku sudah lemas, Mang Roji ganti mengarahkan kontolnya ke mulutku. Tampaknya dia tahu diri juga, tidak ingin membuatku hamil. Tanpa perlu bertanya lagi segera kukulum dan kulumat habis penis yang bau cairan vagina itu maju mundur. Mang Roji langsung mengerang penuh kenikmatan.

“Ahh… Neng Mimin… saya… saya… oughh!!” dia menjerit saat menyemburkan sperma kental yang sedikit amis di dalam mulutku, dan menyuruhku untuk menelan semuanya.

Segera kulakukan, namun karena terlalu banyak, sebagian tetap ada yang mengalir keluar melalui celah bibirku. Tubuhku terasa lemas bagaikan tanpa tulang. Begitu pula dengan Mang Roji, dia langsung terhempas ke samping tubuhku. Kami tidur secara bersisian.

“Mang Roji gila!” ucapku memecah kesunyian dengan nada manja, sama sekali tidak ada nada marah disana. Beda dengan saat pertama kali tadi. “Sudah berani memperkosaku,” Kupandangi tubuhnya yang masih terkulai di samping kiriku.

feby fadillah jilbab hot (17)

Dia tertawa, “Tapi enak kan? Saya lihat Neng juga menikmatinya.” Tangannya membelai lembut bulatan payudaraku dan memenceti putingnya secara bergantian.

Wajahku langsung merah padam mendengar apa yang baru saja diucapkan olehnya, namun tidak bisa membantah karena itu memang benar. “Sekarang lepaskan ikatanku,” aku meminta, tanganku sudah pegal dan kaku.

“Maaf ya, Neng. Saya benar-benar tak tahan.” Ia mulai mengurai simpul di tanganku.

“Iya, aku ngerti kok.” Kupandangi, ternyata dia mengikat dengan menggunakan celana dalamku. Sedangkan kakiku dengan memakai robekan handuk.

“Jangan dilaporin ke Den Yanto ya, Neng.” Ia memohon, “Nanti saya kasih yang lebih nikmat lagi.”

Aku diam saja, tidak menjawab. Dia benar-benar sudah memegang kartuku, membuatku jadi mati kutu.

Setelah aku terbebas, laki-laki itu kemudian pamit. Sebelumnya ia terus mengucapkan maaf berkali-kali, dan sempat juga menawariku untuk main lagi satu babak. Tapi langsung kutolak mentah-mentah karena aku masih ada acara. Aku harus pergi ke pabrik Mas Yanto. Ya, aku akan kesana sekarang untuk meminta penjelasan darinya.

Setelah mandi dan ganti pakaian, aku pun berangkat. Mas Yanto seperti tersengat ular kobra begitu melihatku muncul dari pos satpam. Tiba di lobi, dia tampak kikuk. Membuat kecurigaanku jadi kian memuncak.

“Hapenya ketinggalan.” aku mati-matian mengatur napas yang telah disesaki amarah. “Trus ada Sinta telpon. Katanya udah janjian kan?”

“Min, aku minta maaf.”

feby fadillah jilbab hot (18)

Makin muntab saja aku. “Siapa dia?”

“Bukan siapa-siapa. Sumpah!”

“Pulang sekarang! Kita selesaikan di rumah!”

“Min, ndak bisa. Aku nanti lembur.”

Arsadi, teman kerja Mas Yanto muncul sambil mengulum senyum. “Tumben, Min? Mau ngecek rumah baru ya?” ujarnya santai.

Dahiku mengerut. “Rumah? Rumah siapa, Mas Arsad?”

“Loh? Yanto mau nyicil rumah toh?”

Aku masih mengarca.

“Dia udah nego ama Bu Sinta kan? Atau justru batal?”

Kupandang Mas Yanto dan Mas Arsadi bergantian. Mendadak Mas Yanto mendesah panjang, menepuk pundak kananku.

“Maaf, Min. Rencananya aku mau bikin kejutan sama kamu. Aku rencana nyicil rumah. Biar ndak ngontrak lagi. Sore ini mau ketemu sama Bu Sinta di kantor perumahan Griya Asri. Dia marketingnya. Tapi nanti ada stuffing ke Denmark. Batal lagi terpaksa.”

Perutku seakan menggelinjang dilingkupi keterkejutan. Astaga! Aku terpana.

“Kalo jadi, bulan depan ndak usah ke Dokter Lusi ya? Sayang duitnya,” lanjut Mas Yanto.

Jawabanku tertelan oleh rasa malu. Berani-beraninya aku berburuk sangka terhadap suamiku. Astaghfirullah! Seandainya kami berada dalam situasi sepi, niscaya aku sudah berlutut aku di hadapan Mas Yanto, meminta maaf atas dugaan sintingku. Juga pengkhianatanku tadi. Pundakku melorot, bibirku bergetar menahan haru. Sungguh kenyataan ini diluar dugaanku. Apa yang bisa kulakukan untuk menebus semua kesalahanku. Tubuhku sudah kotor. Sudah ada sperma laki-laki lain di dalam diriku!

“Min? Kamu ndak apa-apa kan? Kok jadi pucat begitu?” Mas Yanto mengangkat daguku.

feby fadillah jilbab hot (18)

Aku menatapnya dengan mata menggenang.