ANAK NAKAL : BUNDA

Namaku Doni. Aku anak nomor 2 dari tiga bersaudara. Kami adalah keluarga yang alim. Ayahku sendiri seorang yang taat beragama. Kakakku seorang aktivis di kampus. Kami benar-benar keluarga yang religius. Aku? Aku sebenarnya kalau dilihat dari luar religius, tapi dibalik itu aku cuma anak biasa saja. Ndak sebegitunya seperti kakak perempuanku.

Kakakku bernama Kak Vidia. Adikku bernama Nuraini. Ibuku? Oh ibuku ini seorang ustadzah. Aku sendiri dikatakan anak nakal oleh ibuku, aku menyebutnya bunda. Ayahku sering menasehatiku untuk tidak bergaul dengan anak-anak geng. Tapi apa boleh dikata, dari sinilah aku banyak mengenal dunia. Memang sih, aku bergaul dengan mereka, tapi tidak deh untuk berbuat yang aneh-aneh. Walaupun aku bergaul dengan mereka tapi aku sadar koq norma-norma yang harus dijaga. Aku bahkan sangat protektif terhadap saudari-saudariku. Ada temenku yang naksir saja langsung aku hajar. Makanya sampai sekarang banyak orang yang takut untuk mendekati kakakku maupun adikku.

Menginjak kelas 2 SMA, keluarga kami berduka. Ayahku kecelakaan. Ketika pulang kantor beliau dihantam oleh truk. Ia berpesan kepadaku agar jadi anak yang baik di saat-saat terakhirnya. Kami semua bersedih. Terutama bunda. Ia selalu menyunggingkan senyumnya tapi tak bisa menyebunyikan raut wajahnya yang sembab. Otomatis setelah meninggalnya ayah, keluarga kami pun banyak berubah.

Rasanya sangat berdosa sekali aku kepada ayahku. Aku sampai sekarang belum bisa jadi anak yang baik. Namun aku berusaha untuk berubah, mulai kujauhi teman-teman gengku. Aku pun mulai membantu bunda untuk bekerja, karena warisan ayah tak bisa untuk membiayai kami semuanya ke depan. Setelah aku pulang sekolah, aku selalu menjaga toko kami. Lumayanlah bisa mencukupi kebutuhan kami. Dari pagi sebelum sekolah aku sudah harus pergi ke grosir, membeli sembako, kemudian menyetok ke toko, setelah itu aku baru pergi sekolah. Pulangnya aku harus menjaga toko sampai sore. Begitulah, hampir tiap hari. Jadi tak ada kegiatan ekstrakurikuler yang aku ikuti.

Membiayai Kak Vidia kuliah, membiayai Nuraini sekolah, bukanlah hal yang mudah. Kak Vidia bahkan untuk uang sakunya sampai rela kerja sambilan. Namun perlahan-lahan kami pun bisa bernafas lega setelah toko kami mulai besar, walaupun begitu kami makin sibuk. Akhirnya kami pun memperkerjakan orang. Anak-anak lulusan SMK. Aku juga sudah kelas 3 SMA. Sebentar lagi lulus. Bingung mau kuliah ke mana. Apa ndak usah kuliah ya? Melihat bunda kelimpungan jaga toko mengakibatkan aku pun mengurungkan niatku kuliah.

Aku lulus dan adikku Nuraini masuk SMA. Dua tahun yang berat. Namun akhirnya toko kami sudah besar, berkat ide-ide yang kami pakai tiap hari akhirnya toko ini pun besar. Jarang ada toko sembako delivery order. Bahkan tidak sampai tiga tahun kami sudah ada waralaba. Bisa beli mobil, bisa renovasi rumah dan sebagainya. Kak Vidia pun sekarang jadi tidak bingung lagi kuliahnya. Ia sempat cuti 2 semester untuk membantu usaha kami.

Itulah profil keluarga kami. Tapi tahukah kalau di balik itu semua ada sesuatu hal yang sebenarnya menarik untuk diceritakan? Sebenarnya ini tak boleh diceritakan karena aib tersembunyi keluarga kami. Dan karena inilah hubunganku dengan kakakku, adikku dan ibuku jadi lebih akrab, bahkan aku dianggap sebagai kepala rumah tangga.

Ceritanya ini dimulai setelah 6 bulan ayah wafat. Aku saat itu benar-benar masih nakal. Menonton bokep sudah biasa bagiku. Bahkan sebenarnya, terkadang aku membayangkan begituan dengan bunda, maupun kak Vidia, atau bahkan terkadang juga dengan Nuraini. Iya, mereka semua pake jilbab, tapi hanya aku yang tahu bagaimana lekuk tubuh mereka, karena di rumah mereka membuka jilbabnya dan pakai pakaian biasa.

Awalnya aku benar-benar iseng sekali. Saat itu aku baru saja beli kamera pengintip. Bentuknya seperti sebuah gantungan kunci, berbentuk kotak kecil. Ketika ditekan tombol rahasianya, ia akan merekam selama kurang lebih 2 jam. Harganya cukup murah kalau dicari di internet, sekitar 500ribu. Aku menggantungkannya di anak kunci, sehingga ketika ke kamar mandi aku selalu mandi duluan, dan kemudian aku taruh di tempat yang bisa mengawasi semuanya. Jadi seluruh penghuni rumah, sama sekali tak curiga. Awalnya tak ada yang tahu, tapi nanti yang pertama kali tahu adalah Kak Vidia, tapi nanti aku ceritakan.

Aku meletakkan kunci itu di gantungan baju. Aku posisikan agar kameranya mengawasi seluruh ruangan kamar mandi. Yang pertama kali masuk setelah aku adalah bunda, kemudian Kak Vidia, lalu Nuraini. Setelah semuanya mandi, aku masuk ke kamar mandi untuk mengambil kamera pengintai. Aku kemudian ke kamar untuk menikmati hasilnya. Aku bisa mengetahui tubuh mulus mereka semua tanpa sehelai benang pun.

Misalnya bunda, rambutnya lurus, tubuhnya sangat terawat, langsing, dadanya besar, mungkin 34C, bahkan yang menarik beberapa minggu sekali bunda mencukur bulu kemaluannya. Kak Vidia juga begitu, kulitnya putih, rambutnya panjang, dadanya ndak begitu besar, 32B tapi putingnya yang bikin aku kaget, berwarna pink. Ini orang bule atau gimana? Tapi begitulah Kak
Vidia. Ia juga sama seperti bunda, mencukur bulu kemaluannya, bahkan halus seperti bayi. Terakhir Nuraini, jangan kira Nuraini cuma anak SMP, ia ini sangat dewasa. Dadanya besar banget, sama kayak bunda 34C. Masih SMP saja dadanya gedhe, gimana klo sudah SMA nanti? Ia pun sama, punya kebiasaan mencukur bulu kemaluan. Sepertinya cuma aku saja yang tidak. Tapi bolehlah ntar coba dicukur. Kayaknya lebih bersih.

Selama sebulan itu aku sering ngocok penisku di depan komputer sambil melihat adegan demi adegan di kamar mandi. Hal itu membuat aku terobsesi kepada mereka. Saking terobsesinya, aku kadang punya alasan untuk bisa menyentuh mereka, seperti mencium pipi adikku, mencium pipi bunda, terkadang juga memeluk Kak Vidia. Tapi mereka semua tak curiga. Dan satu-satunya yang membuatku kelewatan adalah memesan kloroform kepada salah seorang teman gengku. Aku pesan beberapa botol. Untuk stok pastinya. Pertama aku coba ke kucing tetangga. Ketika aku bekep pake sarung tangan yang ada kloroformnya, pingsan tuh kucing. Aku pun menghitung berapa kira-kira waktu yang dibutuhkan oleh kucing ini bisa sadar. Satu jam, dua jam, tiga jam. Lama sekali.

Siapa yang ingin aku coba pertama kali? Kak Vidia ndak mungkin, ia bakal kaget nanti kalau sudah tidak perawan ketika malam pertama dengan suaminya. Begitu juga Nuraini, bisa berabe aku nanti kalau dia melapor ke bunda memeknya perih. Jadi targetku adalah bunda.

***

Seperti biasa bunda menjaga toko waktu itu. Dan aku menyiapkan teh hangat untuk beliau. Aku berikan setetes kloroform di minumannya. Tujuanku sih agar ia pusing saja dan bisa aku suruh istirahat, baru kemudian aku bekap.

“Kamu ndak sekolah, Don?” tanya bunda.

“Tidak dulu bunda, mau bantu toko dulu,” jawabku.

“Lho, jangan. Ada bunda sama mbak Juni koq. Sekolah saja!” kata bunda. Mbak Juni adalah pegawai kami. Ia ada cerita untuk nanti. Ia janda, beranak satu, tapi masih muda. Usianya baru 21 tahun. Menikah muda. Bodynya masih singset.

“Tidak mengapa bunda, Doni udah ijin koq,” kataku.

“Baiklah, tapi cuma hari ini saja ya, jangan ulangi lagi,” katanya.

Bunda lalu meminum teh hangatnya. Aku pura-pura mencatat barang-barang di toko. Mbak Juni juga melakukan hal yang sama. Dan memindah-mindahkan karung beras. Kemudian datang seorang pembeli yang langsung dilayani oleh Mbak Juni.

Efek obat mulai terlihat. Bunda memegang kepalanya. Aku pura-pura peduli, “Kenapa, bunda?”

“Entahlah, bunda tiba-tiba pusing,” katanya.

“Capek mungkin, istirahat saja bunda,” kataku.

“Iya deh, aku istirahat sebentar. Mungkin nanti bisa baikan. Mbak Juni, tolong ya!” kata bunda.

“Iya, bunda,” kata Mbak Juni.

Bunda agak terhuyung-huyung, lalu beliau masuk kamar. Aku pun menyudahi pura-puraku, kemudian pura-pura ke kamarku, tapi sebenarnya menyusul beliau ke kamarnya. Aku beri waktu sekitar sepuluh menit, hingga kemudian terdengar nafas dengkurang halus bunda. Oh sudah tidur. Aku lalu beranikan diri masuk ke kamarnya. Bunda masih pakai jilbabnya, aku siapkan kloroform ke sarung tanganku, dosisnya seperti yang aku berikan ke kucing percobaan kemarin. Dan BLEP!!!

Bunda tak berontak, mungkin berontakannya tak berarti. Tangannya ingin menghalau tanganku tapi lemas. Matanya belum sempat terbuka dan ia pun sudah pingsan. Aku pun sangat senang, ini kemenangan.

Aku lalu kunci pintu kamar bunda. Biar ndak ada siapapun yang masuk. Jantungku berdebar-debar, antara senang, takut dan macem-macem rasanya. Aku duduk di sebelah bunda. Di pinggir ranjang itu aku lihat ujung rambut sampai ujung kakinya. Tanganku mulai bergerilya. Kuraba pipinya, bibirnya, aku buka sedikit, rahangnya aku turunkan hingga ia membuka mulutnya. Sesaat aku ingat ayah, tapi karena aku sudah bernafsu, rasa bersalahku pun aku tepis.

Aku pagut bibir bunda. Aku hisap lidahnya. Penisku mulai tegang, bunda benar-benar tak bereaksi sama sekali, bahkan sekarang bibirnya mulai basah. Wajah bunda sangat cantik, mungkin seperti Ira Wibowo. Bibirnya sangat lembut, tak puas aku menciumi bibir itu. Aku pun mulai meremas-remas dadanya walaupun masih tertutup gamis. Lalu tanganku mengarah ke selakangannya mengelus-elus tempat pribadinya.

Karena semakin bergairah, aku pun melepas celanaku sehingga bagian bawah tubuhku tak terbungkus sehelai benang pun. Penisku sudah mengacung tegang. Urat-uratnya mengindikasikan butuh dipuaskan. Aku arahkan jemari bunda untuk menyentuh penisku, Ohh… lemas aku. Lembut sekali jemari beliau. Aku tuntun tangannya untuk meremas telurnya, aku makin keenakan. Seandainya beliau bangun dan mau melakukannya kepadaku tentunya lebih nikmat lagi.

Aku kemudian naik ke ranjang. Aku berjongkok di depan wajahnya. Penisku aku gesek-gesekkan di pipi, hidung dan bibirnya yang agak terbuka itu. Aku sangat bergairah sekali. Selain itu juga takut ketahuan. Aku buka mulutnya, lalu kucoba masukkan kepala penisku, uhhhh….nikmat banget. Walaupun tak muat, aku buka mulutnya lagi, tangan kiriku mengangkat kepalanya dan tangan kananku membuka mulutnya lebih lebar, lalu kudorong penisku masuk.

Di dalam mulutnya penisku berkedut-kedut. Nikmat sekali. Aku makin bergairah melihatnya yang masih pakai kerudung. Kuambil ponsel dan aku abadikan ketika penisku masuk ke mulutnya. Kumaju-mundurkan penisku sampai mentok, walaupun giginya mengenai penisku rasanya nikmat sekali. Lucunya lidahnya bergoyang-goyang, entah ia mimpi apa, itu semakin membuatku terangsang. Pelan-pelan penisku menggesek rongga mulutnya, kemudian aku tarik keluar. Sekarang aku posisikan telurku di mulutnya. Karena punyaku sudah tercukur bersih aku bisa melihat semuanya. Seolah-olah bunda sedang menjilati telurku.

“Bunda, ohhh… nikmat banget,” racauku.

Kalau terus seperti ini, rasanya aku ingin muntahkan pejuku di wajahnya. Tapi aku tahan. “Tidak, bunda, Doni ingin merasakan ini, bolehkan?” aku meraba vaginanya.

Aku kemudian melepaskan gamis bunda, kancingnya aku buka semua, hingga ia hanya memakai bra dan CD. Aku turun ke bawah. Kuciumi seluruh tubuhnya, perutnya, pahanya, aku jilati semuanya sampai basah. Bahkan mungkin tak ada satupun yang terlewat. Aku lepas BH-nya. Ohh… dada yang dulu ketika kecil aku mengempeng, sekarang aku mengempeng lagi. Aku hisap teteknya, putingnya aku pilin-pilin, kupijiti gemas. Tapi aku tak ingin memberikan cupang di dadanya, nanti ia curiga. Belum saatnya. Ketiaknya yang bersih tanpa bulu pun aku hisap, kujilati. Semuanya aku jilati. Aku pun mencium bau yang aneh, ketika aku menghisapi jempol kakinya. Dan aku lihat CD-nya basah. Bunda terangsang?

“Bunda terangsang? Mau dimasukin bunda?” tanyaku.

Aku pun segera melepaskan CDnya, Dan kuikuti aku telanjang juga sekarang. Punyaku makin berkedut-kedut dan di lubang kencingnya muncul cairan bening. Aku melihat memek bundaku tersayang. Warnanya pink kecoklatan. Inikah tempatku keluar dulu? Betapa bersihnya, ada cairan keluar. Aku segera membuka pahanya, kepalaku mengarah ke sana, kujilati, kuhisap dan klitorisnya aku tekan-tekan dengan lidahku. Intinya lidahku menari-nari di sana seperti lidah ular, menjelajahi seluruh rongga vaginya. Setiap cairan yang keluar aku hisap, rasanya asin-asin bagaimana gitu.

Aku makin bergairah dan sepertinya bunda juga bergairah, ia sangat banjir, bahkan ketika aku colok-colok dengan lidahku, lebih dalam lagi kakinya bergetar. Ia mengeluh….dan mendesis, walaupun masih tidur dan tidak sadarkan diri tapi dia merasakannya. Mungkin ia bermimpi sedang begituan. Kepalanya yang masih memakai jilbab mendongak ke atas, Dan kemudian pantatnya diangkat, tubuhnya bergetar hebat, memeknya mengeluarkan cairan yang sangat banyak, menyemprot bibirku. Aku lalu duduk.

“Bunda orgasme?” tanyaku.

Tentu saja beliau tak menjawab. Sepertinya bunda sudah siap, aku posisikan penisku di ujung vaginanya. Kepala penisku sudah ingin masuk saja. Aku tak sabar, dan… BLESSS….!! Lancar banget, ohhhh… HANGATT…. !! ini ya rasanya memek wanita itu. Aku lalu ambruk di atas tubuh bunda, ia kutindih. Toketnya dan dadaku berpadu, Penisku berkedut-kedut dan anehnya memeknya juga seperti meremas-remas penisku. Ngilu rasanya, tapi nikmat.

“Bunda, seperti inikah bunda rasanya ngentot?” tanyaku. Aku mengabadikan peristiwa ini ke ponselku, kuclose up wajah bunda yang tidur, vaginanya yang sekarang penisku masuk ke sana juga kuabadikan, bahkan posisiku menindih bundaku pun aku abadikan.

“Doni… ohh… puasin, bunda…” terdengar suara bisikan bunda. Apa maksudnya, apakah bunda sadar?

Sejenak aku bingung, ternyata bunda memimpikan aku, bermimpi bersetubuh denganku. Itu membuatku makin bergairah. Aku kemudian menaik-turunkan pantatku perlahan-lahan, menikmati saat-saat ini. Tapi aku hanya punya waktu 3 jam kurang lebih, tak ingin aku sia-siakan kesempatan ini. Kugoyang pantatku naik turun, makin lama makin cepat.

“Bunda… oh… Doni kembali masuk ke tempat bunda,” racauku, makin lama makin cepat. Bunda aku tindih, pahanya terbuka lemas. Dan aku sepertinya akan keluar, oh sperma perjakaku… kemana ya harus keluar?

“Bunda, ke wajah bunda aja ya keluarnya… oohhh… keluar, bunda!!!” seruku. Aku segera mencabut dan berlutut di depan wajah bunda. Penisku kuarahkan ke situ.

CROOT…. CROTT… CROOTTT…. Banyak sekali tembakannya, aku sudah tidak perjaka lagi. Bunda sendiri yang menghilangkannya, spermaku belepotan di wajah bunda, sebagian masuk ke mulutnya, aku terus mengocoknya hingga tetes terakhir, lalu aku bersihkan sisa di ujung penisku ke mulutnya.

Momen ini tak bisa aku lewatkan segera aku abadikan ke ponselku. Aku lalu berbaring lemas di sampingnya. “Bunda… nikmat, bunda,” kataku. Aku peluk dia dari samping sambil memeluk toketnya.

Butuh waktu 15 menit bagiku untuk istirahat sebentar, kemudian aku bersihkan wajahnya dengan tisu yang ada di meja riasnya. Agar tidak bau sperma aku seka wajah ibuku pakai pelembab, biar tak ketahuan. Disaat membersihkan itulah aku terangsang lagi melihat payudaranya. Aku kenyot lagi dua buah toket besar itu. Kubenamkan wajahku ke tengah payudara, kuhisap aromanya yang harum. Aku kemudian menghadapkan tubuh ibuku miring ke tepi ranjang. Ternyata tepat di depan bundaku ada kaca lemari. Sehingga aku bisa melihat tubuhnya di sana.

Penisku yang tegang lagi ingin mencari mangsa. Kuposisikan kepala penisku dari belakang pantatnya. Karena masih basah, mudah sekali penisku masuk. SLEB…!! Oh, kembali kedut-kedut vaginanya. Aku angkat sebelah kakinya, sehingga aku bisa melihat dari kaca penisku masuk di sana. Aku lalu bergoyang maju mundur, kuturunkan kaki bunda, tanganku beralih ke toketnya. Pantatnya benar-benar membuatku terangsang hebat. Enak sekali.

Aku tak sadar siapa yang kusetubuhi sekarang. Yang aku inginkan adalah puncak kenikmatan. Tapi aku tetap pada pendirianku jangan keluarkan di dalam. Belum waktunya. Aku terus menggoyang pantatku maju mundur. Pantat bunda beradu dengan selakanganku. PLOK… PLOK… PLOK… bunyinya sangat menggairahkan. Dan sepertinya. Setiap kali aku ingin orgasme. Aku istirahat sebentar. Menciumi bibirnya, ketiaknya, dan menghisap putingnya. Dan akhirnya aku tak tahan lagi.

“Duh, bunda, maaf ya. Aku keluar lagi,” aku langsung cabut penisku dan kukeluarkan di pantatnya. Spermaku masih banyak aja. Enak rasanya penisku sampai berkedut-kedut berkali-kali setiap spermaku muncrat keluar. Aku istirahat sebentar sambil mengumpulkan tenaga. Ngilu sekali penisku. Aku lalu bangkit membersihkan pantat bunda yang belepotan dengan spermaku.

Aku melihat jam dinding, oh tidak, setengah jam lagi bunda akan sadar, tak sadar aku sudah lama ngentotin bunda. Aku bergegas memakaikan lagi pakaiannya. Jilbabnya yang terkena sedikit sperma aku bersihkan juga. Aku memakaikan lagi branya, tapi entah kenapa aku terangsang lagi. Maklum masih perjaka dan ada mainan baru. Aku lalu melakukan titfuck. Dada bunda mengocok penisku, aku melakukannya sambil sesekali menengok jam dinding, masih ada waktu, aku harus cepat. Aku bantu payudara bunda untuk mengocok penisku, dan aku keluar lagi, spermaku muncrat di belahan toket bunda. Tapi jumlahnya ndak sebanyak tadi,
karena mungkin sudah mulai kosong kantong produksinya. Aku segera bersihkan cepat-cepat, kuposisikan tubuh bunda seperti tadi tidur, aku berpakaian lalu keluar dari kamar bunda. Aku lalu mandi dan membersihkan diri.

***

Bunda terbangun setengah jam kemudian. Ia keluar kamar ketika aku masih menghitung stok toko. Ia menggeliat.

“Kenapa, bunda?” tanyaku.

“Entahlah, bunda koq tidurnya nyenyak ya? Tapi badan bunda pegel-pegel semua. Seperti habis olahraga aja,” jawab bunda. Tapi dalam hati aku senang sekali karena tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Hari itu aku membantu menjaga toko sampai sore. Dan setelah itu aku habiskan waktuku di kamar sambil melihat foto-foto hasil ngentotku dengan bunda tadi. Aku melakukan coli berkali-kali sampai penisku ngilu dan lemas. Malam itu aku tidur nyenyak sekali, entah berapa banyak tissu yang kuhabiskan, yang jelas aku baru sadar tissue di meja kamarku tinggal sedikit sekali.

Hari-hari setelah itu aku jadi berbeda. Siang hari setelah aku pulang sekolah, aku menyiapkan teh hangat untuk bunda, kemudian pasti ia mengantuk dan tidur. Setelah itu aku pasti ngentotin beliau seperti sebelum-sebelumnya, dan kini aku tidak takut lagi seperti dulu. Tapi aku tak melakukannya setiap hari, hanya kalau ada kesempatan saja. Dan itu tidak pasti atau jarang. Kalau aku sedang kepingin saja. Kalau tiap hari bisa bikin bunda curiga. Aku ingin bercinta dengan bundaku dalam keadaan sadar, karena aku setiap ngentot dengan bundaku selalu aku dengar rintihannya memanggil-manggil aku dalam mimpinya. Ia seperti membayangkan ngentot dengan aku. Ini tanda tanya besar. Dan itu terjawab ketika aku melihat rekaman di kamar mandi pada suatu siang setelah aku pulang dari ujian di sekolah.

Aku melihat rekaman video bunda mastrubasi dengan jarinya di kamar mandi. Ia mengocok-ngocok memeknya, sambil berkali-kali memanggil namaku. Kenapa? Apakah ia mengalami ‘mother complex’?

Setelah ia mengeluh panjang, ia lalu menutupi wajahnya sambil menggumam, “Kenapa dengan aku? kenapa? Apa yang aku lakukan? Kenapa aku menginginkan anakku sendiri?”

DEG…!! betapa kagetnya aku mendengar pengakuan bundaku sendiri dari rekaman itu. Ternyata benar, bunda menginginkan aku. Aku jadi ingin saja ngentotin dia setelah ini. Obsesiku kepada ibuku sendiri makin besar. Terlebih ketika tahu bahwa bunda masih haidh, masih produktif berarti.

Malamnya bunda sedang menghitung-hitung penghasilan. Kami di rumah sendirian. Nuraini ikut mabid atau apalah namanya. Kak Vidia juga sedang nginap di kampus ada kegiatan apa gitu. Aku sedang menonton tv sambil sesekali mengamati bunda, mengamatinya saja bikin aku terangsang. Aku berusaha menyembunyikan tegangnya penisku.

“Bunda, bunda capek kayaknya, ndak istirahat?” tanyaku.

“Nanti dulu, Don, masih kurang dikit lagi,” katanya.

“Kalau bunda capek, aku menawarkan diri untuk mijitin bunda kalau tidak keberatan,” kataku.

Bunda tersenyum renyah kepadaku. Ia kemudian masih melanjutkan pekerjaannya. Hingga kemudian acara tv selesai dan aku mematikan tv. Bunda kemudian duduk di sampingku. Aku hampir aja beranjak.

“Lho, katanya mau mijitin bunda?” tanyanya.

“Oh, jadi toh?” kataku.

“Iya dong,” katanya.

Bunda kemudian membelakangiku. Aku lalu mulai memijitinya. Ia masih memakai kerudungnya yang lebar. Aku mulai memijiti pundaknya.

“Oh… enak sekali, Don, pinter juga kamu memijat,” katanya.

“Siapa dulu dong,” kataku.

Aku berinisiatif kalau malam ini aku harus bisa ngentot ama bunda. Aku pun mulai pembicaraan. “Bunda, boleh tanya?” tanyaku.

“Tanya apa?” tanyanya.

“Doni waktu itu lupa sesuatu, trus pulang lagi ke rumah. Nah, Doni mendengar bunda manggil-manggil nama Doni di kamar mandi sambil merintih, emangnya kenapa itu, bunda?” tanyaku.

Bunda terkejut. Jantungnya berdebar-debar, ia bingung mau jawab apa. Ia pun bertanya balik, “Kapan itu?”

“Beberapa waktu lalu, emangnya bunda ngapain sih di kamar mandi?” tanyaku.

“I-itu… nggak ada apa-apa koq,” jawabnya.

“Tapi koq, manggil-manggil nama Doni?” tanyaku.

Bunda terdiam. Aku lalu memeluk bunda dari belakang. Dari situlah aku tahu bahwa jantung beliau berdebar-debar. Bunda lalu bersandar di dadaku. Matanya berkaca-kaca. Ia lalu menutup wajahnya.

“Bunda, kalau bunda misalnya rindu sama ayah, Doni bisa mengerti koq. Mungkin wajah Doni mirip ama ayah,” kataku.

Bunda lalu terisak, kami berpelukan. Bunda bersandar di pundakku. Ia tak berani melihat wajahku. Ia terus memelukku dan aku membelai kerudungnya yang panjang. Cukup lama ia bersandar di pundakku. Sampai aku kemudian mulai memberanikan diri untuk melihat wajahnya.

“Maafkan, bunda, engkau mirip sekali dengan ayahmu, dan bunda rindu dengan sentuhan ayahmu,” katanya.

“Boleh Doni minta sesuatu, bunda?” tanyaku.

“Apa itu?” tanyanya.

“Doni ingin mencium bunda,” kataku.

Ia tersenyum, “Boleh saja, kenapa memangnya?”

“Tapi bukan di pipi, di sini,” kataku sambil menyentuhkan telunjukku di bibirnya.

“Ah, Doni ini koq kolokan banget? Aku ini bundamu, bukan kekasihmu,” kata bunda.

“Sekali saja bunda, Doni ingin tahu rasanya ciuman, please… sekali saja,” kataku.

Bunda terdiam. Ia menatap wajahku. Ia mengangguk walau agak ragu. Aku senang sekali, tersenyum. YES! dalam hatiku.

Aku perlahan mendekatkan wajahku, wajah bunda kutarik ke arahku dan bibirku menempel di bibirnya. Pertama cuma menempel, selanjutnya aku mulai menghisap bibir bunda. Lagi dan lagi. Dan akhirnya kami berpagutan. Nafas bunda mulai memburu. Tiba-tiba bunda mendorongku.

“Tidak, Don, tidak. Kita terlalu jauh. Kita ini ibu dan anak. Ndak boleh beginian,” katanya.

“Lalu kenapa bunda mastrubasi sambil manggil-manggil Doni?” tanyaku.

“Kamu tahu?” tanyanya.

“Iya, Doni tahu. Itu artinya bunda kepingin kan?” tanyaku. “Sampai berfantasi ama Doni.”

Ia tak menjawab. Tampaknya aku menang. Bunda sepertinya pasrah. Aku ingin coba lagi. Kupegang kedua tangannya, aku memajukan wajahku lagi, kini ciumanku disambut. Wajah kami makin panas karena gairah. Lama sekali kami berpagutan, nafas ibuku makin memburu.

Aku lalu menarik wajahku lagi, “Kalau misalnya bunda kepingin dan tidak ada yang bisa memuaskan bunda, Doni bisa koq. Tapi jangan sampai semuanya tahu.”

“Tidak, Don… hhmm…” bibir bunda aku cium lagi sebelum selesai berkata-kata. Ia berusaha mendorongku. “Sudah, Don, sudah… bunda ndak mau, ingat kita ibu dan anak.”

“Lalu kenapa bunda membayangkan dientotin Doni?” tanyaku lagi. Kucium lagi bibirnya.

“Itu.. .hmmmm… itu… itu karena bunda khilaf, maafin bund… hhmfff,” bunda tak kuberi kesempatan melakukan penjelasan. Kuremas-remas dadanya dari luar gamisnya. Bunda pun mendorongku lebih kuat lagi.

“Baiklah, baiklah… bunda memang ingin kamu, bunda ingin ngentot dengan kamu, ayo ngentotin bunda! Sekarang!” katanya. “Buka bajumu!”

Aku lalu menghentikan aktivitasku. Melihat air matanya berlinang, aku mengurungkan niatku. Aku berdiri. “Maafin Doni, bunda. Maaf!”

Aku mencium tangannya lalu berbalik dan masuk ke kamarku. Perasaanku campur aduk setelah itu. Beberapa kali bunda mengetuk pintu kamarku, tapi tak kutanggapi, aku pun tertidur.

***

Paginya aku bangun, kemudian ingin ke kamar mandi. Saat itulah aku dikejutkan karena ternyata bunda ada di dalam kamar mandi telanjang, bener-bener polos. Aku terkejut dan mematung.

“Doni!?” bunda terkejut.

“Oh, maaf, bund,” aku segera menutup pintu kembali. Untuk beberapa saat aku diam di depan pintu kamar mandi. “Biasanya Doni mandi duluan, ndak tau kalau bunda mandi duluan. Habis bunda ndak ngunci sih.”

“Kamu mau mandi?” tanyanya. “Masuk aja!”

“Lho, bunda ‘kan di dalam,” kataku.

“Gak papa, sama bunda sendiri koq malu?” katanya.

Aku agak ragu, tapi kemudian aku pun masuk. Bunda melirikku sambil tersenyum, “Ndak usah malu, copot sana bajunya.”

Aku pun mencopot seluruh pakaianku. Bunda menyiram badannya di bawah shower. Terus terang hal itu membuatku terangsang banget. Penisku langsung menegang. Dan setan pun masuk ke otakku, aku melihat bundaku seperti seorang bidadari, segera aku memeluknya dari belakang, penisku yang sedang tegang maksimal menempel di pantatnya.

“Bunda, maafin, Doni. Tapi Doni ndak tahan lagi!” kataku. Bunda terkejut dengan seranganku. Aku meremas-remas toketnya, kupeluk erat bunda.

“Doni… sabar, Don, sabar!” kata bunda.

“Tapi, aku tak mau melepaskan bunda,” kataku.

Bunda mematikan shower, kemudian membelai tanganku. Aku menciumi lehernya dan menghisapnya dalam-dalam. “Oh, Doni… anak bunda sekarang sudah besar…” katanya. Tangan satunya tiba-tiba menyentuh kepala penisku. Penisku yang sudah tegang itu dipegangnya, makin tegang lagi, lebih keras dari sebelumnya. Kemudian bunda mengocoknya lembut. “Kamu ingin ini kan?”

Aku mengangguk.

“Bunda tahu koq, kamu kan anak bunda,” katanya. “Lepasin bunda sebentar.”

Aku lalu melepaskan pelukanku. Bunda berbalik, tinggi kami hampir sama, tapi aku lebih tinggi sedikit. Matanya menatapku lekat-lekat.

“Bunda, mengakui punya hasrat kepada anak bunda sendiri. Bunda tidak bohong. Itu semata-mata bunda rindu dengan belaian ayahmu. Dan bunda selama ini juga takut untuk bisa menjalin hubungan dengan lelaki lain. Tapi… bunda berpikir keras, apa jadinya kalau bunda berhubungan dengan anak sendiri, itu kan tabu… tapi bunda merasa nyaman bersamamu, hanya denganmu bunda sepertinya ingin, bukan lelaki lain. Dan bunda juga butuh itu,” kata bunda sambil terus mengocok lembut otongku yang udah tegang max.

Aku makin keenakan tak konsen apa yang diucapkan olehnya, tapi ketika ia berlutut di hadapanku dan menciumi kepala penisku, aku baru yakin dan ini bukan mimpi. Bunda mengoral penisku.

“Oh, bunda,” rintihku.

“Bunda akan berikan sesuatu yang engkau tak pernah sangka sebelumnya,” kata bunda. Ia lalu menjilati kepala penisku. Lubang kencingku dijilati seperti kucing. Kedua tangannya aktif sekali, yang satu meremas-remas telurku yang satunya mengocok-ngocok penisku. Penisku yang sudah tegang makin tegang saja.

“Bunda… enak sekali,” kataku.

Lidah bunda menjelajah seluruh permukaan penisku yang tanpa rambut itu. Bunda menjilati pinggiran kepala penisku, membuatku lemas saja. Lalu seluruh batangku dijilatinya. Kemudian dimasukkanlah kepala penisku ke mulutnya. Ia kemudian perlahan-lahan memaju mundurkan kepalanya. Penisku yang besar itu makin masuk ke rongga mulutnya. Ia kemudian menghisapnya dengan kuat. Aku makin lemas. Lemas keenakan.

Bunda lalu mengusap-usap perutku, sesekali meremas-remas pantatku, tanganku pun secara otomatis meremas rambutnya. Kalau misalnya ini film bokep aku pasti sudah coli. Tapi ini tak perlu coli karena ada yang bertugas mengocok penisku di bawah sana. Dengan mulutnya dan oh… lidahnya menari-nari mengitari kepala penisku, aku benar-benar keenakan.

“Bunda… oh… enak banget! Udah, bunda… bunda… Doni… kelu…aaaaarrrr… AAAAHHHH!” aku keluar. Spermaku tak bisa ditahan lagi. Bunda makin cepat memaju mundurkan kepalanya, penisku seperti ingin meledak dan SRETTT… CROOOTTT… CROOOOTTT… entah berapa kali aku menekan penisku ke kerongkongannya sampai ia agak tersedak. Spermaku banyak sekali muncrat di dalam mulutnya.

Bunda mendiamkan sebentar penisku hingga tenang dan tidak keluar lagi. Ia lalu menyedotnya hingga spermanya tidak keluar lagi, dan baru mengeluarkan penisku. Ia menengadahkan tangannya, kemudian ia keluarkan spermaku. Mungkin ada kalau 5 sendok makan. Karena pipi bunda sampai seperti menyimpan banyak air di mulutnya.

“Banyak banget spermamu,” Bunda lalu menciumi baunya. “Baunya bunda suka.” Bunda lalu berdiri menyalakan shower. Membersikan mulut dan tangannya. “Mandi bareng yuk,” katanya.

“I-iya, Bun,” sahutku.

Kami pun mandi bersama. Pertama bunda menyabuni tubuhku. Dari dadaku, perutku, punggungku, kakiku dan penisku pun disabuni. Penisku tegang lagi.

“Ih… masih ingin lagi?” kata bunda sambil menyentil penisku.

“Habis, bunda seksi sih,” kataku.

Bunda tersenyum. “Nanti ya, habis ini.”

Aku pun bergantian menyabuni bunda. Saat itu mungkin aku bukan menyabuni, tapi membelainya. Aku jadi tidak malu lagi untuk mencumbunya. Aku menggosok tubuhnya. Punggungnya aku sabuni, ketiaknya, dadanya aku pijat-pijat, putingnya aku pelintir-pelintir, ia mencubitku.

“Anak Nakal! Ibu nanti jadi terangsang. Sebentar, sabar dulu,” katanya.

Aku tak peduli, shower aku nyalakan untuk membersihkan sabun-sabun di tubuh kami. Aku memanggut bibir bunda. Kemudian aku menetek kepada bunda, kuhisapi putingnya.

“Don, di kamar bunda aja yuk,” katanya. “Mumpung Vidia sama Nur belum pulang.”

Aku mengangguk.

Bunda mengambil handuk dan membersihkan air di tubuhnya, aku pun melakukannya. Dan agak mengejutkannya, aku segera membopongnya.

“Eh… apa ini?” ia terkejut.

“Doni ndak sabar lagi, Bun.” kataku.

“Oh… anak bunda, jiwa muda,” katanya.

Kami keluar dari kamar mandi, aku masih telanjang, demikian juga bunda. Kami lalu masuk ke kamar bunda. Segera bunda aku letakkan di ranjang, kamar aku kunci. Bunda segera mulutnya kupanggut, kuciumi lehernya, payudaranya pun aku hisap-hisap. Kuremas, putingnya aku pelintir-pelintir, kuputar-putar, bunda menggelinjang. Ia remas-remas rambutku. Kuhisap buah dadanya yang putih dan ranum itu hingga membentuk cupangan. Cupangan demi cupangan membekas di buah dadanya yang besar.

“Nak… ohh… bunda terangsang banget,” katanya.

“Bunda, ohh…” aku menciumnya lagi.

Sekarang aku turun ke perutnya, lalu ke tempat pribadinya. Aku tak tinggal diam, segera aku ciumi, aku jilati, aku sapu memeknya yang basah sekali itu.

“Ohhhh… Donn… i-itu… aahhh…” bunda menggelinjang. Kakinya terbuka aku memegangi pahanya. Kulahap habis itu memeknya, klitorisnya pun aku jilati, hal itu membuatnya menggelinjang hebat.

Nafas Bunda mulai memburu. Ia meremas-remas rambutku, ketika aku menuju titik sensitifnya, ia semakin menekan kepalaku. Aku pun makin semakin menekan lidahku, hal itu membuatnya bergetar hebat.

“Don… bunda… bunda keluar… aaahhhh… ahhhh… ahhhhhhhh!!” pinggul bunda bergetar. Sama seperti orgasme-orgasme sebelumnya. Aku pun segera bangkit, melihat reaksi bunda. Pahanya menekan pinggangku. Saat itulah penisku sudah menegang, siap untuk masuk ke sarangnya.

“Bunda… bunda siap?” tanyaku.

“Masukkan… masukkan! Bunda sedang orgasme,” katanya.

Aku pun memposisikan penisku tepat di depan lubangnya, kugesek-gesek, bunda lalu mengangkat kepalanya. Matanya memutih, saat itulah pinggulnya naik dan penisku masuk begitu saja. BLESS!!!

“Ohhhh…!!” mulut bunda membentuk huruf O, menganga merasakan sesuatu yang selama ini ia inginkan. Ia memelukku, dada kami beradu dan aku memagutnya.

Bunda merebahkan dirinya lagi. Aku menindihnya. Aku peluk bundaku. “Bunda, Doni masuk lagi. Masuk lagi ke tempat Doni lahir,” kataku.

“Doni… ohh… iya, iya… sudah masuk, rasanya penuh… ohhh,” kata bunda.

Aku lalu menaik turunkan pantatku. Penisku otomatis menggesek-gesek rongga vaginanya yang becek. Kami berpandangan, mata kami beradu. Pinggul bunda bergerak kiri-kanan membuat penisku makin enak.

“Bunda, bunda… ohh… perjaka Doni buat bunda… ohh… enak bunda… bunda apain penis Doni?” tanyaku sambil melihat matanya.

“Anakku, ohh… bunda enak banget, kepingin keluar lagi, ohh… bunda ndak pernah keluar berkali-kali seperti ini… ohh… aahhh… sshhh,” bunda menatapku lekat-lekat. Kening kami menempel. Bibir kami saling mengecup berkali-kali.

Tak hanya di situ saja, aku sesekali menghisap puting susunya. Keringat kami setelah mandi keluar lagi. Tubuh bundaku yang seksi ini membuatku makin bersemangat untuk menyetubuhinya. Bunda… aku ingin menghamilimu.

“Bunda… ohhh… aku keluar… ahh… ahh… di mana?” tanyaku.

“Ohh… ahh… ahh, terserah Doni,” kata bunda. “Tapi… ohh… jangan di dalam… di luar aja… bunda takut hamil…..”

“Maaf, bunda, tak bisa. Doni ingin menghamili bunda. Ohh, Doni sampai… Sperma perjaka Doni buat bunda… ini… ini…!!”

“Jangan… jangan… Doni… ahhh… aduh… bunda juga keluar… sama-sama… tapi… ahkhh… jangan di dalam…. ahhhhhhhhhhh!!!” bunda mengeluh panjang.

Aku mencium bunda bibir kami bertemu dan pantatku makin cepat bergoyang dan di akhirnya menghujam sedalam-dalamnya ke rahim bunda. Spermaku memancar seperti semprotan selang pemadam kebakaran. Kutumpahkan semua kepuasan ke dalam tempatku dulu dilahirkan. Mata bunda memutih. Pantatnya bergetar hebat karena orgasme. Ia mengunci pinggulku, aku menindihnya dan memeluk erat dirinya sambil menciumnya. Entah berapa kali tembakan, yang jelas lebih dari sebelas. Karena saking banyaknya orgasme itu berasa lama. Memek bunda berkedut-kedut meremas-remas penisku, aku masih membiarkan penisku ada di dalam sana.

Butuh waktu sepuluh menit hingga penisku mengecil sendiri, dan kakinya melemas. Aku pun kemudian bangkit. Bunda tampak lemas, ia seakan tak berdaya. Penisku serasa ngilu. Aku melihat ke vaginanya. Tampak cairan putih menggenang di dalam lubang vaginanya. Aku tersenyum melihatnya. Aku kemudian merebahkan diri di sebelah bunda. Kemudian bunda memelukku, kami pun tidur terlelap.

Siang hari kami terbangun. Aku dulu yang terbangun. Melihat tubuh bundaku telanjang memelukku membuatku terangsang lagi. Aku menciumi bibirnya. Bunda masih tertidur. Aku lalu menggeser badanku, kemudian bangkit. Penisku sudah on lagi, mungkin karena melihat tubuh bundaku. Aku kemudian membuka pantatnya mencari lubang vaginanya. Kemudian segera saja aku masukkan. SLEB… bisa masuk! Masih basah. Mungkin karena sebagian spermaku masih ada di dalam sana.

Aku pun menggoyang-goyang. Maju mundur. Posisiku berlutut sambil bertumpu kepada kedua tanganku. Pinggulku mengebor pantatnya. Bunda membuka matanya, ia tersenyum melihat ulahku.

“Dasar anak muda, ndak ada puasnya,” katanya.

“Bunda… Doni enak, bunda…” kataku.

Bunda cuma diam melihatku. Aku sesekali meremas toketnya. Aku goyang terus sambil kulihat wajahnya. Bunda memejamkan mata, mulutnya sedikit terbuka, mengeluh pelan.

“Bunda, enak banget… hhhmmmmhh… keluar… Doni keluar lagi, bunda…” kataku. “Pantat bunda enak banget.”

“Doni… ahhh… aaaaahhh… bunda juga… koq bisa ya??” kata bundaku.

Tangannya menarik tanganku, aku berlutut sambil menghujamkan sekeras-kerasnya ke memeknya. Aku pun keluar lagi. Tapi tak seperti tadi. Kali ini cuma lima kali tembakan, tapi begitu terasa. Setelah itu aku mencabut penisku dan ambruk.

“Bunda, Doni cinta ama bunda,” kataku.

“Cinta karena nafsu, kamu bernafsu dengan bunda, makanya seperti ini,” katanya.

“Tapi bunda juga ‘kan?” kataku menyanggah.

Bunda diam.

“Bunda tidak bangun? Tidak buka toko?” tanyaku.

“Toko tutup dulu, kemarin ibu bilang ke Mbak Juni untuk tutup dulu,” kata bunda. “Bunda ingin istirahat dulu. Badan bunda serasa sakit semua, sebab sudah lama tidak bercinta lagi.”

Aku mengangguk.

“Kalau begitu, Doni pergi dulu,” kataku.

“Ke mana?” tanyanya.

Aku terdiam.

“Ke mana?” tanyanya lagi.

“Bunda merasa kehilanganku? Berarti bunda juga mencintaiku,” kataku.

Ia mencubit perutku. “Maunya,” katanya. Kami berpanggutan sebentar untuk beberapa lama sebelum kemudian aku meninggalkan kamar bunda tanpa baju.

***

Setelah itu, hubunganku dengan bunda berjalan sembunyi-sembunyi. Bunda sering dan selalu melarangku untuk mengeluarkan spermaku di dalam rahimnya, tapi aku tak peduli. Kalau ada kesempatan, saat itulah kami bercinta. Di dapur apalagi. Dan itu pengalaman yang sangat mendebarkan. Bunda bertumpu kepada wastafel. Dan aku menyodoknya dari belakang. Kami melakukan fast-sex karena saat itu Kak Vidia dan Nuraini ada di rumah. Bahkan terkadang kami mencicil hubungan sex kami ketika Kak Vidia dan Nuraini bolak-balik ke dapur.

Belum, bunda belum hamil. Ia masih menstruasi. Tapi nanti ada saatnya beliau hamil. Karena aku yang memaksanya. Tapi itu nanti. Sekarang beralih ke Kak Vidia dan Nuraini.

FITRI : HALIMAH DAN YANTI

Tak terasa, Fitri sudah tamat dari SMP. Aku berniat menyekolahkannya di luar kota agar dia bisa mandiri. Perlahan rasa sayangku pada Fitri semakin besar, dalam arti rasa sayang orang tua yang betul-betul tulus.
Hari pertama Fitri sekolah, aku mengantarnya, sekalian mencarikan tempat kos yang aman dan nyaman buat Fitri. Tempat sekolah Fitri agak jauh dari rumah, hampir menempuh 2 jam perjalanan naik bus.
”Nak, pintar-pintar ya bergaul, dan belajar baik-baik,” kataku menasehati Fitri  ketika aku mau kembali ke tempatku.
”Iya, Pa… Fitri sayang sama papa,” jawab Fitri lalu memelukku, ia  menangis. Aku pun tak kuasa menahan haru, aku dan Fitri akan berpisah setelah hampir 16 tahun lebih kami bersama.
Hari-hari pertama aku lalui tanpa Fitri, rumahku terasa sepi. Aku pandangi fotonya, juga almari tempat baju-baju Fitri, seakan-akan aku telah kehilangan dia untuk selamanya.
”Tok… tok… tok…” terdengar ketukan di pintu depan, lalu disusul suara salam, ”Assalamualaikum…”
”Wa’alaikum salam,” jawabku. Segera aku membuka pintu.
fitri

fitri

”Eh, selamat sore, Pak. Maaf mengganggu, ini ada undangan pernikahan anakku.” kata Pak Budi padaku sambil menyodorkan undangan. Pak Budi ini adalah kepala dusun di daerahku, cuma beliau jarang bersilahturahmi denganku.
Aku terkejut membaca undangannya. ”Loh, ini pengantin wanitanya si Rani anaknya Bu Ratmi ya, Pak?” kataku agak keheranan.
”Emang iya, Pak.” jawab Pak Budi. ”Kenapa ya, Pak?” lanjutnya.
”Oh, ti-tidak, Pak! Kan Rani tetangga saya, kok saya taunya baru sekarang ya.” jawabku.
”Ya namanya anak muda, Pak. Saya sendiri kurang setuju akan pilihan anak saya, karena nak Rani kan masih muda sekali. Tapi namanya jodoh harus bagaimana lagi,” jawab Pak Budi. “Kalau begitu saya permisi dulu, Pak!” lanjutnya dan pergi.
Aku senyum sendiri mengingat kejadian waktu aku dan Rani berhubungan badan dulu. Aku menyadari bahwa aku butuh sosok pendamping dalam hidupku, tapi siapa yang mau kepadaku? Aku melamun dengan diriku sendiri, dan hoaamm… aku menguap capek. Mungkin besok atau lusa aku mencari pendamping, batinku.
Malam itu aku menghadiri pesta pernikahan anaknya Pak Budi. Aku melihat sosok Rani duduk di pelaminan bersama mempelai pria.
”Eh, Pak Adit… kenapa tidak makan, Pak?” tanya bu Ratmi mengejutkanku.
”Eh, tadi udah makan, bu. Masih kenyang,” jawabku. “Selamat ya, Bu!” aku memberikan selamat kepada bu Ratmi atas pernikahan putrinya, Rani.
”Iya, Pak, trimakasih,” jawab bu Ratmi sambil menyambut salamanku. ”Kapan ya kita berdua bisa duduk di pelaminan bersama,” lanjut bu Ratmi.
”Maksud bu Ratmi bagaimana?” tanyaku bingung.
”Ya, aku dan Pak Adit menikah,” jawab bu Ratmi dengan menundukkan wajah malu.
”Ahh, ibu bisa aja,” jawabku sambil mengambil tempat untuk duduk. Tiba-tiba mataku perpandangan dengan seseorang, dia juga memandangku dengan sedikit keheranan. Sepertinya aku mengenalnya, batinku. Aku mencoba mengingat-ingat siapa gerangan wanita itu.
Dia pun menghampiriku. ”Maaf bapak ini namanya Adit ya?” tanyanya.
”I-iya, kok tau?” jawabku penasaran.
Sambil memukul lenganku, wanita itu berkata, ”Aku Yanti, Pak. Masih ingat kan waktu di Batam, anaknya Pak RT?”
”Oh iya, iya, baru aku ingat. Ibu kok bisa sampai disini?” tanyaku.
”Aku itu adeknya Pak Budi, jadi wajarlah aku disini menghadiri pernikahan ponakan,” jawab Yanti. ”Ngomong-ngomong Pak Adit sudah punya istri baru atau sudah berapa istrinya?” lanjutnya.
Mendengar pertanyaannya, aku jadi agak risih, seolah-olah aku mata keranjang. ”Istri saya cuma satu, Bu, yakni almarhumah Nurlela.” jawabku tegas.
”Hah? Masa sih, Pak?” tanya Yanti keheranan. ”Kita ngobrolnya di belakang aja yuk, Pak! Sambil mengenang waktu di Batam, disini agak bising,” ajaknya.
Aku menurut saja. Mungkin betul juga perkataan Yanti, pikirku.
Ternyata Pak Budi benar-benar orang berada, rumahnya saja dilengkapi taman yang indah.
”Ibu sendiri sudah punya anak berapa?” tanyaku.
Yanti menatapku, ”Aku belum punya anak, aku mandul, Pak. Mas Dodi menceraikanku tahun lalu,” jawabnya.
Aku terharu akan kejujuran Yanti, suaminya dulu adalah temanku waktu bekerja, cuma saja Dodi lebih beruntung karena tak berapa lama telah memimpin proyek sepeninggalku.
fitri

fitri

”Aduh, saya minta maaf, Bu,” kataku sambil menggosok-gosok kedua telapak tanganku.
”Kok minta maaf, kan gak salah?” jawab Yanti. ”Ngomong-ngomong jangan panggil Bu dong, Pak Adit, hehehe… kan saya belum ibu-ibu,” lanjutnya.
”Maunya dipanggil apa?” tanyaku.
”Panggil nama aja,” jawab Yanti.
”Oke lah kalau begitu,” kataku.
”Aku juga boleh kan manggil namamu?” tanya Yanti. ”kan kamu juga belum bapak-bapak?” lanjutnya.
”Wew, anakku sudah besar lho, sudah SMA lagi,” jawabku.
”Mmh… maaf ya, Dit, bukannya aku lancang, tapi anakmu itu… mmh, siapa namanya, aku lupa?” tanya Yanti.
”Fitri,” jawabku.
”Oh, Fitri… tapi Fitri kan bukan anak kandungmu, Dit?” kata Yanti.
Aku sakit hati mendengar pernyataannya, sangat sakit. ”Tolong ya, Yan, hargai aku. Aku tahu kamu mengetahui masa laluku, tapi bukan berarti kamu bisa mengatakan kalau Fitri itu bukan anakku,” jawabku tegas.
”Tapi kan kenyataannya begitu?” potong Yanti.
”Memang benar, Fitri bukan anak kandungku. Tapi dia anakku, segalanya bagiku. Maaf ya, Yan, aku permisi.” kataku.
”Dit, Ditt, tunggu dulu!” cegah Yanti sambil menarik tanganku. ”aku minta maaf, tolong jangan diambil hati.” lanjutnya.
”Iya, tidak apa-apa. Aku pulang dulu, Yan, sudah malam.” kataku sambil meninggalkan Yanti. Aku terkejut karena baru melangkah, aku melihat bu Ratmi berdiri tidak jauh dari kami, dia menatapku heran.
”Ja-jadi… Fitri…” kata bu Ratmi.
Aku langsung pergi tanpa mendengar perkataannya. Di jalan aku menggerutu, memaki diriku sendiri, dan menyesali pertemuanku dengan Yanti. Aku kuatir bu Ratmi mengetahui dan menceritakannya pada orang lain kalau Fitri bukan anak kandungku.
Malam itu aku tidak bisa tidur, pikiranku tidak tenang. Aku takut bagaimana perasaan Fitri jika mengetahui kalau aku bukan bapak kandungnya. Berkali-kali kupejamkan mata, tapi rasa kantuk belum ada meskipun sudah jam 1 pagi.
***
”Tok… tok… tok…”
Aku terbangun dan melihat jam sudah jam 10 pagi, aku merasa malas untuk membukakan pintu.
”Tok… tok… tok… Adit?” suara wanita memanggil namaku.
Aku merasa heran, tak biasanya aku dipanggil Adit, pikirku. Maka aku bergegas membukan pintu.
”Hai, selamat pagi,” kata Yanti.
”Iya, selamat pagi juga! Silahkan masuk,” ajakku.
Yanti mengikutiku.
”Silahkan duduk,” kataku.
”Dit, aku minta maaf soal tadi malam,” kata Yanti.
”Iya, tidak apa-apa. Aku sudah melupakannya,” jawabku.
”Itu foto Fitri ya?” tanya Yanti sambil menunjuk sebuah foto di atas meja samping TV.
”Iya,” jawabku singkat.
”Sangat mirip dengan almarhumah.” lanjut Yanti.
”Yah, begitulah,” jawabku.
fitri

fitri

”Aku salut padamu, Dit. Kamu pria yang setia dan sangat bertanggung jawab,” puji Yanti.
”Ah, kamu bisa aja.” jawabku. Aku melihat Yanti sangat anggun, dengan pakaiannya yang elegan menandakan kalau Yanti orang berada.
Hari itu kami mengobrol panjang lebar tentang masa-masa muda di Batam. Tak jarang juga aku mencuri pandang ke paha Yanti yang mulus, dan belahan bibirnya yang sensual, juga kesediaan Yanti untuk memasak makanan buatku, makin membuatku respect padanya.
Aku tak menyangka kalau Yanti betah di rumahku, aku pun tidak keberatan jika ditemani sepanjang hari olehnya. ”Yan, kamu tidak bosan?” kataku.
”Jangan-jangan kamu yang bosan nih?” jawab Yanti sambil menatap mataku.
Jujur tatapannya membuatku kasmaran, aku tidak tahan menatapnya, sampai aku berkedip dan memalingkan wajahku keluar jendela.
”Aku senang kamu ada disini, Yan,” kataku.
”Masa sih? Ah, kamu mulai gombal deh,” jawab Yanti.
”Wee… ngapain juga gombal? Memang itu yang kurasakan kok,” jawabku mantap.
”Dit, besok aku kembali ke Batam,” kata Yanti.
”Oh, nanti kirim salam ya sama teman-teman dulu dan juga sama Dodi,” kataku sambil bercanda.
”Ih, najis. Kalau sama Dodi sampaikan aja sendiri,” jawab Yanti.
”Hehe… maaf, tadi bercanda,” sambungku.
”Dit, aku suka sama kamu,” ucap Yanti dengan nada yang tulus.
”Aku juga suka sama kamu, Yan. Kalau bisa, tiap hari kamu masakin aku makanan yang enak-enak,” jawabku setengah bercanda.
”Ih, bukan gitu maksudku,” lanjut Yanti sambil memegang daguku gemas.
”Jadi maksudnya gimana?” kataku.
”Maksudku, Dit, aku suka sama kamu. Aku… a-aku mulai sayang sama kamu,” jawab Yanti terbata.
”Kamu bisa aja, Yan, kayak anak sekolahan aja bilang sayang,”
”Sst…” Yanti menutup bibirku dengan jari telunjuknya. ”Aku serius, Dit. Awalnya aku kagum padamu, sampai-sampai aku merasa kalau kamulah sosok yang kudambakan,” lanjutnya.
Yanti mendekatkan wajahnya ke wajahku, dan bibir kami telah berpagutan. Aku merasakan kenikmatan di bibirku saat kuhisap bibir atasnya, juga lidahnya, Kami berciuman sangat lama, Aku memejamkan mata, aku sangat bersemangat, aku merasa yang kucium adalah bibir Fitri. Ciumanku terhenti saat tangan Yanti menuntun tanganku untuk meremas bongkahan payudaranya. Tapi aku menolak.
”Kenapa, Dit?” tanya Yanti heran.
”Kita seharusnya tidak sejauh ini,” jawabku sambil menjauh darinya.
”Emangnya kenapa, Dit? Diantara kita kan tidak ada yang terikat.” sambung Yanti.
”Aku tidak munafik, Yan… jujur aku menyukainya, tapi ini… ini tidak seharusnya.” jawabku.
Yanti memelukku dari belakang sambil menangis. ”Kenapa, Dit? Apa aku tak pantas buatmu?” tanyanya.
”Ini bukan masalah pantas atau tidak pantas,” jawabku.
”Lalu apa, Dit?” Yanti melepas pelukannya dan duduk menutup muka sambil menunduk.
”Maaf, aku tidak bisa menjelaskannya padamu,” kataku padanya.
Entah Yanti merasa malu atau bagaimana, dia lalu pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun. Aku melihat kepergiannya. Maafkan aku, Yan, aku mencintai Fitri, ucapku dalam hati.
Keesokan harinya Yanti pamitan padaku, dia memelukku dan mengatakan kalau dia sangat mencintaiku. Aku melepas kepergiannya dengan haru, aku merasa bersalah padanya. Biarlah dia pergi dan mencari lelaki yang lebih baik dari diriku.
Keesokan harinya aku menjenguk Fitri, aku membawa makanan yang enak-enak, juga buah-buahan kesukaannya. Aku sampai di tempat Fitri saat sore, jadi aku bisa bertemu dengan Fitri di kosan nya yang besar. Fitri menyewa 1 kamar, aku melihat banyak kamar untuk tempat kos-kosan khusus putri itu. Pemilik kosan sudah mengenalku dan mempersilahkanku ke kamar Fitri.
”Tok… tok… tok…”
Fitri membukakan pintu tanpa bertanya siapa yang mengetuk. ”Paaa…” dia langsung memelukku. ”Fitri kangen, Pa,” kata Fitri dalam pelukanku.
”Papa juga kangen. Nih papa bawain makanan kesukaanmu,” kataku sambil meletakkan bawaanku di samping pintu. ”Duh, anak papa sudah besar,” kataku sambil memandangi tubuh Fitri.
”Iya lah, Pa, masa kecil terus, hehehe…” jawab Fitri, lalu kembali memelukku.
fitri

fitri

Aku merasakan betapa hangatnya pelukan Fitri, dan juga merasakan sangat bahagia setelah beberapa bulan berpisah dengannya.
”Pa, papa kenapa tidak beli handphone? Kan bila kangen kita bisa komunikasi kapan kita butuh,” tanya Fitri antusias.
”Iya, nanti lah kalau sudah punya uang cukup,” jawabku.
”OhH… pa, papa nginap disini aja ya? Fitri masih kangen, besok aja pulangnya,” pinta Fitri.
”Iya, nak, papa juga kangen. Nanti papa minta izin sama yang punya rumah,” jawabku.
”Hehehe, gitu dong, pa,” kata fitri lalu memelukku lagi.
Malam itu aku tidur di kamar Fitri. Pemilik rumah memberikanku tikar dan bantal agar aku bisa tidur, tapi tidak kupakai. Aku tidur bersama Fitri di ranjang yang sempit, yang cukup untuk satu orang saja. Saat tidur Fitri hanya mengenakan bh dan celana dalam, aku jadi serba salah, kulihat tubuh Fitri semakin merekah indah.
”Pa, buka aja baju dan celananya, biar besok bisa dipakai lagi.” kata Fitri.
Aku mengiyakan saja, aku tidur memeluk Fitri, dan kakiku juga memeluk pahanya. Hangat terasa menjalar di tubuhku, aku jadi tak bisa mengontrol nafsuku, hingga penisku pun bangun. Aku yakin Fitri merasakan penisku, karena kami masih belum tidur.
Fitri bercerita panjang tentang sekolah dan pengalaman-pengalamannya selama berpisah denganku, aku sangat bersemangat mendengarkannya. Di sisi lain, penisku meronta dari balik celana dalamku. Tanganku yang semula memeluk perut Fitri, kini berpindah mengelus-elus rambutnya, otomatis siku tanganku bergesekan dengan payudaranya. Sambil menahan gairah aku mencoba menasehati Fitri agar pandai-pandai menjaga diri. Fitri merasa nyaman saat kupeluk, bahkan dia membalas pelukanku dengan membalikkan badannya, kini kaki Fitri yang memeluk perutku.
fitri

fitri

Aku mencium kening Fitri dengan lembut, Fitri membalas ciumanku dengan senyuman yang manis. Kutatap matanya dalam-dalam, lalu kukecup bibirnya.
“Papa sayang sama kamu,” kataku setelah kulepas ciumanku.
“Fitri juga, Pa, Fitri sayang sama papa.” jawab Fitri.
“Kita tidur yuk,” ajakku.
“Masih kangen, Pa,” rengek Fitri. Dia menaiki tubuhku dan,
”Hmmfh… Paaa…” Fitri menggoyang-goyangkan pantatnya di atas penisku. Aku membalasnya dengan menaikkan pantatku.
“Pa, Fitri pengen,” kata Fitri lirih.
“Tapi kita sudah janji, nak.” jawabku sambil meremas pantatnya.
“Gak usah dibuka, Pa, celana dalamnya,” kata Fitri yang mulai tersiksa dengan gairahnya.
Kubalik badan Fitri, lalu kubuka celana dalamnya dan kujilat kemaluannya dengan rakus. Itilnya yang merah kumainkan dengan lidahku.
“Paa… mmmfffhhh!!” Fitri menutup mulutnya dan aku merasakan hangat dari kemaluannya, dia orgasme.
Aku merasa bahagia bila melihat Fitri senang atau terpuaskan, aku tidak lagi mempedulikan diriku sendiri. Bagaikan pelayan kepada tuannya, itulah aku. Berusaha memberikan segalanya untuk orang yang disayangi.
Ada kebanggaan tersendiri dalam diriku melihat Fitri tumbuh berkembang. Ya, Fitri yang sekarang sangat cantik, manis, juga tutur sapanya sangat ramah. Siapapun yang melihat Fitri pasti akan suka, walaupun sebatas suka melihat.
Esoknya aku mengantarkan Fitri ke sekolah yang tak jauh dari tempatnya. Aku sengaja ikut karena mau melunasi iuran-iuran keperluan dan perlengkapan Fitri di sekolah. Tak ada sedikit pun rasa beban di hatiku saat mengeluarkan hampir 3/4 hasil jerih payahku selama ini demi kebutuhan Fitri.
“Paa, hati-hati di jalan ya,” pesan Fitri.
“Papa belum mau pulang, Nak, papa mau nunggu kamu pulang sekolah.” jawabku.

Fitri menatapku dengan senyum dan mengangguKkan kepala. “Pa, Fitri pamit ya,” ucapnya sambil mencium tanganku.

“Baik-baik ya, nak, belajarnya,” pesanku pada Fitri.
Aku melihat Fitri dari belakang memasuki ruang kelasnya. Aku menunda pulang, mau membeli perlengkapan fitri lainnya. Aku merapikan kamar Fitri, juga sedikit menghiasnya. Kulihat ada buku diary saat aku membongkar tilam yang merupakan kasur Fitri dan menjemurnya agar tidak lepek. Kubuka diary kecil tulisan tangan Fitri itu.
“Dear diary, hari pertama aku berpisah dari orang yang paling kusayangi di dunia ini, papaku sayang.”
Aku tersenyum membaca guratan Fitri tentang aku, kubuka lagi lembar berikutnya.”Dear diary, aku sangat merindukan papa, pengen dipeluk dalam kehangatan, seandainya dia bukan papa kandungku, ohhh…”
Deg! Apa maksud Fitri? Batinku. Dia ingin aku… ah, otakku pusing memikirkannya, perlahan kubuka lembar berikutnya.
“Diaryku sayang, aku tumbuh menjadi dewasa. Aku bagaikan pohon di atas bukit yang selalu bergoyang diterpa angin, namun aku tetap berdiri tegap. Aku merasa bahagia terlahir di dunia ini oleh kasih sayang yang luar biasa dari seorang papa, aku tidak menyesal tidak melihat bahkan mengenal sosok seorang mama. I love you, Pa.”
Aku sangat terharu membacanya. Kusadari semua perbuatanku pada Fitri, tak seharusnya aku merusak masa depannya, batinku. Kutaruh kembali buku diary itu dan melanjutkan kegiatanku membersihkan kamar Fitri.
fitri

fitri

Minggu siang aku menghabiskan waktu shoping (istilah kerennya) ke mall SKA Pekanbaru. Aku ke counter handphone untuk cuci mata, aku melihat hape warna pink sangat menarik perhatianku. Mungkin Fitri akan menyukainya, batinku. Setelah tawar-menawar, aku membelinya, satu untuk Fitri dan satu lagi buatku, aku memilih warna putih.
Aku berjalan keluar mall sambil memainkan hape baruku. Aku merasa kecewa setelah di jalan, layar warna hape baruku agak buram. Apa karena efek sinar matahari ya? Batinku. Maka kudekatkan hape itu dan tanganku yang satu lagi membantu menutup bias sinar.
”Tiiinnnnnnnnnn!!!” suara klakson mobil mengejutkanku, ”Ckhhiiiiiiiiiitttttt…” aku masih mendengar suara ban yang lengket di aspal saat aku merasa pandanganku mulai berbayang, lalu aku tidak ingat apa-apa lagi.
Entah berapa lama aku berbaring, badanku terasa sangat sakit, terutama di bagian kepalaku yang di perban, “Maaf, dik! Aku ada dimana?” tanyaku pada perempuan yang membelakangiku.
“Bapak sudah siuman? Maaf, Pak, jangan banyak bergerak dulu!” kata suster itu padaku saat aku mau bangun melihat kondisiku.
“Bapak sekarang ada di rumah sakit, tadi siang bapak kecelakaan. Tapi bapak tidak usah kuatir, karena yang menabrak bapak bertanggung jawab atas perobatan bapak.” terang suster itu padaku.
”OhH,” kupegang kepalaku agak ngilu. Jam 9 malam, pikirku setelah kulihat jam becker di samping mejaku, ada juga buah-buahan disana.
“Bapak istirahat aja yah!” kata suster itu lagi sambil mengambil jarum suntik dan menyuntikkannya ke lenganku, tiba-tiba kurasakan kantuk yang luar biasa, dan aku pun tertidur.
Keesokan harinya aku terbangun, aku merasa tanganku basah. Ya tanganku basah oleh isak tangis Fitri, aku melihat Fitri memeluk tanganku dengan pipinya.
“Fit…” kataku lirih.
“Paaa… papa!!” jerit Fitri dalam tangisnya dan mendekatkan wajahnya ke pipiku.
“Jangan nangis, sayang!! Papa gak apa-apa kok,” kataku sambil mencoba membelai rambutnya yang tertutup jilbab.
Fitri menggeleng-gelengkan kepalanya, tak berapa lama ada beberapa yang menjengukku. Ada sekitar 5 orang dengan ditemani dokter dan perawat, dokter memeriksa luka dan kondisiku. Aku melihat Fitri masih berderai air mata.
“Bapak tidak usah kuatir, luka bapak tidak parah, mungkin bapak besok sudah bisa pulang.” kata dokter kepadaku sambil merapikan perlengkapannya.
Tak berapa lama, dua orang wanita mendekatiku. Aku tak mengira sebelumnya kalau mereka lah yang tidak sengaja menabrakku.
“Pak, eeh… ma-maaf, Pak, aku minta maaf. Aku dan keluarga memohon maaf atas kecelakaan ini,” kata wanita itu kepadaku. “Anak saya tidak sengaja menabrak bapak,” lanjutnya sambil menarik tangan seorang lelaki agar mendekat ke arahku. Aku melihat wajah bersalah pada diri anak itu.
“Gak apa-apa, Bu, saya juga salah karena kurang hati-hati.” balasku.
Aku melihat wajah tersenyum diantara mereka semua. Aku merasa aneh melihat sosok wanita di sampingku, aku melihat wanita itu dan aku juga menatap Fitri secara bergantian, sehingga beberapa orang juga mengikuti gerakanku. Kemudian Fitri dan wanita itu saling bertatapan, ya Allah… mereka sangat mirip, batinku. Hanya saja wanita yang di sampingku sudah lebih tua dari Fitri, mungkin sebaya denganku. Aku melihat mereka berdua tersenyum dan suasana di ruangan kelas 1 diwarnai canda tawa.
Keesokan harinya aku diperbolehkan pulang ke rumah setelah 2 hari lebih aku dirawat di rumah sakit. Keluarga bu Halimah bersedia mengantarku, bu Halimah adalah ibu dari Andre, anak yang menabrakku. Aku tidak lagi merasa kuatir sebab biaya perobatanku sampai sembuh telah ditanggung oleh keluarga bu Halimah. Fitri juga telah minta izin dari sekolah selama seminggu untuk membantu merawatku.
Bu Halimah sungguh baik hati, di samping bertanggung jawab, beliau juga membelikan buah-buahan dan vitamin lainnya buatku. Walaupun mengalami kejadian yang tidak kuharapkan, aku sangat bersyukur karena aku tidak luka parah.
“Maaf, Pak, istri bapak dimana?” kata bu Halimah saat kami tiba di rumah.
“Istriku sudah lama meninggal, Bu, sejak Fitri lahir.” jawabku.
fitri

fitri

“Maaf, Pak.” sambungnya.
“Gak apa-apa, Bu.” ujarku. Aku dibaringkan di kamar, aku melihat rona wajah bu Halimah dan anaknya agak canggung.
“Jadi selama ini bapak jadi single parent?” tanya ibu itu sambil memandang-mandang kondisi kamarku.
“Iya, Bu, tapi saya sangat senang merawat dan membesarkan anakku tanpa beban sedikitpun.” jawabku tersenyum.
“Wah, aku jadi iri sama bapak.” kata bu Halimah. Tiba-tiba ia tercengang memandang foto usang istriku yang kutempel di almari pakaian. ”I-ini foto s-siapa, Pak?” tanya bu Halimah sambil berdiri dan menyentuh wajah foto istriku.
“Itu foto mamaku, Tante.” jawab Fitri sambil menuangkan teh ke dalam cangkir.
“Na-namanya s-siapa?” tanya bu Halimah gugup.
“Nurlela,” jawabku singkat.
Entah kenapa bu Halimah langsung menangis dan menciumi foto istriku. Ia kemudian mengajak Andre, anaknya, pulang. Pembantunya juga minta izin padaku dan Fitri mau ikut pulang, tapi katanya akan kembali lagi nanti. Aku dan Fitri merasa keheranan dan saling berpandangan.
Fitri sangat kuatir pada kondisiku, padahal aku sudah merasa baikan, namun fitri sangat bersikeras untuk merawatku sampai sembuh total. “Pa, minum obat ya!” katanya sambil meletakkan piring yang baru kupakai makan.
Aku menganggukkan kepala tanda setuju, memang ada beberapa obat yang harus kuminum. Jumlahnya mungkin lebih dari enam biji, pil serta obat cair. Setelah obatnya selesai kuminum, Fitri mencium keningku dan membaringkanku. Tapi aku merasa perutku mulas, dan obat yang baru kutelan rasanya mau keluar lagi.
“Lho, kenapa papa duduk lagi?” tanya Fitri saat aku bangkit.
“Mau muntah,” jawabku sambil memegang tenggorokan. Aku melihat wajah Fitri yang khawatir.
”Tin, tin,” terdengar suara klakson mobil di luar.
“Bentar ya, Pa, Fitri mau lihat dulu siapa yang datang.” kata Fitri.
Tak berapa lama aku melihat bu Halimah, Andre dan seorang nenek yang sudah ubanan. Kelihatan kalau mereka itu orang kaya dari cara berpakaian, aku melihat bu Halimah menenteng amplop map yang tebal. Keherananku bertambah saat nenek yang bersama bu Halimah terus memandangi wajah Fitri. Bu Halimah mengeluarkan isi dari map yang ia bawa, aku melihat ada foto album dan bu Halimah menyerahkan album itu padaku sembari menggandeng nenek yang merupakan ibu bu Halimah.
Aku sangat terkejut saat kulihat foto istriku, Nurlela, bersama keluarganya, dan yang lebih mengejutkanku adalah ketika bu Halimah menerangkan kalau Nurlela merupakan adik kandungnya. Mereka hanya terpaut selisih dua tahun. Aku memandang bu Halimah dan bu Halimah membalasnya dengan anggukan. Tak menunggu lama, kamar tempatku berbaring berubah menjadi isak tangis kerinduan. Ibu dari bu Halimah yang menjadi mertuaku mencium dan memelukku, bu Halimah juga memeluk Fitri. Jadilah hari itu menjadi momen yang haru bagiku dan juga bagi keluarga baruku.
Aku menyalami Andre saat dia memanggilku om. Mertuaku yang namanya bu Izah memintaku untuk menerangkan semua mulai dari awal. Aku memandang Fitri, aku tak sanggup untuk mengungkapkan hal yang sebenarnya, tapi itu mungkin sangat penting bagi Fitri dan juga keluarga baruku. Sekali lagi aku memandang Fitri dan memintanya untuk mendekatiku, seperti aku mau menyampaikan pesan terakhir. Kugenggam tangan Fitri, dan aku mulai bercerita dari awal pertemuanku dengan almarhumah istriku hingga menikahinya sampai Fitri lahir. Aku menceritakan secara mendetail tanpa ada yang kusembunyikan tentang aku dan almarhumah istriku, Nurlela.
Tiba-tiba Fitri melepaskan genggaman tanganku dan berlari menuju kamar mandi. Kami semua mendengar jeritan pilu dari anakku, Fitri. Aku tak kuasa menahan tangisku, begitu juga bu Halimah yang entah kenapa memelukku dan menangisiku. Tak ketinggalan juga mertuaku menitikkan air mata dan mengajak Andre untuk membujuk Fitri agar membukakan pintu. Aku sangat khawatir selama sejam Fitri berada di dalam kamar mandi. Bu Halimah menyuruh Andre untuk mendobrak pintu kamar mandi, dan akhirnya pintu kamar mandi pun terbuka. Aku tidak bisa melihat apa yang terjadi disana selain mendengar isak tangis Fitri yang tersendat-sendat.
fitri

fitri

Andre membelikan nasi bungkus di warung Ampera tidak jauh dari rumahku untuk makan kami berlima, malam itu bu Halimah mau menginap di rumahku beserta mertuaku, juga Andre. Bu Halimah yang sekarang kupanggil kakak ipar tidak tega meninggalkan kami dengan situasi yang rumit saat Fitri mengetahui bahwa dirinya bukanlah anak kandungku. Aku tahu perasaan Fitri, mungkin aku sudah terasa asing baginya, dan aku tidak keberatan jika nantinya Fitri akan lebih memilih keluarga istriku dibandingkan tinggal bersamaku. Toh juga nantinya Fitri bisa hidup lebih mewah lagi jika tinggal bersama nenek kandungnya, batinku.
Saat makan malam tiba, mertuaku tidak sungkan menyuapiku, bahkan memberikan obat untuk kuminum. Aku tidak merasakan malam itu ada Fitri yang selalu setia melayaniku seperti sebelumnya.
Keesokan harinya aku merasa baikan, aku mulai bisa berjalan kesana-kemari. Aku melihat senyum di bibir mertuaku, “Dik, maaf ya hari ini kami harus pulang, lusa mungkin kami datang lagi.” kata kakak iparku sambil merapikan ruangan.
“Gak apa-apa, kak, aku sudah sehat kok.” jawabku.
Tiba-tiba Fitri menyusun bajunya dalam tas. “Nek, aku ikut ya?” kata Fitri.
Aku dan mertuaku saling berpandangan. Aku menundukkan kepala, menerima semua keputusan Fitri.
“Lho, nanti yang nemanin papa kamu siapa, cu?” tanya mertuaku pada Fitri.
Fitri tidak menjawab, bahkan dia minta tolong pada Andre untuk membawakan tasnya ke mobil. Aku menganggukkan kepala pada kakak iparku tanda aku setuju. Sebelum pamit, kakak iparku memelukku, juga mertuaku.Kini tinggallah aku sendiri, aku tidak sempat bertanya dimana mertuaku tinggal. Aku kembali merasa kesepian, tapi biarlah, pikirku. Aku yakin kakak iparku pasti memberikan yang terbaik buat Fitri. Aku teringat orang tuaku, aku merasa berdosa kepada mereka, aku tidak tau sedikitpun kabar dari mereka. Oh, aku rindu orang tuaku, aku rindu kampung halamanku. Tiba-tiba terlintas di pikiranku untuk pulang ke kampung. Maka aku merencanakan segala sesuatu buat masa depanku, juga masa depan Fitri, anakku.
Seminggu kemudian aku mendapat kabar dari kakak iparku kalau Fitri telah pindah sekolah ke tempat yang lebih baik, mendengarnya aku sangat senang. Siangnya aku mendatangi kantor asuransi dimana Fitri dulu aku masukkan ke asuransi pendidikan, selama ini aku sangat rajin menyetor iuran perbulannya. Maksud kedatanganku, aku ingin mencairkan dana yang telah kudepositokan selama ini sejak Fitri berusia tiga tahun lebih, berarti lebih dari 14 tahun.
Dengan prosedur dan embel-embel yang rumit akhirnya aku mendapatkan dana segar sebesar 25 juta lebih, aku sangat senang memiliki uang yang banyak, bahkan rumahku yang kubeli dengan cara mencicil kujual juga. Tak sampai sebulan aku menunggu, akhirnya rumahku ada yang membeli dengan harga 30 juta.
Aku menemui kak Halimah dan kami bicara panjang lebar tentang Fitri, dengan berat hati kak Halimah menyetujui permintaanku, dimana aku menyerahkan semua uangku kepada Fitri. Aku hanya menyisahkan 2 juta buat bekalku hidup di kampung, dan aku juga menitipkan surat buat Fitri. Aku tau keputusanku ini sangat tergesa-gesa, tapi ini yang terbaik buatku, juga buat Fitri.
Hampir 20 tahun aku tidak lagi mengenal tempat tinggal orang tuaku, bahkan tidak banyak yang kukenal lagi. Aku bingung dengan bangunan-bangunan yang berjejer, aku seperti anak perantau yang baru singgah di sebuah kota perantauan. Aku memasuki jalan yang kuingat dulu adalah rumahku, bahkan sekolahku yang dulu terbuat dari papan sekarang sudah bangunan bertingkat, lengkap dengan workshopnya. Sungai yang sering jadi tempatku mandi telah berubah drastis; dulu airnya jernih, sekarang berubah coklat dan berbuih akibat limbah masyarakat. Tak ada kenangan yang melekat di benakku akibat perubahan lingkungan dimana dulu aku dibesarkan.
Dimana rumahku? Itulah pertanyaan yang ada di otakku. Aku mendatangi mesjid yang dulu sering kudatangi saat mau sembahyang, aku bertanya pada ustadz yang kebetulan ada di mesjid. Menurut keterangan beliau bahwa orang tuaku 5 tahun yang lalu telah pindah ke Kalimantan dan telah menjual rumah juga sawah yang pernah kami kelolah dulu. Aku sangat terpukul dan menyalahkan diriku sendiri, aku telah berdosa kepada orang tuaku. Aku berlutut seketika itu dan memohon ampun.
Aku berjalan selama berjam-jam tanpa arah mengelilingi tempat kelahiranku, dan merenungi nasibku, sampai tak sadar aku menaiki bis tujuan kota Medan. Aku tak menghiraukan kernek bis yang menanyakan arah tujuanku, aku memberikan ongkosku pecahan 20 ribu rupiah sebanyak dua lembar, lalu aku terlelap di dalam bis. Aampai di terminal Amplas baru aku terbangun karena mendengar suara keras dari para penjual jalanan, aku turun dan memanggil ojek. Dengan naik ojek aku bebas melihat suasana kota Medan, aku menyuruh tukang ojek agar mengantarku ke bengkel mobil yang besar. Aku yakin dengan keahlianku, aku akan diterima bekerja sebagai montir.
fitri

fitri

Tak menunggu lama aku diterima bekerja di bengkel mobil. Karena kepiawaianku sebagai montir, maka bengkel tempatku bekerja semakin laris, bahkan Pak Leo yang punya bengkel sangat menyukai cara kerjaku. Pak Leo tak sungkan memberikan 20% dari pengasilannya.
Selama 4 bulan bekerja, pikiranku selalu tertuju kepada Fitri. Aku semakin merindukannya setiap saat. Walaupun aku mendapatkan upah lebih dari 5 juta perbulannya, namun hal itu tidak bisa membuatku hidup bahagia. Pak Leo sangat terkejut saat kuutarakan niatku untuk berhenti bekerja di bengkelnya, aku menerangkan alasanku untuk berhenti. Dengan berat hati Pak Leo melepasku.
“Kapan pun bapak kembali, aku slalu siap menerima bapak.” begitu kata Pak Leo saat aku meninggalkan bengkelnya.
Aku kembali ke Pekanbaru untuk menemui Fitri. Pertama aku pergi ke tempat sekolahnya yang dulu, aku menanyakan ke sekolah mana Fitri dipindahkan. Tak sulit menemukan sekolah Fitri yang baru. Aku agak gugup saat menunggu Fitri pulang sekolah, aku merasa seperti menunggu sang kekasih, bahkan aku berpakaian dengan rapi, juga membawa oleh-oleh dari kota Medan yang terkenal itu; bika Ambon.
Setelah bel panjang berbunyi, kegugupanku semakin menjadi. Aku mondar-mandir tanpa alasan, keringatku pun mulai membasahi keningku, juga baju ku. Aku agak bersembunyi dari antara orang yang mau menjemput anak atau saudara mereka yang bersekolah, ada yang menjemput dengan mobil honda zass terbaru, bahkan ada juga parkir mobil hammer silver. Mungkin kak Halimah menyekolahkan Fitri di sekolah bonafit, batinku.
Aku mengamati setiap siswi yang keluar dari area sekolah. Fitri mana? pikirku.
Oh Tuhan, aku hampir saja tidak mengenalinya, Fitri merubah gaya berjilbabnya menjadi bergelombang, bahkan kulitnya tampak makin putih, sangat jelas kelihatan raut wajahnya yang bersahaja. Aku menelan ludah saat melihat Fitri, dalam 4 bulan lebih aku tidak melihatnya, Fitri sudah menunjukkan perubahan yang sangat drastis. Kak Halimah sungguh merawat Fitri dengan baik. Aku agak ragu memanggilnya, sampai sebuah mobil bermerk pajero sport menghampirinya. Mulutku serasa terkunci saat Fitri memasuki mobil itu.
“Fitri…!!” aku memanggil dengan suara pelan, kerinduanku merubah segalanya. Kukejar mobil yang ditumpangi fitri. ”Fittrii… !!” teriakku kuat sambil terus mengejar mobil itu. ”Fitrrriii…” teriakku lagi, hingga mobil itu berhenti. Mungkin Fitri melihatku, aku lihat dia turun dan mendekatiku yang sedang terbungkuk-bungkuk mengatur nafas karena kelelahan.
“Paaa…! Papa…!!” Fitri berlari ke arahku dan memelukku erat tanpa mempedulikan orang lain. “Papa darimana?” tanyanya sambil menangis seperti kesakitan.
Aku melihat Andre turun dan menghampiriku, rupanya tadi yang memberi tumpangan adalah Andre, keponakanku sendiri.
“Wah, om dari mana saja?” tanya Andre padaku.
Aku hanya mengusap-usap rambut Andre sebagai jawaban.
“Yuk, om, kita langsung ke rumah aja!” ajak Andre.
Fitri melepas pelukannya dan menatapku kemudian mengangguk.
“Ya udah, tapi om ambil barang dulu ya!” kataku sambil berjalan ke arah tempatku tadi menunggu Fitri.
Fitri dan Andre mengikutiku dan membantu membawa bawaanku. “Wah, ada bika, om? Ini makanan vaforitku,” kata Andre kegirangan. Fitri tak membawa apa-apa, tapi selalu menempel di lenganku, bahkan dalam mobil ia memelukku erat serasa tidak mau lagi kehilangan.
Sampai di rumah, kak Halimah sangat terkejut juga senang menyambut kedatanganku. Ia tidak sungkan memelukku sangat lama di depan mertuaku, aku menjadi salah tingkah dibuatnya. Mertuaku bercerita banyak tentang Fitri sejak aku pergi. Fitri sangat kehilanganku, begitu kata mertuaku. Fitri juga sempat sakit selama seminggu karena memikirkanku.
Ada satu yang menjadi pertanyaanku selama ini, sejak aku mengenal keluarga kakak iparku, belum pernah sekalipun aku melihat papanya Andre, Maka aku pun menanyakan hal itu kepada mertuaku. Tapi tidak ada jawaban dari beliau, malah mertuaku menyuruh aku bertanya pada kak Halimah yang sedang sibuk di ruang kerja. Akupun menghampirinya.
“Lagi asik ya, kak?” tanyaku pada kak Halimah.
“Iya, Dit.” jawab kak Halimah singkat sambil mengutak-atik komputernya.
“Sudah jam 1 lho, kak.” kataku sambil duduk di depan kak Halimah.
“Iya, bentar lagi. Nah, beres juga.” kata kak Halimah sambil merentangkan tangannya tanda kelelahan.
“Kalau aku boleh tanya, papanya Andre kemana ya?” tanyaku hati-hati.
“Jujur, Dit, aku sangat senang kamu datang.” jawab kak Halimah.
“Yang ditanya apa, jawabnya apa.” kataku sambil menggaruk pipiku yang tidak gatal.
“Hehehe, aku tidur duluan ya, Dit. Besok harus cepat ke kantor.” kata kak Halimah sambil beranjak dari kursinya dan menepuk bahuku, aku pun membalasnya dengan senyuman.
Setengah jam aku merenung sendiri di keheningan malam, entah apa yang kulamunkan. Aku merasa mata ini belum bisa tidur. Aku mendengar ada suara tersengguk-sengguk dari dalam kamar kak Halimah, suara itu sangat jelas karena heningnya malam. Kudekati kamar kak Halimah, suara itu semakin jelas.
”hukk… hukkkk…”
Rupanya suara tangisan, pikirku. Kuberanikan mengetuk pintu kamar kak Halimah.
“Iya, ada apa, Dit?” tanya kak Halimah ketika melihat aku yang mengetuk pintu.
”Kakak kenapa menangis?” tanyaku menatap kak Halimah sendu.
Kemudian kak Halimah memelukku dan menangis lagi, aku membopong tubuhnya ke tempat tidur.
“Ada apa, kak? Ceritalah!” kataku.
Kak Halimah menghapus air matanya dengan tissu yang ada di tangannya.
Posisi kami duduk berdampingan di pinggir kasur, dan kepala kak Halimah bersandar di bahuku.
“Dit, papanya Andre sebenarnya sudah menikah lagi,” kata kak Halimahh lirih.
“Oh,” jawabku singkat.
Dan kak Halimah pun mengeluarkan semua uneg-uneg tentang suaminya yang kawin lagi dengan gadis berusia 17 tahun. Kak Halimah ingin menceraikan suaminya, tapi takut kalau nantinya dicemooh orang-orang. Kak Halimah juga takut menyandang status janda. Mendengar cerita kak Halimah, kuberanikan menggeser jarak dudukku agak lebih jauh dari kak Halimah, dan kusandarkan kepalanya ke pahaku. Aku menyemangati kakak iparku agar tidak terlalu memikirkannya.Alhasil, tak berapa lama kak Halimah tertidur di pangkuanku. Aku keluar dari kamar kak Halimah menuju sofa dan membaringkan diri, menatap lampion kristal di langi-langit rumah kak Halimah dan aku pun tertidur.
Aku terbangun saat mendengar suara lalu lalang orang-orang di sampingku, Oh, rupanya sudah pagi. Kak Halimah, Andre dan mertuaku sedang sarapan. Aku bangkit dari sofa, kulihat ada selimut menyelimuti tubuhku, seseorang mungkin menaruhnya saat aku tertidur.
“Pagi, om.” sapa Andre.
“Sarapan, Dit?” ajak kak Halimah, juga mertuaku, menyuruhku duduk bergabung.
“Iya, terimakasih.” jawabku. ”Fitri belum bangun, Ndre?” tanyaku pada Andre sambil mengambil piring, lalu kak Halimah mengambilkan nasi goreng yang ada di panci untukku.
“Tadi udah, om, katanya sakit.” jawab Andre.
“Sakit apa?” tanyaku kuatir.
Lalu kak Halimah menjawab dengan suara yang lirih tapi tidak kedengaran, aku mengerti kalau Fitri lagi halangan.
Selesai sarapan, kak Halimah dan Andre berangkat. Andre ke sekolah, sedangkan kak Halimah ke kantor, sementara tak berapa lama mertuaku mengajak bi Inah, pembantu rumah, pergi belanja ke pasar. Aku bergegas mandi dan sikat gigi, setelah itu aku mendatangi kamar Fitri.
“Sarapan dulu, nak!” ajakku.
“Eh, papa… duduk sini!” jawab Fitri. “Belum laper, Pa.” lanjutnya.
Aku menatap mata Fitri dan mengusap rambutnya, “Papa minta maaf, kalau selama ini…”
Belum selesai aku menyelesaikan omonganku, Fitri sudah menutup bibirku dengan jarinya, “Papa gak salah, apapun yang terjadi. papa tetap papa Fitri, milik Fitri.” katanya lalu memelukku.
Kucium keningnya, Fitri membalas dengan mencium bibirku. Aku agak gugup, walaupun aku suka namun aku merasa kalau itu salah.
“Katanya kamu sakit, nak, sakit apa?” tanyaku untuk mengalihkan perhatian.
Fitri menatap mataku dan memegang wajahku dengan telapak tangannya, “Sakit malarindu, Pa.” jawabnya.
Aku tertawa mendengar jawaban Fitri yang menggelitik. “Jadi anak papa sudah punya pacar?” tanyaku.
“Huum… pacar Fitri sangat setia, Pa, baik dan bertanggung jawab.” jawab Fitri sambil menatapku, juga mengelus wajahku. Aku jadi salah tingkah.
“Oh, bagus lah kalau begitu. Namanya siapa? Trus tinggalnya dimana?” tanyaku agak cemburu.
Lalu Fitri membisikkan nama di telingaku, tapi aku belum mendengar apa yang dibilangnya. “Apa sih?” tanyaku sambil bercanda.
Fitri mengeluarkan lidahnya seraya meledekku, “Wee… mau tau aja papa,” jawabnya.
Karena gemas melihat lidah Fitri, bibirku spontan mengulumnya. Fitri membalas dengan bringas, bahkan ia menindih tubuhku, melumat habis bibirku seperti kesetanan, ”Mmmff… ah… ha… ah…” aku berusaha mengatur nafas karena sempat aku tidak bernafas.
“Fitri kangen, Pa… Fitri kangen sama papa, kangen sekali.” kata Fitri.
“Papa juga, nak. Papa gak tenang jauh darimu.” jawabku.
Lalu Fitri menciumku kembali, aku merasakan pantatnya menekan-nekan penisku.
“Pintunya tutup dulu, nak.” kataku.
Fitri berjalan dan menutup pintu, lalu membuka semua bajunya, sepertinya ia  sudah haus akan sentuhanku. Aku tidak melihat tanda-tanda kalau Fitri sedang datang bulan seperti yang dikatakan oleh kak Halimah, celana dalam nya bersih tanpa pembalut, juga tidak ada darah.
“Katanya lagi dapet?” tanyaku.
Fitri tidak menjawab, ia kembali menindih tubuhku, lalu dengan cepat melorotkan celana dan celana dalamku. Penisku yang setengah hidup dipegangnya, lalu… awhhh… penisku dikulumnya. Aku merasakan kenikmatan yang luar biasa, aku tidak menyangka Fitri sangat lihai memainkan penisku di mulutnya. Dia mengocok penisku dengan mulutnya.
Aku seperti cacing kepanasan karena saking geli dan nikmatnya, ”Oohh… mmffhh… enak, Fit,” rintihku.
Fitri terus menghisap penisku sambil mengocoknya dengan jarinya, makin menambah kenikmatanku yang luar biasa, aku merasa seperti mau keluar… “Aghh… Fit… papa mau sampai… papa mau keluar, Fit!” desahku.
Fitri makin memperkuat sedotannya di ujung penisku, juga kocokan jarinya, membuatku tidak kuat lagi menahan spermaku. “Fit, aghh… bibirmu enak… oughh…. Fitrii… mmfhh… awwhh!!” aku merasakan nikmat yang luar biasa.
Fitri terus menyedot penisku dan menelan spermaku, rasa geli dan enak kurasakan dari mulutnya. “Udah, nak… ahh… papa gak kuat lagi!!” pintaku karena memang rasanya sangat geli.
Fitri tersenyum genit kepadaku. “Enak, Pa?” tanyanya genit.
Aku menarik tubuh Fitri dan kutindih tubuhnya, bibirnya kukulum mesra. Aku merasakan sensasi yang luar biasa saat Fitri mengeluarkan lidahnya, air ludahnya segera kuhisap habis, terasa nikmat sekali saat kutelan. Ciumanku turun ke leher, juga ke payudaranya. Kuhisap kuat-kuat puting Fitri yang mungil kemerahan.
“Mmffhhh… Paaaa…” desah Fitri memegang kepalaku.
Payudaranya kupilin-pilin dan kuhisap secara bergantian, cumbuanku juga terus turun ke arah kemaluannya. Kuhisap semua bibir dan cairan kewanitaannya dengan rakus.
“Paa… oghhh… memek Fitri diapain?” desah Fitri, ia menjerit sangat kuat.
Aku tidak peduli kalau ada orang yang masuk atau mengetahui ulah kami, aku semakin bergairah saat Fitri mengeluarkan kata-kata vulgar, “Paaa… entotin memek Fitri, Paaa… entotin…” desah anakku sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Terus kuhisap-hisap itilnya sampai keluar, “Paaaaaaaaa!!! Mmffhh… ohhh…. Paaaa!!” teriak Fitri sambil mengangkat pantatnya tinggi-tinggi, aku tau kalau dia sudah orgasme.
“Pa, enak, Pa… ayo, Pa… entotin Fitri pake kontol Papa!” pinta Fitri menggodaku.
Aku pun segera mengarahkan penisku ke lobang kemaluannya, kutekan perlahan… sleepp!! “Mmffhhh…” aku melenguh keenakan.
“Ayo, Pa… goyang, Pa…” pinta Fitri.
Aku merasakan kedutan di penisku, kupercepat goyanganku.
”Mmffhh… uhhhh…. kontol papa dalem banget sih,” desah Fitri sambil memejamkan mata dan mendongkakkan kepalanya.
10 menit kemudian aku merasa kalau spermaku akan keluar. Cepat kucabut penisku, lalu kubalikkan badanku hingga Fitri berada di atasku, “Mffhh… Fit, angkat-angkat pantatmua,” kataku sambil mengangkat pantatnya dengan tanganku, lalu menurunkannya kembali. Begitu berulang-ulang.
“Ya, gitu sayang.” kataku penuh kenikmatan. Aku berbaring agak bersandar, jadi aku melihat proses keluar masuknya penisku di liang kemaluan fitri. Genjotan Fitri terasa semakin kencang mengobok-obok penisku. Aku tak tahan lagi.
”Mmffhh… aghh… Fit,” croott, croott, croott, aku mengeluarkan spermaku di dalam kemaluan Fitri, aku mendesah sepuasnya. Fitri terus meggenjot penisku yang mulai kecil, kegeliaan yang teramat sangat kurasakan. Aku merasakan penisku keluar dari kemaluan Fitri karena goyangannya yang terlalu kencang.
“Oughhh… Fit, papa… gak kuat!” kataku menjerit kuat saat Fitri mengulum penisku dengan rakus. Rupanya usaha Fitri itu tidak sia-sia, penisku mulai hidup kembali, perlahan-lahan balik ke ukuran semula.
Fitri segera mengarahkan ke lobang kemaluannya, ia menggoyang-goyangkan pantatnya dan memelukku dengan kuat. Tekanan pada pantatnya kurasakan sangat kuat, hingga tulang-tulang di sekitar selangkangannya jadi begitu terasa.
“Uuhh… Paaa!” jerit Fitri sambil menggigit bibirnya. Keringat di wajahnya menetes pas di ujung mataku, dan disaat itu juga Fitri mengejan panjang.
“Mmffhhhhhhhhhh… Paa, aku keluaaarr!!!” Fitri menghempaskan tubuhnya di pelukanku, kucium rambutnya.
Setelah beristirahat sejenak, perlahan kuturunkan tubuh lemasnya di sampingku, lalu aku keluar membawa pakaianku. Aku takut nanti mertuaku datang dan memergoki kami, aku pun mandi dengan kepuasan yang teramat sangat.Malam harinya kulihat kak Halimah masih murung, sangat jelas terlihat di wajahnya yang cantik kalau dia sedang dilanda kesepian. Kulihat jam sudah hampir pukul 11 malam. Fitri, Andre, juga mertuaku sudah tidur duluan, tinggal kak Halimah dan aku yang masih melek. Aku belum merasa ngantuk karEna seharian tadi tidur setelah memadu cinta dengan Fitri.
“Ada masalah dengan kerjaan ya, kak?” tanyaku pada kak Halimah yang berpangku tangan di meja kerjanya.
“Gak, Dit, aku mikirin papanya Andre.” jawabnya.
Aku kasihan padanya, tanpa sadar aku mendekati kak Halimah dan tanganku sudah memijit-mijit punggungnya pelan. Malam itu kak Halimah memakai baju tidur mirip daster, sangat tipis, sehingga aku bisa merasakan tali BH nya.
“Kita ke kamarku yuk, Dit.” ajak kak Halimah. Tanpa menunggu jawabanku, ia sudah masuk ke kamarnya. Aku mengikutinya dari belakang tanpa mengunci pintu.
“Ini, Dit.” kak Halimah menyerahkan minyak angin padaku, lalu telungkup di kasur. Aku tahu maksud kak Halimah, aku pun segera memijit bagian lehernya dari belakang.
“Jadi benar kamu belum bersetubuh dengan Nurlela?” tanya kak Halimah di atas bantalnya. Aku agak terkejut mendengar pertanyaannya.
“Iya, kak.” jawabku singkat.
“Aku salut padamu, Dit, kamu bisa menahan nafsumu.” kata kak Halimah. “Jadi kamu masih perjaka dong?” lanjutnya.
Aku bingung mau menjawab apa, “Kira-kira begitu lah, kak.” jawabku berbohong.
Lalu kak Halimah membalikkan badannya menjadi telentang. “Masa sih?” tanyanya serius.
Aku pura-pura mengangkat alisku, kak Halimah memejamkan matanya lalu memonyongkan bibirnya. Aku menjadi salah tingkah, firasatku mengatakan kalau kak Halimah sedang mengetesku.
“Kakak ngapain?” tanyaku pura-pura lugu.
Lalu kak halimah tertawa kecil, “Makasih ya, Dit, atas pijitannya. Aku mau tidur dulu,” katanya sambil menguap.
Entah benar atau tidak, aku mengiyakan saja, lalu aku keluar dari kamar kak Halimah dan menutupnya. Aku tidur di sofa karena semua kamar sudah penuh. Aku menolak saat ditawari tidur bersama Andre, bagiku tidur diluar lebih nyaman karena bisa sambil nonton tv.
***
“jika yang tertulis untukku
adalah yang terbaik untukmu
kan kujadikan kau kenangan yang terindah dalam hidupku.
“namun takkan mudah bagiku meninggalkan jejak dirimu yang ku jadikan sebagai kenangan yang terindaahhh”

Sebuah lagu dari band Samson menghiburku lewat vcd di rumah kak Halimah, aku bersantai ria sambil melihat koran tentang lowongan kerja.
”Kring… kringg… kringgg…” suara telepon rumah berbunyi.
“Halo, selamat siang!” sapaku di telepon.
“Halo, om, ini Andre. Om, tolongin Andre, om. Mobilnya gak mau stater.” jawab Andre.
“Kamu di mana, Ndre?” tanyaku padanya.
Andre memberitahukan alamatnya, dan akupun segera ke tempat yang dimaksud. Aku memarkirkan motor yang kubawa setelah melihat mobil Andre, “Mobilnya kenapa, Ndre?” tanyaku pada Andre yang sibuk membuka kap mesin.
“Eh, om udah sampai. Ini, om, gak mau stater, padahal tadi sudah jalan. Tapi mendadak mati karena aku tidak memijak klose pada saat berhenti.” jawab Andre.
“Coba om periksa,” kataku sambil mengambil alih posisi Andre. “Ndre, kayaknya bakalan lama, kamu pulangnya pakai motor aja sekalian jemput Fitri.” kataku sambil melihat mana yang rusak.
“Gak apa-apa om aku tinggal?” tanya Andre ragu.
“Iya, gak apa-apa kok.” jawabku.
“Kalau gitu Andre pamit ya, om. Trimakasih, om…” kata Andre sambil menghidupkan motor dan pergi.
Selama 30 menit kemudian, aku akhirnya bisa menghidupkan mobil itu. Lega rasanya, tapi kerongkonganku terasa haus. Kujalankan mobil ke arah kota, aku bermaksud membeli minuman segar. Aku berhenti saat melihat ada kulkas besar bermerek coca-cola yang diletakkan di luar toko. Rupanya toko sembako. Aku mengambil pocari sweat dingin lalu meminumnya. Setelah membayar, saat aku mau kembali ke mobil, aku mendengar suara memanggil-manggil namaku, “Adit, Adit,” dari seberang jalan.
Kuperhatikan arah dari suara itu. “Yanti?” batinku.
Yanti pun datang mendekatiku.
“Lho, kok kamu ada disini?” tanyaku padanya.
“Wah, kamu sekarang udah punya mobil ya? Aku kesini mau cuci mata, Dit, bosan di Batam aja.” jawab Yanti.
Saat itu Yanti memakai kaca mata hitam besar dan kerudung, penampilannya sangat anggun, ditambah sepatunya yang highhels, makin lengkaplah penampilannya.
“Ah, kamu bisa aja, Yan. Mobil ini punya keponakanku, tadi rusak jadi kuperbaiki,” jawabku.
“Katanya kamu udah pindah ya, Dit?” tanya Yanti sambil mencari posisi yang tidak terkena panas matahari.
“Kita ke warung sana aja yuk!” ajakku sambil menunjuk warung seperti cafe minuman.
“Tapi kamu antar aku pulang ya, Dit, soalnya aku tadi dianterin.” pinta Yanti.
“Mmm… boleh,” jawabku.
Kami pun mengobrol panjang lebar sampai maghrib, “Udah maghrib, pulang yuk!” ajakku pada Yanti.
“Tapi anterin aku kan?” jawab Yanti.
“Pasti dong, yuk!” kataku.
setelah di dalam mobil, Yanti memintaku untuk mengantarnya ke hotel, “Lho, kok ke hotel, Yan?” tanyaku ragu.
“Aku nginap di hotel, Dit, rumah mas Budi kamarnya penuh.” jawab Yanti.
Setelah sampai di hotel yang dimaksud, aku mengantar Yanti sampai ke lobi hotel.
“Dit, ikut aja dulu ke kamar, aku ada oleh-oleh buat Fitri.” kata Yanti.
“Gak enak nih, Yan, kalau dilihat orang.” jawabku.
“Emang kita mau ngapain?” tanyanya.
Betul juga, pikirku.
Sampai di dalam kamar, Yanti mencabut kuncinya, lalu memasukkannya ke sebuah colokan di samping pintu.
“Kok dicabut, Yan?” tanyaku.
“Kamu tuh ya, lugu apa gimana sih?” jawab Yanti sambil mengeluarkan sebuah bingkisan. “Itu biar AC nya berfungsi,” lanjutnya.
Aku memang tidak tahu karena memang belum pernah menginap di hotel.
“Ini buat Fitri,” kata Yanti sambil menyerahkan sebuah bingkisan.
“Makasih, Yan.” jawabku.
“Aku juga ada hadiah buat kamu, Dit.” kata Yanti sambil masuk ke kamar mandi. “Tunggu ya,” lanjutnya.
Tak berapa lama Yanti keluar dengan tidak memakai baju sehelai pun. Aku terkejut melihatnya, juga gugup. Tubuh Yanti kelihatan sangat montok, pantatnya juga bahenol, sementara payudaranya masih sangat kencang.
“Ini buat kamu, Dit!” kata Yanti nakal.
Jujur aku sangat menyukai tubuhnya, semua pikiranku lenyap begitu saja. Hanya ada tubuh Yanti di depanku, sangat menggoda. Tentunya menggoda imanku juga. Aku tidak lagi mengingat Fitri. Penisku perlahan hidup melihat kemolekan tubuhnya. Aku menelan ludah saat Yanti mendekatiku, menggodaku dengan mengarahkan payudaranya ke dekat bibirku. Kuraba pantatnya sambil mulutku mulai mengisap rakus puting susunya.
“Mmffhh… keras dikit, sayang… hisap kuat-kuat… nenenku gatal…” kata Yanti menggodaku.
Tanganku berpindah meremas payudaranya sambil terus kuhisap dan kujilati putingnya secara bergantian. Lalu Yanti mendorong tubuhku hingga telentang, ia berjalan diantara tubuhku, menjilati wajahku, juga bibirku. Aku diludahi, dan kutelan semua air ludahnya. Yanti terus naik ke atasku, aku mengikuti gaya permainannya, sampai akhirnya dia jongkok tepat di depan mulutku. Kupandangi memek Yanti yang mulus tanpa bulu, kulihat bibir memeknya yang sudah keriput, itil nya yang berwarna merah pucat sangat menggodaku. Segera kujulurkan lidahku.
“Mmmmfffhhhh…” Yanti mendesah dan menggoyang-goyangkan pantatnya sehingga memeknya menggesek-gesek mulutku.
Kuhisap terus memek Yanti sampai mulutku menyentuh semua area kemaluannya. Kumainkan lidahku di lobang memeknya.
“Oughh… kamu pandai sekali, say!” desah Yanti keenakan. “hisap terus… ouhhh… yah begitu… aaahh… hisap yang kuat, Dit!!” rintihnya. Aku menahan nafas saat Yanti menduduki mulutku dengan pantatnya.
“Mmffhhh… Dit, enak… jilat terus memekku!!” desah Yanti sambil menjambak rambutku dan menekan kepalaku ke arah lubang memeknya. Ia mencapai klimaks dengan cara menyiksaku.
Sadis juga Yanti ini, pikirku. Aku tidak selera menjilati air maninya, karena aku merasakan sakit di rambutku, dan aku juga hampir kolaps dibuatnya karena pernafasanku di sumbat oleh memeknya.
Yanti menciumiku, juga memelukku, “Enak banget, Dit!” katanya dengan terengah-engah mengatur nafas.
Jujur aku tidak menyukai cara Yanti bercinta, entah kenapa aku tidak bernafsu lagi kepadanya.
“Kenapa, Dit? Kamu gak mau ngentotin memekku?” tanyanya. ”Ayolah, sayang, entotin aku dengan kontolmu.” kata Yanti padaku yang terdiam.
“Ayo, sayang, buka celanamu. Aku ingin melihat kontolmu.” kata Yanti sambil membuka celanaku.
“Ayo, sayang, bangunin kontolmu.” Lanjutnya dengan mengocok kontolku, lalu menghisapnya rakus tanpa menunggu jawabanku.
Hisapan Yanti sangat kuat, giginya sampai mengenai kepala penisku. “Aaw, pelan-pelan, Yan…” kataku kesakitan.
Yanti mengulum ujung penisku sangat kuat, sampai penisku menjadi tegang. Aku tidak menikmati caranya, penisku terasa sakit. Kudorong tubuh Yanti ke samping, tanpa babibu kumasukkan penisku ke dalam memeknya. Sleeppp… aku tidak merasakan penisku dijepit memek Yanti, lobangnya sangat longgar. Mungkin Yanti sering ML dengan gigolo, batinku. Kusuruh Yanti menungging, mungkin dengan gaya ini jepitan memeknya jadi sedikit terasa, pikirku. Tapi sama saja, aku tidak merasa puas.
Lalu kuturunkan pantatnya sedikit dan kuarahkan batangku ke lubang anusnya, sllleeppp… dengan mudah penisku masuk di anus Yanti. Memek sama anus sama saja, pikirku. Kupejamkan mata, kubayangkan yang kuanal adalah Fitri, anakku. Rasanya mulai berubah sedikit enak. Kupercepat goyanganku, tiba-tiba bayangan kak Halimah hadir di pikiranku. Oh, makin nikmat rasanya.
“Ooh… enaknya,” desahku. Aku memikirkan kak Halimah dan Fitri sama-sama menungging, “mmffhh… ahhhh!!” saat itulah, aku mengeluarkan spermaku di pantat Yanti.
Aku membuka mataku, kulihat Yanti asyik menjilati sisa-sisa sperma yang ada di penisku. Aku menyadari bahwa Yanti adalah seorang wanita maniak sex. Aku berjanji cukup sekali ini saja menyetubuhinya, batinku. Bodi aja yang lumayan, tapi lobangnya sudah oversize, kataku dalam hati. Kupakai bajuku tanpa mencuci penisku, aku lalu pamit pada Yanti dan meninggalkan bingkisan yang diberikannya untuk Fitri. Percuma, batinku.
“Dit, tunggu!” kata Yanti mencoba menahanku, tapi aku keburu pergi.
Sampai di rumah, aku mandi. Kubilas tubuhku bersih-bersih, entah kenapa aku ngeri bila mengingat Yanti.
“Pa, dari mana?” tanya Fitri sambil memakan coklat silver queen.
“Eh, anu… papa cari-cari bengkel, mau kerja.” jawabku berbohong.
“Kok sampai malam, Dit?” tanya kak Halimah yang membawa ceret berisi teh manis.
“Iya, Pa, mana ada bengkel yang buka malam-malam.” sambung Fitri mencurigaiku.
“Siapa tau ada, kan gak salah mencoba.” jawabku.
“Pa, aku sama Andre mau pergi undangan, temanku ulang tahun.” kata Fitri.
“Mobilnya udah bagus kok, tapi pulang nya jangan malam-malam ya!” jawabku.
Lalu Fitri mencium pipiku, “Papa ntar malam tidur di kamarku ya!” bisiknya pelan.
“Kok bisik-bisik sih?” tanya kak Halimah.
“Gak tau nih, apa yang dibilang pun gak kedengaran.” kataku berbohong.
“Kamu itu ya, Fit, ada-ada aja.” kata kak Halimah tersenyum, “Andre mana, Fit?” tanyanya pada Fitri.
“Ada di kamar nenek,” jawab Fitri.
Tak berapa lama Andre keluar dari kamar mertuaku. “Yuk, Fit,” ajaknya pada Fitri, dan mereka pun pergi malam itu.
Aku dan kak Halimah makan malam bersama, mertuaku tadi sore sudah makan, beliau tidak bisa lama-lama makan.
“Dit, kamu bisa makai komputer?” tanya kak Halimah padaku sambil memakan daun lalap.
“Bisa sih, kak, tapi dikit-dikit.” jawabku.
“Bantuin aku ya nanti, aku mau pindahin laporan.” pinta kak Halimah.
Selesai makan kami istirahat sejenak sambil memakan buah sebagai hidangan penutup. Lalu kak Halimah pergi ke kamar dan balik membawa tas hitam, mirip dengan tas laptop. Rupanya di dalamnya berisi amplop besar, ia membawanya ke meja kerjanya. Tanpa dikomando aku mengikuti kak Halimah.
“Ambil kursinya, Dit.” perintah kak Halimah. Aku menggeser kursi ke arah dekatnya.
“Yang ini, Dit… ini… lalu ini… rekap semua, setelah itu bilang ya kalau sudah siap!?” kata kak Halimah menerangkan pekerjaanku. Aku mengerjakan apa yang disuruhnya, tapi sampai Andre dan Fitri pulang, aku belum selesai. kulihat jam sudah hampir pukul 12.
“Gimana, Dit, udah belum?” tanya kak Halimah.
“Dikit lagi, kak.” jawabku sambil melihat kak Halimah yang tekun menulis sedari tadi. “Hoaam…” aku menguap.
“Kamu ngantuk ya, Dit? Sudah tidur sana, biar aku yang melanjutkan.” kata kak Halimah.
“Udah siap kok, kak, coba periksa.” jawabku.
Kak Halimah mendekatiku sambil melihat hasil pekerjaanku. Ia terlalu dekat sehingga bahuku bergesekan dengan payudaranya, “Oh, makasih ya, Dit.” kata kak Halimah lalu mencium pipiku.
Aku diperlakukan kak Halimah seperti anak kecil saja, batinku. Spontan tanganku memegang dagunya, dan bibirnya kucium, “Sama-sama, kak.” kataku.
Sebenarnya aku agak takut dengan kelakuanku, makanya aku segera menjauh dari kak Halimah. Aku duduk di sofa, kulihat kak Halimah buru-buru masuk ke kamar dan menutup pintunya. Apa dia marah? batinku. Tapi biarlah, pengalamanku bercinta membuat aku semakin nekat. Akupun melanjutkan menonton tv yang saat itu ada film bioskop trans tv sampai aku ketiduran.Pagi harinya saat sarapan, Fitri menatapku. Terlihat di wajahnya rona kecewa. Baru aku ingat kalau Fitri memintaku tidur di kamarnya tadi malam, aku lupa. Tapi aku juga tidak mau nekat, takut ketauan.
***
Suatu hari Fitri dan teman-teman satu kelasnya mengadakan liburan kenaikan kelas ke pulau Rupat selama 5 hari, sekitar 180 km dari Pekanbaru kalau tidak salah. Sementara Andre memilih liburan bersama papanya. Awalnya kak Halimah menolak permintaan Andre, namun atas bujukan Andre, kak Halimah akhirnya luluh. Tinggallah aku, mertuaku, kak Halimah dan seorang pembantu di rumah.
“Kok gak ikut liburan, kak?” tanyaku pada kak Halimah yang sedang menonton tv. Sejak kejadian aku mencium bibirnya beberapa waktu lalu, komunikasi kami sedikit berkurang, namun aku sering melihat kalau kak Halimah sering mencuri pandang kepadaku.
“Lagi sibuk aja di kantor,” jawab kak Halimah tanpa melihatku.
“Belakangan ini kakak kok cuek ya sama aku?” tanyaku pura-pura sedih.
Kak Halimah menatap mataku, pandangannya sangat sayu. Bibirnya yang merah agak tebal seakan mau mengucapkan sesuatu.
“Aku minta maaf, kak, soal yang kemaren.” sambungku.
Namun kak Halimah masih diam, membuatku jadi salah tingkah. Jujur di hatiku timbul prasangka kalau saat itu aku menjadi beban di keluarga kak Halimah.
“kak, lusa aku mau pergi ke Jakarta, ada yang ngajakin aku kerja.” kataku berbohong.
Kak Halimah menatapku, entah kenapa ia menitikkan air mata dan berlari kecil ke arah kamarnya, tapi tidak menutup pintunya. Aku heran, ada apa? Pikirku. Kucoba mendatangi kamar kak Halimah, kulihat ia telungkup dan menyembunyikan wajahnya di balik bantal. Daster yang dipakai kak Halimah tersingkap sedikit ke atas sehingga betisnya yang sangat putih kelihatan jelas. Oh putihnya, batinku. Juga bongkahan pantat kak Halimah yang sepertinya menjulang ke atas, membuatku langsung menelan ludah.
Selama ini aku kurang memperhatikannya karena kebiasaan kak Halimah yang memakai busana sopan saat di rumah. Tak dinyana, aku benar-benar menyukai bentuk tubuh kak Halimah. Kutatap tubuh indah miliknya dari pintu, sepertinya kak Halimah menangis, tapi entah apa yang ditangisi. Aku lalu kembali duduk di sofa, melihat acara tv, sampai mataku mulai ngantuk. Akupun tertidur.
Aku terbangun karena haus, kulihat jam sudah pukul 04:30 wib. Selesai minum, tiba-tiba aku merasa bergairah. Aku meraba penisku yang tegang dan hangat, Aku kembali ke sofa untuk melanjutkan tidurku, tapi pintu kamar kak Halimah kulihat masih terbuka. Iseng aku berjalan ke arah sana.
Deg…!!
Oh, penisku langsung bergerak makin keras. Kulihat daster kak Halimah tersingkap, celana dalamnya yang berwarna krem terpampang jelas, menunjukkan permukaan kewanitaannya yang sangat tebal. Aku jadi sangat bernafsu. Kudekati kak Halimah dengan berjalan sangat pelan sampai jarak setengah meter, dadaku berdegup kencang, ada rasa takut dan malu, tapi aku juga diselimuti nafsu yang membara.
Kupelorotkan celanaku sebatas lutut dan penisku yang tegak lurus kukocok perlahan sambil memandangi celana dalam kak Halimah. Tak berapa lama aku merasakan mau keluar, akupun berlutut agar pandanganku makin jelas, sementara kocokanku berubah semakin kencang. Kudekatkan wajahku ke celana dalam kak Halimah, kucium aroma kewanitaannya. Uh, harumnya. Aku jadi tidak bisa menahan lagi, kukocok penisku dengan kecepatan tinggi, dan…
“Adittt…!!!” teriak seseorang dari arah pintu.
Spontan aku langsung berdiri, tapi crooott… crooott… crooott… aku mengeluarkan spermaku begitu saja hingga mengenai celana dalam kak Halimah, juga paha dan perutnya.
Aku pun berbalik. Astaga, aku memekik dalam hati. Tidak, dia bukan Fitri, tapi mertuaku. Ia memakai mukena, mungkin mau sholat. Aku begitu tercengang hingga lupa menutup penisku. Ini benar-benar kiamat bagiku. Kak Halimah juga terbangun karEna mendengar suara ibunya. Aku hilang akal, kulihat kak Halimah membetulkan pakaiannya. Aku juga dengan gugup segera menaikkan celanaku dan berjalan dengan malu keluar dari kamar. Mertuaku memberikan aku jalan tanpa mengatakan sesuatu. Aku berjalan ke arah kamar Fitri, masuk kesana dan mengunci pintunya.
Aku mengurung diri di kamar Fitri seharian. Perutku terasa amat lapar, tapi aku belum berani keluar dari kamar. Aku takut dan malu, tapi yang pasti aku sudah siap menerima apapun konsekuensinya. Hanya saja mentalku belum siap bertatap muka dengan kak Halimah, juga mertuaku.
Suara azan Maghrib mulai terdengar, berarti sudah satu hari ini aku berada di dalam kamar. Semua bajuku telah kumasukkan dalam tas, karena kebetulan di kamar Fitri lah tempat penyimpanan bajuku. Kutunggu sampai jam 9 malam, karena biasanya mertuaku sudah berada di kamarnya pada jam segitu. Dengan menahan lapar dan berpakaian seadanya, aku keluar membawa tas. Kuperhatikan seisi rumah sudah sepi, tapi kak Halimah kulihat ada di meja kerjanya. Dengan rasa malu aku beranikan diri melangkah keluar dari kamar.
“Mmm… kak, aku permisi dulu.” kataku gugup.
“Dit, kamu makan dulu.” jawab kak Halimah dengan memandang ke arah lain.
“Ng-nggak usah, kak. Aku titip Fitri,” kataku tertunduk.
Kak Halimah berdiri dengan ragu dan mendekatiku, “Kamu mau kemana, Dit?” tanyanya dengan wajah lesu dan menitikkan air mata.
“Biarkan saja dia pergi, Halimah!” hardik mertuaku dari pintu kamarnya. “Dia tidak pantas berada di rumah ini,” lanjutnya.
Kak Halimah menutup mulutnya dengan telapak tangan untuk menahan tangisnya. Aku tidak berani memandang mertuaku, pelan aku melangkah  keluar dari rumah.
“Jangan pergi, Dit…” teriak kak Halimah saat aku berada beberapa meter dari rumahnya.
“Diam kamu, Halimah!!!” bentak mertuaku.
“Aku mencintainya, bu.” kata kak Halimah sambil menangis.
Aku sungguh terkejut mendengar pengakuannya, aku merasa sangat bersalah, wanita yang selama ini kuhormati ternyata mencintaiku.
“Kamu jangan bikin malu, Halimah! Kamu masih punya suami!” hardik mertuaku lagi.
“Tidak, bu, aku akan menceraikannya. Aku tidak tahan lagi dimadu,” jawab kak Halimah tak mau kalah.
“Adit, lekas kamu pergi!!” teriak mertuaku sambil menahan dadanya.
Aku pun pergi, khawatir mertuaku sakit jantung. Tak berapa lama, kak Halimah berlari mengejarku dan memelukku. Aku merasakan tangannya menyelipkan sesuatu di kantong jaketku, ia memberikan salam perpisahan. Aku melihat ada beberapa ibu yang berbisik-bisik sambil menatapku sinis. Dasar, batinku.
Langkahku membawa aku ke terminal, aku duduk di bangku sebuah loket. Aku meraba kantongku, mau melihat apa tadi yang diberikan oleh kak Halimah. Ternyata sebuah hp bermerek Blackbarry. Aku jadi teringat awal terjadinya pertemuanku dengan keluarga kak Halimah, berawal karena membeli hape baru. Tapi aku tak tahu kemana hape yang kubeli dulu, mungkin diambil orang saat aku terpelanting ditabrak Andre.
Aku menaiki bus ALS jurusan Palembang, aku tidak mempunyai rencana sedikit pun kemana aku akan pergi. Rasa malu memaksaku keluar dari kota Pekanbaru dengan berat hati. Aku malu pada diriku sendiri, pada Fitri. Entah apa alasan yang harus kuberikan jika Fitri mengetahuinya.
Aku duduk di kursi paling depan di belakang pak supir, kupandangi jalan dan juga kendaraan yang lalu-lalang, membuat pikiranku semakin gundah. Tak terasa 1 jam sudah aku dalam perjalanan, tiba-tiba hp pemberian kak Halimah berdering. Kuperhatikan di layar hp ada panggilan nomor tanpa nama.
Dengan ragu kujawab panggilan itu.
“Halo,” kataku singkat.
“Dit, ini aku. Halimah. Kamu sekarang dimana?” tanya kak Halimah dari seberang telepon dengan nada suara seperti hidung tersumbat.
“Aku sekarang lagi dalam perjalanan, kak, dalam bus.” jawabku jujur.
“Jangan, Dit, jangan! Kamu jangan pergi dulu,” perintah kak Halimah.
“Ta-tapi, aku sudah jauh, kak.” jawabku menjelaskan.
“Dit, hentikan busnya! Atau aku akan bunuh diri!!” kata kak Halimah mengancamku. Aku heran dan juga khawatir mendengarnya. Maka segera kuambil keputusan.
“Pak! Pak! Stop, Pak!!” kataku pada supir yang ada di depanku sambil memegang hp di telinga. Bus pun berhenti.
“Aku disini aja, pak.” kataku pada supir dan menenteng tasku turun dari bus, aku tidak meminta sisa ongkos yang kuberikan full di loket.
“Majuu…” teriak sang kenek bus, pergi meninggalkanku di pinggir jalan. Tanpa ada rumah, di sekitarku kulihat hanya pohon sawit dimana-mana.
“Aku sudah turun, kak.” kataku di telepon.
“Makasih, Dit.” jawab kak Halimah.
“Jadi aku harus gimana lagi, kak?” tanyaku pasrah.
“Balik lagi, Dit, nanti tunggu di terminal.” jawab kak Halimah.
“Baik, kak.” jawabku dan kumatikan teleponnya.
Aku menumpang mobil tangki cpo yang tak berapa lama lewat menuju Pekanbaru. Aku diantar kembali ke kota, namun tidak sampai terminal. Aku harus naik bis kota agar bisa sampai ke terminal.
“Kak, aku udah sampai terminal,” kataku saat kuhubungi kak Halimah melalui handphone.
“Lima menit lagi aku sampai, Dit, masih macet di lampu merah.” jawab kak Halimah.
Aku menunggunya sambil ngopi di warung depan terminal, agar aku bisa melihat mobil kak Halimah. Tak berapa lama kak Halimah tiba dan aku memanggilnya dengan melambaikan tangan. Aku melihat rona bahagia di wajah kak Halimah, dan juga gerakan tangannya seakan mau memelukku saat kami berhadapan. Tapi aku tahu kak Halimah canggung atau sungkan karena di keramaian.
“Masuk, Dit.” kata kak Halimah.
“Kita mau kemana, kak?” tanyaku.
“Aku juga bingung, Dit.” jawab kak Halimah sambil menjalankan mobilnya.
Hampir 10 menit aku dan kak Halimah terdiam, kami larut dalam pikiran masing-masing, hingga sampailah kami di sebuah hotel.
“Dit, untuk sementara kamu tinggal di hotel dulu ya,” kata kak Halimah seperti memikirkan sesuatu.
Saat itu aku bingung, dan juga tidak tau apa maunya dia. Tapi aku menuruti kemauan kak Halimah untuk sementara.
“Dit, kamu tunggu di mobil ya?” kata kak Halimah meninggalkanku. Setelah lebih 10 menit, baru dia kembali. “Ini kuncinya, Dit, no. 56 lantai 3.” kata kak Halimah lalu menyerahkan sebuah kunci kamar kepadaku.
Aku menerimanya dan membuka pintu mobil.
“Jangan pergi dulu, Dit!” kata kak Halimah cepat.
“Lho, maksudnya gimana sih, kak?” tanyaku bingung.
Kak Halimah menarik nafas, “Aku mau ngomong sama kamu, Dit.” kata kak Halimah lirih.
“Ngomong aja, kak.” jawabku.
“Suasananya kurang pas, Dit.” lanjut kak Halimah, lalu menghidupkan kembali mobilnya. Dia membawaku entah kemana. Kami berhenti di suatu tempat.
“Dit, mmm… nanti kamu ke hotel tadi ya, naik taksi aja dari sini!” kata kak Halimah.
Aku makin bingung dibuatnya, tapi aku menuruti saja perkataannya. Daripada aku makin bingung, pikirku. Aku memanggil taxi dan meninggalkan kak Halimah sambil melambaikan tanganku.
Keesokan paginya kak Halimah datang menemuiku di kamar hotel. Dia mungkin bolos kerja karena kak Halimah datang dengan memakai baju dinasnya.
“Nih, ada nasi goreng, Dit.” kata kak Halimah dan meletakkan plastik berisi kotak.
“Makasih, kak.” jawabku sambil membuka kotak berisi nasi goreng. “Kok cuma satu?” tanyaku.
“Tadi aku sudah sarapan di rumah,” jawab kak Halimah.
“Oh, gimana kabar ibu?” tanyaku sambil menatap mata kak Halimah.
Kak Halimah memalingkan wajahnya. “Kenapa kamu ceroboh gitu, Dit?” tanyanya sambil berjalan ke arah jendela.
“Memangnya kalau aku minta baik-baik, apa kakak akan memberikannya?” jawabku menyelidik.
“Minta apa?” jawab kak Halimah menatap mataku.
Aku tidak menjawab, malu untuk berterus terang.
“Sedari dulu aku ingin menceraikan suamiku, Dit, tapi aku takut. Gajiku tidak cukup untuk menafkahi Andre dan ibu.” kata kak Halimah lalu duduk di tepi ranjang, membelakangiku. ”Suamiku menikah lagi atas izinku, dimana dia harus menafkahi kami dan juga memberikan fasilitas mewah.” Lanjutnya. “atau… kami bercerai dan Andre ikut suamiku.” kata kak Halimah menitikkan air mata.
“Alasannya apa, kak, kok cerai?” tanyaku.
Lalu kak Halimah menceritakan semua peristiwa yang terjadi pada biduk rumah tangganya, dimana suaminya yang mata keranjang terlanjur menghamili seorang siswi SMA. Sungguh memilukan, ternyata status perkawinan kak Halimah dengan suaminya juga dikarenakan hal yang sama, dulu kak Halimah hanya kawin siri dengan suaminya. Ada rasa iba mendengar keluh-kesahnya.
“Dit, sejak awal melihatmu, aku sudah ada rasa simpati dan suka.” kata kak Halimah tiba-tiba. “Entah mengapa benih cinta itu lahir untukmu,” sambungnya.
“Sejak kamu mencium bibirku, aku merasakan ciuman yang sesungguhnya, dan aku tidak marah, Dit, waktu kamu di kamarku sedang ’itu’. Meskipun ada sedikit rasa malu juga harga diriku yang seakan kamu permainkan,” lanjut kak Halimah menatapku.
“Aku minta maaf, kak.” kataku sambil meletakkan kotak nasi goreng yang tidak lagi kumakan.
“Dit, mengapa kamu tidak menikah lagi?” tanya kak Halimah.
“Aku masih mencintai almarhumah, kak.” jawabku agak serius.
“Berarti kamu tidak akan mencintaiku, Dit?” tanya kak Halimah tabah. “Kemaren aku bilang mencintaimu, aku mengatakannya dengan tidak sengaja, Dit… karena aku… aku tidak mau kamu pergi dari rumah.” sambungnya.
Aku menatap cermin yang ada di meja, aku melihat wajahku. Apa yang istimewa pada diriku, batinku. Aku tidak pantas buat kak Halimah. Seandainya dia tahu kelakuanku, perbuatanku pada Fitri selama ini, mungkin kak Halimah tidak akan sudi melihatku.
“Dit, maukah kamu jadi sahabatku?” pinta kak Halimah.
“Kita sudah lebih dari sahabat, kak, bahkan kita ini ada ikatan keluarga.” jawabku sambil menatap matanya yang sayu.
Kak Halimah mendekatiku dengan senyuman dan bersandar di bahuku. “Tapi jangan larang aku mencintaimu, Dit.” katanya.
Aku terdiam, hanyut dalam lamunan. Aku tak bisa berbohong pada diriku sendiri, aku tidak bisa memungkiri kalau bayangan Fitri benar-benar tak tergantikan. Hatiku hanya milik Fitri. Sedangkan kepada kak Halimah, aku menghormatinya, juga menyukainya karena kebaikan hatinya. Aku menghargainya sebagai kakak ipar. Bisa saja aku memberinya sedikit cinta, tapi sayang aku tidak punya.
“Dit, aku pergi dulu. Nanti sore aku kemari lagi.” kata kak Halimah menyadarkanku dari lamunan.
“Iya, kak, makasih sarapannya.” jawabku. Kuantar dia sampai pintu.
“Dit,” kata kak Halimah menatap mataku, lalu ia memelukku penuh kasih sayang.
“Hati-hati, kak.” kataku sambil melambaikan tangan saat kak Halimah akan pergi.Sore harinya, kak Halimah datang lagi dengan membawa buah-buahan, terlihat jelas di wajahnya rona keceriaan.
“Aduh, kok repot gini, kak.” kataku saat kak Halimah meletakkan buah yang dibawanya.
“Gak papa kok, Dit, memang gak boleh ya?” tanya kak Halimah.
“Boleh sih,” jawabku.
“Ehm, matanya kok nakal sih!” kata kak Halimah memergoki mataku sedang melihat sedikit payudaranya yang tersingkap.
“Ih, siapa pula yang nakal?” jawabku malu. Rasa grogi membuatku salah tingkah, entah kenapa aku tiba-tiba mencium bibir kak Halimah, aku mengulumnya. Kak Halimah tidak membalas, tapi juga tidak menolak. Aku semakin lepas kontrol, kedua tanganku langsung memeluk erat pantatnya, dan meremasnya.
“Mmffh… Dittt… jangan! Stop!!” kata kak Halimah agak tegas. “Dit, kamu cium aku karena sayang atau nafsu?” tanyanya dengan menatap tajam mataku penuh harap.
Lama aku tak memberi jawaban, sangat sulit bagiku untuk menjawabnya.
“Dit, jangan kotori rasa sayangku dengan nafsumu. Aku tidak akan keberatan jika kamu benar-benar mencintaiku,” lanjut kak Halimah.
Aku terdiam, aku tidak mau membohongi diriku, aku juga tidak mau membohongi kak Halimah. Aku menutup wajah dengan kedua tanganku dan duduk di kasur.
“Dit, aku pulang dulu ya… kapan-kapan aku kemari lagi,” kata kak Halimah lalu pergi tanpa menunggu jawabanku.
***
”Tok… tok… tok…”
“Bentar!” teriakku dari dalam kamar mandi, kupakai celanaku lalu keluar untuk membukakan pintu.
“Fitri! Kapan pulangnya? Kok tahu papa disini?” tanyaku pada Fitri yang datang ke hotel tempatku tinggal.
“Pulangnya tadi malam, Pa. Fitri tahu papa tinggal disini dari tante Halimah.” jawab Fitri lalu masuk dan duduk di kasur dengan wajah kecewa. “Nenek juga udah cerita, Pa, karena Fitri paksa. Jadi Fitri sudah tahu semuanya,” lanjutnya sambil membuang muka. “Satu lagi, Pa, tante kirim salam buat papa.” sambung Fitri.
Aku mendekati Fitri dan duduk di sampingnya. “Kamu marah sama papa?” tanyaku.
Fitri menyandarkan keningnya di punggung telapak tangannya. “Fitri malu, Pa, bukan marah.” jawab Fitri.
Aku terdiam mendengarnya, ada rasa bersalah, tentunya juga rasa malu.
“Papa cinta sama tante Imah?” tanya Fitri terus menekanku.
Aku memegang tangan Fitri dan menggenggamnya. “Papa gak bisa mencintai orang lain,” jawabku jujur.
Fitri berdiri dan memelukku, “Tapi papa udah membuat tante Imah mencintai papa.” katanya sambil menangis. “Fitri juga tahu kalau papa juga suka sama tante Imah,” lanjut Fitri dalam tangisnya.
“Pa, kalau papa memang jodoh sama tante Imah, Fitri ikhlas, Pa. Tante Imah terlalu baik pada Fitri.” sambung Fitri.
Aku mengangkat wajahnya, dan memandang matanya. Sangat cantik anakku ini, hatinya juga sangat baik, batinku. Kukecup keningnya dan aku memeluknya lagi.
Tak berapa lama, kak Halimah datang.
“Eh, Fitri… kapan kesini?” tanya kak Halimah.
“Tante,” Fitri berlari ke arah kak Halimah dan memeluknya. “Tante, Fitri sayang sama tante,” kata Fitri sambil menangis.
“Tante juga sayang sama Fitri,” balas kak Halimah.
Kok jadi begini? batinku.
Akhirnya kami bertiga larut dalam kesedihan pada hari itu.
***
Suatu sore kak Halimah mengajakku ke suatu tempat, karena sebelumnya kami sudah membuat rencana akan mencarikan pekerjaan buatku melalui relasinya.
“Halimah!” hardik seorang lelaki dari belakang kami.
Plak!!! Lelaki itu menampar kak Halimah dengan keras.
“Hei, kurang ajar!” balasku sambil meninju lelaki itu. Bukk!!
Lelaki itu membalas dengan meninju perutku sampai aku terjatuh, gedebukk!! “Kurang ajar, kau jangan ikut campur urusanku!” katanya dengan marah.
“Mas, jangan, mas!” lerai kak Halimah.
“Ah, kamu juga perempuan biadab! Kamu selingkuh di belakangku!” Plak, plak, lelaki itu kembali menampar kak Halimah sampai berdarah.
Aku terdiam melihat kak Halimah terjatuh, selain aku yang kesusahan bernapas akibat tinju yang mengenai ulu hatiku, juga agak heran, aku bertanya-tanya dalam hati, apakah dia suami kak Halimah? pikirku.
“Aku akan menceraikanmu, perempuan murahan!!” kata lelaki itu penuh emosi sambil menjambak rambut kak Halimah.
Emosiku terbakar, aku melihat kayu seukuran pemukul bola kasti dan memukul punggung lelaki tersebut. Bukkkkk!!! Lelaki itu jatuh dan terdiam.
“Sudah, Dit, sudah… dia papanya Andre.” kata kak Halimah menahan tubuhku.
“Biadab!” makiku pada lelaki itu dan meludahinya, tak berapa lama orang-orang mulai berdatangan melerai pertengkaran kami.
Keesokan harinya aku sangat terkejut saat dua orang polisi membawaku dari kamar hotel dengan kasar akibat tuduhan penganiayaan, tak ayal aku dijebloskan ke penjara. Kak Halimah dan Fitri menangis saat menjengukku.
“Pa, kenapa jadi begini?” tanya Fitri dalam tangisnya.
Aku menatap kak Halimah, dan tidak menjawab pertanyaan Fitri yang tak perlu kujawab.
“Dit, aku sudah hubungi pengacara, mudah-mudahan kamu bisa dikeluarkan secepatnya.” kata kak Halimah lesu.
Tiga minggu kemudian aku disidang, berdasarkan bukti dari saksi mata, maka pengadilan memutuskan aku dijadikan terdakwa dan dijatuhi hukuman 1 tahun penjara.
Selama sebulan aku berada dalam tahanan, kak Halimah dan Fitri sangat rajin mengunjungiku, memberiku semangat dan motivasi. Hampir tiap hari kak Halimah mengunjungiku, membawakanku makanan, katanya tidak tega melihatku makan makanan yang disediakan oleh pihak lapas. Setiap kali mengunjungiku, kak Halimah tak lupa menghiburku. Tak terasa, perlahan-lahan bulir-bulir cinta pun bersemi di hatiku pada kak Halimah, ada semacam kerinduan di hati untuk menanti kedatangannya.
“Besok mau makan apa, Dit?” tanya kak Halimah saat akan mau pergi.
Kutatap matanya, entah mengapa aku ingin sekali memeluknya, “Kak,” kataku lirih. “Aku ingin memeluk kakak,” lanjutku.
Kak Halimah langsung memelukku erat, aku merasakan pelukan kasih sayang yang teramat dalam darinya.
“Aku cinta kamu, kak.” bisikku di telinganya.
“Ehm… maaf, bu, jam kunjungannya sudah selesai,” kata opsir penjaga yang mengawasi kami di ruangan besuk.
“Bentar ya, pak, 1 menit lagi.” jawab kak Halimah.
“Dit, ulangi lagi yang tadi, aku kurang jelas mendengarnya.” kata kak Halimah.
Kudekatkan bibirku ke telinganya, namun kak Halimah memegang wajahku. “Aku ingin melihat bibirmu mengatakannya, Dit.” sambungnya.
“Aku cinta kamu, kak.” kataku sambil menatap matanya, kuungkapkan perasaanku dengan tulus dari dasar hatiku yang paling dalam.
“Kak-nya dihilangi dong,” pinta kak Halimah.
“Aku cinta kamu, Halimah.” ucapku, dan kucium keningnya pertanda sayangku kepadanya.
Air mata Halimah menetes membasahi pipinya yang manis, terlihat rona kebahagiaan terpancar di wajah cantiknya,bagaikan remaja yang merasakan kasmaran. Dengan berat hati Halimah meninggalkanku dengan penuh bahagia.Dua bulan kemudian aku dibebaskan, aku sangat bersyukur saat itu. Halimah dan Fitri menyambutku dengan bahagia. Mantan suami Halimah menarik kembali tuntutannya, dan beberapa hari yang lalu Halimah sudah bercerai dengan suaminya dengan kesepakatan hak asuh Andre jatuh ke tangan papanya. Sementara rumah dan isinya juga diambil kembali oleh mantan suaminya, Halimah hanya mendapat sebuah mobil yang dipakainya selama ini untuk bekerja.
Aku sangat terharu mendengar pengorbanan Halimah yang begitu besar padaku, sungguh cinta yang tulus aku dapatkan dari Halimah.
Kulihat mertuaku tersenyum padaku, mereka menjemputku. Kubalas senyuman tulus itu. Tak henti-hentinya aku memeluk Halimah, juga Fitri. Aku sangat bahagia bisa berkumpul kembali bersama mereka.
Halimah membawa kami ke sebuah rumah yang sangat sederhana namun asri, rumah yang hanya memiliki dua kamar tidur dan satu kamar mandi yang baru dibeli Halimah dari uang tabungannya selama ini. Aku menjadi makin terharu, betapa besar pengorbanannya buatku.
“Dit, ini istana mungil milik kita, kuharap kamu melamarku secepatnya agar aku benar-benar bebas dari belenggu.” kata Halimah penuh harap.
“Aku akan membahagiakanmu, selalu ada disisimu,” jawabku di depan Fitri dan mertuaku.
“Ehem, ehem, romantisnya nanti dulu, Pa. Fitri lapar nih,” potong Fitri, kami pun tertawa serentak.
Pada malam harinya, Fitri dan mertuaku sudah tidur duluan, Halimah masih asyik menata ruangan. Kudekati Halimah saat dia membelakangiku sambil sedikit menunggingkan pantatnya karena memindahkan vas bunga ke lantai.
“Uh, jangan nakal, Dit!!” kata Halimah sambil mencolek hidungku karena pantatnya kuremas.
“Abis kamu seksi,” jawabku sambil mendekatkan hidungku ke hidungnya, lalu kugesek-gesekkan pelan. “Boleh aku melihat tubuh telanjangmu?” bisikku genit.
“Gak boleh, nikahi dulu aku!” tantang Halimah.
“Minggu depan kita menikah,” jawabku sambil kucium bibirnya.
“Kamu cium aku karena nafsu atau cinta?” bisik Halimah.
“Dua-duanya,” jawabku.
Kucium kembali bibirnya, kumainkan lidahku di langit-langit mulut Halimah, tanganku tak ketinggalan meremas pantatnya yang bulat semok.
“Hmmffh…” Halimah melepaskan ciumanku, “Jangan sekarang, sayang, ntar malam pertama kita basi.” kata Halimah tanpa melepaskan tanganku.
“Pinggir-pinggirnya aja ya, sayang?” jawabku dengan senyum genit.
Halimah melirik ke arah kamar dimana Fitri dan mertuaku tidur. “Janji ya gak dimasukin?” katanya sedikit berbisik.
Aku tertawa geli mendengar ucapannya, seakan-akan dia masih perawan saja.
“Kok ketawa?” tanya Halimah manja.
Aku membalasnya dengan mencium bibirnya hangat.
“Malam ini aku lagi dapet, Dit.” kata Halimah pelan.
“Ah, ngarang…” jawabku sedikit bercanda.
“Kalau gak percaya, pegang aja!” bisiknya, lalu ia memegang tanganku dengan sedikit gemetar dan mengarahkannya masuk ke dalam celananya.
Aku meraba, dan ternyata benar, Halimah lagi datang bulan, dia memakai pembalut. “Hihihi… kok gak bilang dari tadi?” kataku cengingisan.
“Ih, tawanya lucu,” jawab Halimah. Akhirnya kami hanya sebatas ciuman raba-rabaan saja, selanjutnya kami tidur berdua di sofa dengan berpelukan.
***
“Pa, buruuaaaannn!!!” teriak Fitri dari dalam mobil menyuruhku yang masih belum kelar memakai sepatu.
“Iya, iya,” jawabku penuh semangat.
Hari ini aku dan Halimah akan melangsungkan pernikahan di KUA tak jauh dari tempat kami tinggal.
“Kuterima nikahnya Halimah Nurhayati binti Sugianto dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai,” ucapku lancar.
“Bagaimana saksi?” kata penghulu.
Sah!!! sambut Fitri dan mertuaku secara bersamaan, dan juga beberapa orang yang hadir.
Halimah mencium tanganku, aku melihat Fitri mengacungkan jempolnya padaku sambil mengedipkan matanya.
Setelah akad nikah, kulihat Fitri keluar dari ruangan. Aku dan halimah masih berbincang-bincang bersama penghulu dan mertuaku, dan tak berapa lama kami keluar. Ternyata Fitri membuat kejutan kepada kami, mobil Halimah dihias dengan pita-pita di sebagian tempat, dan aku tersenyum lucu saat membaca tulisan “just merried” di kaca belakang. Kutatap mata Halimah yang malu-malu kucing, seakan sudah tidak sabar.
“Yuk,” kataku sambil membukakan pintu bagi ratu baruku. “Kok gak ikut, Fit?” kataku pada Fitri yang senyum-senyum.
“Aku sama nenek naik becak aja, Pa… udah buruan, ntar disinggahi lalat lagi.” ledek Fitri.
Kuhidupkan mobil dan kujalankan, setelah beberapa meter aku berhenti karena mendengar suara berisik dari belakang mobil, ternyata suara kaleng bekas susu yang sengaja diikat Fitri di belakang mobil. Fitri pun tertawa terbahak-bahak penuh rasa kemenangan. Dasar, batinku.
Sepanjang jalan kulihat banyak orang memperhatikan kami, aku tersenyum bangga karena jadi pusat perhatian. “Kita kemana, sayang?” kataku pada Halimah.
“Ke bulan dong, xixixi…” jawab Halimah nyengir.
”Maksudnya kita ke hotel ato ke rumah?” lanjutku sambil menatap payudaranya.
Halimah mendekatiku, dan meraba pahaku. “Ke hotel aja ya, say, biar aku bisa teriak sekerasnya.” balasnya.
“Ok, sayang. Tapi cium dulu dong,” kataku sambil memonyongkan bibir.
“Muaaahhhh…” Halimah mencium bibirku.
“Masa cuma gitu?” protesku, karena Halimah menciumku hanya sebentar saja.
“Sabar, sayang… ntar nabrak orang lagi.” jawab Halimah genit.
Tak berapa lama kami sampai di sebuah hotel bintang 3, aku memesan kamar super deluxe, biar kedap suara. Kulihat receptionisnya tersipu malu melihat kami.
“Ini kuncinya, pak.” kata receptionist itu.
Aku menerimanya dan segera kutarik tangan Halimah, aku sudah tidak sabar lagi. Sampai di dalam kamar, Halimah merangkulku dan mencium bibirku bertubi-tubi, “Mmmmffhh… kebayanya buka dulu, say, ntar rusak lagi,” kataku.
“Bilang aja mau lihat aku telanjang,” jawab Halimah manja. Perlahan dia membuka seluruh pakaiannya, bak penari striptis, dia melakukannya dengan erotis, sambil mengisap sesekali jari telunjuknya dengan maksud untuk menggodaku.
Aku segera membuka jas yang kukenakan dengan terburu-buru.
“Eits, biar aku yang buka, sayang.” kata Halimah saat aku mau membuka celana. Dia membukanya sambil berlutut, dipandanginya celana dalamku yang menonjol besar akibat penisku yang telah menegang.
“Sayang, ini apa?” tanya Halimah sambil meraba-raba penisku dengan nakal.
“Itu titit, sayang.” jawabku sambil mengusap rambut Halimah seperti menyisirnya.
“Titit apa kontol?” kata Halimah sambil berdiri, namun tangannya masih tetap meraba penisku.
Kucium kembali bibir Halimah, lidah kami saling berpagutan erat.
“Mmffhh… say, pegangin memekku donk,” pintanya sambil menuntun tanganku ke arah selangkangannya.
“Ih, vulgar amat, sayang, kata-katanya!” jawabku sambil memasukkan jariku ke celana dalamnya dan meraba kemaluan Halimah yang ditumbuhi bulu lebat.
“Biarin, biar kamu klepek-klepek.” jawabnya.
Kami terus saling meraba dan melumat bibir. Aku mulai merasakan tangan Halimah berusaha menurunkan celana dalamku.
“Kontol kamu besar banget, sayang!” kata Halimah lirih.
“Memek kamu juga sempit,” jawabku tak mau kalah.
“Dari mana kamu tahu memekku sempit, kan belum dicoba?” tanya Halimah sambil mengocok penisku.
Aku tidak menjawabnya, kubaringkan ia di kasur yang empuk, kupandangi tubuh sintalnya yang kini cuma dibalut bh dan celana dalam mungil berwarna pink.
“Hmm…” Halimah mendesah saat lehernya kujilat dan kuciumi, ia menjadi liar, membalasku dengan menciumi tubuhku. Kami saling berguling-guling di kasur, seakan tak mau kalah siapa yang berada diatas sehingga tubuh kami kahirnya telanjang tanpa penutup kain sehelai pun.
“Sshh… aaah… sayang, jilatanmu enak banget!” kata Halimah saat kemaluannya kujilati dengan rakus. Dia melebarkan kedua pahanya sambil menekan-nekan pantatnya ke atas. “Sayang, sini kontolmu, aku pengen menghisapnya!” pintanya.
Aku pun mengarahkan batang penisku ke wajahnya, sehingga posisi kami jadi 69 sekarang. Posisi ini terasa kurang nyaman buatku, lobang kemaluan Halimah jadi tidak bisa sepenuhnya  kuhisap. Maka segera kubalikkan tubuh kami hingga kini ganti Halimah yang berada diatas. Kuatur pantatnya agar sedikit menungging hingga mulutku dengan mudah menjilati seluruh permukaan kemaluannya. Sementara Halimah sendiri sangat telaten menghisap penisku, mulutnya dengan sangat lembut melumat penisku sambil mengocok pelan dengan jarinya. Aku merasakan sensasi yang luar biasa, hingga aku merasakan mau keluar.
“Sayang, aku mau keluar!” kataku sambil menusuk-nusuk kemaluan Halimah dengan jari telunjuk.
Halimah melepaskan kulumannya, “Keluarin di mulutku, sayang.” jawabnya sambil melanjutkan menghisap penisku, kali ini ia mengemutnya sampai ke pangkalnya.
Kusibak bulu kemaluan Halimah, kuarahkan bibirku tepat di lobang kemaluannya, Kusedot kuat celahnya yang sempit hingga aku merasakan itil Halimah masuk ke dalam mulutku. “Hmmffh…” erangku di kemaluannya. Bersamaan dengan itu, spermaku keluar di mulutnya.
Aku mengerang sambil terus menghisap kemaluan Halimah, cairan hangat dan terasa asin keluar dari kemaluan istriku itu, waktunya hampir bersamaan dengan sperma yang kukeluarkan di mulutnya.
Halimah melepas kulumannya dari penisku dan mendekatkan wajah ke telingaku, “Makasih, sayang, aku puas!” bisiknya sambil berusaha mengatur nafas.
3 menit kemudian kunaiki tubuh sintal Halimah, kembali kami saling berpagutan erat. Kami sama-sama menghisap dan saling bertukar air liur. Lidah Halimah berkali-kali kuhisap. Wajahku lalu turun, tepat di depan gundukan payudaranya. Puting Halimah yang berwarna hitam kecoklatan dan panjang kuhisap bergantian.
“Yangg, mmmff… hisap sekali dua,” desah Halimah sambil merapatkan kedua payudaranya. Aku membantu agar putingnya dempet, lalu kuhisap secara berbarengan.
“Oughh… enak, yang,” desah Halimah. Aku terus menghisap kedua putingnya sambil meremas-remas gundukan payudaranya.
“Yang…” panggil Halimah.
“Iya, say…” jawabku.
“Entotin memekku!” pinta Halimah manja.
Kutatap mata Halimah dan kucium matanya yang selalu bisa membuatku terpesona, lalu kutekuk kaki Halimah dan kulebarkan pahanya, selanjutnya kuarahkan penisku ke kemaluan Halimah yang berwarna merah kecoklatan dan ditumbuhi bulu yang sangat lebat. Kemaluan Halimah sedikit dower dan keriput. Kutekan perlahan penisku sampai kandas, dengan mudah seluruh penisku tertelan oleh kemaluannya. Pertama masuk aku belum merasa apa-apa. Lalu mulai kugoyang pantatku naik-turun.
”Uhh…” barulah kurasakan empotan kemaluan Halimah, penisku seakan dipijit dan disedot-sedot. Lobang kemaluan Halimah ternyata sangat sempit, begitu berbeda dengan bentuk permukaannya yang sedikit keriput.
Halimah mendesah sangat kuat, “Aughh… oughh… goyang, sayang… goyang terus… aghhh!!” rintihnya.
Aku menghentikan goyanganku. ”Hei, suaranya jangan keras gitu, malu didengar orang.” kataku.
“Gak apa-apa, sayang, kamar ini kedap suara. Rasanya enak kalau sambil teriak-teriak,” jawab Halimah dan memintaku untuk kembali menggoyangnya. “Ayo, sayang, entotin memekku lagi kayak tadi.”
Kembali kusodok-sodok kemaluan Halimah dengan penisku.
“Ouhh… kontolmu enak, sayang… kontolmu peret… kontolmu… ohh!!!” desah Halimah putus-putus.
Benar kata Halimah, sensasinya agak berbeda dengan mendesah kuat. Aku semakin bernafsu mendengar desahannya, ditambah Halimah yang sangat piawai menjepit penisku dengan kemaluannya. Jadi kupercepat goyanganku, mungkin 10 tusukan per detik. Halimah menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Oh sayang… aahh… aahh… aku gak kuat!!” erangnya sambil menaikkan tubuhnya setengah duduk.
Karena sodokanku terlalu kencang, perutku jadi sedikit sakit. Aku berhenti lalu turun dari ranjang. Kusuruh Halimah untuk menungging di bibir kasur, aku mengambil dua bantal dan meletakkannya di bawah perut Halimah. Dengan posisi setengah berdiri, kumasukkan penisku ke lobang kemaluannya dari belakang. Posisi ini terasa lebih nikmat, jepitan kemaluan Halimah jadi sangat terasa. Aku pun mulai mempercepat sodokanku.
“Mffhh… oghh… sayang, lebih kenceng lagi!” desah Halimah.
Kupercepat lagi tusukan penisku, Halimah membalas dengan menggoyang pantatnya naik turun dan mendesah kuat-kuat. Aku pun ikut memekik keenakan. “Oh sayang… memekmu sempit…” desahku.
“Kontolmu juga besar sekali, sayang… entotin terus memekku, entotin terus… aaah…” jawab Halimah.
Aku makin mempercepat goyanganku dan pinggang Halimah kupegang, kutekan kuat-kuat ke arah penisku. “Oh sayang… mmfffh… aahh… aku keluar… kontolku keluar!!” desahku panjang saat spermaku menyembur di dalam kemaluan Halimah.
Aku menghentikan goyanganku dan menekan kuat pantatku, kunikmati sampai tetes terakhir spermaku. Halimah tidak mau kalah, dia juga menggoyang-goyangkan pantatnya. Aku sudah tak kuat lagi membalasnya, kedutan-kedutan di ujung penisku terasa geli. Kubiarkan terus sampai ukuran penisku mengecil.
“Tanggung, sayang… dikit lagi aku nyampe,” kata Halimah sambil menggoyang-goyang pantatnya.
Aku tidak mau mengecewakannya, jadi kupaksa penisku untuk kembali menusuk lobang kemaluannya. Kugoyang pantatku dengan kencang, walau rasa geli yang teramat sangat kurasakan.
“Ohh… ohh… memekku… memekku enak, sayang… aah!!” Halimah mendorong pantatnya ke arahku. Aku makin merasakan jepitan kemaluannya, makin terasa kuat dan hangat.
“Oouuhhh… sayang, aku keluarrrgghhh!!!” desah Halimah panjang.
Aku menjatuhkan diri di kasur karena lututku terasa kebas, dan kami beristirahat selama setengah jam sambil berpelukan mesra. Kemudian kami melanjutkan bercinta sampai 6 kali hari itu, sampai spermaku keluar hanya setetes, bahkan aku berjalan mengambil air minum dengan ngesot karena saking tidak kuat lagi.
Tiga bulan setelah pernikahanku, Halimah pun hamil. Aku semakin bahagia. Ditambah lagi aku sudah bekerja di sebuah toko sparepart alat berat sebagai mekanik. Walaupun posisiku sebagai freeland, tapi pendapatanku lumayan banyak dikarenakan banyaknya perusahaan-perusahaan memilih jasa kami dibanding jasa layanan ternama. Kasih sayang Halimah padaku tak pernah berkurang, aku memang tidak salah memilihnya. Bahkan Fitri sudah dianggap sebagai anaknya sendiri. Fitri sangat dimanjakan, apapun kemauannya selalu dipenuhi.
“Pah, lusa ikut ya, mama ngidam jeruk nih, tapi pengen petik dari pohonnya.” kata Halimah yang sudah memanggilku papa.
“Aduh, gimana ya, maa… papa ada kerjaan, gak enak sama si bos kalau ditinggal.” jawabku.
“Ohh, ya udah, gak apa-apa. Tapi lain kali ikut ya, Pa, hehehe…” pinta Halimah.
“Iya deh, papa janji.” jawabku sambil menciumnya.
Dua hari kemudian, tepatnya hari minggu, Halimah, Fitri dan mertuaku pergi ke suatu tempat yang banyak pohon jeruknya, tidak jauh dari rumahku, paling 30 menit perjalanan dengan mobil. Aku yang hari itu tidak bisa ikut karena pekerjaanku yang harus memaksaku menyiapkan dalam waktu singkat.
“Ma, hati-hati ya nyetirnya.” kataku saat melepas kepergian mereka.
“Iya deh, Pa… papa gak usah khawatir.” jawab Halimah.
“Ingat, makannya jangan kebanyakan, ntar perutnya jadi besar pula belum waktunya.” kataku bercanda.
“Hahaha…” Fitri dan mertuaku tertawa, Halimah membalasnya dengan mengeluarkan lidahnya seperti mengejek.
Tak berapa lama mereka pamitan, aku melambaikan tangan penuh bahagia.
Pukul tiga sore handphoneku berdering, kulihat nomor Halimah, lalu kuangkat, “Halo, sayang… udah sampai?” tanyaku dari telepon.
“Maaf, Pak, ini Pak Adit?” jawab seseorang. Aku terkejut karena yang menjawab adalah seorang laki-laki.
“Iya, saya sendiri. Ini siapa ya?” tanyaku.
“Maaf, Pak, kami dari kepolisian. Keluarga bapak mengalami kecelakaan dan sekarang sudah berada di rumah sakit Santa Maria.” jawabnya.
Aku merasa linglung, tiba-tiba pandanganku seakan kabur, kakiku tidak bisa lagi menopang tubuhku, “Tidaaaaaakkkkk!!!” aku menjerit keras dan berlari sekuat tenaga, kuhampiri temanku untuk meminjam motornya.
Aku tidak peduli lagi, kugas kencang-kencang, lampu merah kuterobos, bahkan aku tidak mempedulikan kejaran polisi di belakangku, sampai dia kehilangan jejakku. Tak berapa lama aku sampai di rumah sakit yang dimaksud, aku bertanya pada suster yang ada di loby rumah sakit, mereka mengantarku ke ruang UGD.
“Maaf, Pak, bapak keluarganya bu Halimah?” tanya polisi yang ada di luar ruangan UGD.
“Iya, Pak, saya suaminya.” jawabku sambil mengintip dari kaca pintu.
Seorang suster keluar. “Suster, gimana keadaan mereka?” tanyaku.
“Maaf, Pak, ibu yang tua apa orang tua bapak?” tanya suster itu.
“Bukan, dia mertua saya.” jawabku.
“Sekali lagi maaf, Pak, mertua bapak telah meninggal.” katanya. Aku syok mendengarnya, sampai aku jatuh berlutut.
Dengan dibantu oleh kerabat-kerabat terdekat dan yang bersuka rela membantuku, aku memakamkan mertuaku di TPU setempat. Setelah pemakaman aku langsung ke rumah sakit lagi, karena hari ini juga Halimah naik ke meja operasi. Sesuai hasil rontgen, jantung Halimah bocor akibat tusukan tulang rusuknya yang patah.
Menurut saksi mata dan hasil investigasi dari kepolisian, terjadinya kecelakaan disebabkan oleh sebuah truk gandeng yang membawa muatan kayu Akasia melebihi kapasitas, oleng dan jatuh menimpah mobil istriku yang datang secara berlawanan. Halimah, Fitri dan mertuaku terjepit di dalam mobil hingga proses evakuasi berlangsung lama.
Aku gelisah, gundah gulana. Lebih dari 5 jam aku menunggu diluar ruangan dimana Halimah dioperasi. Rasa lapar dan lelah tidak kupedulikan lagi, setiap nafas kupanjatkan doa. Air mataku habis sudah, tidak ada tersisa untuk kutangisi. Fitri masih koma dan masih menunggu hasil pemindaian otaknya, rupanya atap mobil yang ringsek menjepit kepalanya, suatu keajaiban dia masih bertahan hidup.
“Pak Adit, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Ibu Halimah terluka parah, selain jantung, kaki bu Halimah mengalami patah tulang.” kata dokter menjelaskan keadaan Halimah.
Apa yang harus kujawab? Apa yang harus aku lakukan? Aku hanya bisa mencengkeram rambutku seperti orang stres, tak ada yang dapat kulakukan selain meringkuk di dinding, “Tuhan, jangan ambil dia dariku!” doaku dalam tangis.
Aku mendengar beberapa orang kerabat mencoba menguatkanku, tapi percuma saja, karena apa yang mereka ucapkan sama sekali tidak kusimak. Aku larut dalam kesedihan, sampai aku merasa aku tidak mempunyai tenaga lagi untuk menahan tubuhku.
Selama empat hari setelah Halimah dioperasi, belum ada tanda-tanda dari positif. Selama empat hari itu juga aku hanya makan roti dan sebotol aqua. Fitri rencananya mau dipindahkan ke rumah sakit Pertamina hari ini. Pikiranku mulai kalut, seperti orang tidak waras, kadang aku berbicara sendiri, senyum lalu menangis. Aku merasa terganggu bila melihat orang, rasanya aku ingin mati.
Kutatap tubuh Halimah yang terbaring lemas, selang infus, selang darah, juga selang angin, serta perban yang hampir menutupi seluruh tubuhnya. Bibirku gemetar, aku bahkan tak kuat untuk berbicara, hingga monitor indikator pendeteksi jantuk Halimah berdengung panjang. Kulihat garis lurus menandakan bahwa Halimah sudah tiada. Jiwaku seakan melayang, kuucapkan Iinnalilahiwainnailahirojiun dalam hatiku yang terpukul.. Aku berjalan mundur sampai punggungku menabrak dinding, kutatap Halimah dari kejauhan. Seketika aku menjadi panik, keluar dari kamar, berlari sekuat tenaga. Aku tidak peduli akan orang-orang yang kutabrak, aku tidak tahu bagaimana bisa mendapat kekuatan. Aku berlari menuju rumahku.
“Tidaaaakkkkkkkkkk…!!! Mengapa kau ambil dia dariku…!!!” aku menjerit sekuatnya, aku menangis histeris sampai aku menelan ingusku yang keluar. Kupecahkan kaca lemari, semua benda yang ada di dekatku kubanting, sampai akhirnya para tetangga menenangkanku. Aku lalu tidak sadarkan diri.
Di bawah batu nisan Halimah aku berbaring, memeluk makamnya. Aku mengenang masa-masa bahagia bersama dirinya. Aku menyesal tidak ikut waktu Halimah mengajakku minggu itu, seandainya aku ikut mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi.
“Oh sayang, mengapa kau tinggalkan aku? Mengapa kau biarkan aku sendiri? Halimaaahhh…!!!”
“Pak, sudah maghrib, mari kita pulang.” ajak Pak Andi, tetanggaku. Aku tidak meresponnya, hingga aku terpaksa digotong agar mau pulang.
Pada malam harinya aku tidak bisa tidur walaupun sudah jam 3 subuh. Kubuka lemari baju Halimah, semua bajunya kubongkar sampai pakaian dalamnya juga. Kuambil guling, celana dalam g-string warna hitam yang kubeli sebulan yang lalu buat Halimah kupakaikan di bantal guling, juga pasangan bh nya kupakaikan di ujung yang satunya lagi. Kupilih baju tidur Halimah yang menjadi kesukaanku, kupakaikan di guling itu. Lalu perlahan kuletakkan di sisiku, kupeluk pelan.
“Sayang, aku mencintaimu… muachh!!” kucium bantal yang kutaroh di atas guling yang kuanggap sebagai wajah istriku.
***
Tiga bulan sepeninggal Halimah, keadaanku masih labil, syok, dan tidak bergairah. Keseharianku kuhabiskan untuk menemani Fitri yang masih koma, aku membutuhkan keajaiban, kemurahan hati dari sang pencipta untuk menyembuhkan Fitri.
”Dear diary, besok papaku akan menikah dengan tante Imah. Aku sangat bahagia, bahagia sekali. Pa, aku sangat menyayangimu, mencintaimu dari segenap hatiku, tubuhku. Malam bisa saja berganti pagi, mentari bisa saja bosan menyiangi bumi, namun cintaku pada papa akan selamanya tetap abadi. Love forever papaku tercinta.”
Air mataku seakan habis membaca isi diary Fitri, aku sangat beruntung bisa hidup bersamamu, menjagamu, membesarkanmu. Kamu adalah sisa semangatku, sadarlah nak, izinkan papa melihatmu bahagia sekali lagi. izinkan papa melihat senyumanmu.
END
Author : Kamar 108

UMI ANIS

Teng! Jam dinding berdentang satu kali. Malam semakin larut, tapi Anis masih duduk di ruang tengah. Sejak tadi matanya sulit terpejam. Baru beberapa jam yang lalu Ibu Mas Iqbal, suaminya, menelepon, “Nis, Alhamdulillah, barusan ini keponakanmu bertambah lagi…” suara ibu terdengar sumringah di ujung sana.”Alhamdulillah… laki-laki atau perempuan, Bu?” Anis tergagap, kaget dan senang. Sudah seminggu ini keluarga besar Mas Iqbal memang sedang berdebar-debar menanti berita Dini, adik suaminya, yang akan melahirkan.

hijaber hot (1)

“Laki-laki. Cakep lho, Nis, mirip Mas-mu waktu bayi…” Ibu tertawa bahagia. Dini memang adik yang termirip wajahnya dengan Mas Iqbal.
“Selamat ya, Bu, nambah cucu lagi. Salam buat Dini, Insya Allah besok pulang kerja, Anis dan Mas Iqbal akan jenguk ke rumah sakit.” janji Anis sebelum menutup pembicaraan dengan Ibu yang sedang menunggu Dini di rumah sakit.
Setelah menutup telepon, Anis termenung sesaat. Ia jadi teringat usia pernikahannya yang telah memasuki tahun ke lima, tapi belum juga ada tangis si kecil menghiasi rumah mereka. Meskipun demikian ia tetap ikut merasa sangat bahagia mendengar berita kelahiran anak kedua Dini di usia pernikahan mereka yang baru tiga tahun.
“Kok melamun?!” Mas Iqbal yang baru keluar dari kamar mandi mengagetkannya. Ia memang pulang agak malam hari ini, ada rapat di kantor katanya. Air hangat untuk mandinya sempat Anis panaskan dua kali tadi.
“Mas, ibu tadi mengabari, Dini sudah melahirkan. Bayinya laki-laki,” cerita Anis.

“Alhamdulillah… Dila sudah punya adik sekarang,” senyum Mas Iqbal sambil mengeringkan rambutnya, tapi entah mengapa Anis menangkap ada sedikit nada getir dalam suaranya. Anis menepis perasaannya sambil segera menata meja menyiapkan makan malam.

Selepas Isya’an bersama, Mas Iqbal segera terlelap, seharian ini ia memang lelah sekali. Anis juga sebenarnya agak lelah hari ini. Ia memang beruntung, selepas kuliah dan merasa tidak nyaman bekerja di kantor, Anis memutuskan untuk membuat usaha sendiri saja.
hijaber hot (2)
Dibantu temannya yang seorang notaris, akhirnya Anis mendirikan perusahaan kecil-kecilan yang bergerak di bidang design interior. Anis memang berlatar pendidikan bidang tersebut, ditambah lagi ia punya bakat seni untuk merancang sesuatu menjadi indah dan menarik. Bakat yang selalu tak lupa disyukurinya. Keluarga dan teman-teman banyak yang mendukungnya, akhirnya sekarang ia sudah memiliki kantor mungil sendiri tidak jauh dari rumahnya.
Dan, seiring dengan kemajuan dan kepercayaan yang mereka peroleh, perusahaannya sedikit demi sedikit mulai dikenal dan dipercaya masyarakat. Tapi Anis merasa itu tidak terlalu melelahkannya, semua dilakukan semampunya saja, sama sekali tidak memaksakan diri, malah menyalurkan hobi dan bakatnya merancang dan mendesign sesuatu sekaligus mengisi waktu luangnya. Beberapa karyawan yang sigap dan cekatan membantunya. Malah sekarang sudah ada beberapa designer interior lain yang bergabung di perusahaan mungilnya.
Itu sebabnya sesekali saja Anis agak sibuk mengatur ketika ada pesanan mendesign yang datang, selebihnya teman-teman yang mengerjakan. Waktu Anis terbanyak tetap buat keluarga, mengurus rumah atau masak buat Mas Iqbal meski ada Siti yang membantunya di rumah, menurutnya itu tetap pekerjaan nomor satu. Anis juga bisa tetap rutin mengaji mengisi ruhaniahnya. Namun karena kegiatannya itu, biasanya ia tidur cepat juga, tapi malam ini rasa kantuknya seperti hilang begitu saja. Berita dari ibu tadi membuat Anis teringat lagi. Teringat akan kerinduannya menimang si kecil, buah hatinya sendiri.
Lima tahun pernikahan adalah bukan waktu yang sebentar. Awalnya Anis biasa saja ketika enam bulan pertama ia tak kunjung hamil juga, ia malah merasa punya waktu lebih banyak untuk suaminya dan merintis kariernya. Seiring dengan berjalannya waktu dan tak hentinya orang bertanya, dari mulai keluarga sampai teman-temannya, tentang kapan mereka menimang bayi, atau kenapa belum hamil juga, Anis mulai khawatir. Fitrahnya sebagai wanita juga mulai bertanya-tanya, apa yang terjadi pada dirinya, atau kapan ia hamil seperti juga pasangan-pasangan lainnya…
Atas saran dari banyak orang, Anis mencoba konsultasi ke dokter kandungan. Seorang dokter wanita dipilihnya. Risih juga ketika menunggu giliran di ruang tunggu klinik, pasien di sekitarnya datang dengan perut membuncit dan obrolan ringan seputar kehamilan mereka. Atau ketika salah seorang diantara mereka bertanya sudah berapa bulan kehamilannya.
“Saya tidak sedang hamil, hanya ingin konsultasi saja…” senyum Anis sabar meski dadanya berdebar, sementara Mas Iqbal semakin pura-pura asyik dengan korannya. Anis bernafas lega ketika dokter menyatakan ia sehat-sehat saja. Hindari stress dan lelah, hanya itu nasehatnya.
Setahun berlalu. Di tengah kebahagiaan rumah tangganya, ada cemas yang kian mengganggu Anis. Kerinduan menimang bayi semakin menghantuinya. Sering Anis gemas melihat tingkah polah anak-anak kecil disekitarnya, dan semakin bertanya-tanya apa yang terjadi dengan dirinya. Setelah itu mulailah usaha Anis dan suaminya lebih gencar dan serius mengupayakan kehamilan. Satu demi satu saran yang diberikan orang lain mereka lakukan, sejauh itu baik dan tidak melanggar syariat agama. Beberapa dokter wanita juga kadang mereka datangi bersama, meski lagi dan lagi, sama saja hasilnya. Sementara hari demi hari, tahun demi tahun terus berlalu.
Kadang Anis menangis ketika semakin gencar pertanyaan ditujukan padanya atau karena cemas yang kerap mengusik tidurnya. Mas Iqbal selalu sabar menghiburnya, “Anis, apa yang harus disedihkan? Dengan atau tanpa anak, rumah tangga kita akan berjalan seperti biasa. Aku sudah sangat bahagia dengan apa yang ada sekarang. Insya Allah tidak akan ada yang berubah dalam rumah tangga kita…” kata Mas Iqbal suatu ketika seperti bisa membaca jalan pikirannya.
hijaber hot (3)
Suaminya memang tahu kapan Anis sedang mendalam sedihnya dan harus dihibur agar tidak semakin larut dalam kesedihan. Di saat-saat seperti itu memang cuma suaminya yang paling bisa menghiburnya, tentu saja disamping do’a dan berserah dirinya pada Tuhan. Kadang Anis heran kenapa Mas Iqbal bisa begitu sabar dan tenang, seolah-olah tidak ada apapun yang terjadi. Dia selalu ceria dan optimis seperti biasa. Apakah memang pria tidak terlalu memasukkan unsur perasaannya atau mereka hanya pintar menyembunyikan perasaan saja? Anis tidak tahu, yang pasti sikap Mas Iqbal banyak membantu melewati masa-masa sulitnya.
Sebenarnya Anis juga bukan selalu berada dalam kondisi sedih seperti itu. Sesekali saja ia agak terhanyut oleh perasaannya, biasanya karena ada faktor penyulutnya, yang mengingatkan ia akan mimpinya yang belum terwujud itu. Selebihnya Anis bahagia saja, bahkan banyak aktivitas atau prestasi yang diraihnya. Buatnya tidak ada waktu yang disia-siakan. Selagi sempat, semua peluang dan kegiatan positif dilakukannya. Kadang-kadang beberapa teman menyatakan kecemburuannya terhadap Anis yang bisa melakukan banyak hal tanpa harus disibuki oleh rengekan si kecil. Anis tersenyum saja.
Anis juga tidak pernah menyalahkan teman-temannya kalau ketika sesekali bertemu obrolan banyak diisi tentang anak dan seputarnya. Buatnya itu hal biasa, usia mereka memang usia produktif. Jadi wajar saja kalau pembicaraan biasanya seputar pernikahan, kehamilan, atau perkembangan anak-anak mereka yang memang semakin lucu dan menakjubkan, atau cerita lain seputar itu. Biar bagaimanapun Anis menyadari menjadi ibu adalah proses yang tidak mudah dan perlu belajar atau bertukar pengalaman dengan yang lain.
Tapi kadang-kadang, sesekali ketika Anis sedang sedih, rasanya ia tidak mau mendengar itu dulu. Anis senang juga jika ada yang berusaha menjaga perasaannya diwaktu-waktu tertentu, dengan tidak terlalu banyak bercerita tentang hal tersebut, bertanya, atau malah menyemangati dengan do’a dan dukungan agar sabar dan yakin akan datangnya si kecil menyemarakkan rumah tangganya.
Anis tersadar dari lamunannya. Diminumnya segelas air dingin dari lemari es. Sejuk sekali. Meskipun malam tapi udara terasa pengap. Anis meneruskan tidurnya. Dalam lelap ia bermimpi bermain bersama beberapa gadis kecil. Senang sekali.
***Siang keesokan harinya, Anis sedang merancang sebuah ruang pameran di kantornya. Ada festival Islam yang akan digelar, mungkin karena tidak banyak designer interior berjilbab rapi seperti Anis, ia dipercaya merancangnya. Ketika sedang mencorat-coret gambar, Fitri mengejutkannya, “Mbak Anis, ada tamu yang mau bertemu.”

hijaber hot (4)

“Dari mana, Fit?” tanya Anis.
“Katanya dari Yayasan Amanah, mbak, tanya soal aplikasi mbak Anis bulan kemarin.”
“Oh itu. Iya deh, saya ke depan sepuluh menit lagi.” jawab Anis.
Setelah berbincang-bincang dengan tamunya, akhirnya Anis menyepakati mengangkat salah satu anak yatim yang diasuh yayasan tersebut sebagai putra asuhnya. Namanya Safiq. Anis memang selalu menyisihkan rezekinya untuk mereka yang membutuhkan. Dan kali ini, ia berniat untuk menyantuni dan mengasuh Safiq seperti anaknya sendiri, itupun setelah dimusyawarahkan dengan suaminya. Anis berharap, dengan begitu ia bisa cepat hamil. Ibu-ibu banyak yang mengatakan, mungkin Anis perlu ’pancingan’ agar bisa lekas dapat momongan.
Begitulah, mulai saat itu, Safiq yang berusia 12 tahun, tinggal bersama Anis dan Iqbal.
Mempunyai ’anak’, membawa banyak hikmah bagi Anis. Ia jadi semakin teliti dan perhatian. Apapun kebutuhan Safiq berusaha ia penuhi. Mulai dari baju hingga mainan, juga kebutuhan sekolah bocah itu yang tahun depan mau masuk SMP. Anis juga mencurahkan seluruh kasih sayangnya pada Safiq, hingga mas Iqbal yang merasa tersisih, sempat melayangkan protes sambil bercanda, ”Hmm, gimana kalau punya anak beneran ya, bisa-bisa aku nggak boleh tidur di kamar.”
Anis cuma tertawa menanggapinya. ”Ah, mas bisa aja.” dia mencubit pinggang laki-laki itu. Dan selanjutnya merekapun bergumul di ranjang untuk memuaskan satu sama lain, sambil berharap persetubuhan kali ini akan membuahkan hasil.
Esok paginya, seperti biasa, Anis menyiapkan sarapan bagi Safiq. Tidak terasa, sudah hampir tiga bulan bocah itu tinggal bersamanya. Dan Anis merasa senang sekaligus bersyukur, karena pilihannya ternyata tidak salah, Safiq sangat pintar dan baik. Anak itu tidak nakal, sangat menurut meski agak sedikit pendiam. Hanya kepada Anis lah ia mau berbincang, sedangkan dengan mas Iqbal, Safiq seperti menjaga jarak.
”Kenapa, Fiq?” tanya Anis menanyakan sebabnya saat mereka sarapan bersama. Saat itu mas Iqbal sudah berangkat ke kantor, sedangkan Safiq masuk siang.
Bocah itu terdiam, hanya jari-jari tangannya yang bergerak memainkan bulatan bakso di atas nasi gorengnya.
”Tidak apa-apa, ngomong saja sama Umi.” kata Anis. Dia memang menyuruh Safiq untuk memanggilnya dengan panggilan ’Umi’ sedangkan untuk mas Iqbal ’Abi’.
”Ah, nggak, Mi.” Safiq masih tampak takut.
Anis menatapnya. Di usianya yang baru beranjak remaja, bocah itu terlihat tampan. Kalau besar nanti, pasti banyak gadis yang akan terpikat kepadanya. ”Umi nggak akan marah.” kata Anis lagi, penuh dengan sabar.
Safiq menggeleng, dia menundukkan kepalanya semakin dalam.
Kasihan, Anis pun mendekatinya. ”Tidak apa-apa kalau kamu nggak mau bilang, umi nggak akan maksa.” Dipeluknya bocah kecil itu, diletakkannya kepala Safiq di atas gundukan buah dadanya. Ia biarkan Safiq menangis di situ.
”Maaf kalau Umi sudah membuatmu takut.” ucap Anis penuh nada penyesalan, ia memang tidak berharap perbincangan ini akan berakhir seperti itu.
Lama mereka berpelukan, hingga Anis merasa tangis Safiq perlahan mereda dan akhirnya benar-benar berhenti. Ia sudah akan melonggarkan dekapannya saat merasakan sesuatu yang lembut mengendus dan menyundul-nyundul pelan buah dadanya. Ah, Safiq! Apa yang kamu lakukan? Anis memang cuma mengenakan daster longgar saat itu, hanya saat keluar rumah atau ada tamu pria, ia mengenakan jilbab. Dengan pakaian seperti ini, bibir Safiq yang bermain di belahan payudaranya sungguh sangat-sangat terasa.
Cepat Anis melirik ke bawah, dilihatnya si bocah yang kini berusaha mencium dan menyusu ke arah buah dadanya. ”Safiq!” Anis menegur, tapi dengan suara dibuat selembut mungkin, takut membuat bocah itu kembali mengkerut. Padahal dalam hati, Anis benar-benar mengutuk aksinya yang sudah kurang ajar.
Safiq mendongakkan kepala, ”M-maaf, Mi.” suaranya parau, sementara tubuhnya gemetar pelan.
Tak tega, Anis segera memeluknya kembali. ”Tidak apa-apa, tapi jangan diulang lagi ya. Itu tidak boleh.” ia membelai rambut Safiq penuh rasa sayang.
Safiq mengangguk. ”Maaf, Mi. Safiq cuman pengen tahu gimana rasanya nenen.”
Anis terkejut, ”Emang kamu belum pernah?” tanyanya tak percaya.
”Safiq kan yatim piatu dari kecil, Mi. Jangankan nenen, siapa ibu Safiq aja nggak ada yang tahu. Safiq ditinggal di depan pintu yayasan.” jawab bocah itu dengan getir.
Anis meneteskan air mata mendengarnya, ia mendekap dan mengelus kepala Safiq lebih erat lagi. Setelah terdiam cukup lama, Anis akhirnya membuka suara, ”Bener kamu pengen nenen?” tanyanya dengan suara berat. Keputusan sudah ia ambil, meski itu awalnya begitu berat.
Safiq menganggukkan kepala.
”Janji ya, cuma nenen?” tanya Anis sambil memandang matanya.
”I-iya, Mi.” angguk Safiq cepat.
”Dan jangan ceritakan ini sama orang lain, termasuk pada Abi. Karena anak sebesar kamu sudah tidak seharusnya nenen pada Umi, ini tidak boleh.  Tapi karena kasihan, Umi terpaksa mengabulkannya.” terang Anis, terbersit nada getir dalam suaranya.
”Iya, Mi. Safiq janji.” kata bocah kecil itu.
Begitulah, dengan perlahan Anis pun menurunkan dasternya hingga buah dadanya yang besar terlihat jelas. Meski masih tertutup BH, benda itu tampak begitu indah. Ukurannya yang di atas rata-rata membuatnya jadi tampak sesak. Anis segera membuka cup BH-nya, tanpa ada yang menyangga, bulatan kembar itupun terlontar dengan kerasnya hingga sanggup membuat mata bulat Safiq makin melotot lebar.
”M-mi…” Safiq memanggil, tapi pandangannya sepenuhnya tertuju pada area dada sang ibu angkat yang kini sudah terbuka lebar, siap untuk ia jamah.
”Ayo, katanya mau nenen?” kata Anis sambil menarik salah satu bulatan payudaranya ke depan, memberikan putingnya yang merona merah pada Safiq.
Tahu ada benda mulus menggiurkan yang mendekat ke arah mulutnya, Safiq pun membuka bibir, dan mencaplok puting Anis dengan perlahan, ”Ahm…” lenguh mereka berdua hampir bersamaan. Anis kegelian karena ada lidah basah yang melingkupi ujung payudaranya, sedangkan Safiq merasa nikmat mendapat benda yang selama ini ia idamkan-idamkan. Lidahnya terus menari membelai puting payudara Umi-nya, sedangkan bibirnya terus mengecap untuk mencucup dan menghisap-hisapnya.
”Ah, jangan keras-keras, Fiq. Sakit!” desis Anis di sela-sela jilatan sang anak angkat. Ia mulai merasa merinding, jilatan Safiq mengingatkannya pada mas Iqbal, yang biasa melakukannya sebelum mereka tidur. Meski aksi Safiq terasa agak sedikit kaku, tapi sensasi dan rasanya tetaplah sama.
Sementara itu, Safiq dengan tak sabar dan penasaran terus menyusu. Mulutnya dengan liar bermain di gundukan payudara Anis. Tidak cuma yang kiri, yang kanan juga ia perlakukan sama. Kadang Safiq malah membenamkan wajahnya di belahan payudara Anis yang curam, dan membiarkan mukanya dikempit oleh bulatan kenyal itu, sambil tangannya mulai meremas-remas ringan.
hijaber hot (5)
”Ah, Fiq.” rintih Anis mulai tak sadar. Ia menekan kepala bocah itu, berharap Safiq mempermainkan payudaranya lebih keras lagi.
Safiq yang gelagapan berusaha mencari udara, digigitnya salah satu puting Anis hingga umi-nya itu menjerit kesakitan.
”Auw, Fiq! Apaan sih, sakit tahu!” Anis mendelik marah, tapi melihat muka Safiq yang memerah dan nafasnya yang ngos-ngosan, iapun akhirnya mengerti. ”Eh, maaf. Umi nggak tahu.”
”Gak apa-apa, Mi.” Safiq tersenyum, kedua tangannya masih hinggap di dada Anis dan terus meremas-remas ringan disana.
”Gimana, kamu suka?” tanya Anis sambil membelai kepala Safiq penuh rasa sayang.
Si bocah mengangguk, ”Iya, Mi.”
”Mau lagi?” tanya Anis.
Safiq mengangguk, senyumnya terlihat semakin lebar.
”Kalau begitu, ayo sini.” Anis pun menarik kepala bocah itu dan ditaruhnya kembali ke atas gundukan payudaranya.
Begitulah, sampai siang, Safiq terus menyusu di bongkahan payudara Anis, sang ibu angkat yang masih berusia muda, tidak lebih dari 30 tahun. Dengan payudara yang masih mulus sempurna, Safiq benar-benar dimanjakan. Ia menjadi bocah yang paling beruntung di dunia. Sementara Anis juga merasa senang karena kini ia menjadi semakin intim dan akrab dengan sang putra angkat yang sangat ia sayangi.
***
Rutinitas itu terus berlangsung. Kapanpun dan dimanapun Safiq ingin, asal tidak ada orang -terutama mas Iqbal- Anis dengan senang hati menyusuinya. Dan seperti yang sudah dijanjikan, Safiq memang tidak pernah meminta lebih. Bocah itu cuma meremas dan menghisap, tidak macam-macam. Ditambah lagi, sama sekali tidak ada nafsu ataupun birahi dalam setiap jilatannya, Safiq benar-benar murni melakukannya karena pengen nenen. Anis jadi merasa aman.
Tapi semua itu berubah saat Safiq naik ke jenjang SMP…
Umur yang bertambah membuat pikiran bocah itu semakin berkembang. Dari yang semula cuma nenen biasa, kini berubah menjadi jilatan mesra yang sangat lembut namun sangat menggairahkan. Remasan bocah itu juga semakin bervariasi; kadang keras, kadang juga lembut. Kalau menghisap puting yang kiri, Safiq memijit dan memilin-milin yang kanan, begitu pula sebaliknya. Tak jarang Safiq mendempetkan dua puting itu dan menghisapnya dalam satu waktu. Pendeknya, Safiq sekarang sudah tumbuh menjadi remaja yang tahu apa arti seks yang sesungguhnya.
Anis bukannya tidak mengetahui hal itu. Ia sudah bisa menebaknya saat melihat penis Safiq yang sedikit ereksi saat mereka sedang melakukan ’ritual’ itu. Tapi Anis pura-pura tidak tahu dan mendiamkannya saja. Toh Safiq juga tidak berbuat macam-macam, anak itu tetap ’sopan’. Malah Anis yang panas dingin, itu karena ukuran penis Safiq yang saat ini sudah melebihi punya mas Iqbal, padahal usia bocah itu masih sangat muda. Gimana kalau nanti sudah besar… ah, Anis tidak kuat membayangkannya.
Esoknya, saat membangunkan Safiq untuk sholat subuh, Anis disuguhi pemandangan baru lagi. Saat itu Safiq masih tertidur lelap, tapi tidak demikian dengan penisnya. Benda itu sedang berdiri dan menjulang begitu tegarnya. Sempat Anis terpana dan terpesona untuk beberapa saat, tapi setelah bisa menguasai diri, ia segera membangunkan sang putra, ”Fiq, ayo sholat dulu.”
Safiq cuma menggeliat lalu meneruskan tidurnya. Anis jadi tergoda. Apalagi sekarang di depannya, penis Safiq jadi kelihatan lebih menantang. Ukurannya yang begitu besar membuat Anis tercengang, dengan warna coklat kehitaman dan ‘kepala’ yang masih kelihatan imut (Safiq baru bulan kemarin disunat), benda itu jadi terasa seperti magnet bagi Anis. Tanpa terasa perlahan jari-jarinya terulur dan mulai menggenggamnya. Ia memperhatikan wajah sang putra angkat, Safiq terlihat tenang saja, matanya tetap terpejam rapat sambil menikmati tidur pulasnya.
Dengan hati berdebar dan penuh perhitungan, takut dipergoki oleh sang suami -juga takut bila Safiq tiba-tiba bangun- Anis mulai mengocok benda panjang itu perlahan-lahan. Saat diperhatikannya Safiq tetap tertidur, malah bocah itu seperti menikmatinya -terlihat dari desah nafasnya yang semakin memburu dan tarikan lirih karena terangsang- Anis pun mempercepat kocokannya. Hingga tak lama kemudian berhamburan cairan putih kental dari ujungnya. Safiq ejakulasi. Yang gilanya, akibat rangsangan Anis, ibu angkatnya sendiri.
Merasa sangat bersalah, dengan tergopoh-gopoh Anis segera membersihkannya. Saat itulah, Safiq tiba-tiba terbangun. ”Eh, umi…” gumamnya tanpa tahu apa yang terjadi.
Anis mengelap sisa sperma Safiq ke ujung dasternya, ”Ayo sholat dulu, sayang.” katanya dengan nada suara dibuat senormal mungkin, padahal dalam hati ia sangat berdebar-debar.
Safiq memperhatikan cairan putih kental yang berceceran di perutnya. Untuk yang ini, Anis tidak sempat membersihkannya. ”Ini apa, Mi?” Safiq mengambil cairan itu dan mempermainkan di ujung jarinya, lalu mengendusnya ke hidung. ”Ih, baunya aneh.” bocah itu nyengir.
Anis tersenyum, ”Tidak apa-apa, itu tandanya kamu sudah mulai dewasa.”
Safiq memandang umi-nya, ”Dewasa? Safiq nggak ngerti. Maksud Umi apaan?” tanyanya.
”Nanti Umi jelaskan, sekarang mandi dulu ya.” Anis membimbing putra kesayangannya turun dari ranjang.
Safiq menggeleng, ”Nggak mau ah, Mi. Dingin!”
”Eh, harus. Kalau nggak, nanti badanmu kotor terus. Ini namanya mandi besar.” terang Anis.
”Mandi besar?” tanya Safiq, lagi-lagi tidak mengerti.
”Ah, iya. Kamu kan belum pernah melakukannya. Ya udah, ayo Umi ajarin.” Anis mengajak Safiq untuk beranjak ke kamar mandi.
Di ruang tengah, dilihatnya mas Iqbal kembali tidur setelah menunaikan sholat subuh. Sudah kebiasaan laki-laki itu, malam melek untuk sholat tahajud, habis subuh tidur lagi sampai waktu sarapan tiba. Dengan bebas Anis membimbing Safiq masuk ke kamar mandi.
“Lepas bajumu,” katanya memerintahkan.
Safiq dengan patuh melakukannya. Ia tidak risih melakukannya karena sudah biasa telanjang di depan ibu angkatnya. Tak berkedip Anis memperhatikan penis Safiq yang kini sudah mengkerut dan kembali ke ukuran semula.
”Pertama-tama, baca Bismillah, lalu niat untuk menghilangkan hadast besar.” kata Anis.
”Emang Safiq baru dapat hadast besar ya?” tanya Safiq pada ibu angkatnya yang cantik itu.
Anis dengan sabar menjawab, ”Iya, kamu tadi mimpi enak kan?” tanyanya.
Safiq mengangguk, ”Iya sih, tapi Safiq sudah lupa ngimpiin apa.”
”Nggak masalah, itu namanya kamu mimpi basah. Itu tanda kedewasaan seorang laki-laki. Dan sehabis dapat mimpi itu, kamu harus mandi besar biar badanmu suci lagi.” sahut Anis.
Safiq mengangguk mengerti. ”Terus, selanjutnya apaan, Mi?”
”Selanjutnya… basuh kemaluanmu seperti ini,” Anis meraih penis Safiq dan mengguyurnya dengan air. Ajaib, bukannya mengkeret karena terkena air dingin, benda itu malah mendongak kaku dan perlahan kaku dan menegang karena usapan tangan Anis.
”Mi, enak…” Safiq merintih.
hijaber hot (6)
Anis jadi serba salah, cepat ia menarik tangannya. ”Eh,”
Tapi Safiq dengan kuat menahan, ”Lagi, Mi… enak,” pintanya.
Melihat pandangan mata yang sayu dan memelas itu, Anis jadi tidak tega untuk menolak. Tapi sebelumnya, ia harus memastikan segalanya aman dulu. Dikuncinya pintu kamar mandi, lalu ia berbisik pada sang putra. ”Jangan berisik, nanti Abimu bangun.” sambil tangan kanannya mulai mengocok pelan batang penis Safiq.
Safiq mengangguk. Yang kurang ajar, untuk meredam teriakannya, ia meminta nen pada Anis. “Plis, Mi. Safiq pengen.”
Menghela nafas -karena merasa dipecundangi- Anis pun memberikan bongkahan payudaranya. Jadilah, di kamar mandi yang sempit itu, ibu serta anak yang seharusnya saling menghormati itu, melakukan hal buruk yang sangat dilarang agama. Safiq menggelayut di tubuh montok ibu angkatnya, sambil mulutnya menyusup ke bulatan payudara Anis. Bibirnya menjilat liar disana. Sementara istri Iqbal, dengan nafas memburu menahan kenikmatan, terus mengocok penis besar sang putra hingga  menyemburkan sperma yang dikandung di dalamnya tak lama kemudian.
Banyak dan kental sekali cairan itu, meski tidak seputih yang pertama, tapi pemandangan itu sudah cukup membuat Anis jadi horny. Wanita itu merasakan celana dalamnya jadi basah. Tapi tentu saja ia tidak mungkin menunjukkannya pada Safiq, bocah itu tidak akan mengerti. Jadi cepat-cepat ia bersihkan semuanya, takut mas Iqbal yang sedang tertidur di ruang tengah tiba-tiba bangun dan memergoki ulah mereka.
Didengarnya Safiq menarik nafas panjang sambil mendesah puas, ”Terima kasih, Mi. Nikmat banget. Badan Safiq jadi enteng.”
Anis mengangguk mengiyakan. ”Sudah, sekarang mandi sana. Ulangi semuanya dari awal.”
Safiq tersenyum, dan dengan bimbingan dari ibu angkatnya yang cantik, iapun melakukan mandi wajib pertamanya.
Sejak saat itu, level ’permainan’ mereka jadi sedikit meningkat. Anis tidak cuma memberikan payudaranya, tapi kini juga harus memuaskan Safiq dengan tangannya. Dan si bocah, tampak senang-senang saja menerimanya. Siapa juga yang bakal menolak kenikmatan seperti itu. Dan sampai saat ini, Anis masih belum juga hamil, padahal ia dan mas Iqbal tidak pernah lelah berusaha. Ah, mungkin memang belum rejekinya. Anis berusaha menerima dengan ikhlas dan lapang dada. Toh kini sudah ada Safiq yang menemani hari-harinya. Dan bagusnya, bocah itu bisa bertindak lebih dari sekedar anak.
Itu dibuktikan Safiq saat mereka berbincang berdua sambil menunggu mas Iqbal yang bekerja lembur. Berdua mereka duduk di sofa ruang tengah, di depan televisi. Mereka mengobrol banyak, mulai dari sekolah Safiq hingga saat-saat intim mereka berdua yang menjadi semakin sering. ”Kamu nggak bosen nenen sama Umi?” tanya Anis sambil membelai rambut Safiq yang lagi-lagi tenggelam ke belahan buah dadanya.
Dengan mulut penuh payudara, Safiq berusaha untuk menjawab, ”Ehm… enggak, Mi. Susu umi enak banget!”
”Saat aku kocok gini, enak juga nggak?” tanya Anis yang tangannya mulai menerobos ke dalam lipatan sarung Safiq.
Safiq melenguh pelan saat merasakan jari-jari Anis melingkupi batang kemaluannya dan mulai mengocok pelan benda coklat panjang itu. ”Hmm, enak, Mi.” sahutnya jujur.
Anis tersenyum, dan melanjutkan aksinya. Terus ia permainkan batang penis sang putra angkat hingga Safiq melenguh kencang tak lama kemudian. Badan kurusnya kejang saat spermanya berhamburan mengotori sarung dan tangan Anis. Mereka terdiam untuk beberapa saat. Anis memperhatikan tangannya yang belepotan sperma, dan selanjutnya mengelapkan ke sarung Safiq. Lalu dipeluknya bocah itu penuh rasa sayang.
”Terima kasih, Mi.” gumam Safiq di sela-sela pelukan mereka.
Anis mengecup pipinya lalu membimbing anak itu untuk pindah ke kamar, sekarang sudah waktunya untuk tidur.  Tapi Safiq tidak langsung beranjak, ia tetap duduk di sofa, sementara Anis sudah berdiri di hadapannya. Safiq menengadah memandangnya dengan tatapan sayu. Dengan nada bergetar, bocah itu berucap, ”Safiq sayang Umi,” sambil mulutnya mendekat untuk mencium kemaluan Anis.
Anis jadi bingung, mau menolak, tapi takut membuat Safiq kaget dan malu. Dibiarkan, ia tahu apa yang diinginkan bocah kecil itu. Belum sempat menjawab, tangan Safiq sudah menyusup ke balik dasternya untuk mengusap paha Anis dari luar. Dan terus makin ke atas hingga menemukan CD yang membungkus pantat bulatnya. Anis sedikit terhentak saat Safiq memegang dan menarik turun kain mungil itu. ”Ah, Safiq! Apa yang kamu lakukan?” teriaknya, tapi tetap membiarkan sang putra angkat menelanjangi dirinya. Ia berpikir, mungkin Safiq hanya akan menciumnya sesaat saja.
Tapi tebakannya itu ternyata salah. Memang Safiq cuma mencium pelan, hanya bagian luar yang dijamah oleh bocah kecil itu. Tapi itu cuma awal-awal saja, karena selanjutnya, saat melihat tidak ada penolakan dari diri Anis, iapun melakukan yang sebenarnya, Safiq mengangkat salah satu kaki Anis ke sandaran sofa hingga kini selangkangan sang ibu angkat terbuka jelas di depan matanya. Diperhatikannya kemaluan Anis yang basah merona kemerahan untuk sesaat, sambil tangannya meremas dan mengelus-elus bongkahan pantat Anis dengan gemas.
hijaber hot (8)
”Ehm,” Anis melenguh, tubuh sintalnya mulai bergetar. Ia yang awalnya ingin menolak, kini malah terdiam mematung. Anis pasrah saja saat bibir kemaluannya mulai disentuh oleh Safiq, dari mulai jilatan yang sopan hingga semakin lama menjadi semakin gencar. Akhirnya Anis malah merapatkan kemaluannya ke bibir Safiq dan tanpa sadar mulai menggoyangkan pinggulnya. Aksinya itu membuat Safiq semakin leluasa menciumi lubang kemaluannya.
”Ough…” Anis merasakan lidah Safiq semakin kuat menari dan menjelajahi seluruh lekuk kemaluannya. Ia merasakan cairan kewanitaannya semakin deras mengalir seiring dengan rangsangan Safiq yang semakin kuat. Entah darimana bocah itu belajar, tapi yang jelas, jilatan dan hisapannya sungguh terasa nikmat. Tidak pernah diperlakukan seperti itu oleh mas Iqbal membuat Anis merintih kegelian, namun terlihat sangat menyukai dan menikmatinya. Ia elus-elus kepala Safiq yang terjepit diantara pangkal pahanya, hingga akhirnya tubuhnya mengejang dan menekuk kuat tak lama kemudian.
Safiq yang tidak mengetahui kalau Anis akan mencapai puncak, terus menghisap kuat-kuat disana. “Uuhh…” didengarnya sang ibu angkat melenguh sambil menghentak-hentakkan pinggulnya. Dari dalam lubang surga yang tengah ia nikmati, mengalir deras cairan bening yang terasa agak sedikit kecut. Baunya pesing, seperti bau air kencing. Cepat Safiq menarik kepalanya, tapi tak urung, tetap saja beberapa tetes air mani itu membasahi mukanya. Diperhatikannya Anis yang saat itu masih merapatkan kaki dengan tubuh mengejang-ngejang pelan. Selanjutnya, tanpa suara, istri Iqbal itu jatuh lunglai ke atas sofa, menindih badan kurus Safiq ke dalam pelukannya.
Mereka terdiam untuk beberapa saat. Anis berusaha untuk mengatur nafasnya, sementara Safiq dengan polos melingkarkan tangan untuk mengusap-usap bokong bulat Anis yang masih terbuka lebar.
”D-darimana kamu b-belajar seperti i-itu, Fiq?” tanya Anis saat gemuruh di dadanya sedikit mulai tenang.
Safiq memandangnya, ”Dari Umi,” jawabnya polos.
“Jangan ngawur kamu, Umi nggak pernah ngajarin yang seperti itu.” sergah Anis sedikit berang.
“Memang nggak pernah, tapi Umi pernah memintanya.” sahut Safiq.
“Meminta? Maksud kamu…”
Safiq pun berterus terang. Kemarin ia memergoki kedua orang tua angkatnya bercinta di ruang tengah, di sofa dimana mereka tengah berpelukan sekarang. Saat itu Anis meminta agar mas Iqbal mengoral kemaluannya, tapi laki-laki itu menolak dengan alasan jijik dan dilarang oleh ajaran agama. Anis memang kelihatan kecewa, tapi bisa mengerti. Safiq yang terus mengintip jadi menarik kesimpulan; perempuan suka jika kemaluannya dijilat. Dalam hati Safiq berjanji, ia akan melakukannya untuk membalas budi baik Anis yang selama ini sudah merawat dan menyayanginya.
”Kamu sudah salah paham, Fiq,” di luar dugaan, bukannya senang, Anis malah terlihat ketakutan.
”Kenapa, Mi?” tanya Safiq kebingungan.
“Setelah menjilat, kamu pasti akan melakukan hal lain, seperti yang kamu tonton kemarin malam. Benar kan?” tuduh Anis.
Safiq terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Memang sempat terbersit di hati kecilnya untuk melakukan apa yang sudah diperbuat kedua orang tua angkatnya. Sepertinya nikmat sekali. Sebagai seorang remaja yang baru tumbuh, ia jadi penasaran, dan ingin merasakannya juga. Safiq sama sekali tidak mengetahui kalau itu sangat-sangat dilarang dan tidak boleh.
“Ah, ini salah Umi juga.” keluh Anis, pelan ia menarik tubuhnya dan duduk di sisi Safiq. Tangan Safiq yang terulur untuk memegangi bongkahan payudaranya, ditepisnya dengan halus. Safiq jadi terdiam dan menarik diri. Anis merapikan bajunya kembali.
“M-maaf, Mi.” lirih Safiq dengan muka menunduk, sadar kalau sudah melakukan kesalahan besar.
“Tidak apa-apa. Tapi mulai sekarang, jangan nenen sama Umi lagi, kamu sudah besar.” putus Anis sambil bangkit dan beranjak menuju kamar, meninggalkan Safiq sendirian di ruang tengah menyesali kebodohannya.
***Esoknya, Anis menyiapkan sarapan dalam diam. Dia yang biasanya ramah dan ceria, hari ini terlihat seperti menanggung beban berat. Mas Iqbal bukannya tidak mengetahui hal itu, tapi dia mengira Anis cuma lagi PMS saja.  Tapi setelah ditunggu berhari-hari, dan sang istri tercinta tetap cemberut saja, bahkan cenderung keras hati, iapun mulai curiga.

”Ada apa, Nis? Kuperhatikan, kamu berubah akhir-akhir ini. Ceritakanlah, siapa tahu aku bisa membantu.”
Anis menggeleng, ”Ah, nggak, Mas. Tidak ada apa-apa, aku cuma lagi capek aja.”
hijaber hot (9)
”Jangan bekerja terlalu keras. Ingat, kita kan lagi program hamil.” Mas Iqbal mengingatkan.
Anis berusaha untuk tersenyum, ”Iya, Mas.” Dan saat sang suami merangkul lalu mengecup bibirnya untuk diajak menunaikan sunnah rasul, iapun berusaha melayani dengan sepenuh hati. Siapa tahu, dengan begitu ganjalan di relung hatinya bisa cepat sirna.
Tapi harapan tetap tinggal harapan. Bukannya hilang, hatinya malah semakin resah. Apalagi saat melihat Safiq yang mulai menjauhinya. Bukan salah bocah itu juga, Anis juga jarang mengajaknya bicara berdua seperti dulu. Sejak peristiwa di ruang tengah itu, mereka jadi seperti dua orang asing, hanya saat benar-benar perlulah mereka baru bertegur sapa.
Di sisi lain, Anis juga seperti kehilangan sesuatu. Penis Safiq yang besar dan panjang terus menghantui pikirannya, juga jilatan dan hisapan bocah itu di atas gundukan payudaranya, dan yang terutama, kuluman Safiq di lubang vaginanya yang sanggup mengantar Anis meraih orgasmenya. Semua itu ia rindukan, meski dalam hati terus berusaha ia bantah. Tapi tak bisa dipungkiri, pesona Safiq sudah menjerat nafsu birahinya. Kalau dia yang beriman saja merasa seperti ini, bagaimana dengan Safiq yang ingusan? Bocah itu pasti lebih menderita.
Anis mulai meneteskan air mata. Pikirannya kacau, campur aduk antara ingin menolak dan minta ditiduri oleh Safiq. Ada rasa ingin merasakan, tapi juga ada rasa takut akan dosa. Tapi adzan subuh yang berkumandang lekas menyadarkannya, cepat ia menghapus air mata dan mengambil air wudhu. Ia harus tegar. Ini perbuatan maksiat. Sangat salah dan berdosa. Tidak boleh diteruskan. Kalau tidak, akan percuma lantunan tobatnya selama ini.
Tapi benarkah seperti itu?
Semuanya berubah saat Anis menerima surat panggilan dari sekolah keesokan harinya. Safiq memberikannya dengan takut-takut, ”M-maaf, Mi.” gagap bocah kecil itu.
Tidak menjawab, Anis menerimanya dan membacanya di kamar. Siangnya, bersama Safiq, ia pergi ke sekolah.
”Nilai-nilainya turun, Bu. Sangat jelek sekali.” kata ibu kepala sekolah yang gemuk berjilbab.
Anis berusaha untuk tersenyum dan meminta maaf.
”Mungkin ada masalah di rumah?” tanya ibu kepala sekolah. ”Dulu Safiq itu sangat pintar, salah satu yang terpandai di kelas. Tapi sepertinya sekarang lagi mengalami penurunan motivasi.”
”Emm, sepertinya tidak ada.” jawab Anis berbohong, padahal dia sangat tahu sekali apa yang dipikirkan anak angkatnya itu.
”Baiklah, saya harap ibu membantu kami untuk mengembalikan semangat belajarnya. Kalau begini terus, ia bisa tidak naik kelas.” pesan ibu kepala sekolah sebelum mengakhiri pertemuan itu.
hijaber hot (10)
Anis pun mengucapkan terima kasih dan memohon diri. Dilihatnya Safiq yang meringkuk ketakutan di sampingnya. Dipeluknya bocah kecil itu dan berbisik, ”Umi tunggu di rumah, belajar yang rajin ya…”
Safiq mengangguk. Mereka pun berpisah, Anis kembali ke rumah, sementara Safiq meneruskan pelajarannya.
Sorenya, saat pulang dari sekolah, Safiq mendapati ibunya menyambut di ruang tamu. Wanita itu memeluknya dengan erat. ”Maafkan Umi, Fiq. Gara-gara Umi, kamu jadi begini.” kata Anis lirih sambil berlinang air mata.
Belum sempat Safiq berkata, Anis sudah menunduk dan melumat bibirnya dengan lembut. Dicium untuk pertama kali, tentu saja membuat Safiq jadi gelagapan, tapi ia cepat belajar. Saat bibir Anis terus mendecap dan menempel di bibirnya, iapun mengimbangi dengan ganti melahap dan menghisapnya rakus. Dinikmatinya lidah sang bunda yang kini mulai  menjelajah di mulutnya.
”Ehmm… Mi,” Safiq melenguh, sama sekali tak menyangka kalau akan diberi kejutan menyenangkan seperti ini.
”Sst…” Anis kembali membungkam bibirnya. ”Diam, Sayang. Umi ingin menebus kesalahan kepadamu.” Pelan Anis menarik tangan Safiq dan ditempelkan ke arah gundukan payudaranya. ”Kamu kangen ini kan?” tanyanya sambil tersenyum manis.
Dengan polos Safiq mengangguk dan mulai meremas-remas pelan. Jari-jarinya memijit untuk merasakan tekstur bulatan yang sangat menggairahkan itu. Seperti biasa, ia tidak bisa mencakup seluruhnya, payudara itu terlalu besar. Safiq bisa merasakan kalau Anis tidak memakai BH, tubuh sintalnya  cuma dibalut daster hijau muda yang sangat tipis sehingga ia bisa menemukan putingnya dengan cepat.
“Mi,” sambil memanggil nama sang bunda, Safiq meneruskan jelajahannya. Ia tarik tali daster Anis ke bawah hingga baju itu turun ke pinggang, menampakkan buah dada sang bunda yang sungguh besar dan menggiurkan. Safiq memandanginya sebentar sebelum lehernya maju untuk mulai mencucup dan menjilatinya, sambil tangannya terus meremas-remas pelan.
Anis merebahkan diri di sofa, dibiarkannya Safiq menindih tubuhnya dari atas. Bibir bocah itu terus menelusur di sepanjang bukit payudaranya, mulai dari pangkal hingga ujungnya, semuanya dihisap tanpa ada yang terlewat. Beberapa kali Safiq membuat cupangan-cupangan yang membikin Anis merintih kegelian. Terutama di sekujur putingnya yang mulai kaku dan menegang, baik yang kiri maupun yang kanan. Safiq menghisap benda mungil kemerahan itu dengan begitu rakus, ia mencucupnya kuat sekali seolah seluruh payudara Anis ingin dilahap dan ditelannya bulat-bulat. Tapi tentu saja itu tidak mungkin.
“Ehmmm…” merintih keenakan, Anis membimbing salah satu tangan Safiq untuk turun menjamah kemaluannya yang sudah sangat basah. Ia sudah menanti hal ini dari tadi. Sepulang sekolah, Anis berpikir dan merenung, Safiq jadi malas belajar karena perseteruan mereka tempo hari. Maka, untuk meningkatkan kembali semangat bocah kecil itu, inilah yang bisa ia lakukan. Anis akan memberikan tubuhnya!
Jangan dikira mudah melakukannya. Anis sudah menimbang dengan matang, memikirkan segala resikonya, dan tampaknya memang inilah jalan yang terbaik. Selain bagi Safiq, juga bagi dirinya sendiri. Karena tak bisa dipungkiri, Anis menginginkannya juga, hari-harinya juga berat akhir-akhir ini. Pesona kemaluan Safiq yang besar dan panjang terus mengganggu tidur malamnya. Mas Iqbal yang selalu setia menemani di atas ranjang, mulai tidak bisa memuaskannya. Memang penisnya juga besar dan panjang, tapi entahlah, dengan Safiq ia seperti mendapatkan sensasi tersendiri. Sensasi yang membuat gairah dan birahinya berkobar kencang. Sama seperti sekarang.
Bergetar semua rasa tubuh Anis begitu Safiq mulai memainkan jari di lubang vaginanya. bocah itu menggesek-gesek kelentitnya pelan sebelum akhirnya menusukkan jari ke dalam lubangnya yang sempit dan gelap. ”Ough,” Anis merintih nikmat. Di atas, bibir Safiq terus bergantian menjilati puting kiri dan kanannya sambil sesekali menghisap dan menggigitnya rakus.
Anis mendorong kepala bocah kecil itu, meminta Safiq untuk beranjak ke bawah. Safiq yang mengerti apa keinginan sang bunda, segera menurunkan ciumannya. Ia jilati sebentar perut Anis yang masih langsing dan kencang sebelum mulutnya parkir di kewanitaan perempuan yang sudah membiayai hidupnya itu.
”Jilat, Fiq!” Anis meminta sambil membuka kakinya lebar-lebar, memamerkan kemaluannya yang sudah becek memerah pada Safiq.
hijaber hot (11)
Si bocah menelan ludah, memandangi sebentar lubang indah yang terakhir kali dilihatnya sebulan yang lalu itu. Perlahan mulutnya turun saat Anis menarik kepalanya. Safiq menjulurkan lidah dan mulai menciuminya. Ia lumat bibir tipis yang tumbuh berlipat-lipat di tengah permukaannya. Bulu kemaluan Anis yang tercukur rapi juga diciuminya dengan senang hati. Anis merasakan Safiq membuka bibir kemaluannya dengan dua jari. Dan saat terkuak lebar, kembali lorongnya dibuat mainan oleh bocah kecil itu.
Lidah Safiq bergerak liar, juga cepat dan sangat dalam. Namun yang membuat Anis tak tahan adalah saat lidah bocah itu masuk diantara kedua bibir kemaluannya sambil menghisap kuat-kuat kelentitnya. Lama tidak bertemu, rupanya Safiq jadi tambah lihai sekarang. Diam-diam Anis bersyukur dalam hati, rupanya ia tidak salah membuat keputusan. Memang, ia tahu ini dosa -salah satu dosa besar malah- tapi kalau rasanya senikmat ini, ia sama sekali tidak menyesal telah melakukannya.
Safiq terus memainkan kemaluan Anis. Mulutnya menghisap begitu rakus dan kencang, hingga dalam beberapa menit, membuat sang bunda jadi benar-benar tak tahan. ”Auw… arghh!” Mengejang keenakan, Anis pun berteriak sekuat tenaga sambil mengangkat pantatnya tinggi-tinggi. Kelentitnya yang sedang dijepit oleh Safiq, berkedut kencang saat cairannya menyembur deras membasahi lantai ruang tamu.
”Hah, hah,” terengah-engah, Anis meremas pelan rambut Safiq yang duduk berjongkok di lantai.
”Enak, Mi?” tanya bocah kecil itu dengan polos, matanya menatap sang bunda sebelum beralih memandangi selangkangan Anis yang masih mengucurkan sisa-sisa cairan orgasmenya.
Anis mengangguk, ”Nikmat banget, Sayang.” bisiknya sambil berusaha untuk bangkit.
”Mau kemana, Mi?” tanya Safiq cepat, takut tidak mendapatkan jatahnya.
”Kita pindah ke kamar, disini terlalu berbahaya, nanti dipergoki sama tetangga.” sahut Anis. Ditariknya tangan sang putra untuk masuk ke dalam rumah. Beriringan mereka menuju kamar.
”Kamarmu,” kata Anis saat melihat Safiq ingin berbelok ke kiri. Safiq segera memutar langkahnya, kamar mereka memang berseberangan.
Di dalam, tanpa menunggu lama, Safiq segera menelanjangi diri. Begitu juga dengan Anis. Dengan tubuh sama-sama telanjang, mereka naik ke atas tempat tidur. ”Kamu pengen nenen?” tanya Anis sambil mendekap kepala Safiq dan lekas ditaruhnya ke atas gundukan payudaranya.
Tanpa menjawab, Safiq segera mencucup dan menciumi dua benda bulat padat itu. Dihisapnya puting Anis dengan begitu rakus sambil tangannya bergerak meremas-remas pelan. Di bawah, penisnya yang sudah ngaceng berat terasa menyundul-nyundul lubang kelamin Anis.
”Fiq, ayo masukkan!” pinta perempuan cantik itu. Ia membuka pahanya lebar-lebar sehingga terasa ujung penis Safiq mulai memasuki lubangnya.
”Gimana, Mi, didorong gini?” tanya Safiq polos sambil berusaha menusukkan penisnya.
”Yah, begitu… oughhh!” Anis melenguh, penis Safiq terasa membentur keras, tapi tidak mau masuk. Dengan pengalamannya, Anis bisa mengetahui penyebabnya. Maka dengan cepat ia bangkit berdiri dan meraih penis Safiq, lalu dimasukkan ke dalam mulutnya.
“Ahh, Mi!” Safiq menjerit, sama sekali tak menyangka kalau sang bunda akan berbuat seperti itu. Dan asyiknya lagi, rasanya ternyata begitu nikmat, lebih nikmat daripada dikocok pake tangan. Safiq mulai mengerang-erang dibuatnya, tubuhnya kelojotan, dan saat Anis menghisap semakin kuat, iapun tak tahan lagi. Penisnya meledak menumpahkan segala isinya yang tertahan selama ini. Begitu banyak dan kental sekali.
”Ahh,” Anis yang sama sekali tidak menyangka kalau Safiq akan keluar secepat itu, jadi sangat kaget. Beberapa sperma si bocah sempat tertelan di mulutnya, sisanya yang sempat ia tampung, lekas ia ludahkan ke lantai.
“M-maaf, Mi.” kata Safiq dengan muka memerah menahan nikmat, lelehan sperma tampak masih menetes dari ujung penisnya yang mengental.
Anis tersenyum penuh pengertian, “Tidak apa-apa. Bukan salahmu, sebulan tidak dikeluarkan pasti bikin kamu nggak tahan.”
Penuh kelegaan, Safiq menyambut sang bunda yang kini berbaring di sebelahnya. Mereka saling berpelukan dan berciuman. Tapi dasar nafsu remaja, begitu payudara Anis yang besar menghimpit perutnya, sementara paha mereka yang terbuka saling bergesekan, dengan cepat penis Safiq mengencang kembali.
“Eh, udah tegang lagi tuh.” kata Anis gembira sambil menunjuk penis Safiq yang perlahan menggeliat bangun.
“Iya, Mi.” Safiq ikut tersenyum.
Anis mengocoknya sebentar agar benda itu makin cepat kaku dan menegang. Saat sudah kembali ke ukuran maksimal, ia lekas mempersiapkan diri. Rasanya sudah tidak sabar lubang vaginanya yang gatal dimasuki oleh kemaluan muda itu. Anis memejamkan mata saat Safiq mulai mendekap sambil terus menciumi bibirnya, ia merasakan bibir kemaluannya mulai tersentuh ujung penis si bocah kecil.
”Tunggu dulu,” Anis menjulurkan tangan, sebentar ia usap-usapkan ujung penis Safiq ke bibir kemaluannya agar sama-sama basah, barulah setelah itu ia berbisik, ”Sudah, Fiq, masukkan sekarang!” Anis memberi jalan.
hijaber hot (12)
Safiq mulai mendorong. Pelan Anis mulai merasakan bibir kemaluannya terdesak menyamping. Sungguh luar biasa benda itu. Ohh, Anis benar-benar merasakan kemaluannya nikmat dan penuh sesak. Safiq terus mendorong, sementara Anis menahan nafas, menunggu pertautan alat kelamin mereka tuntas dan selesai sepenuhnya.
”Ahh,” Anis mendesah tertahan saat penis Safiq terus meluncur masuk, membelah bibir kemaluannya hingga menjadi dua, memenuhi lorongnya yang sempit hingga ke relungnya yang terdalam, sampai akhirnya mentok di mulut rahimnya yang memanas.
Mereka terdiam untuk sejenak, saling menikmati rangsangan kemaluan mereka yang kini sudah bertaut sempurna, begitu erat dan intim. Rasanya sungguh luar biasa. Safiq bergidik sebentar saat merasakan Anis yang mengedutkan-ngedutkan dinding rahimnya, memijit batang penisnya dengan remasan pelan. Safiq membalas dengan kembali mencium bibir dan payudara sang bunda, sambil tangannya tak henti-henti meremas-remas bulatannya yang padat menggoda.
Beberapa detik berlalu. Saat Anis sudah merasa cukup, iapun meminta Safiq untuk mulai menggerakkan pinggulnya. ”Pelan-pelan aja, nggak usah buru-buru. Kita nikmati saat-saat ini. Abi-mu masih lama pulangnya, dia lembur malam ini.” kata Anis.
Mengangguk mengerti, Safiq pun mulai memompa pinggulnya. Gerakannya begitu halus dan pelan, meski terlihat agak sedikit kaku. Maklum, masih pengalaman pertama. Tapi itu saja sudah sanggup membuat Safiq merintih keenakan, ia benar-benar cepat terbawa ke puncak kenikmatan yang belum pernah ia alami sebelumnya. Nafasnya sudah memburu, terengah-engah. Sementara tubuhnya mulai bergetar pelan.
Anis yang melihatnya jadi panik. ”Tahan dulu, Fiq. Tahan sebentar!” bisiknya, ia tidak mau permainan ini berhenti begitu cepat. Ia baru mulai merasa nikmat.
Tapi apa mau dikata, jepitan kemaluan Anis terlalu nikmat bagi seorang perjaka seperti Safiq. Diusahakan seperti apapun, bocah itu sudah tak mampu lagi. Maka hanya dalam waktu singkat, Safiq pun menjerit dan kembali menumpahkan spermanya. Kali ini di dalam kemaluan Anis. Cairannya yang kental berhamburan saat Safiq ambruk menindih tubuh bugil sang bunda dengan nafas ngos-ngosan.
”Ah, Safiq!” meski terlihat kecewa, namun Anis berusaha untuk memakluminya. Ia belai punggung Safiq dengan lembut. Penis bocah itu yang masih menancap di lorong vaginanya, masih terasa berkedut-kedut, menguras segala isinya. Anis merasakan liangnya jadi begitu basah dan penuh.
Mereka terus berpelukan untuk beberapa saat hingga tiba-tiba Anis menjerit kaget, ”Ah, Fiq!” tubuh montoknya sedikit terlonjak saat merasakan penis Safiq yang tiba-tiba saja kaku dan menegang kembali. ”Cepet banget!” pujinya gembira. Diciumnya bibir bocah itu sebagai hadiah.
Safiq cuma tersenyum dan kembali memperbaiki posisi. Ia sudah siap untuk beraksi. Sambil melumat bibir dan leher Anis, ia mulai menggerakkan pinggulnya. Remasan tangannya di payudara sang bunda juga kembali gencar, secepat tusukannya yang kini sudah mulai lancar dan tahan lama.
”Ahhh… terus, Fiq. Yah, begitu!” Anis yang menerimanya, merintih dan menggeliat-geliat tak terkendali. Tubuh montoknya menggelepar hebat seiring goyangan Safiq yang semakin kuat. Dengan tusukannya yang tajam, bocah itu membuat vagina Anis menegang dan berdenyut pelan, benar-benar puncak kenikmatan yang belum pernah ia alami selama enam tahun pernikahannya dengan mas Iqbal. Ohh, sungguh luar biasa. Anis jadi tak ingat apa-apa lagi selain kepuasan dan kenikmatan. Dosa dan neraka sudah lama hilang dari pikirannya. Hati dan kesadarannya sudah tertutup oleh nafsu birahi.
“Fiq, ooh… oohh… terus… arghhh…” Anis sendiri terkejut oleh teriakannya yang sangat kuat. Pelan tubuhnya bergetar saat cairan kenikmatannya menyembur keluar.
Safiq yang juga kesetanan terus memompakan kemaluannya berulang kali, dan tak lama kemudian ikut menggelepar. Wajahnya yang tampan menengadah, sementara kedua tangannya mencengkeram dan menekan payudara Anis kuat-kuat. Di bawah, spermanya yang kental kembali meledak di dalam vagina sang bunda, memancar berulang kali, hingga membuat rahim Anis jadi begitu basah dan hangat.
”Oh,” Anis melenguh merasakan banyak sekali cairan kental yang memenuhi liang vaginanya.
Setelah selesai, Safiq memiringkan tubuh sehingga tautan alat kelamin mereka tertarik dan terlepas dengan sendirinya. Tangannya kembali meremas lembut payudara Anis sambil bibirnya menciumi wajah wanita yang sangat dikasihinya ini. Anis senang dengan perlakuan Safiq terhadap dirinya.
“Fiq, kamu sungguh luar biasa.” puji Anis kepada putra angkatnya. ”Cepet banget tegangnya, padahal barusan keluar.”
Safiq tersenyum, ”Trims, Umi. Safiq senang bisa membuat Umi bahagia.”
”Tapi kamu juga nikmat kan?” goda Anis.
”Tentu saja, Mi.” Safiq mengangguk.
“Mau lagi?” tawar Anis.
”Umi nggak capek?” Safiq bertanya balik.
”Seharusnya umi yang tanya begitu,” sahut Anis, dan mereka tertawa berbarengan.
***Sejak saat itu, hubungan mereka pun berubah. Bukan lagi seorang ibu dan anak, tetapi berganti menjadi sepasang kekasih yang selalu berusaha untuk memuaskan nafsu masing-masing. Kapanpun dan dimanapun.

Prestasi Safiq kembali meningkat, bahkan lebih dari sebelumnya. Sementara Anis, mendapat hikmah yang paling besar. Ia kini hamil, sudah jalan 2 minggu. Sudah jelas itu anak siapa, tapi sepertinya mas Iqbal tidak curiga. Malah laki-laki itu kelihatan sangat senang dan gembira, sama sekali tidak curiga saat Anis kelepasan ngomong, ”Selamat, Fiq, sebentar lagi kamu akan menjadi seorang ayah,”

FITRI: RANI DAN BU RATMI

Cerita ini bukan sinetron, walau judulnya mirip cerita sinetron, tapi ini adalah kisah sedih dari seorang teman, kisah yang merupakan kejadian yang sebenarnya. Namun untuk menjadikan kisah ini betul-betul sempurna maka aku sebagai penulis menambahkan sedikit bumbu tanpa lari dari jalur yang sebenarnya.

Perkenalkan namaku Aditya, umur 38 tahun, pekerjaanku apa saja yang penting halal. Aku tinggal di daerah Sumatera Utara, aku sendiri keturunan Melayu Deli.

fitri

fitri

20 tahun yang lalu…

Setelah tamat sekolah aku tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, karena kedua orang tuaku tidak sanggup untuk membiayai kuliahku. Aku sendiri yang sadar hal itu tidak memaksakan kehendak walau aku mempunyai cita-cita sebagai dokter. Aku memutuskan untuk merantau berbekal ijazah SMK-ku jurusan mesin otomotif.

”Pak, buk, aku mau merantau, siapa tau nanti aku bisa sukses.”

”Kamu mau kemana, nak?” sela ibu, ”kamu belum ada pengalaman,”

”Betul apa yang dibilang ibumu itu, Dit, mau jadi apa kamu di perantauan, lebih baik kamu bantu bapak di sawah,” kata bapak.

”Aku mau mandiri, pak!” jawabku. ”aku mau suatu hari nanti aku sudah punya usaha.”

”Amin!!!” ibu dan bapak serentak mengatakan amin.

”Tapi kamu mau merantau kemana, nak?” tanya ibu.

”Aku mau ke Batam, buk,”

”Loh, memang di Batam ada pekerjaan untukmu?” tanya ibu lagi.

”Ya, gimana ya, buk, namanya cari kerja ya dicari lah,” jawabku sambil makan gorengan pisang yang ada di meja.

”Ibu dan bapak sangat berat untuk menyetujuinya, nak, tapi kalau sudah hatimu bulat, mau bilang apa,” kata ibu dengan nada sedih. “Kapan kamu mau berangkat ke Batam, nak?” lanjut ibu.

”Kalau bisa sih minggu depan, buk.” Jawabku.

Ibu dan bapak saling berpandangan. ”Gak bisa, nak,” kata ibu. ”bulan depan aja, bapak dan ibu belum cukup uang buat ongkos dan persediaanmu,”

”Betul, Dit,” sambung bapak. ”Tunggu bapak jual kambing dulu sama pak Slamet.”

Aku pun setuju dengan pendapat ibu dan bapakku

Sebulan kemudian bapak dan ibu memberangkatkan aku dari pelabuhan Belawan, aku masih ingat ibu memelukku dan berpesan agar mengirim surat pada beliau.

Jam 5 sore aku sampai di pulau Batam, dulu Batam sangat sepi tidak seramai sekarang. Setelah 2 minggu aku pun mendapat pekerjaan sebagai kuli bangunan, pekerjaan itu cukup untuk membiayai hari-hariku, tak lupa juga aku berkirim surat buat ibu dan bapak di kampung dan bersyukur kepada Allah SWT.

Setahun sudah aku berada di Batam, yang akhirnya mempertemukan aku dengan seorang gadis yang ayu juga ramah, namanya Nurlela, sebaya denganku. Kulitnya putih dan berkerudung, aku cinta padanya saat pandangan pertama. Setelah 3 minggu pendekatan, aku dan Nurlela sah menjadi sepasang kekasih. Kami selalu bersama pada saat malam, bahkan bajuku yang kotor dicucikannya, makin hari makin bertambah pula kasih sayangku padanya.

Sejauh ini hubungan kami makin erat, namun kami tidak pernah melakukan zinah, cium pipi dan pelukan itulah yang biasa kami lakukan saat mau pulang ke tempat kos masing-masing kalau ketemu, hingga tiba pada suatu malam naas bagi kami, malam yang sulit aku lupakan seumur hidupku. Malam itu adalah malam minggu sepulang dari menonton layar tancap yang diselenggarakan pemda setempat, masih kuingat judul filmnya; ”Ohara”.

Ketika kami pulang, kami dicegat oleh beberapa pemuda, tanpa babibu plaaakkk.. gedebukkk!! aku dihajar sampai pingsan, aku tak tau apa yang terjadi. Setelah aku siuman, aku sudah berada di kamar kosku, aku ditemukan warga setempat, katanya aku pingsan dan diantar kemari. Aku langsung teringat pada Nurlela, lalu kutanyakan kepada mereka namum tidak ada yang tau. Aku mulai gelisah memikirkan Nurlela, untung saja para warga mau membantuku dan juga melaporkan kejadian ini pada pihak yang berwajib, karena kejadian yang menimpaku adalah tindak kriminal.

Pada malam harinya aku kembali ke tempat kosku, seharian aku mencari Nurlela tapi belum ketemu juga. Kondisiku yang lemah tidak kupedulikan lagi, bahkan… oh ya Allah, sejak tadi pagi aku belum makan, hanya minum air putih pemberian orang. Mataku mulai berkunang-kunang, dan aku tak kuat lagi menopang tubuhku sampai aku akhirnya tertidur.

Pagi harinya aku terbangun karna mendengar azan dari musollah dekat rumahku, aku lekas mengambil wudhu dan sholat. Aku tak henti-hentinya memohon kepada Allah SWT agar melindungi Nurlela dari segala marabahaya. Setelah selesai sholat, aku sangat terkejut dan mengucap beribu-ribu syukur karena Nurlela ada di depan pintu tempat kosku. Aku berlari memeluknya, Nurlela pun tak kalah histerisnya, dia menangis sejadi-jadinya di pelukanku.

”Astaghfirullah,” kata itulah yang kuucapkan saat Nurlela mengatakan dirinya telah diperkosa, sekejap tubuh kami berdua terasa lemas, baik aku maupun Nurlela. Tanpa sadar kami berlutut sambil berpelukan, aku sangat syok dan sedih akan apa yang dialami oleh Nurlela, aku tak tau apa yang harus kuperbuat.

Namun walaupun hatiku hancur kucoba menguatkan dan menghibur Nurlela, kekasihku. Aku melaporkan kejadian ini kepada RT setempat, melalui mereka juga membuat pengaduan ke polisi, tapi hal itu tidak merubah keadaan Nurlela yang semakin hari semakin syok, badannya mulai kurus kering.

Setelah 2 bulan, kasus yang menimpa aku dan Nurlela belum juga terungkap. Aku dan Nurlela bolak-balik mendatangi kantor polisi untuk memberikan keterangan, aku mulai jenuh akan semua ini. Keadaan Nurlela pun sejauh ini tidak menandakan ada perubahan, bahkan sikapnya mulai dingin, namun aku tetap bertahan mencintainya, walaupun rasa cintaku kini dibumbui rasa kasihan yang teramat dalam.

Hingga suatu pagi Nurlela memberitahukan kalau dirinya sedang hamil. Aku merasa berjalan diatas berjuta beling tajam yang siap merobek-robek kakiku, aku tak tau lagi harus berbuat apa, yahh… aku benar-benar menganggap kalau ini adalah cobaan terbesar dalam hidupku, cintaku yang dalam pada Nurlela membuatku semakin dewasa. Aku berniat menikahi Nurlela dan bertanggung jawab walaupun kehamilannya bukan karena aku.

Selama seminggu aku mengurus pernikahanku yang dibantu oleh kerabat dan juga para sahabat. Kami dinikahkan oleh penghulu, jadilah kami sepasang suami istri tanpa ada resepsi, bahkan aku tidak memberitahukan kabar pernikahanku kepada orang tuaku. Biarlah waktu yang memproses semua ini, bathinku saat itu.

Malam pertama tidak mempunyai arti bagiku, bahkan malam kedua, minggu pertama dan seterusnya. Aku tidak menyetubuhi Nurlela, aku tidak mau menodai janin yang dikandung oleh istriku. Nurlela juga masih merasa trauma jika melakukan hal itu, tapi tanggung jawabku sebagai suami tak pernah kutinggalkan. Aku menafkahi istriku, juga memberikannya kebahagiaan, kasih sayangku padanya tidak luntur sedikit pun, karena pada dasarnya aku sangat mencintai dia dari hatiku yang paling tulus.

Jam 11 malam istriku kesakitan, aku tau ini adalah bulan dimana istriku akan melahirkan setelah diberitahu oleh bidan yang ada di tempatku. Tak ayal aku pun merasa senang bercampur was-was, aku yang minim pengalaman soal urusan seperti ini langsung memberitahukan bidan dimana istriku sering periksa. Dulu bidan sangat langka, hanya ada beberapa bidan yang bertugas di Batam pada saat itu. Aku juga memberitahu kerabat dekatku.

jantungku berdebar-debar bercampur senang yang luar biasa setelah mendengar tangisan bayi dari luar kamar, para kerabat menyalamiku. Setelah beberapa saat, bidan yang menangani persalinan istriku keluar dari kamar dengan wajah bercampur sedih dan takut, ”Ma-maaf, pak… yang tabah ya,”

”Kenapa, bu?” jawabku tegang.

”A-anu, pak…”

Tanpa bertanya lagi aku langsung menuju kamar, kulihat istriku Nurlela telah terbujur kaku. Aku pegang wajahnya terasa dingin, aku pun menangis histeris, aku tak kuasa menerima kenyataan ini, istriku Nurlela telah tiada…

Setelah istriku wafat, aku membesarkan Fitri, anakku, sendirian. Kini umurnya 5 tahun, wajahnya sangat mirip dengan istriku, aku memasukkan dia ke TK. Aku sangat sayang pada Fitri, sampai-sampai aku memasukkan Fitri ke asuransi. Dulu asuransi belum dikenal banyak orang, tapi berkat arahan sahabatku maka aku memasukkan Fitri ke asuransi pendidikan sejak Fitri berusia 3 tahun. Semenjak kepergian istriku tersayang, aku sudah tidak lagi bekerja di Batam, aku membawa Fitri ke Pekanbaru. Aku bekerja separoh waktu karena aku selalu kuatir akan Fitri, anakku.

Sejak dini Fitri aku ajari tentang kebaikan, bahkan jilbabnya berlusin kubelikan padanya, setiap hari minum susu, tak lupa makanan yang bergizi, hingga Fitri sekarang lebih mirip anak orang kaya bila dilihat secara fisik.

jilbab-toge-nia-jateng- latifa putri (7)

Tahun-tahun berlalu, Fitri sekarang telah besar, minggu depan dia sudah mulai masuk sekolah SMP, tak terasa waktu begitu cepat berlalu ya… Fitri anakku telah berumur 13 tahun, Namun Fitri selalu bermanja-manja padaku, kami masih tidur seranjang, bahkan aku juga sering memandikannya atau juga mandi bersama. Rumahku yang mungil hanya memiliki 1 kamar dan juga mempunyai kamar mandi yang letaknya di dalam rumah yang memungkinkan kami bebas melakukan apa saja. Selain mendidik Fitri dengan baik, di sisi lain aku sangat memanjakannya, itulah letak kesalahanku sebagai orang tua.

Pada suatu hari yang indah, Fitri memintaku untuk memandikannya, karena sudah biasa aku pun menurutinya. Fitri meminta dimandikan dengan air hangat, tanpa beban aku mengiyakan permintaannya. Setelah air kurebus, aku ke kamar mandi mencampur air panas dengan yang dingin. Saat aku masuk, aku melihat Fitri anakku sudah telanjang, tanpa memakai baju sehelai pun. Aku agak terkejut campur entah apa, yang pasti dadaku deg-degan.

Aku melihat kemaluan anakku sudah ditumbuhi bulu walaupun sedikit, tapi sangat kontras dengan penglihatanku. Aku juga melihat payudaranya mulai benjol, menandakan Fitri mulai beranjak remaja. Entah kenapa aku sangat bergairah melihat Fitri saat itu, namun aku segera Istighfar berkali-kali dalam hati sambil memandikan dan mengusap-usap badan Fitri, tapi imanku kalah, imanku goyah, jujur kuakui aku sangat terangsang.

Untung saja acara memandikan Fitri telah selesai, akupun menyuruh Fitri ke kamar untuk memakai baju, sementara aku masih di kamar mandi mau mandi. Aku menyabuni badanku, tapi gairah itu datang lagi, kemaluan Fitri anakku sangat melekat di ingatanku, juga payudaranya… oh Tuhan, batinku. Tanpa sadar aku mulai mengocok penisku secara perlahan, ya aku onani membayangkan kemaluan anakku, juga kulitnya yang putih bening akibat karena minum susu tiap hari sangat merangsangku.

”Ooughhhh,” aku mendesah, kocokan tanganku semakin kencang, hingga akhirnya, croottt… aghhhh, maniku keluar sangat banyak dan kental sekali, aku sangat puas.

Tepat saat itulah, tiba-tiba… ”P-papa ngapain?!”

Deg…!!! oh, aku dilihat anakku sedang onani, aku lupa mengunci pintu!

”Ehh… ehh… anu, papa… papa mau mandi… eh tidak, papa tadi pipis.” jawabku.

”Oohh…” sahut Fitri.

Lalu aku mandi, setelah itu Fitri tidak membahasnya lagi.

Pada suatu malam, mungkin jam 1 lewatm aku terbangun karena mendengar rintihan kesakitan, ternyata Fitri yang kesakitan.

”Kenapa, nak?” tanyaku.

”Uuuu… uuuu… sakit, Pa, perutku sakit,”

Aku memegang perutnya. Aku meraba-raba sampai ke bawah pusarnya, ”Mana yang sakit, nak?” tanyaku.

”Ini, pak,” jawab Fitri sambil memegang-megang perutnya.

Aku menaikkan sedikit baju Fitri, dan juga menurunkan celana nya. Saat aku menurunkan celananya, aku melihat ada darah di sekitar daerah kemaluannya, tanpa pikir panjang kupelorotkan celana dan celana dalam Fitri. Pada awalnya aku sangat ketakutan, selama ini Fitri tidak pernah mengalami yang beginian, paling demam dan pilek. Aku mengambil air hangat, mengisinya ke baskom, perlahan kubersihkan darah yang ada di kemaluan Fitri dengan handuk leher. Saat kuusap, Fitri tidak lagi mengeluh. Setelah beberapa saat aku tersadar bahwa Fitri mengalami haid yang pertama, kekwatiranku pun perlahan hilang. Kubersihkan semua darahnya, dan juga celana dalam bekasnya kubawa ke kamar mandi lalu kubilas.

”Masih sakit, nak?” tanyaku.

”Masih, Pa,” jawab fitri.

fitri

fitri

”Ya udah sini papa peluk,” aku memeluk Fitri sambil tiduran, tangan kiriku mengusap-usap kemaluan Fitri yang telanjang, aku melihat wajahnya mulai tertidur.

Setelah pulang kerja aku belanja perlengkapan dapur dan juga tentu saja pembalut untuk Fitri, aku masih ingat pembalutnya bermerk Lauriel warna merah jambu. Hari itu Fitri tidak sekolah, katanya masih sakit di sekitar perutnya. Setiap malam selama seminggu aku selalu mengusap-usap kemaluan Fitri, katanya dengan usapanku sakitnya berkurang, tapi yang anehnya Fitri selalu meminta aku mengusap-usap kemaluannya setelah masa haidnya selesai.

Tentu saja aku berpikiran aneh, tapi kuturuti saja asalkan anakku merasa nyaman, bahkan sekarang Fitri kalau tidur hanya menggunakan pakaian dalam saja dan kaos singlet, bagaimana aku tidak dibuat pusing jadinya, tapi itu kudiamkan saja padahal itu sebenarnya salah karEna kami tidur dalam satu ranjang tua, yang kapasnya sudah menipis. Perlahan aku mengikuti gaya Fitri yang tidur hanya mengenakan celana dalam saja, di bawah satu selimut tentu saja, cuma dipisahkan bantal guling.

Waktu itu malam minggu, tapi sedang hujan. Aku memutuskan tidur duluan, kutinggalkan Fitri yang sedang asyik menonton tv. Aku kecapekan dan langsung pulas, tentu saja sebelum tidur aku membuka celana dan bajuku. Aku terbangun karena kedinginan, aku samar-samar melihat selimut kami dipakai oleh Fitri sendirian dengan memeluk guling pemisah kami. Dia membelakangiku sambil menekuk kedua kakinya.

Kasihan anakku, dia pasti kedinginan, batinku. Aku ikut berselimut dengannya, dan menggeser tubuhku lebih dekat lagi. Kupeluk Fitri dari belakang, aku seperti kesetrum baterai ABC di kala pahaku bersentuhan dengan pahanya, spontan saja penisku mulai bangun saat menempel ke pantatnya.

Oghh, ada gairah yang kudambakan, yang belum pernah kulakukan. Sejauh ini aku masih perjaka, belum pernah melakukan yang seperti ini, bahkan dengan almarhumah istriku. Aku jadi tidak bisa tidur dibuatnya, jantungku mulai berdebar kencang. Entah pikiran setan dari mana, aku mulai membuka celana dalamku, posisi tidurku kuturunkan sedikit ke bawah, perlahan aku mengarahkan penisku ke jepitan paha Fitri, aku melakukannya begitu saja.

Penisku terasa hangat, aku sudah diburu oleh nafsu. Aku goyangkan pantatku maju-mundur, mmffffhhhh… crootttt!!! Ohhh… aku mengeluarkan spermaku. Perlahan penisku mengecil, aku membalikkan badan dan menyesali apa yang telah aku lakukan. Aku memohon ampun kepada yang kuasa atas perbuatanku, aku berjanji tidak akan melakukannya lagi, hingga aku tertidur karena kecapekan berpikir.

fitri

fitri

Aku bangun, tapi Fitri sudah tidak ada lagi di sampingku. Oh tidak, dia pasti melihat penisku yang telanjang. Aku agak panik karena selama ini, baik kami mandi bersama, aku selalu memakai celana dalam. Aku keluar kamar, kudengar ada cidukan air dari kamar mandi. Aku mulai malu dan segan untuk mandi bersamanya, walau kami tidur hanya mengenakan celana dalam saja. Aku tak kuasa melihat bulu kemaluan Fitri dan juga benjolan payudaranya yang mulai membesar. Oh tidak, batinku. Lebih baik aku menunggu Fitri selesai mandi.

Aku melihat kompor sudah menyala, Fitri ternyata sudah memasak nasi. Aku kembali ke kamar dan berbaring, mataku terasa pedas karena masih mengantuk, aku lihat jam dinding sudah jam 6 lewat, hooaaammmm…

”Pa… pa… pa…!!!”

Aku membuka kedua mataku.

”Pinjam handuknya, Pa!!” kata Fitri.

Aku bangkit dan memberi handuk yang kupakai, aku tak ingat kalau aku tidak memakai apa-apa kecuali handuk yang melilit tubuhku itu, juga Fitri yang masih telanjang sehabis mandi. Aku melihat bulu kemaluannya lagi. Ohh, aku tidak menyadari penisku perlahan bangun. Mata Fitri pun menangkap gerak-gerik penisku itu.

”Pa, anunya papa berdiri,” kata Fitri.

Ya ampun, dari mana dia tau ngomong seperti itu. Aku pun menutup penisku dengan tangan. ”Ehh, anu… papa mungkin lapar, nak.”

”Ohh, kalau papa lapar pertandanya gitu ya, Pa?”

”I-iya,” kataku sedikit grogi dan bergegas ke kamar mandi lalu mandi.

Suatu malam Fitri tidak memakai baju sehelai pun. ”Lho, kok belum pakai baju, nak?” tanyaku.

”Habis gerah, Pa, tuh kipas anginnya putarannya lambat,”

Aku melihat kipasnya, memang putarannya sangat lambat walau tombolnya sudah nomor 3, ”Mungkin ada yang rusak nih kipasnya,” kataku sambil mengamati baling-balingnya, ”besok aja papa perbaiki,”

”Iya, Pa… Papa capek ya? Tadi Fitri beliin es batu, Pa, tapi udah Fitri campur ke teko.”

Memang saat itu aku kehausan dan juga gerah, aku lalu mengambil gelas dan mengisinya dengan air dingin. Gleek, glek, glek, ahh… aku merasa segar, aku pun membuka celana dan bajuku.

”Pa, tadi di sekolah, Fitri dicolek sama teman Fitri,” adu Fitri kepadaku.

”Trus, udah lapor sama guru?” tanyaku.

”Udah, Pa, temanku itu dihukum lari keliling lapangan,” jawab Fitri sambil ketawa.

Aku mendekati Fitri yang duduk di kursi kayu dan membelai-belai rambutnya. ”Nak, kamu pintar-pintar ya jaga diri, pokoknya jangan sampai hal tadi terulang kembali.”

”Iya, Pa,” jawab Fitri.

”Dan satu hal lagi, belakangan ini papa perhatikan kamu lebih sering nonton ketimbang belajar.” kataku sambil menyandarkan kepalanya ke bahuku.

”Tadi uda, Pa, sore,” jawab Fitri sekenanya sambil menatap layar televisi.

”Oh gitu, ya udah, papa senang dengarnya. Papa tidur duluan ya, nak, Papa ngantuk,”

”Fitri juga ngantuk, Pa. Yuk tidur, Pa.” ajak Fitri lalu mematikan tv.

Malam itu kami tidak berselimut karena panas, aku memeluk Fitri. Sebelum tidur kami bercerita tentang sekolahnya, tapi yang membuat bulu kudukku merinding adalah keadaan Fitri yang telanjang bulat. Aku tidak tahan dengan situasi ini, tapi entah kenapa tanganku yang memeluk Fitri malah mengelus-elus kemaluannya.

”Mmmff,” aku mendengar nafas Fitri mulai tidak teratur.

Jari tanganku bahkan menyibak bibir Fitri, akal sehatku sudah tidak normal. Fitri menggigit bibir bawahnya dan… deg, tangan Fitri memegang penisku. Keringatku makin deras membasahi wajahku, tangan mungilnya sangat merangsangku. ”Oughhh,” desahku ketika Fitri mulai mengocok penisku.

Aku lalu menindih tubuhnya dengan menahan badanku agar dia tidak kesakitan, kutatap matanya, seolah-olah aku menatap mata Nurlela, istriku. Kucium bibir mungilnya, pantatku di bawah kugoyang-goyang ke samping kiri-kanan bahkan dengan sedikit penekanan ke bawah. Aku cium terus bibir Fitri, dan bibir atasnya kuisap dengan bibir dan lidahku. Aku tau Fitri bisa menikmatinya, naluriku menuntunku mencumbui leher sampai payudaranya yang kecil keras.

fitri

fitri

”Pa, aghh… aww sakit, Pa,” jerit Fitri saat kuhisap seluruh payudaranya. Ciumanku turun ke bawah sampai ke kemaluan Fitri, kakinya kulebarkan untuk memudahkanku menciumi dan menjilati kemaluannya.

”Mmmfffff… aghhhh…” Fitri seperti cacing kepanasan saat lidahku menari-nari di kelentitnya. Dia menjerit, tapi tidak keras, ”Mmmfffhhh… agghhhh…” Fitri mengangkat pantatnya lebih dekat ke mulutku.

”Mmmffhhhhh…” Jilatanku terasa asin, dan ada lendir halus, aku dulu tidak tahu kalau Fitri sudah orgasme. Aku terus menjilatinya sampai…

”Pa, udah, Pa! Geli… mffhhh… udah, Pa,”

Aku menatap Fitri, matanya nampak sayu. Aku pun menyudahinya dan kembali memeluknya, aku membiarkan Fitri terlelap walau hasratku belum kesampaian. Aku merasa Fitri bukan sekedar anakku lagi, tapi belahan jiwaku. Perlahan kucium keningnya dan aku pun tertidur.

”Pa, besok Fitri nerima raport. Kata bu guru, yang ambil raport adalah orang tua murid,” kata Fitri malam itu.

”Duh, gimana ya, nak, padahal papa besok harus kerja,” jawabku sambil meminum kopi.

Lalu Fitri berjalan ke arahku dan memijit-mijit punggungku, ”Pa, kalau sebentar gak bisa ya, Pa?” tanyanya.

”Bisa sih, nak. Memang jam berapa pembagian raportnya?” kataku sambil membawa tubuh Fitri menghadapku.

”Mungkin jam 9 an kayaknya, Pa,”

”Kok kayaknya sih, nak?”

Lalu Fitri mencubit kedua pipiku, ”Ih, mana Fitri tauuu,” jawabnya sangat manja.

”Weaaakkk, bau… nafas Fitri kok bau sih?” tanyaku sambil bercanda, padahal nafasnya sangat wangi.

fitri

fitri

”Masa sih, Pa?” kata Fitri sambil mengarahkan telapak tangannya ke arah mulutnya lalu mengeluarkan nafasnya.

”Bau kan?” tanyaku.

”Wee… papa bohong,” jawab Fitri sambil memencet hidungku.

”Udah, mandi sana,”

”Gak mau, Fitri maunya dimandiin papa.”

”Gak ah, Fitri kan udah besar.”

”Ayolah, Pa…” rengek Fitri, ”Papa udah lama gak mandiin Fitri.”

”Ya udah, papa ambil handuk dulu,” kataku sambil berpikir, sebenarnya aku takut kalau aku khilaf, sementara disisi lain hasratku sangat menginginkannya.

”Pa, Fitri boleh masuk ke bak air gak?” tanya Fitri.

”Lho, mau ngapain, nak?”

”Tadi Fitri liat di TV, Pa, kalau orang kaya mandinya di bak gitu,” jawab Fitri, ”Hehehe… Pa, Fitri tau kok kita hidup pas-pasan, tapi gak salah ’kan ngikutin jaman,” terang Fitri panjang lebar.

”Oh, Papa kirain Fitri udah makin oon,” kataku sambil menunjuk keningnya sampai mundur.

”Ihh, papa jahat,”

”Udah ah, kita mandi. Papa bentar lagi mau ada urusan di luar,” perintahku.

Fitri mulai membuka bajunya, aku sangat mengamati saat Fitri buka baju dan celana dalamnya, lalu aku membuka semua pakaianku, aku tidak malu lagi menampakkan penisku pada Fitri.

”Pa, aku masuk ya,” kata Fitri.

Tanpa menunggu jawabanku, kaki Fitri sudah berada dalam bak air. Bak air kami punya ukuran 50cm lebarnya, dan panjangnya kurang dari 1 meter, sama dengan tingginya. Aku pun mengikuti Fitri masuk ke bak air, kami saling berhadap-hadapan, dan kedua kaki Fitri berada diantara sisi pinggangku.

jilbab-toge-nia-jateng- latifa putri (2)

”Trus gimana nyabuninya?” tanyaku pada Fitri.

”Hehehe, ya gini, Pa,” jawab Fitri sambil mempraktekkan dengan menyabuni badannya.

”Nak…”

”Ya, Pa?!”

”Kamu gak pernah cerita sama orang kan kalau papa sering mandiin Fitri?” tanyaku sambil melihat aktifitasnya.

”Fitri udah dewasa, Pa, jadi tau mana yang musti diceritakan dan mana yang tidak,” jawab Fitri mantap.

”Trus kalau sudah dewasa mengapa harus dimandiin?” tanyaku.

Fitri menatap mataku dan mendekatiku. ”Pa, Fitri sangat sayang sama papa. Fitri sangat bahagia bisa punya papa.”

Aku memeluknya, otomatis di dalam air aku memangku Fitri secara berhadap-hadapan. Fitri juga memelukku, aku tak menyangka kalau Fitri anakku telah tumbuh dewasa. Dewasa dalam sifat, juga dewasa dalam tubuh.

”Papa laper ya?” tanya Fitri.

”Gak, kan tadi udah makan banyak,” jawabku.

”Trus anunya papa kok bangun?” bisik Fitri di telinga kananku.

Aku mencubit pinggangnya di dalam air.

”Pa, Fitri udah tau kok kenapa anunya papa bangun,” kata Fitri.

”Tau dari mana?” selidikku.

”Tuh, Pa, si Erna yang ngajarin, teman sebangku Fitri.”

”Ohh,” kataku sambil mencurigainya. Aku bersandar di dinding bak mandi, penisku yang tegang terhalang karena Fitri duduk di pahaku. Aku memejamkan mata sambil menggeser-geser pantat Fitri.

”Tok, tok, tok,” terdengar ketukan di pintu depan. Aku langsung meloncat keluar bak mandi, aku menutup pintu kamar mandi dan memakai baju serta celanaku.

”Eh, nak Rani,” sapaku pada teman Fitri.

”Fitrinya ada, om?” tanya anak itu padaku. Rani adalah anak tetanggaku, sekaligus teman sekolah Fitri.

”Ada tuh, lagi mandi. Masuk yuk!” ajakku. ”Fit, Fitt, ada Rani,” aku pura-pura berteriak kecil.

”Iya, Pa, tunggu!” jawab Fitri dari dalam, juga setengah berteriak.

Aku lalu ke kamar mengganti pakaianku. ”Fit, papa brangkat dulu ya, sekalian nanti papa beliin martabak,” kataku pada Fitri saat dia sudah selesai mandi dan hanya memakai handuk.

”Rani, om tinggal dulu ya, baik-baik di rumah,” kataku pada Rani.

”Iya, om,” jawab Rani.

Aku pun pergi untuk menghadiri undangan di RT sebelah.

Setelah selesai undangan, aku bergegas pulang. Aku bertemu dengan Ratmi, ibunya Rani. Bu Ratmi seorang janda, suaminya meninggal karena kecelakaan kereta api di Jawa. Karena tidak punya pekerjaan jadi bu Ratmi pindah ke Pekanbaru, kebetulan adiknya punya lahan karet.

”Bapak mau pulang?” tanya bu Ratmi.

”Iya, bu, kasihan Fitri sudah menunggu,” jawabku.

”Kalau gitu mari saya antar, pak!” ajak bu Ratmi.

”Aduh, trimakasih ya, bu. Tapi saya mau beli martabak dulu buat Fitri,” jawabku.

”Ya gak apa-apa, Pak, nanti kita singgah. Lagian Rani kalau gak salah ada di rumah bapak.”

”Betul, bu. Iya tadi dia datang.”

Bu Ratmi pun tersenyum.

”Kalau begitu biar saya saja yang bonceng ya, bu!” tawarku.

”Iya, Pak, masa saya yang bonceng,” jawab bu Ratmi.

Aku pun membawa motor milik adiknya bu Ratmi menuju rumahku dan singgah beli martabak dulu. Bu Ratmi orangnya manis, bisa dibilang masih seksi. Pinggulnya agak besar, tapi aku tidak tertarik pada bu Ratmi, karena sosok Nurlela istriku tidak tergantikan dan juga sosok Fitri anakku yang sangat kusayangi. Tak pernah terpikirkan olehku untuk mencari istri baru, aku takut kalau nantinya Fitri terlantar.

“Nyam, mmmhhhh… martabaknya enak, om,” kata Rani.

”Iya, Pa, martabaknya enak.” timpal Fitri.

Kami berempat makan martabak yang kubeli barusan bersama bu Ratmi. Setelah selesai makan, bu Ratmi dan Rani permisi pulang. ”Sampai besok ya, Fit,” kata Rani sambil melambaikan tangannya.

Aku dan Fitri kemudian masuk ke rumah dan menutup pintu. Seperti biasanya sebelum tidur kalau memakan sesuatu kami sikat gigi, hal ini telah kuajarkan pada Fitri sejak dia umur 5 tahun.

”Papa capek ya?” tanya Fitri saat melihatku memijit-mijit leher.

”Iya, nak,”

”Boleh Fitri pijitin?”

”Gak usah, nak, besok pagi juga paling sudah sembuh,” kataku.

”Uhh, kapan Fitri bisa nyenengin papa?” rengek Fitri.

Aku memeluknya, tak terasa tinggi Fitri sudah sebahuku. ”Papa tiap hari senang kok,” jawabku, ”Yuk tidur!” ajakku kemudian.

Fitri pun menurut, ia lalu membuka semua pakaiannya, termasuk celana dalamnya. Aku pun melakukan hal yang sama, kami lalu naik ke kasur dan berselimut.

”Malam ini dingin ya, Pa?” tanya Fitri.

”Iya, nak, sepertinya mau hujan,” jawabku.

Lalu Fitri memeluk tubuhku yang telentang dengan kaki dan tangannya, aku kembali merasakan kehangatan tubuhnya. Aku tak tahu kenapa dengan diri Fitri, seolah-olah Fitri sangat suka merasakan atau melihat penisku bangun. Aku merasakan gerak-gerik kaki Fitri di atas penisku, aku berpura-pura tidur, aku mau tahu sejauh mana reaksi Fitri padaku.

”Pa,” panggil Fitri, tapi aku tidak menjawab. Fitri lalu memegang wajahku, ”Pa,” panggilnya lagi.

Aku kembali tidak menjawab panggilan Fitri. Aku merasakan dia bangun. Kubuka sedikit mataku untuk melihat apa yang akan dilakukan oleh Fitri. Anakku itu menurunkan selimut sampai batas kakiku, aku berusaha menahan suaraku karena tiba-tiba Fitri memasukkan penisku ke dalam mulutnya. Aku berpikir, dari mana Fitri bisa belajar melakukan ini?

Fitri menutup mulutnya, seolah-olah dia mau muntah karena penisku menusuk kerongkongannya. Fitri kembali berbaring dan menarik selimut. Aku amat-amati dari pergerakannya, aku tau kalau Fitri sangat gelisah. Kira-kira 5 menit kemudian Fitri bangun lagi, kali ini dia memegang dan mengocok-ngocok penisku perlahan, serasa Fitri adalah seorang yang mahir dalam urusan esek-esek. Kocokan Fitri membuat penisku bangun, kenikmatan yang kurasakan hampir saja membuatku mendesah. Aku bisa saja bangun dan membalas perlakuan Fitri yang membuatku terbang, tapi aku ingin tau sejauh mana ia bekerja.

Dadaku hampir copot dan bisa dibilang aku menahan nafas secara tidak sengaja saat Fitri menaiki tubuhku dan mengarahkan penisku ke lobang kemaluannya, aku merasakan geli campur nikmat saat penisku menempel di lobang kemaluannya. Aku lihat Fitri menggigit bibir bawahnya.

”Mmmmffhh… aww,” desah Fitri pelan, dia jongkok diatas penisku. Aku tidak bisa melihat ke arah penisku, tapi aku merasakan kalau kepala penisku sudah masuk ke kemaluan Fitri walau sedikit. Tanpa sadar aku menggoyang pantatku naik turun. Melihat reaksiku, Fitri menatapku. Aku menyerah, aku pun membuka mataku.

”Uhh… papa jahat,” kata Fitri sambil menindihku, aku pun memeluknya dan membalikkan badannya.

Aku mencium bibirnya, kali ini Fitri membalas walau hanya mengecap-ngecapkan bibir. Naluriku membimbingku untuk mengeluarkan lidah, Fitri mengulumnya. Pantatku bergoyang di bawah ke kiri – ke kanan dan ke bawah, menekan kemaluan Fitri. Sekarang Fitri yang mengeluarkan lidahnya, aku menghisapnya. Mmmff… aku merasakan kenikmatan, rasa pertama bagiku. Aku hampir lupa kalau aku mengisap lidah Fitri cukup kuat sampai akhirnya…

”Mmmfffhh… Pa, sakit!” rintihnya.

”Hehehe, maaf.” aku mencium payudaranya, kali ini mulutku tidak muat lagi mengisap payudaranya, aku mainkan lidahku di payudaranya secara bergantian.

”Mmmmffffhhh… Pa, rasanya kok enak ya?” erang Fitri lirih.

Aku makin semangat mengisap payudaranya, ciumanku turun ke kemaluan Fitri, aku jilati dengan lidahku. Aku tak sabar untuk memasukkan penisku, aku lebarkan paha Fitri, kutuntun penisku ke lobang kemaluannya, kutekan.

”Aww… sakit, Pa.” kata Fitri sambil merapatkan pahanya.

Aku meludahi kemaluan Fitri agar licin, lalu kembali kuarahkan penisku ke lobang kemaluannya. Kali ini aku melakukannya dengan penekanan yang sangat pelan, tapi masih sulit. Kuambil bantal dan kuletakkan di bawah pantat Fitri, kali ini agak sedikit lebih nyaman, kedua tanganku bisa bebas tanpa menopang tubuhku lagi. Kusibak bibir kemaluan Fitri dengan kedua jempolku, jelas sudah kelihatan lobangnya yang merah dan sempit. Kubasahi ujung penisku dengan ludahku, kali ini agak licin.

”Mmmffffff… Paaa, sakittt!!” lirih Fitri.

Aku menekannya lagi.

”Paa… aahhh… Fitri gak kuat,”

Kulihat kepala penisku sudah masuk, tinggal batangnya. Aku melihat Fitri mengeluarkan air mata, aku kasihan padanya, kucabut penisku dan kupeluk Fitri. Tapi aku merasa tanggung, kembali kuciumi bibirnya, lehernya, payudaranya, juga kemaluan Fitri. Kali ini aku menjilati kemaluan Fitri dengan rakus.

”Mmmfffhh… ougghh… Paaa, enakk… mmfff…” Fitri menggoyang-goyangkan pantatnya seakan mau menghindar karena kegelian. Kujilati itilnya, lalu Fitri meremas kepalaku, ”Mmmfffhhh… Paaa, ahhhh…” kembali Fitri mengangkat pantatnya.

Aku tau kalau dia mau orgasme, maka kusedot pas di lobang kemaluannya dengan kuat.

”Paaa…”

Aku merasakan ada sedikit cairan hangat, segera kutelan semua, secara bersamaan pantat Fitri menekan mulutku dan aku merasakan pantatnya sangat menegang, dan… ah, nafas Fitri menjadi sangat cepat. Aku melihat wajah Fitri yang orgasme, terlihat sangat dewasa, keringat di keningnya membuat wajahnya semakin cantik.

Aku berlutut di depan paha Fitri, kulebarkan pahanya, penisku yang setengah tegang kututun ke arah lobang kemaluan Fitri. Lebih baik begini, pikirku. Kalau penisku makin tegang tentu saja sulit bagiku memerawani Fitri. Kutekan pelan penisku, aaahhh… terasa hangat dan enak sekali. Kepala penisku kembali terbenam di kemaluan Fitri.

”Aww… Pa, sakit,” jerit Fitri.

Kutekan lagi hingga masuk sekitar setengah centi meter.

”Awwww… Pa, ahhh…” Fitri meraung kesakitan.

Kucabut penisku, aku kasihan padanya. Kemudian aku mengocok penisku, kencang, makin kencang. Tak sampai 3 menit aku merasa mau keluar, tatapanku melekat pada tubuh Fitri dan lobang kemaluannya, ”Aaahh… mmmfffhh…” crooot, croooottt, croootttt, spermaku keluar diatas perut sampai payudara Fitri. Aku menikmatinya sampai kocokanku membuat penisku mengecil, lalu aku berbaring sambil memeluk Fitri dan mengatur nafasku, hingga kami berdua tertidur pulas.

***

Aku berdiri di teras rumahku, melihat Nurlela istriku yang duduk di bangku teras sambil menangis.

”Kenapa kamu tega melakukannya pada anak kita, Pa?” tanya istriku.

Aku mendekat ke arah Nurlela, ”M-maafin papa ya, Ma. Papa kesepian semenjak ditinggal mama,” jawabku.

”Tidak!!!” Nurlela menatapku dan menunjukku dengan jari telunjuknya, seakan-akan mau menerkamku. Dan plakk, plakk, Nurlela menamparku dengan keras.

”Dia bukan anakku, dia bukan darah dagingku, dia bukan anakku,” nafasku terasa sesak.

”Pa, Pa! Bangun!”

”Pa…”

Ohh, aku bermimpi. Keringatku bercucuran dan nafasku ngos-ngosan seperti habis berlari.

”Papa mimpi buruk ya?” tanya Fitri.

”Iya, nak,”

Lalu Fitri keluar dari kamar, tak lama kemudian dia datang membawa air minum. Aku meminumnya, aku melihat jam pukul 02.30 WIB.

”Makasih ya, nak, kita tidur lagi yuk,” kataku.

”Iya, Pa,” Fitri memelukku, sementara aku mencoba melupakan mimpi tadi dan aku pun terlelap.

Seharian aku teringat mimpiku, bahkan aku bekerja tidak semangat, aku telah menghianati Nurlela. Ya, aku tidak akan mengulangi lagi perbuatanku, aku berjanji dalam hati. Hari ini aku sengaja pulang agak larut malam, kulihat jam sudah hampir jam 12 malam.

Tok, tok, tok, kuketuk pintu rumah. Tak lama Fitri membukakan pintu, ”Kok lama, Pa, pulangnya?” tanyanya.

”Iya, tadi banyak pekerjaan,” jawabku sambil membuka bajuku yang kotor. Kulihat tudung saji di meja makan, lauk dan pauknya masih banyak.

”Pa, Fitri laper,” kata Fitri.

”Lho, kenapa belum makan?” tanyaku.

”Fitri nunggu papa.”

”Lain kali kalau papa pulang telat, Fitri makan aja dulu,” seruku.

”Ogah ah, Fitri maunya makan bareng sama papa.”

”Ya udah, papa mandi dulu ya,” kataku.

Lalu aku mandi, kali ini aku membawa baju ganti ke kamar mandi. Setelah selesai mandi, kami langsung makan.

”Hooaaammmm… kita tidur yuk,” kataku sehabis makan.

”Iya, Pa, Fitri juga ngantuk,” kulihat Fitri membuka bajunya.

Oh tidak, batinku. Aku sengaja tidak membuka pakaianku, lalu kami beranjak ke tempat tidur. Aku menatap langit-langit kamar, sulit kupejamkan mataku, terIngat mimpi tadi malam. Istriku, maafkan aku, batinku.

Kulihat Fitri, oh bagaimana mungkin aku tahan dengan semua ini, namun aku tidak mau lagi mengulangi perbuatanku, maka segera kubalikkan badanku membelakangi Fitri, sampai aku pun tertidur.

***

Hari ini aku tidak kerja, aku sudah minta izin sama juraganku agar bisa libur selama 3 hari, kebetulan Fitri juga sedang libur kenaikan kelas. Aku bangun sekitar jam 9 lewat, kulihat Fitri sedang asik menonton TV bersama Rani.

”Udah bangun, Pa?” tanya Fitri.

”Iya nih, hoaaammm… tapi masih nguaantukk,” kataku sambil menguap. Aku melihat Rani memakai daster yang agak tipis, aku bisa melihat garis-garis celana dalamnya karena posisinya menonton sambil telungkup. Pantatnya sudah lumayan montok, lebih besar dari pantat Fitri. Uhh, penisku mendadak bangun, aku sengaja duduk dibelakang mereka. Karena serunya acara yang di tv, mereka diam saja, tapi kaki Rani yang ditekukkan ke atas bergoyang-goyang, dilebarkan lalu dirapatkan. Saat dilebarkan aku bisa melihat sedikit celana dalamnya, kutelan ludahku.

Aku lalu ke kamar untuk mengambil koran dan kembali lagi, aku pura-pura membaca koran tapi tempat dudukku berpindah agak lurus di belakang Rani. Kulihat mereka berdua masih asyik menonton, penisku menegang, jujur saja tubuh Rani lebih indah bila dibandingkan tubuh anakku, Fitri. Sekilas kalau dilihat, Rani seperti wanita dewasa. Entah kenapa melihat paha dan pantatnya, penisku jadi sangat tegang.

Uhh, aku ke kamar lagi, mengganti celanaku dengan sarung tanpa memakai celana dalam. Aku keluar lagi dari kamar, walah sialan, pikirku, Rani sudah duduk. Tanpa mikir panjang, aku ke kamar mandi. Saat aku mandi, pikiranku berkecamuk, kenapa akhir-akhir ini hasratku semakin tidak terkontrol. Selesai mandi, aku makan, tak lupa aku mengajak Fitri dan juga Rani, tapi Rani tidak mau, alasannya sudah makan.

”Pa, nanti sore kita ke pasar ya!” kata Fitri.

”Mmm, iya deh. Jam berapa, nak?”

”Jam lima aja, Pa, sekalian belanja juga lihat pasar malam,”

”Iya, om, mumpung liburan,” potong Rani.

”Ok, nanti sore kita pergi. Tapi nunggu sore enaknya kita ngapain ya?” tanyaku pada Fitri.

”Hehehe, nonton aja, Pa,” jawab Fitri.

Selesai makan, aku ikut nonton bersama Fitri dan Rani. Kali ini kami nontonnya bersandar ke dinding kamar, Fitri yang manja padaku langsung tidur di pahaku. Rani juga tak mau kalah, katanya dia rindu sosok ayah, jadi Rani bersandar di bahuku. Tanganku yang kanan membelai-belai rambut Fitri, sementara tangan kiriku memegang tangan Rani. Hampir 2 jam kami menonton hingga Fitri tertidur di atas pahaku, sementara Rani tidak lagi bersandar di pundakku, dia berbaring dengan posisi pantatnya sangat dekat dengan pantatku, dasternya agak terangkat.

Melihat itu, penisku mulai bangun. Kugeser kepala Fitri ke lantai, aku lalu ke kamar membuka seluruh pakaianku. Aku kembali lagi, kusingkap daster Rani sampai ke perutnya, celana dalamnya yang warna putih sekarang terlihat jelas. Kuangkat kaki Rani satu sehingga posisinya sekarang seperti orang melahirkan, kudekatkan wajahku ke kemalauannya, kuendus aromanya. Hmm… bau keringat, batinku. Kujilati celana dalamnya dengan posisi menungging, rasanya asin. Mungkin Rani tadi pagi belum mandi, batinku.

Kusingkap celana dalamnya ke samping agar aku bisa melihat lobang kemaluannya, aku tidak berani membuka celana dalam Rani, pasti dia terbangun. Kuisap jari telunjukku lalu kumasukkan ke lobang kemaluan Rani, sluupp… jariku masuk semua. Aku penasaran, lobang kemaluan Rani agak longgar ketimbang punya Fitri, aku yakin pasti Rani pernah bersetubuh. Kucucuk-cucukkan jariku, Rani mulai bergerak, dia merapatkan pahanya. Kudiamkan beberapa saat jariku di dalam kemaluannya, lalu kucabut.

Sekarang giliran penisku kubasahi dengan air liur, lalu kuarahkan ke lobang kemaluan Rani. Lututku agak sakit menekan tikar pandan, tapi kutahan. Perlahan kepala penisku masuk dengan mudah, kutekan lagi, ”Mmmmfff,” aku menahan desahanku saat penisku sudah masuk semua. Ohhh, perjakaku ternyata buat Rani.

Kulihat Rani mulai gelisah. Aku lalu menopang tubuhku dengan tangan agar tidak menindih Rani. Mulai kugoyang pantatku, aku merasakan kalau pantat Rani juga ikut bergoyang, ohh makin nikmat. Makin lama goyangan pantatku menjadi semakin kencang.

”Mmmfffhhhh,” desah Rani.

Kucium bibirnya, Rani pun membalas ciumanku, bahkan lidahku disedotnya, dia sudah tak tidur lagi. Aku merasa penisku mau mengeluarkan sesuatu yang tak bisa kubendung, ”Oougghhhh,,.” kutekan pantatku sekuatnya, crrrooottt… crooottt… spermaku keluar di dalam kemaluan Rani. Tak kusangka aku bisa ML dengan Rani. Aku lemas dan menindih tubuhnya, kubiarkan penisku bersarang di dalam kemaluan Rani. Kupandangi wajahnya, tapi mata Rani menatap ke belakangku.

Deg!! Ternyata Fitri melihat kami. Mataku dengan mata Fitri saling bertatapan saat aku menoleh ke belakang, aku menjadi sangat malu. Lekas kucabut penisku dan duduk sambil menutupi wajahku. Aku masih diam, begitu juga dengan Rani dan Fitri.

”Om, Fit, aku permisi pulang,” kata Rani.

Aku dan Fitri tak mengeluarkan sepatah kata pun. Setelah Rani pulang, Fitri masuk ke kamar dan aku hanya bisa menyesali perbuatanku, namun sekaligus juga menikmatinya.

Seminggu setelah kejadian itu, aku dan Fitri jadi jarang komunikasi, bisa dikatakan hanya sekali, itu pun saat Fitri minta uang mau beli buku baru. Sikap Fitri mulai berubah, cenderung lebih cuek, dia tidak mau lagi makan bersamaku, apalagi minta dimandikan, dan kalau tidur selalu membelakangiku, tapi tetap saja hanya memakai celana dalam dan bh. Sudah 2 hari ini aku melihat Fitri memakai bh, tentu saja bukan aku yang membelikan.

Pada suatu malam cuacanya sangat panas, PLN pun mati karena ada kerusakan. Aku kegerahan, keringatku bercucuran. Aku pergi ke kamar untuk membuka semua pakaianku, juga celana dalamku. Kukipas-kipas tubuhku menggunakan buku tulis Fitri yang kuambil di atas meja samping tempat tidur. Aku perhatikan Fitri melakukan hal yang sama, dia telanjang dan mandi, padahal sudah pukul 10 malam. Kucoba tidur tapi tidak bisa, panasnya suhu membuatku selalu mengeluarkan keringat.

Aku lihat Fitri sudah selesai mandi dan merasa segar, dia lalu berbaring di sampingku dengan membelakangiku. Aku mulai gemas dengan sikapnya, seakan-akan aku bersalah padanya. Tapi melihat Fitri yang tenang tidak mengipas-ngipaskan buku membuatku iri. Aku ke kamar mandi dan, byuuurrr… oh, segar juga mandi, batinku. Selesai mandi ternyata aku mulai tenang, perlahan rasa kantukku datang. Hooaaammm… dan akupun tertidur.

Suara gledek membangunkanku, ternyata hujan turun sangat lebat, membuat tubuhku kedinginan. Begitu juga dengan Fitri, dia bangun akibat suara gledek yang memekakkan telinga. Fitri menyelimuti tubuhnya, aku mencoba masuk ke dalam selimut itu, Fitri membiarkanku. Kupeluk dia dari belakang, ohh hangatnya, gairahku mulai muncul seiring penisku yang perlahan membesar. Aku merasakan penisku menempel di pantat Fitri yang membelakangiku. Tanpa sengaja kudorong-dorong pantatku, juga tanganku telah memegang payudara Fitri dan sedikit meremas pelan. Fitri diam saja kuperlakukan demikian. Aku makin berani, kucium leher belakang Fitri.

”Mmffhhh… ahhhh… Pa,” Kini Fitri membalikkan badannya menjadi telentang, gairahku sudah terbakar hingga aku lupa pada janjiku, dengan rakus kukulum bibirnya, juga payudaranya, lidahku menari-nari di putingnya.

”Mmmffhhhh… mmffhhhh… Paa, ahhhh… Pa.” rintih Fitri.

Kudekatkan wajahku ke kemaluannya, langsung kujilat dan kugigit pelan itilnya. Aku menelan semua cairan yang keluar dari kemaluan Fitri, bercampur aduk dengan ludahku.

”Aaaahhhh… Paaaa… Paaaaa…” Fitri makin mengerang hebat.

Kuludahi telapak tanganku lalu kugosok ke penisku agar licin, kuarahkan penisku perlahan. Kulihat wajah Fitri, aku tidak tahu maksud Fitri saat menganggukkan kepalanya. Perlahan tapi pasti, tanganku yang satu memegang penisku, sedang tangan yang satu lagi membuka bibir kemaluan Fitri, kudorong pantatku…

”Ooughhh… awww…” Fitri mendesah bercampur menahan rasa sakit. Kulihat penisku sudah mulai masuk, bahkan kepala penisku tidak kulihat lagi. Aku merasa agak ngilu di bagian penisku, tapi sangat menikmatinya. Kudorong lagi perlahan, perlahan, perlahan…

”Mmmffhhh… Paaaa… sakittt!!” kata Fitri lirih. Penisku telah tertanam setengah dalam kemaluannya, kudorong lagi dengan tekanan yang lebih kuat, sleppp!!!

”Aahhhhhhh… Paaaaa…” ia menjerit.

Aku menutup mulut Fitri agar tidak kedengaran sampai ke luar. Aku melihat air matanya menetes, aku kasihan padanya, tapi juga tak ingin memutus kenikmatan ini.

”Tahan ya, Sayang, tahan,” kataku mantap, aku goyang-goyang pantatku.

”Aahhhh… aaahhhh… aaaahhhh…” Fitri merengek saat penisku bolak-balik menghantam dinding kemaluannya, nikmatnya tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Fitri hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala saat kupercepat goyanganku.

”Aaahhh… aaahhhh… aaahhh… oh anakku, memekmu enak sekali… mmmfffhhhh!!” aku mengeluarkan kata-kata vulgar, dalam sekejap aku bagaikan profesional.

”Ohhh, Fitri anakku… kita ngentot… ahhhh… aahhh…” Crrroootttt… spermaku keluar banyak sekali sampai tak bisa kukatakan, aku puas dan terbaring lemas sampai aku tak tahu keadaan Fitri. Sambil mengatur nafas, aku menciumi Fitri dan memeluknya. Oh aku telah merenggut keperawanan Fitri, anakku sendiri, batinku.

Seminggu setelah kejadian itu, aku selalu menjaga sikap, baik di rumah maupun di lingkunganku, aku takut perbuatanku diketahui orang lain. Biar bagaimanapun tingginya hasratku, aku dapat mengontrol sikapku. Aku juga telah memperingatkan Fitri agar jangan terlalu manja bila ada orang lain, di samping itu juga aku sangat ketakutan apabila Fitri hamil. Seingatku waktu memerawaninya, aku lupa untuk tidak mengeluarkan spermaku di dalam kemaluannya.

”Pa, papa lamunin apa?” tanya Fitri membuyarkan lamunanku.

”Eh, kamu udah pulang, nak… nggak, Papa cuma mikirin kerja,” jawabku.

”Oh… Pa, Fitri bisa ikut les computer? Soalnya teman-teman Fitri pada ikut,” lanjutnya.

”Boleh aja, nak, Papa justru senang.” jawabku.

”Makasih ya, Pa, muaaaahhh…” Fitri menciumku. ”Mulainya sekarang, Pa, jam tiga, tapi harus bawa uang daftar sama biaya beli disknya,” lanjut Fitri.

”Oh, berapa katanya, nak?” tanyaku sambil menatap payudara Fitri yang membuatku menelan ludah.

”250rb, Pa.” jawabnya.

”Kok mahal amat, nak?” aku mengerutkan alis, belakangan ini keuanganku semakin menipis untuk biaya kami dan juga biaya sekolah Fitri.

”Gak tau, katanya segitu, Pa,” jawab Fitri.

Aku mengeluarkan dompet, isinya cuma 50rb. Lalu aku ke kamar dan membuka lemari pakaianku, kubuka amplop yang terletak di bawah lipatan baju. Aku menarik nafas, sisa gajiku bulan kemarin tinggal 400rb, kuserahkan 250rb pada Fitri.

”Nih duitnya, tapi belajarnya yang sungguh-sungguh ya!” nasihatku pada Fitri.

Fitri menerimanya dan memelukku, ”Makasih ya, Pa,”

Aku mencium rambut Fitri yang bau sinar matahari, ”Ya udah, kamu makan dulu sana,” kataku.

”Belum laper, Pa, Fitri mau tiduran dengan papa, nunggu jam 3,” jawab Fitri. ”uhhh… gerah ya, Pa,” lanjut Fitri sambil membuka baju sekolahnya, ”Papa, sini, dekat Fitri,” ia memanggil.

Tingkahnya sungguh sangat menggoda imanku, kubuka semua bajuku dan kutindih tubuhnya, kucium bibirnya.

”Mmmffffhhhh… Paaa… mmfffhhhh…” Fitri merintih.

Salah siapa, batinku. Aku langsung membuka celana dalamnya, sslrruupp… kemaluan Fitri kujilat dan kusedot habis-habisan.

”Aaagghhh… Paa, enakk… ugghhh…” Fitri mengangkat-angkat pantatnya.

Aku mengangkangkan kaki Fitri dan mengganjal pantatnya dengan bantal. Kuarahkan penisku tepat di lobang kemaluan Fitri, kutekan, ”Mmmfffhhhh… Pa,” dia merintih saat seluruh batang penisku habis ditelan kemaluannya yang sempit dan hangat.

”Paaa…”

”Iya, nak…”

”Mmfffhh… enak, Paa…”

”Apanya, nak?” Goyangan pantatku makin kupercepat.

”Titit papa, enaaakk…”

”Apa titit itu, nak?”

”Kontol papa,”

Aku makin bernafsu mendengar kata-kata Fitri. Aku merasakan sesuatu akan keluar dari penisku, kugoyang pantatku makin kencang, dan puting Fitri aku lumat habis, kuhisap sekuat-kuatnya.

”Paaa… aaaaghhhhhhhh…” Fitri menjambak rambutku, dan crooottt, crooottt, penisku mengeluarkan sperma yang banyak sekali di dalam kemaluan Fitri.

Disaat yang hampir bersamaan, ”Paaaa… aaaghh!!” Fitri seperti mengejan, pantatnya menekan penisku sangat kuat. Rupanya dia juga orgasme, kami sama-sama puas. Aku masih membiarkan penisku di dalam lobang kemaluan Fitri sambil mengatur nafas, siang itu kami berdua mandi keringat.

Aku melihat jam sudah menunjukkan pukul 2 lewat. ”Nak, mandi sana,” kataku sambil turun dari tubuh Fitri.

”Bentar lagi, Pa,” jawab Fitri sambil memegang penisku, aku membiarkannya. Tak beberapa lama Fitri beranjak dari tempat tidur, aku merasakan angin yang segar, rupanya Fitri memindahkan kipas angin yang ada di luar ke dalam kamar. Aku menikmatinya sampai tertidur.

”Pak!!”

Tok-tok-Tok…

”Pak, Pak…”

Aku bangun saat mendengar ketukan di pintu depan, masih jam 4. Uh, siapa ini yang mengganggu tidurku, batinku. Kubuka pintu dengan keadaan mata yang masih terkantuk-kantuk.

”Aawwwww!!” bu Ratmi lekas menutup kedua matanya sambil berbalik.

Oh tidak!!! Aku lupa memakai celanaku. Aku langsung balik ke kamar dan mengambil handuk, segera kulilitkan ke pinggangku.

”Maaf, bu,” kataku. ”Ada apa ya, bu?” lanjutku untuk memecah kebekuan.

”Anu, pak, maaf mengganggu. Bisa pinjam kamar mandi?”

Tanpa kujawab, bu Ratmi langsung nyelonong ke kamar mandi. Suara kentutnya sampai kudengar, aku tersenyum dan berpikir; aneh, kenapa juga bu Ratmi kesini? batinku.

10 menit kemudian bu Ratmi keluar, ”Makasi ya, pak. Kamar mandi kami rusak, mungkin tersumbat,” kata bu Ratmi.

”Iya, Sama-sama, bu, nggak apa-apa.” jawabku.

”Fitri kemana, pak?” tanya bu Ratmi.

”Fitri sedang les,” jawabku.

”Oh, pantesan bapak telanjang,” kata bu Ratmi sambil tertawa kecil.

Wah, bu Ratmi ini agak genit juga, batinku. Dia tidak langsung pulang, malah duduk di dekatku.

”Bu Ratmi belum mau pulang?” tanyaku.

”Ehh, gak boleh ya lama-lama?” jawab bu Ratmi agak menggoda.

”Boleh sih, bu, tapi malu dilihat tetangga,” jawabku.

”Betul juga ya, pak, kalau begitu saya pamit aja deh,” kata bu Ratmi sambil menuju pintu dan langsung pulang.

Aku bergegas mandi, belum sempat kubilas badanku, ada yang memanggil-manggil dari luar.

”Fit, Fitrii…”

Siapa lagi ini, pikirku. Aku lilitkan handuk ke pinggangku dan…

”Eh, maaf, om, Fitri di rumah?” tanya Rani.

”Nggak, lagi les computer,” jawabku.

”Ohh, Rani cuma mau minjam buku, Om,” lanjutnya.

”Tunggu aja, bentar lagi juga balik,” kataku.

”Iya, om,” jawab Rani sambil memandang ke arah penisku.

”Tapi nunggunya di luar aja ya,” lanjutku.

”Iya, om.” jawab Rani.

Aku pun balik ke dalam dan mandi kembali.

***

”Pa, lain kali kalau rani datang, suruh aja pergi!” kata fitri agak jengkel.

”Lho, kenapa, nak? Rani kan teman sekolahmu,” jawabku.

”Tapi Fitri tidak suka padanya,” jawab Fitri tegas.

Aku tau Fitri pasti tidak suka karena penah melihat kami sedang ML. ”Papa gak tega, nak,” lanjutku.

”Gak tega apa suka?” jawab Fitri.

”Ngg… ehh, kok gitu ngomongnya?”

Fitri kemudian ke kamar dan menangis telungkup. Aku biarkan dia sendiri.

Suatu malam aku dan Fitri menonton acara reality show, dimana ada perkawinan incest di pedalaman India dan melahirkan anak yang cacat. Aku dan Fitri saling berpandangan, ada tersirat rasa penyesalan dalam dirinya, begitu juga aku.

Aku ke kamar dan membaringkan diri, aku mencoba mengingat masa lalu bersama istriku, Nurlela. Ahh, tak terasa air mataku menetes. Aku merasakan kehadiran Fitri disampingku, hanya saja dia membelakangiku. Kami diam dalam pikiran masing-masing, hening, kami diam padahal tidak tidur.

”Pa,” kata Fitri sambil membelakangiku. “Fitri takut hamil, Pa,” lanjutnya.

”Papa juga, Nak,” jawabku. ”Sepertinya kita harus menghentikan hubungan kita yang sudah terlalu jauh ini,” lanjutku.

”Iya, Pa, Fitri setuju,” kemudian Fitri membalikkan badannya sambil memelukku.

***

Satu bulan kemudian hal yang kutakuti pun terjadi, pagi itu selepas aku selesai sarapan dan mau berangkat kerja.

”Weaaakkk… weaaakkk…” Fitri muntah-muntah di kamar mandi. Rasa takut akan firasatku, langsung kudekati Fitri, kubekap mulutnya dengan telapak tanganku.

”Sstt… ditutup, nak, mulutnya kalau mau muntah. Nanti ada orang yang dengar,” kataku pada Fitri, aku sangat gugup dan dihantui rasa takut.

”Mmffhh,” Fitri melepaskan tanganku. ”Pa, Fitri takut,” katanya sambil menangis.

”Stttt… tenang, nak, tenang. Kamu masih mual?” tanyaku.

”Dikit, Pa.” jawab Fitri sambil memukul-mukul perutnya.

Aku tak kuasa melihat tingkah Fitri, pikiranku bercampur aduk, tapi logikaku menyadarkanku. Jika orang mengetahui Fitri hamil karena aku, pasti warga akan mengamuk, atau bisa saja memukuliku dan aku dipenjara. Oh tidak, aku teringat kedua orang tuaku. Tanpa pikir panjang aku mengajak Fitri ke suatu tempat, tentunya dengan tujuan aborsi. Tapi tidak semudah yang kukira, aku harus menjaga dan menutup rapat-rapat kejadian ini.

”Pa, kita mau kemana?” tanya Fitri.

”Sabar ya, nak!” jawabku.

Aku membawa Fitri ke luar kota dan bertanya-tanya pada orang dimana ada tempat aborsi, untung saja ada yang membantu. Aku menemukan alamat dukun yang diberitahukan kepadaku. Setelah menjelaskan semua pada sang dukun maksud kedatangan kami, aku dan Fitri disuruh masuk ke sebuah kamar. Aku hanya bisa melihat dan kasihan pada Fitri, dia mengerang kesakitan, mungkin sangat kesakitan, sampai air mataku menetes dan memohon pengampunan pada yang maha kuasa.

Setelah Fitri menggugurkan kandungannya, dia terlihat sangat lemas, ibarat bunga yang sudah layu. Aku memutuskan untuk menginap di rumah dukun tersebut mengingat kondisi Fitri yang masih labil. Keesokan harinya baru aku membawa Fitri pulang, tentu saja aku mengatur agar pada saat tiba di rumah tepat pada malam hari, agar orang tidak curiga.

Selama seminggu Fitri kuliburkan dari sekolah, keadaannya pun mulai membaik.

”Pa, mau bikin apa?” tanya Fitri pada suatu hari.

”Ini, papa mau buatin kamar buat kamu,” jawabku sambil memotong triplek dengan gergaji.

”Fitri bantu ya, Pa!” lanjutnya.

”Gak usah, nak, kamu kan lagi sakit. Udah, mending kamu istirahat aja,” jawabku.

Aku lihat Fitri tidak beranjak, ”Pa, Fitri kangen mama.” kata Fitri lirih.

Aku menatapnya. ”Papa juga, nak.” jawabku.

”Kenapa papa tidak mau menikah lagi?” lanjut Fitri.

Aku terdiam mendengar pertanyaannya, tak bisa kupungkiri kalau benih cintaku telah tertanam pada diri Fitri. Kuambil nafas dalam-dalam, ”Udah sore, Nak, mandi sana!” kataku sambil menyudahi pekerjaanku.

Aku melihat Fitri menutup pintu kamar mandi, mungkin dia telah sadar akan apa yang dilakukan selama ini adalah salah. Aku merasa bangga pada Fitri yang memiliki sifat dewasa walau ada keinginan di hatiku untuk mengulangi kenangan bersamanya.

KAK WIN

Pengalaman-pengalaman saya ini dimulai pada akhir tahun lalu, yang juga merupakan perkenalan pertama saya dengan sebuah Website cerita cerita dewasa. Sebelum kejadian-kejadian tersebut, saya adalah seorang ibu rumah tangga yang baik dan tanpa cacat (menurut saya lho). Umur saya 42 tahun. Saya memiliki dua orang anak keduanya laki-laki. Anak saya terbesar Tony berumur 15 tahun di kelas tiga SMP, sedangkan sikecil Sandy masih berusia 4 tahun. Suami saya bekerja di suatu instansi pemerintah dan kami hidup normal dan bahagia. Saya sendiri seorang sarjana dari perguruan tinggi ternama di negara ini tetapi memilih tidak bekerja. Saya taat beragama dan mengenakan jilbab hingga sekarang. Tetapi sejak kejadian-kejadian ini, saya merasa sebagai wanita berdosa yang tidak lagi mampu menghindari dosa bersetubuh dengan laki-laki yang bukan suami sendiri. Membayangkan kejadian-kejadian tersebut saya selalu ingin menangis tetapi pada saat yang sama saya juga didera oleh nafsu birahi membara yang tidak mampu saya atasi. Kejadiannya adalah sebagai berikut. Saat itu sore hari sekitar jam tiga dan saya baru saja bangun tidur dan Sandy masih tertidur di sebelah saya. Sedangkan suami saya masih bekerja di kantor nya.
Dari dalam kamar saya dapat mendengar suara komputer yang dimainkan anak saya Tony di ruang tengah yang berbatasan langsung dengan kamar tidur saya. Kami berlangganan internet (saya sering juga browsing di internet dan mahir menggunakan komputer) dan sedangkan Tony sering sekali menggunakan komputer, tetapi saya tidak tahu persis apa yang dimainkan. Saya kira dia hanya main game saja. Pintu kamar saya agak terbuka.

Saya bermaksud untuk keluar dari kamar, tetapi ketika saya menarik pintu, apa yang terlihat membuat saya tertegun dan mengurungkan niat tersebut. Apa yang terlihat dari balik pintu membuat hati saya betul-betul terguncang. Walau agak kurang jelas, saya masih dapat melihat di layar komputer tampak sosok wanita kulit putih telanjang tanpa busana dengan posisi terlentang dan kaki terbuka dengan kemaluan yang tampak jelas. Saya menjadi kesal karena Tony yang masih anak-anak melihat hal-hal yang sangat terlarang tersebut. Tetapi yang kemudian membuat saya shock adalah setelah saya menyadari bahwa Tony sedang mengurut-urut penisnya.
Dari dalam kamar saya dapat melihat resleting celana Tony terbuka dan celananya agak turun. Tony sedang duduk melihat layar sambil mengusap-usap penisnya yang tampak berdiri tegang dan kaku. Sejak dia disunat lima tahun yang lalu saya, hampir tidak pernah lagi melihat anak saya itu telanjang. Tony sudah dapat mengurus dirinya sendiri. Tinggi Tony sekitar 158 cm dan sudah hampir sama dengan tinggi saya yang sekitar 162 cm. Samar-samar saya dapat melihat rambut kemaluannya yang tampaknya masih sedikit. Saya betul-betul tercengang melihat semua ini. Kemaluannya memang tidak berukuran besar tetapi melihat demikian kakunya batang anak ini membuat saya tanpa sadar berdebar. Batang kemaluannya tampak berwarna coklat kemerahan dengan urat-urat yang menonjol kebiruan.
Samar-samar saya dapat mendengar napasnya yang terengah. Tony sama sekali tidak menyadari bahwa saya sudah bangun dan melihat kelakuannya dari balik pintu. Kejadian Tony membelai-belai kemaluannya ini berlangsung terus selama lebih kurang empat-lima menit lamanya. Yang mengagetkan adalah reaksi kewanitaan tubuh saya, ternyata jantung saya terasa berdebar keras menyaksikan batang kemaluan yang demikian kaku dan berwarna semakin merah, terutama bagian kepalanya. Pandangan saya beralih-alih dari kemaluan wanita telanjang di layar komputer ke batang anak saya sendiri yang terus diusap-usapnya.
Gerakan tangannya semakin cepat dan mencengkeram bagian kemaluannya dengan muka yang tampak tegang memandangi layar monitor. Kepala batang yang mengeras itu tampak diremas-remasnya. Astaga .., dari lubang di kemaluannya berleleran keluar cairan bening. Cairan kental bening tersebut diusap-usap oleh jari Tony dan dioles-oleskan ke seluruh kemaluannya. Kini ia juga menekan-nekan dan meremas kantung pelir dan dimainkannya bolanya.
Kemaluan itu kini tampak basah dan berkilap. Napas Tony terdengar sangat keras tetapi tertahan-tahan. Saya merasa napsu birahi saya muncul, tubuh saya mulai gemetar dan darah mengalir di dalam tubuh dengan deras. Napas sayapun mulai tak teratur dan saya berusaha agar napas saya tak terdengar oleh Tony. Apa yang saya lihat selanjutnya membuat saya sangat tergetar. Tubuh Tony tampak mengejang dengan kakinya agak terangkat lurus kaku, sementara tangannya mencengkeram batang kemaluan itu sekuat-kuatnya. “Eeegh, heeggh .”, Tony mengerang agak keras, dan ya ampun …, yang tidak saya sangka-sangka akhirnya terjadi juga. Dari lubang di kepala batang kemaluannya terpancar cairan putih kental. Tony yang saya anggap anak kecil itu memuncratkan air mani. Cairan kental itu memuncrat beberapa kali. Sebagian jatuh ke perutnya tetapi ada juga yang ke lantai dan malah sampai ke keyboard komputer. Tangan Tony mencengkeram kontol yang memerah itu dan menariknya sekuatnya ke pangkal batang. Ohhh .., kontol itu tampak kaku, tegang, urat-urat menonjol keluar, mani muncrat keatas. Melihat air mani muncrat seperti itu segera saja saya merasakan lonjakan birahi yang luar biasa di sekujur tubuh saya. Memek saya terasa menjadi basah dan napas saya menjadi tersengal sengal Saya berusaha mengendalikan diri dari rangsangan birahi sebisa-bisanya, ada semacam perasaan tidak enak dan bersalah yang tumbuh menyaksikan anak saya dan terutama atas reaksi tubuh saya seperti ini. Tony masih terus mengurut-urut batang kontolnya dan air mani yang tersisa tampak mengalir sedikit-sedikit dari lubang kencing di kepala kontolnya. Tony melumuri permukaan kontolnya dengan air mani tadi dan terus menggosok-gosok kontolnya. Kini kontol itu tampak diselimuti oleh mani berwarna keputihan. Samar-samar saya dapat mencium bau mani yang bertumpahan karena jarak saya dengan Tony sebetulnya sangat dekat hanya dua meteran. Tony tampak mulai tenang dan napasnya semakin teratur. Kontol yang berleleran air mani mulai mengendur. Ia menghela napas panjang dan tampak lega terpuaskan. Kontol itu sekarang tampak terkulai kecil dan lemah berwarna kecoklatan, sangat berbeda dengan kejadian beberapa menit yang lalu. Tony kemudian berdiri dan menuju ke kamar mandi. Ia masuk ke kamar mandi dan menutup pintunya.
Seolah-olah ada yang menuntun, saya berjingkat menuju komputer tanpa menimbulkan bunyi. Saya memandang lekat ke layar komputer, mengagumi tubuh wanita muda berkulit putih (orang Barat) yang telah mengundang nafsu anak saya. Tanpa sadar saya menghela napas melihat kemaluannya. Rambut jembutnya berwarna kecoklatan tampak tertata seperti pernah dicukur. Sesuatu yang tidak pernah saya lakukan pada rambut kemaluan saya dan tak pernah terpikirkan untuk melakukannya.
Pandangan saya beralih ke tetesan-tetesan mani yang tampak di dekat keyboard. Saya mengusap mani tersebut dengan jari dan entah mengapa saya mencium dan menjilati jari tangan saya yang berleleran dengan mani. Rasanya asin dan baunya terasa lekat, tetapi nafsu birahi saya terbangkit lagi. Saya tidak ingin Tony curiga. Dari layar komputer saya melihat address internetnya adalah ………. (tidak perlu saya sebutkan) dan saya catat saja di dalam hati. Saya berjingkat masuk kamar dan membaringkan tubuh. Tak lama saya dengar Tony kembali ke komputernya dan saya kira ia sedang membersihkan sisa-sisa mani yang tadi ia muncratkan. Kemudian saya dengar ia bermain game (kedengaran dari bunyi nya). Lima belas menit kemudian saya pura-pura baru saja terbangun dan keluar dari kamar. Sikap Tony tampak agak canggung tetapi saya kira ia yakin bahwa kejadian tadi tidak saya ketahui. Saya sendiri bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Sejak saat itu saya merasa ada perubahan luar biasa pada diri saya. Sebelumnya saya melakukan hubungan sex dengan suami hanyalah sebagai suatu hal yang rutin saja. Kejadian Tony melakukan onani didepan computer membuat saya menemukan sesuatu yang baru dalam hal soal sex.
Sesuatu yang menggairahkan, nafsu birahi yang menggelegak, tetapi sekaligus perasaan dosa, karena ini dibangkitkan oleh kejadian yang dilakukan anak saya sendiri. Apa yang dilakukan anak saya membuat saya shock, tetapi yang juga mengerikan adalah justru anak saya sendiri membangkitkan nafsu birahi saya yang menyala-nyala. Tony yang selalu saya anggap anak masih kecil dan tidak mungkin berhubungan dengan hal hal yang berbau sex dan porno. Selalu terbayang di mata saya wajah Tony dengan napas terengah engah dan muka tegang, kocokan tangannya, batang kontol yang berwarna kemerahan sangat tegang dengan urat yang menonjol. Air mani yang memuncrat-muncrat dari lubang kontolnya. Ya Tuhan .. , KONTOL itu adalah milik anak saya. Sejak kejadian itu saya sering terbayang penis Tony yang sedang memuncrat – muncratkan air maninya. Penis yang kaku itu tidak berukuran besar, menurut saya tidak terlalu panjang dan besar menurut usianya. Tetapi yang tidak dapat saya lupakan adalah warnanya yang kemerahan dengan urat-urat hijau kebiruan yang menonjol. Saat itu penis itu begitu tegang berdiri hampir menyentuh perutnya. Jika mengingat dan membayangkan kejadian itu, birahi saya mendidih, terasa ada cairan merembes keluar dari lubang kemaluan saya. Hal lain yang memperparah keadaan adalah, sejak hari kejadian itu, saya mulai berkenalan dengan dunia baru yang tidak pernah saya datangi sebelumnya. Saya sudah biasa browsing di Yahoo ataupun yang lain. Tetapi sejak mengenal “Cerita Dewasa” saya mulai mengarungi dunia lain di internet. Sehari sesudah kejadian Tony onani, saya mulai membuka-buka situs “Cerita Dewasa” Tentu saja itu saya lakukan pada saat tidak ada orang di rumah. Pembantu saya, setelah melakukan tugas didalam rumah, biasanya selalu mendekam dikamarnya. Tony belum pulang dari sekolahnya, sedangkan Suami saya masih di kantornya. Saya hanya berdua dengan Sandy yang biasanya lebih senang bermain di kamar tidur. Saat itulah saya mulai mencoba-coba “Cerita Dewasa” Saya tidak menyangka ada suatu situs internet menyajikan cerita dan gambar pornografi yang seperti itu. Saya membuka – buka gambar wanita-wanita telanjang yang tampak tidak malu-malu memperagakan bagian kewanitaannya yang seharusnya ditutup rapat rapat. Mereka tampaknya menikmati apa yang mereka lakukan dengan mempertontonkan bagian tubuhnya yang terlarang. Pada hari itu saya mulai juga menemukan situs-situs lain yang lebih porno. Ada sekitar 3 jam saya berpindah-pindah dan mempelajari dunia sexual penuh nafsu yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Laki-laki dan perempuan bersetubuh dengan berbagai macam cara yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya dan yang tidak pernah saya praktekkan sebelumnya dengan suami. Ada perempuan yang menghisap penis berukuran sangat besar (kelihatannya lebih besar dari penis suami saya) hingga penis itu memuntahkan air maninya. Astaga, perempuan itu membiarkan mani itu muncrat sampai membasahi wajahnya, berleleran, dan bahkan meminumnya tanpa ada rasa jijik. Sejak saat itu setiap hari saya menjelajahi internet. Saya mempelajari semua bentuk sex yang ada di situs-situs itu. Penis orang negro yang hitam legam dan panjang agak mengerikan bagi saya, tetapi juga membangkitkan birahi saya. Membayangkan penis hitam panjang itu menembus kemaluan wanita, panas dingin saya membayangkannya. Yang betul-betul baru buat saya adalah anal-sex. Saya meraba-raba dubur saya dan berpikir apakah tidak menyakitkan. Tetapi wanita-wanita dengan lubang dubur yang menganga dan tertembus penis itu tampaknya terlihat nikmat nikmat saja. Tetapi yang paling membangkitkan birahi saya adalah persetubuhan orang Jepang. Mungkin karena mereka sama-sama orang Asia, jadi tampak lebih real dibandingkan dengan wanita kulit putih. Dan mungkin ada kesan surprise juga bagi saya, bahwa orang-orang Jepang yang tampak sopan itu dapat begitu bernafsu di dalam sex. Saya memang bukan orang keturunan Chinese, tetapi kulit saya cukup putih untuk ukuran orang Indonesia. Jadi saya melihat semacam ada kesamaan antara diri saya dengan wanita Jepang itu walau tentunya kulit saya tidak seputih mereka. Yang agak surprise adalah rambut kemaluan wanita wanita Jepang yang cenderung hitam lebat, tidak dicukur seperti kebanyakan orang kulit putih. Wanita Jepang juga memiliki kulit kemaluan, bibir-bibir memek yang berwarna gelap kecoklatan, mirip seperti kemaluan saya sendiri (Ya Allah, saya sampai menuliskan hal-hal seperti ini, ampun ya Allah). Saya juga mendapatkan suatu situs (kalau tidak salah dari ……..com) di mana wanita-wanita muda Jepang mengisap penis hingga muncrat dan air mani yang sangat banyak berleleran di mukanya yang berkulit putih. Saya selalu panas dingin melihat itu, dan tanpa sadar saya membayangkan lagi penis kecil Tony yang tegang dan memuncratkan air maninya. Kehidupan sex internet yang paling memabukkan saya adalah cerita-cerita nafsu di “Cerita Dewasa” dan melebihi segala suguhan gambar sex yang ada. Saya sangat terangsang membaca cerita-cerita menakjubkan itu. Tidak saya sangka bahwa kehidupan sex orang-orang Indonesia dapat seliar dan juga seindah itu. Yang paling merangsang dan membuat saya agak histeris adalah cerita sex antara orang yang masih sedarah, seperti antara tante dengan keponakan, antara sepupu, saudara ipar, atau malah antara anak dan mertua. Mungkin ini karena perasaan saya terhadap Tony anak saya. Di situs lain, saya pernah membaca cerita sexual antara anak dengan ibunya.
Saya sampai menangis membaca cerita itu, tetapi juga sekaligus merasakan birahi yang luar biasa. Ini tidak berarti bahwa saya berniat menyetubuhi anak saya sendiri, saya takut atas dosanya. Namun tidak dapat saya pungkiri, bahwa saya terkadang membayangkan kontol Tony yang sangat kaku itu masuk ke dalam memek saya. Saya selalu mohon ampun di tiap doa dan sembahyang, tetapi pada saat sama saya juga tak berdaya.
Saya mulai membayangkan laki-laki dari keluarga dekat saya, ipar-ipar saya. Saya kira kejadian berikutnya yang akan saya ceritakan adalah takdir yang tidak dapat saya hindarkan. Saya begitu lemah dari godaan setan dan sangat menikmati apa yang saya perbuat. Kejadian itu adalah pada sore hari sekitar jam setengah empat, beberapa minggu setelah kejadian saya memergoki Tony beronani, kalau tidak salah dua atau tiga hari menjelang bulan puasa Ramadhan. Saya baru saja selesai Ashar. Sebelumnya saya baru menutup internet, membaca cerita-cerita di “Cerita Dewasa” Dengan shalat saya merasa agak tenang. Pada saat shalat itu akan selesai, saya mendengar ada ketukan pintu, ada tamu. Apa boleh buat, si tamu harus menunggu saya selesai. Sesudah selesai shalat saya intip dari dalam, ternyata dia adalah Budi. Ia adalah suami dari ipar (adik suami) saya. Saya sangat dekat dengan Dian, istri Budi. Saya juga mempunyai hubungan baik dengan Budi. Ia berumur kira-kira 36 tahun, berwajah tampan dengan kulit putih dan kuakui lebih tampan dari suami saya. Perawakannya tidak tinggi, hanya sekitar 164 cm, hampir sama dengan tinggi saya. Dia bekerja di instansi yang sama dengan suami saya (mungkin hasil kkn ya ?) Melihat Budi di luar saya jadi agak terburu-buru. Biasanya saya menemui orang yang bukan suami dan anak (atau wanita) selalu dengan mengenakan pakaian wanita rapi dan tertutup rapat. Karena terburu-buru dan tanpa saya sadari, saya hanya mengenakan baju tidur berkain halus warna putih sebatas lutut berlengan pendek dengan kancing-kancing di depan. Untung saya masih sempat mengenakan secarik kain selendang warna hitam untuk menutup kepala, bukan jilbab, tetapi seperti selendang tradisional yang diselempangkan di kepala hanya untuk menutup rambut. Leher saya terbuka dan telinga saya terlihat jelas. Apa boleh buat saya tidak dapat membiarkan Budi menunggu saya didepan rumah terlalu lama. Saya membuka pintu. Budi tersenyum melihat saya walaupun saya tahu dia agak heran melihat saya tidak berpakaian seperti biasanya. “Apa kabar kak Win”, sapanya, “Saya membawakan titipan pakaian dari Dian, untuk Sandy “. “Eh, ayo masuk Bud, baru dari kantor ya ?”, dan saya persilakan dia masuk. Saya lalu mengambil barang yang dibawa Budi dan meletakkannya di meja makan. Meja makan terletak di ruang tengah tidak jauh dari meja komputer. Ruang tengah berhubungan langsung tanpa pembatas dengan ruang tamu di bagian depan dan dapur di bagian kiri. Dapur dapat terlihat jelas dari ruang tamu. Sambil duduk di sofa ruang tamu, Budi mengatakan “Saya tadi ketemu kak Kamal di kantor katanya baru pulang jam enam nanti”. Kamal adalah suami saya. “Mana anak-anak, Win ?”, kata Budi lagi. “Tony sedang main ke rumah teman dari siang tadi dan katanya mungkin baru pulang agak malam” kata saya. Tiba-tiba saya menyadari bahwa kami hanya berdua saja. Terus terang, Budi dan Dian adalah kerabat yang paling saya sukai karena perangai mereka berdua yang sopan dan terbuka.
Saya duduk di sofa di seberang agak ke samping dari kursi sofa yang diduduki Budi. Pada saat saya mulai duduk saya baru menyadari agak sulit untuk duduk dengan rapi dan tertutup dengan pakaian yang saya kenakan. Posisi alas duduk sofa cukup rendah sehingga pada saat duduk lutut terasa tinggi dibandingkan dengan pantat. Jadi bagian bawah paha saya agak terangkat sedikit dan agak sulit tertutup sempurna dengan pakaian seperti yang saya kenakan dan pada saat duduk ujung pakaian tertarik sedikit ke atas lutut. Budi tampak agak terkesiap melihat saya. Sekilas ia melirik ke lutut dan paha saya yang memang putih dan tidak pernah kena sinar matahari (saya selalu berpakaian muslim ke luar rumah). Saya agak malu dan canggung (saya kira Budi juga tampak agak canggung). Tetapi kami sudah bukan remaja lagi dan dapat menguasai diri. “Apa kabar Dian, Bud”, tanya saya. “Dian beberapa hari ini kurang sehat, kira-kira sudah semingguan lah”, kata Budi. “Bagaimana Tony, Win ?, apa enggak ada pelajaran yang tertinggal ?”, Budi balik bertanya. “Yah, si Tony sudah mulai oke koq dengan pelajarannya. Mudah-mudahan saja sih prestasinya terus-terusan bagus”, saya jawab. Tiba-tiba Budi bilang ” Wah, kayak-kayaknya Tony semakin getol main komputernya yah Win, kan sudah hampir SMA”. Deg perasaan saya, semua pengalaman internet jadi terbayang kembali. Terutama terbayang pada Tony saat ia beronani di depan komputernya. “Eh, kenapa kak Win, koq kaya seperti orang bingung sih ?”, Budi melihat perubahan sikap saya. “Ah, tidak apa-apa kok. Tapi si Tony memang sering sekali main komputer.” kata saya. Saya mendadak merasakan keberduaan yang mendalam di ruangan itu. Saya merasa semakin canggung dan ada perasaan berdebar. Untuk menghindar dari perasaan itu saya menawarkan minum pada Budi, “Wah lupa, kamu mau minum apa Bud ?”. “Kalau tidak merepotkan, saya minta kopi saja deh”, kata Budi. Saya tahu, Budi memang paling suka minum kopi. Saya bangkit berdiri dari sofa. Tanpa saya sengaja, paha dan kaki saya sedikit terbuka pada saat saya bangun berdiri. Walaupun sekilas, saya melihat pandangan mata Budi melirik lagi ke paha saya, dan tampak agak gugup. Apakah dia sempat melihat bagian dalam paha saya, pikir saya di dalam hati. “Tunggu sebentar ya..”, kata saya ke Budi. Sebelum membuat kopi untuk Budi, saya ke kamar tidur dulu untuk menengok Sandy. Sambil menuju ke kamar saya melirik sebentar ke arah Budi. Budi tampak tertunduk tetapi tampak ia mencuri pandang ke arah saya. Saya tersadar bahwa penampilan pakaian saya yang tidak biasanya telah menarik perhatiannya. Terutama sekali mungkin karena posisi duduk saya tadi yang sedikit menyingkap bagian bawah pakaian saya. Saya yang terbiasa berpakaian muslim tertutup rapat, ternyata dengan pakaian seperti ini, yang sebenarnya masih terbilang sopan, telah mengganggu dan menggugah (sepertinya) perhatian Budi. Menyadari ini saya merasa berdebar-debar kembali, dan tubuh saya terasa seperti dialiri perasaan hangat. Anak saya Sandy masih tertidur nyenyak dengan damainya. Tanpa sengaja saya melihat cermin lemari pakaian dan menyaksikan penampilan saya di kaca yang membuat saya terkesiap. Ternyata pakaian yang saya kenakan tidak dapat menyembunyikan pola pakaian dalam (bra dan celana dalam) yang saya kenakan. Celana dalam yang saya pakai terbuat dari bahan (agak tipis) berwarna putih sedangkan kutangnya berwarna hitam. Karena pakaian yang saya kenakan berwarna putih dan terbuat dari bahan yang agak halus maka celana dalam dan bh tadi tampak terbayang dari luar. Ya ampun ., saya tidak menyadari, dan tentunya Budi dapat melihat dengan leluasa. Saya menjadi merasa agak jengah. Tetapi entah mengapa ada perasaan lain yang muncul, saya merasa sexy dan ada perasaan puas bahwa Budi memperhatikan penampilan saya yang sudah cukup umur ini. Tubuh saya tampak masih ramping dengan kulit yang putih. Kecuali bagian perut saya tampak ada sedikit berlemak. Budi yang saya anggap sopan dan ramah itu ternyata memperhatikan tubuh dan penampilan saya yang sebetulnya sudah tidak muda lagi. Saya merasa nakal dan tiba-tiba perasaan birahi itu muncul sedikit demi sedikit. Bayang-bayang persetubuhan dan sex di internet melingkupi saya. Oh., bagaimana ini.. Aduh ., birahi ini, apa yang harus dilakukan. Saya jadi tidak bisa berpikir lurus. Saya berusaha menenangkan diri tetapi tidak berhasil. Akhirnya saya putuskan, saya akan melakukan sedikit permainan, dan kita lihat saja apa nanti yang akan terjadi. Saya merasa jatuh ke dalam takdir. Dengan dada berdebar, perasaan malu, perasaan nakal, dan tangan agak gemetar, saya membuka kancing baju saya yang paling bawah. Bagian bawah dari baju saya sekarang tersibak hingga 15 cm di atas lutut. Mungkin bukan seberapa, tetapi bagi saya sudah lebih dari cukup untuk merasakan kenakalan birahi. Satu lagi kancing baju yang paling atas saya buka sehingga bagian atas yang mulai menggunduk dari susu saya mulai terlihat. Payudara saya tidak besar, berukuran sedang-sedang saja. Sambil berdebar-debar saya keluar kamar menuju dapur. “Wah maaf ya Bud, agak lama, sekarang saya buat dulu kopinya.” kata saya. Saya dapat merasakan Budi memandang saya dengan perhatian yang lebih walaupun tetap sangat sopan. Ia tersenyum, tetapi lagi-lagi pandangannya menyambar bagian bawah tubuh saya. Saya tahu bahwa untuk setiap langkah saya, pakaian bawah saya tersibak, sehingga ia dapat melihat bagian paha saya yang mulai sangat memutih, kira-kira 20 cm di atas lutut. Saya merasa sangat sexy dan nakal, dibarengi dengan birahi. Saat itu saya tidak ingat lagi akan suami dan anak. Pikiran saya sudah mulai diselimuti oleh nafsu berahi. Saya berpikir untuk menggoda Budi. Saya membuka lemari dapur dan membungkuk untuk mengambil tempat kopi dan gula. Saya sengaja membungkukkan pinggang ke depan dengan menjaga kaki tetap lurus. Baju saya bagian belakang tertarik ke atas sekitar 20 cm di atas lipatan lutut dan celana dalam tercetak pada baju karena ketatnya. Saya dapat merasakan Budi memandangi tubuh saya terutama pantat dan paha saya. Kepuasan melanda saya yang dapat menarik perhatian Budi. Saya merasa Budi selalu melirik-lirik saya ke dapur selama saya menyiapkan kopi. Secangkir kopi yang masih panas saya bawa ke ruang tamu. Tepat di depan sofa ada meja pendek untuk meletakkan penganan kecil atau pun minuman. Saya berjongkok persis di seberang Budi untuk meletakkan kopi. Saya berjongkok dengan satu lutut di lantai sehingga posisi kaki agak terbuka. Samar-samar saya mendengar Budi mendesis. Sambil meletakkan kopi saya lirik dia, dan ternyata ia mencuri pandang ke arah paha-paha saya. Saya yakin ia dapat melihat nyaris ke pangkal paha saya yang tertutup celana dalam putih. Sambil berjongkok seperti itu saya ajak dia ngobrol. “Ayo di minum kopinya Bud, nanti keburu dingin”, kata saya. “Oh, ya, ya, terima kasih”, kata Budi sambil mengambil kopi yang memang masih panas, sambil kembali pandangannya menyambar ke arah bagian dalam paha saya. “Apa tidak berbahaya terlalu banyak minum kopi, nanti ginjalnya kena”, tanya saya untuk mengisi pembicaraan. “Memang sih, tetapi saya sudah kebiasaan”, kata Budi. Sekitar tiga menitan saya ngobrol dengan Budi membicarakan masalah kopi, sambil tetap menjaga posisi saya. Saya lihat Budi mulai gelisah dan mukanya agak pucat. Apakah ia terangsang, tanya saya dalam hati. Saya kemudian bangkit dan duduk di sofa di tempat semula saya duduk. Saya duduk dengan menyilangkan kaki dan menumpangkan paha yang satu ke atas paha yang lain. Saya melihat lagi Budi sekilas melirik ke bagian tubuh saya . “Hemmhhh ..”, saya mendengar Budi menghela napas. Bagian bawah baju saya tertarik jauh ke atas hingga setengah paha, dan saya yakin Budi dapat melihat paha saya yang terangkat (di atas paha yang lain) hingga dekat ke pantat saya. Kami terdiam beberapa saat. Secara perlahan saya merasakan memek saya mulai berdenyut. Suasana ini membuat saya mulai terangsang. Pandangan saya tanpa terasa menyaksikan sesuatu yang mengguncang dada. Saya melihat mulai ada tonjolan di celana Budi di bagian dekat pangkal paha. Dada saya berdebar-debar dan darah terasa mendesir. Saya tidak sanggup mengalihkan pandangan saya dari paha Budi. Astaga, tonjolan itu semakin nyata dan membesar hingga tercetaklah bentuk seperti batang pipa. Oh., ukuran tonjolan itu membuat saya mengejang. Saya merasa malu tetapi juga dicengkeram perasaan birahi. Muka saya terasa memerah. Saya yakin Budi pasti menyaksikan saya memandangi tonjolan kontolnya. Untuk memecahkan suasana diam saya berusaha mencari omongan. Sebelumnya saya agak menyandar pada sofa dan menurunkan kaki saya dari kaki yang lain. Sekarang saya duduk biasa dengan paha sejajar agak terbuka. Bagian bawah baju saya tertarik ke atas. “Ehhheeehh”, terdengar desah Budi. Kini ia dapat melirik dan menyaksikan dengan leluasa kedua belah paha saya hingga bagian atas. Sebagai seorang ibu yang sudah beranak, paha saya cukup berisi dengan sedikit lemak dan berwarna putih. Budi seolah tidak dapat mengalihkan pandangannya dari paha saya. Ohhhh .., saya lihat tonjolan di celananya tampak berdenyut. Saya merasakan nafsu yang menggejolak dan pumya keinginan untuk meremas tonjolan itu. “Eh .. Bud, kenapa kamu? Kamu kok kayaknya pucat lho”, astaga suara saya terdengar gemetar. “Ah.., kak Win .., enggak … apa-apa kok”, suara Budi terputus-putus, wajahnya agak tersipu, merah dan tampak pucat. “Itu kok ada tonjolan, memangnya kamu kenapa?”, kata saya sambil menggangukkan kepala ke tonjolan di celananya. Ahh, saya malu sekali waktu mengucapkan itu, tapi nafsu saya mengalahkan semua pikiran normal. “Ehh.., euuuh., oh yahh ., ini lho, penampilan kak WIN beda sekali dengan biasanya” kata Budi jujur sambil terbata-bata. Saya paksakan diri untuk mengatakan. “Apa Budi tertarik . terangsang .. melihat kak Win?”. “Ahh, saya nggak bisa bohong, penampilan kak Win .. eh . tidak biasanya. Kak Win mesti sudah bisa lihat kalau saya terangsang. Kita kan sudah bukan anak kecil lagi” kata Budi. Tiba-tiba saja Budi berdiri dan duduk di sebelah saya. “Kak Win, . eh saya mohon mohon maaf, tapi saya tidak sanggup menahan perasaan. Kak Win jangan marah … ” begitu saja meluncur kata-kata itu dari Budi. Ia mengucapkan dengan sangat perasaan dan sopan. Saya terlongong-longong saja mendengar kata – katanya.. “Ahh .. Bud .”, hanya itu kata yang terucap dari mulut saya. Dengan beraninya Budi mulai memegang tangan kanan saya dan mengusap-usapnya dengan lembut. Diangkatnya tangan saya dan diciumi dengan lembut. Dan yang menggairahkan saya, jari-jari tangan saya dijilat dan dihisapnya. Saya terbuai dan terangsang oleh perbuatannya. Tiba-tiba saja diletakkannya tangan saya tepat di atas kontolnya yang menonjol. Tangan saya terasa mengejang menyentuh benda yang keras dan liat tersebut. Terasa kontol Budi bergerak-gerak menggeliat akibat sentuhan dan remasan tangan saya. “Eehhmm.” Budi mendesah. Tanpa terasa saya mulai meremas-remas tonjolan itu, dan kontol batang Budi terasa semakin bergerak-gerak. “Oooh kak Win, eeehhhmmm … ohhgg, nikmaat sekali .”, Budi mengerang. “Eeehhh . jangan terlalu keras kak meremasnya, ahh .. diusap-usap saja, saya takut tidak kuat nahannya”, bisik Budi dengan suara gemetar. Budi mulai membelai kepala saya dengan kedua tangannya. “Kak Win lehernya putih sekali”, katanya lagi. Saya merasa senang mendengar ucapannya. Dibelainya rambut saya dengan lembut sambil menatap muka saya. Saya bergetar memandang tatapannya dan tidak mampu melawan pandangannya. Budi mulai menciumi pipi saya. Dikecupnya kedua mata saya mesra. Digesek-gesekkannya hidungnya ke hidung saya ke bibir saya berlama-lama bergantian. Saat itu tidak hanya birahi yang melanda saya .. tetapi juga perasaan sayang yang muncul.
Ditempelkannya bibirnya ke bibir saya dan digesek-gesekkan. Rasa geli dan panas terasa menjalar merambat dari bibir saya ke seluruh tubuh dan bermuara ke daerah selangkangan. Saya benar-benar terbuai. Saya tidak lagi mengusap-usap kontolnya dari balik celana, tetapi kedua lengan saya sudah melingkari lehernya tanpa sadar. Mata saya terpejam erat-erat menikmati cumbuannya. Tiba-tiba terasa lidahnya menerobos masuk mulut saya dan dijulurkannya menyentuh ujung lidah saya. Dijilatinya lidah saya dengan lidahnya. “Eenggghh ..” Tanpa sadar saya menjulurkan lidah saya juga. Kini kami saling menjilat dan napas saya tersengal-sengal menikmati kelezatan rangsangan pada mulut saya. Air ludah saya yang mengalir dijilati oleh Budi. Seperti orang kehausan, ia menjilati lidah dan daerah bibir saya.
“Aaauungghh .. ooohhhh…”, saya mulai mengerang-erang. Napas Budi juga terdengar memburu, “Heeeghh… hhnghh”, ia mulai mendesah-desah. Muka kami sekarang berlepotan ludah, bau ludah tercium tetapi sangat saya nikmati. Dikenyot-kenyotnya lidah saya kini sambil menjelajahkan lidahnya di rongga mulut saya. Saya membuka mulut saya selebar-lebarnya untuk memudahkan Budi. Sekali-kali ia menghirup cairan ludah saya. Saya tidak menyangka, laki-laki yang sehari-hari tampak sopan ini sangat menggila di dalam sex. Dijilat-jilatnya juga leher saya. Sekali-kali leher saya digigit-gigit. Ohhh .., alangkah nikmatnya, saya sangat menikmati yang ia lakukan pada saya. Tiba-tiba Budi menghentikan aktivitasnya, “Kak Win, pakaiannya saya buka yaahh”. Tanpa menunggu jawaban saya, ia mulai membuka kancing-kancing baju dari atas hingga ke bawah. Dilepaskannya baju saya. Sekarang saya tergolek bersandar di sofa hanya dengan BH dan celana dalam saja beralaskan baju yang sudah terlepas. “Indah sekali badan kak Win. Putih sekali”, katanya. Diusap-usapnya perut saya. “Ahh, kak Win sudah tua dan tidak langsing lagi kok Bud”, kata saya agak sedikit malu, karena perut saya sudah agak gemuk dan mulai membusung dengan adanya lemak-lemak. Tetapi Budi tampak tidak perduli. Diciumnya lembut perut saya dan dijilatnya sedikit pusar saya. Rasa geli dan nikmat menjalar dari pusar dan kembali bermuara di daerah kemaluan saya. Budi mengalihkan perhatiannya ke susu saya. Diusap-usapnya susu saya dari balik BH. Perasaan geli tetapi nyaman terasa pada susu saya. Tanpa diminta saya buka BH saya. Kini kedua susu saya terpampang tanpa penutup. Bayu memandangi kedua gundukan di dada saya dengan muka serius. Susu saya tidaklah besar dan kini sudah agak menggantung dengan pentil berwarna coklat muda. Kemudian ia mulai membelai-belai kedua susu saya. Merinding nikmat terasa susu saya. Semakin lama belaiannya berubah menjadi pijitan-pijitan penuh nafsu. Kenikmatan terasa menerjang kedua susu saya. Saya mengerang-erang menahan rasa nikmat ini. Kini dijilatinya pentil susu yang sebelah kanan. Tidak puas dengan itu dikenyotnya pentil tadi dalam-dalam sambil meremas-remas susu. Saya tidak dapat menahan nikmat dan tanpa terasa tubuh saya menggeliat-geliat liar. Cairan terasa merembes keluar memek saya dan membasahi celana dalam yang saya kenakan. Kini Budi berpindah ke susu dan pentil saya yang sebelah kiri dan melakukan hal yang sama. Dikenyutnya pentil saya sambil digigit-gigit, dan diremas-remasnya pula kedua susu saya. Perasaan nikmat membakar susu saya dan semakin lama rasa nikmat itu menjalar ke lubang memek saya. Memek saya terasa basah kuyup oleh cairan yang keluar. Saya mengerang-erang dan mengaduh-aduh menahan nikmat, “Oooohh Buuuud..”. Tangan Budi sekarang menjalar ke bagian celana dalam saya. “Ahhh, kak Win celananya sudah basah sekali”, kata Budi. “Enghh, iya Buud.., kak Win sudah sangat terangsang, ooohhh, nikmat sekali”, kata saya. Tepat di bagian depan memek saya, jari-jarinya membelai-belai bibir memek melalui celana dalam. Rasa geli bercampur nimat yang luar biasa menerjang memek saya. Saya tidak dapat menahan rasa nikmat ini, dan mengerang -erang. Kemudian Budi menarik dan melepas celana saya. Kini saya tergeletak menyandar di sofa tanpa busana sama sekali. “Ohh, indah sekali”, kata Budi. Diusap-usapnya rambut jembut saya yang hitam lebat. “Lebat sekali kak, sangat merangsang”, kata Budi. Dibukanya kedua belah paha saya, dan didorong hingga lutut saya menempel di perut dan dada. Bibir-bibir memek saya kini terbuka lebar dan dapat saya rasakan lubang memek saya terbuka. Saya merasa ada cairan merembes keluar dari dalam lubang memek. Saya sudah sangat terangsang. Tiba-tiba saja Budi berlutut di lantai dan ohhhhh, diciumnya memek saya. “Ahh, jangan Bud, malu…, di situ kan bau”, kata saya kagok. “Bau nikmat kak”, kata Budi tidak perduli. Dijilatinya memek saya. Perasaan nikmat menyerbu daerah selangkangan saya. Saya tidak dapat berkata apa-apa lagi dan hanya menikmati yang dia lakukan. Dijilatinya kelentit saya, dan sekali-sekali dijulurkannya lidahnya masuk ke lubang memek yang sudah sangat basah itu. Ujung lidah Budi keluar masuk lubang kenikmatan saya, kemudian berpindah ke kelentit, terus berganti-ganti. Tangan Budi meremas-remas susu saya dengan bernafsu. Slerp, slerp .., bunyi lidah dan mulutnya di memek saya. Kenikmatan semakin memuncak di memek saya, dan terasa menembus masuk hingga ke perut dan otak saya. Saya tidak mampu lagi menahannya. Kedua kaki saya mengejang-ngejang, saya menjepit kepala Budi dengan tangan dan saya tarik sekuat-kuatnya ke memek saya. Saya gosok-gosokkan mukanya ke memek saya. “Oooh, Buuud, kak Win keluar, ooooohhh …, nikmat sekali, oohhhh” saya menjerit dan mengerang tanpa saya tahan lagi. Rasa nikmat yang tajam seolah menusuk-nusuk memek dan menjalar ke seluruh tubuh. Terpaan nikmat itu melanda, dan tubuh saya terasa mengejang beberapa saat. Sesudah kenikmatan itu lewat, tubuh saya terasa lemah tetapi lega dan ringan. Kaki saya terjuntai lemah. Budi sudah berdiri. Ia kini melepas seluruh bajunya. Celana panjang dipelorotkannya ke bawah dan dilepas bersama dengan celana dalamnya. Oohhhhh, tampak pemandangan yang luar biasa. Budi ternyata memiliki kontol yang besar, tidak sesuai dengan badannya yang sedang-sedang ukurannya. Kontol itu berwarna coklat kemerahan. Suami saya bertubuh lebih besar dari Budi, tetapi kontol Budi ternyata luar biasa. Astaga, ia mengocok-kocok kontol itu yang berdiri kaku dan terlihat mengkedut – kedut. Kepala kontolnya tampak basah karena cairan dari lubang kencingnya. Tanpa saya sadari, tangan saya menjulur maju dan membelai kontol itu. Ogghhh besarnya, dan alangkah kerasnya. Saya remas kepalanya, oohhhh .. Keras sekali, saya peras-peras kepalanya. Budi mengejang-ngejang dan keluar cairan bening menetes-netes dari lubang di kepala kontolnya. “Ahhhhh, jangan kak Win, saya nggak tahan, nanti saya muncrat keluar”, bisiknya sambil mengerang. “Saya mau keluarkan di dalam memek kak Win saja, boleh yahhh Kak ?”, kata Budi lagi. “Ahh, iya, Buud .., cepetan masukin ke memek kak Win, ayoohh”, kata saya. Kontol yang keras itu saya tarik dan tempelkan persis di depan lubang memek saya yang basah kuyup oleh cairan memek dan ludah Budi. Tidak sabar saya rangkul pantat Budi, saya jepit pula dengan kedua kaki saya, dan saya paksa tekan pinggulnya. Ahhhhh, lubang memek saya terasa terdesak oleh benda yang sangat besar, ohhhh dinding-dinding memek saya terasa meregang. Kenikmatan mendera memek saya kembali. Kontol itu terus masuk menembus sedalam-dalamnya.
Dasar lubang memek saya sudah tercapai, tetapi kontol itu masih lebih panjang lagi. Belum pernah saya merasakan sensasi kenikmatan seperti ini. Saya hanya tergolek menikmati kebesaran kontol itu. Budi mulai meremas-remas susu saya dengan kedua tangannya. Tiba-tiba kontol itu mengenjot memek saya keluar masuk dengan cepatnya. Saya tidak mampu menahannya lagi, orgasme kembali melanda, sementara kontol itu tetap keluar masuk dipompa dengan cepat dan bertenaga oleh Budi. “Aduuuhh, Buud, nikmat sekali.., aku nggak kuat lagi ..”. Saya merengek-rengek karena nikmatnya. “Hheehhhheh, sebentar lagi saya keluaaaar kaak ..”, kata Budi. Kocokannya semakin menjadi-jadi. Tiba-tiba terasa tubuhnya menegang. “Ahhhuuuggh, saya keluar kaaaak .”, erang Budi tertahan-tahan. Kontol Budi terbernam sedalam-dalamnya. Crut .. cruutt . crutt, saya merasakan ada cairan hangat menyemprot jauh di dalam memek saya seolah tanpa henti. Budi memeluk saya erat-erat sambil menyemprotkan cairan maninya didalam memekku. Mukanya tampak menegang menahan kenikmatan. Ada sekitar satu menit ia meregang nikmat sambil memeluk saya. Sesudah itu Budi menghela napas panjang. “Saya tidak tahu apakah saya menyesal atau tidak, … tapi yang tadi sangat nikmat. Terima kasih kak Win”. Diciuminya muka saya. Saya tidak dapat berkata apa-apa. Air mata saya menetes keluar. Saya sangat menyesali yang telah terjadi, tetapi saya juga menikmatinya sangat mendalam. Saat itu saya juga merasakan penyesalan Budi. Saya tahu ia sangat menyayangi Dian istrinya. Tetapi nasi sudah menjadi bubur. Sejak kejadian itu, kami hanya pernah mengulangi berzina satu kali. Itu kami lakukan kira-kira di minggu ketiga bulan puasa, pada malam hari. Yang kedua itu kami melakukannya juga dengan menggebu-gebu. Sejak itu kami tidak pernah melakukannya lagi hingga kini. Kami masih sering bertemu, dan berpandangan penuh arti. Tetapi kami tidak pernah sungguh-sungguh untuk mencari kesempatan melakukannya. Budi sangat sibuk dan saya harus mengurusi Ilham yang masih kecil. Saya masih terus didera nafsu sex setiap hari. Saya masih terus bermain dengan internet dan menjelajahi dunia sex internet. Saya terus berusaha menekan birahi, tetapi saya merasa tidak mampu. Mungkin suatu saat saya nanti saya akan melakukannya lagi dengan Budi, dengan segala dosa yang menyertai.

ANAK LURAH

Harun adalah anak tunggal. Keluarga Harun adalah keluarga yang kaya untuk ukuran kampung. Keluarga mereka mempunyai berhektar-hektar tanah, puluhan sapi, ratusan kambing dan ayam. Hanya 2 keluarga di desa itu yang memiliki truk dan mobil pick up, itulah keluarga Harun dan keluarga Pak Haji Amir. Namun keluarga Harun masih lebih kaya dari pada keluarga Pak Haji Amir. Inilah alasan mengapa Bapaknya Harun yang bernama Seto adalah lurah di desanya. Juga karena itulah Ibunya, Asih, yang dulu bekas kembang desa mau menikah dengan Bapaknya Harun, sedangkan Bapaknya Harun adalah lelaki pendek gemuk dan wajahnya tidaklah ganteng.

Dikarenakan keluarga Harun adalah keluarga yang kaya, maka sedari kecil Harun mendapatkan segala macam fasilitas yang tidak dimiliki orang lain di kampung, seperti video player VHS. Bahkan keluarga Pak Haji hanya memiliki video player Betamax yang gambarnya tak sebagus VHS. Suatu kali setelah pulang bertamasya dari Jakarta, Bapaknya Harun membeli video bokep. Berhubung Harun anak kreatif dan nakal, maka suatu ketika didapatkannya video itu di lemari penyimpanan uang Bapaknya. Biasanya Harun suka mengambil uang dari situ sedikit-sedikit, namun kali ini ia tertarik dengan video itu. Maka, jadilah Harun dewasa sebelum waktunya ketika menonton film biru itu.

Harun adalah anak yang banyak ingin tahunya. Lama-kelamaan, hanya menonton video saja tidak cukup, maka ia memberanikan diri mengintip kamar orangtuanya ketika malam tiba. Harun masih ingat ketika pertama kali melihat siaran langsung persetubuhan orangtuanya. Kedua orang tuanya tidak memakai baju sehelaipun. Bapaknya yang pendek itu sedang menindih ibunya yang langsing dan lebih tinggi. Kedua tubuh mereka berkeringat.

Bapaknya memeluk erat ibunya sehingga tubuh ibunya tidak terlihat dengan jelas. Kepala Bapaknya rapat sekali menempel di dada ibunya. Tampaknya Bapaknya Harun sedang nenen. Pantat Bapaknya bergerak naik turun, kontol Bapaknya yang tidak terlalu besar tampak menumbuki liang senggama ibunya.

“Tempikmu legit tenan, Jeng. Wuenak, Jeng. Kamu enak tidak, Jeng?”

“Ya enak to, Pak. Teruskan saja. Enak, pak.”

Harun dapat mendengar suara mereka dari tempatnya mengintip. Bapaknya terdengar sangat antusias dan penuh nafsu. Namun, suara ibunya hampir terasa datar di telinga Harun. Jauh sekali dari apa yang ditontonnya di video. Di video bokep yang ditontonnya, suara wanita yang disenggamai jauh lebih bernafsu, jauh lebih manja dan jauh lebih antusias. Namun, Harun berfikir bahwa mungkin saja memang watak ibunya begitu. Toh, selama ini memang ibunya terkesan pendiam dan tidak banyak tingkah. Anggun, kata orang-orang mengenai ibunya itu.

Tak lama Bapaknya mengejang dan menghentikkan hujamannya yang bertubi-tubi, pantatnya ditekan keras kebawah. Bapaknya Harun melenguh. Akhirnya setelah itu Bapaknya membalikkan badannya untuk rebah di samping isterinya.

Kali ini Harun dapat melihat tubuh ibunya. Ibunya yang langsing itu memiliki payudara yang bulat dan mancung. Bulatannya hampir sebesar buah lontar, dengan puting susu berdiameter sebesar tutup spidol kecil dan panjangnya tiga perempat tutup spidol kecil itu. Kedua payudara itu terletak dengan manisnya di atas tubuh ibunya yang ramping dan langsing. Walaupun tidak memiliki otot perut seperti bintang film bokep yang terlihat keras karena latihan sit-up, perut ibunya itu menunjukkan perut tanpa lemak yang dihiasi oleh pusar yang terlihat hanya sebagai lubang kecil gelap. Sementara, selangkangan ibunya dihiasi bulu-bulu keriting yang dicukur rapi berbentuk segitiga, menghiasi bibir kemaluan ibunya yang tampak sedikit saja merekah karena habis dientot. Sperma Bapak dapat dilihat mengalir perlahan keluar dari lubang memek ibunya itu.

Saat itulah Harun mendapati dirinya terobsesi dengan tubuh ibunya. Harun ingin sekali dapat merasakan kenikmatan menggauli ibunya yang seksi itu. Semenjak saat itu, ibunya menjadi objek fantasi seksual Harun.

***

BAB SATU : HARUN MELIHAT ARJUNA BERAKSI

Harun memiliki teman karib bernama Arjuna. Anak petani bernama Waluyo. Arjuna adalah salah satu murid pintar di kelasnya, yang karenanya menjadi alasan pertemanan mereka. Baik Harun maupun Arjuna adalah dua murid teratas di kelas mereka. Berhubung Arjuna hanya anak petani biasa dan tidak memiliki banyak akses ke buku-buku maupun tv dan lain-lain, maka Harun selalu menjadi ranking satu dan ranking duanya adalah Arjuna.

Arjuna tiap hari berkunjung ke rumah Harun. Banyak sekali yang dapat mereka lakukan bersama. Mulai dari berbincang-bincang, berdebat, belajar bahkan juga untuk nonton video bokep di kamar Harun. Harun pulalah yang mengajarkan Arjuna untuk masturbasi. Dan menjadi kebiasaan mereka setelah itu adalah ngeloco sambil membayangkan ibu mereka masing-masing.

Obsesi pada ibu kandung adalah obsesi mereka berdua. Ini menyebabkan pertemanan mereka semakin erat. Minat mereka kebanyakan sama. Mereka tidak lagi canggung membuka rahasia hati mereka kepada satu sama lain.

Tapi akhir-akhir ini Arjuna jarang bermain ke rumah Harun. Harun menjadi penasaran. Apakah ini berarti Arjuna sudah tidak mau lagi bergaul dengannya? Apakah Arjuna sudah punya teman baru yang lebih baik? Harun telah menanyakan hal ini kepada Arjuna, namun Arjuna hanya menjawab bahwa kini ia membantu ibunya di rumah, karena kasihan ibunya capek.

Sudah tiga bulan Arjuna tidak main ke rumah Harun. Maka, Harun memutuskan untuk melihat apakah benar Arjuna membantu ibunya, atau malah bermain dengan temannya yang lain. Maka setelah pulang sekolah dan sampai rumah, Harun bergegas ganti baju dan pergi ke rumah Arjuna.

Rumah Arjuna sepi sekali. Pagar depannya ditutup. Namun, karena ini adalah desa yang damai maka pagar tidak pernah dikunci. Harun lalu memasuki pekarangan rumah Arjuna. Harun menimbang-nimbang apakah ia akan mengetuk pintu atau tidak. Pikir punya pikir, Harun memutuskan untuk mengendap-endap dan mengitari rumah Arjuna dan melihat situasi. Bila Arjuna tidak ada, toh pasti ada ibunya Arjuna yang cantik dan bohai itu. Bolehlah Harun mengintip sedikit.

Dengan hati berdebar-debar Harun mengitari rumah. Ada jalan kecil dari pekarangan antara rumah dan pagar, bukan berupa jalan rata, tapi hanya rumput yang rapi dipotong. Di belakang rumah adalah tempat sumur pompa dan kamar mandi. Mungkin ibunya Arjuna sedang mencuci piring. Berhubung sering juga Harun bermain ke situ, maka ia tahu biasanya ibunya Arjuna memakai kain yang dilibat, kadang terlihat ia memakai kutang, kadang tidak, tapi pakai atau tidak, belahan dada ibunya Arjuna pasti terlihat.

Terdengar suara Arjuna dan ibunya yang sedang berbicara sambil tertawa-tawa. Rupanya Arjuna tidak bohong, batin Harun. Apalagi terdengar dentingan suara barang pecah-belah. Tampaknya sedang ada yang cuci piring. Akhirnya, Harun sampai di ujung rumah yang untungnya memiliki pohon jambu yang rimbun dan dihiasi oleh batu kali dan semak yang membuat Harun tidak terlihat dan juga dari situ ia dapat melihat baik sisi kamar mandi maupun belakang rumah dan sumur pompa di tengah keduanya, dari situ ia melihat Arjuna dan ibunya sedang cuci piring sambil tertawa dan bercanda.

Arjuna bertugas mencuci dengan sabut sementara ibunya bertugas membilas piring lalu menaruhnya di baskom besar yang kering.

“Jangan buru-buru begitu dong, anakku.” kata Dewi, ibu Arjuna yang membuat Harun heran, karena suara ibunya Arjuna itu terdengar bermanja-manja.

“Ibu kayak enggak tahu aja. Udah ga sabar nih…” Sementara Arjuna mencuci piring terakhir cepat-cepat lalu memberikannya kepada ibunya.

Ibunya tertawa genit sambil mencubit lengan Arjuna dan berkata, “Dasar lelaki.“

Harun menjadi bingung. Kok mesra amat si Arjuna dengan ibunya. Harun menjadi iri. Andaikan saja ibunya seperti ini, begitu dekat bagai teman sebaya. Pasti keadaan rumah menjadi lebih cerah dan Bahagia.

Saat itu matahari masih terik menyinari bumi. Mereka cuci piring di depan kamar mandi. Cuaca hari itu panas sekali. Arjuna dan ibunya sudah mandi keringat, begitu pula Harun. Harun tiba-tiba saja horny melihat Dewi yang berbalut kain tanpa kutang itu menunjukkan kulit putih yang mengkilat karena air keringat. Bau tubuh ibunya Arjuna itu kayak apa, ya? Pasti wangi, pikir Harun.

Ibunya Arjuna menaruh piring terakhir di baskom kering lalu berjalan menuju dipan di dekat situ persis menempel di tembok kayu dinding rumah, lalu duduk di dipan dengan bersandar di tembok kayu itu. Dipan itu agak panjang sehingga kalau untuk duduk dapatlah tiga atau empat orang duduk di sana.

Arjuna mencuci tangannya lalu duduk di sebelah ibunya, kalau dari posisi Harun maka ibu Arjuna lebih dekat ke Harun, namun karena posisi Harun di belakang pohon dan batu itu ada di tengah-tengah, maka posisi Arjuna di sebelah kiri Harun, sekitar jam 10, kalau mau menggunakan istilah tentara. Ibunya Arjuna kemudian mengusap dahinya yang berkeringat dengan punggung tangan kirinnya sehingga memperlihatkan ketek putih yang berbulu halus. Tiba-tiba saja Harun kaget melihat Arjuna menyodorkan kepalanya dan menempelkan hidungnya ke ketek ibunya itu. Astaga! Apa-apaan ini?

Harun menyangka ibunya Arjuna akan memarahi anak itu, namun yang mengherankan Harun, Dewi malah tersenyum saja dan membiarkan anaknya itu.

“Harumnya ketek ibu.” Arjuna menggunakan tangan kirinya melingkari perut ibunya dan memeluk perempuan itu. Dewi mendesah yang membuat Harun menelan ludahnya. Ada permainan gila di sini! Arjuna memang semprul! Tentu saja Arjuna tidak mau ke rumah Harun, di rumah Arjuna ada yang lebih seru, rupanya!

Harun hanya dapat meneguk ludah berkali-kali ketika melihat Arjuna mulai beraksi. Arjuna mulai menjilati ketek ibunya dengan lahap. Dewi hanya mendesah-desah saja sambil terkadang tertawa kecil. Tiba-tiba tangan kiri Arjuna menarik kain ibunya dengan keras sehingga kain itu terjatuh. Ternyata Dewi telanjang bulat di balik kain itu!

Tubuh semok Dewi yang putih kini menjadi pemandangan indah bagi Harun. Tubuh ibu Arjuna memang tak seramping ibu Harun, namun walaupun agak gemuk, namun gemuknya Dewi sungguh menawan hati. Kedua payudaranya yang besar walaupun sedikit turun tetap memberikan setrum syahwat ke kontol Harun. Harun terpaksa melorotkan celananya dan mulai mengusap-usap kontolnya sendiri.

Sementara secara cepat kain Dewi telah dilempar Arjuna ke dipan di sampingnya sehingga kini Harun dapat melihat perut Dewi yang sedikit buncit dan juga selangkangan Dewi yang penuh jembut. Tangan kiri Arjuna mulai meremasi payudara kanan ibu kandungnya itu, sementara lidah Arjuna berkali-kali menyapu ketiak ibunya membasahi bulu ketek halus yang menjaga ketiak itu.

Tak lama Arjuna berdiri lalu melepaskan celana pendeknya sehingga kini Arjuna pun bugil. Sementara itu Dewi merebahkan diri di dipan menunggu serangan lanjutan. Arjuna tak mau hilang tempo dan bergegas menindih ibunya tanpa memasukkan dulu kontolnya. Rupanya masih mau foreplay.

Harun makin mempercepat tangannya yang sedang meloco zakarnya sendiri namun matanya tidak terpejam dan memelototi terus gerakan ibu dan anak itu.

Arjuna menindih ibunya. Mereka berdua kini berpelukan dan mulai berciuman dengan hot. Tak dipercayainya ibunya Arjuna yang terlihat lugu dan pemalu selama ini menunjukkan cara berciuman yang sangat panas. Lidah Dewi dan anaknya beradu berkali-kali saling menjilat dan terkadang meminum ludah campuran mereka berdua. Campuran ludah itu semakin banyak karena mereka berciuman seperti hewan buas yang penuh nafsu liar. Ada juice ludah yang mengalir perlahan keluar dari pinggir mulut Dewi dan turun ke lehernya.

Arjuna mengangkat kepalanya, mulutnya berkomat-kamit mengumpulkan ludah lalu perlahan dikeluarkannya ludahnya yang sudah banyak itu ke atas mulut ibunya yang kini sedang terbuka dengan lidah menjulur ke luar. Ludah Arjuna yang pekat perlahan menetes ke lidah ibunya yang terjulur. Harun dapat melihat busa dan cairan ludah Arjuna perlahan jatuh ke lidah ibunya. Setelah ludah di mulut Arjuna habis, Dewi menarik lidahnya lalu menelan ludah anaknya itu. Mereka berciuman lagi. Kali ini lebih hot.

“Jun, haus. Mau minum teh tawar.” Arjuna bangkit, ibunya bangkit pula.

Ibunya dengan telanjang bulat masuk ke dalam rumah, sementara Arjuna yang kontolnya telah tegang gantian tidur di dipan itu. Tak lama ibunya datang membawa teko teh dan gelas. Ia menuang teh itu ke dalam gelas. Lalu teko dan gelas itu di taruh di meja di samping dipan, di bagian atas kepala Arjuna.

“Ibu udah gosok gigi?”

“Belum. Mandi juga belum.”

“Gitu baru istriku.”

Harun tersentak kaget. Arjuna memanggil ibu kandungnya sebagai isteri? Hebat juga.

Dewi bersimpuh di atas tubuh Arjuna. Sebelumnya, kontol Arjuna di tarik dulu ke atas sehingga sejajar dengan perut Arjuna. Dewi lalu duduk lalu menindih Arjuna. Kedua dada mereka menempel. Dewi mengambil gelas teh itu lalu meminumnya namun tidak ditelan. Dewi kumur-kumur cukup lama. Sambil memegang gelas, Dewi mengarahkan mulutnya ke mulut Arjuna.

Arjuna membuka mulutnya. Perlahan Dewi memuntahkan teh itu ke dalam mulut Arjuna hingga habis sementara Arjuna meminumnya dengan antusias. Proses itu terus diulang hingga akhirnya gelas itu habis. Selalu Dewi berkumur air teh sebelum menyuapinya ke anaknya.

“Lagi, anakku?”

“Lagi, ibuku yang melahirkanku.”

Maka Dewi kembali menyuapi air teh dari mulutnya ke dalam mulut anaknya berkali-kali. Tehnya tampak panas karena ada uap yang keluar walau tidak tebal, menjadikan kedua insan itu kini bertambah gerah dan keringat mengucur begitu deras di kedua tubuh mereka yang telanjang. Kedua tangan Arjuna sepanjang proses minum ini mengelus punggung dan pantat ibunya dari atas ke bawah ke atas ke bawah lagi dan seterusnya.

Akhirnya teh itu habis. Namun kini Dewi yang berusaha mengeluarkan ludah dari tenggorokannya dan akhirnya mulai mengalirkan ludahnya ke dalam mulut anaknya. Arjuna meminum ludah ibunya lalu mereka mulai berciuman lagi, kali ini ganas sekali . bibir mereka berpagutan liar, kepala mereka bergoyang ke kanan ke kiri berusaha mencapai tiap jengkal bibir lawan mereka. Lidah mereka saling menjilati dan memasuki rongga mulut satu sama lain. Ludah mereka kadang beruntai menyatu bagaikan kalung liur yang menyatukan lidah mereka. Mereka saling meludahi lidah dan menelan liur lawan mainnya. Bibir mereka sudah basah oleh cairan ludah masing-masing.

Dewi tiba-tiba mengangkat tubuhnya sehingga duduk, mengarahkan kontol anaknya ke liang senggamanya sehingga kepala kontol Arjuna tepat di depan lubang kehormatannya, lalu secepat kilat menduduki kontol itu sehingga kontol besar Arjuna ambles ke dalam liang senggamanya.

Mereka berciuman lagi, namun kali ini kedua pantat mereka bergoyang-goyang mengikuti irama persetubuhan terlarang. Harun melihat persetubuhan ini menjadi gelap mata dan mengocoki kontolnya dengan liar. Tubuh seksi ibu Arjuna yang putih, sekal dan basah oleh keringat itu sungguh idaman lelaki normal. Bunyi benturan selangkangan bagaikan music erotis yang sangat indah di kuping Harun. Samar-samar Harun mencium bau yang aneh. Rupanya ini bau memek ibunya Arjuna. Sungguh menggairahkan. Harun jadi penasaran bau tubuh ibunya sendiri bagaimana, ya?

Dewi menyodorkan buah dadanya kepada anaknya. Arjuna secara lahap mengenyoti payudara kanan ibunya sementara tangan kirinya asyik meremasi payudara yang sebelah kiri. Dewi mulai berteriak-teriak karena nikmat persetubuhan. Suaranya begitu syahdu, bagaikan teriakan bintang bokep membuat Harun bertambah nafsu menyaksikannya. Kocokan Harun pada burungnya sekarang semakin seirama dengan gerakan Arjuna dan ibunya yang sedang menari tarian seksual itu.

Kedua pantat ibu dan anak itu semakin cepat saling menumbuk dan menarik, hanyut dalam sensasi nikmat bersenggama. Mereka berdua terbuai nikmatnya rasa dua kelamin berlainan jenis yang bersatu dan bergesekkan. Perasaan nikmat itu terus menerus bertambah seiring semakin cepatnya kontol Arjuna menggosoki liang senggama milik ibunya, yang menyebabkan Harun juga menyesuaikan kecepatan kocokan kontolnya, seakan-akan Harunlah yang sedang bersetubuh dengan Dewi.

Bau kelamin Dewi yang basah begitu kuatnya, apalagi Dewi belum mandi. Harun begitu mabuk akan bau ini sehingga ingin sekali ia nimbrung kegiatan tabu ibu dan anak itu, namun Harun merasa cukup hanya dengan meloco sambil mengintipi persenggamaan Harun dan ibunya. Sehingga ia berusaha menekan keinginannya itu dan melampiaskan pada kocokannya di kontolnya sendiri.

Sementara itu, kedua selangkangan ibu dan anak itu sekarang berbenturan keras sekali sehingga bunyinya sangat jelas terdengar, kedua pantat ibu dan anak itu bergerak pada kecepatan penuh dan seirama. Sungguh indahnya persenggamaan ini sehingga membuat Harun sangat iri. Harun melihat kedua tubuh insan sedarah itu yang kini sudah penuh keringat, tampak mengkilat terkena cahaya matahari dan kedua tubuh itu bergerak seirama bagaikan dua penari yang sudah melatih tarian mereka berkali-kali dan sudah hafal dengan gerakan-gerakan yang harus dilakukan.

Tiba-tiba saja Dewi melenguh dan melengkungkan punggungnya sambil berteriak, Arjuna pun berteriak tanda sudah mengalami orgasme. Keduanya tampak menekankan selangkangan mereka satu sama lain serentak dan penuh dengan tenaga. Akhirnya keduanya terkulai di dipan itu menyebabkan Harun akhirnya ejakulasi dan menyemproti batu di samping pohon besar itu dengan spermanya. Tak lama Arjuna dan ibunya masuk rumah dan Harun segera bergegas pergi setelah memakai celananya lagi.

***

BAB DUA : HARUN MENCARI CARA

Semenjak saat itu, Harun menjadi terobsesi dengan perhubungan terlarang sedarah. Harun memang sangat bernafsu melihat Arjuna dan ibunya, tetapi bukan berarti Harun ingin menyetubuhi ibunya Arjuna, melainkan ia ingin merasakan persetubuhan dengan ibunya sendiri. Bukankah sebenarnya ide ini adalah idenya sendiri? Arjuna pasti mendapatkan ide dari Harun ketika mereka bareng-bareng meloco di kamar Harun. Ternyata Arjuna yang terlebih dahulu mewujudkannya. Dasar anak bandel yang beruntung!

Apalagi, di mata Harun, ibunya memiliki tubuh yang jauh lebih seksi dibanding ibunya Arjuna. Tubuh ibunya Harun lebih ramping. Tentu saja, buah dada ibunya Arjuna lebih besar, namun di mata Harun, Dewi ibu Arjuna itu, sedikit agak gemuk. Di lain pihak, ibu Harun memiliki badan bak model di majalah saja. Tentu saja ini karena ibunya Harun tiap hari senam. Di rumahnya, ibunya punya video senam dari luar negeri, sehingga memang latihan yang ibunya lakukan sesuai dengan teori dan ilmu kesehatan dari Amerika.

Harun sempat berfikir untuk menanyakan kepada Arjuna mengenai cara untuk membuat ibu kandungnya mau untuk tidur dengannya. Namun, setelah difikir lebih jauh, ini berarti mengakui bahwa Harun pernah melihat Arjuna dan ibunya bersenggama. Selain itu, Harun juga merasa gengsi. Bukankah selama ini Harun lebih pintar dari Arjuna? Bukankah Harun yang selalu jadi juara satu di sekolah? Maka, bila Arjuna berhasil mendapatkan tubuh ibu kandung sendiri, tentunya Harun yang jauh lebih pintar mampu juga melakukannya. Selain itu, Harun merasa bahwa ia akan lebih puas untuk mencapai tujuannya dengan tanpa bantuan orang lain.

Harun akhirnya memutuskan untuk menggali potensi dirinya sendiri. Nilai apakah yang ia punyai yang tidak dipunyai orang lain? Bahkan tidak dipunyai si Arjuna? Mengenai kecerdasan, Harun yakin dengan dirinya sendiri. Namun, ada lagi sesuatu yang hanya ia ketahui yang orang lain tidak tahu. Harun memiliki kemampuan untuk meyakinkan orang lain untuk melakukan sesuatu. Harun pernah membaca buku mengenai kemampuan ini, dan menurut buku itu, kemampuan Harun adalah kemampuan untuk mensugesti orang lain agar mengikuti keinginan Pribadi. Kemampuan ini, dapat dikembangkan menjadi hipnotis bahkan semacam cuci otak.

Selama ini Harun dapat memperoleh apapun yang ia inginkan dari kedua orangtuanya. Kamarnya penuh barang elektronika, mulai dari video player, audio sound system, bahkan motorpun diberikan ayahnya kepadanya. Pada mulanya, Harun menganggap bahwa karena ia anak tunggal maka segala permintaannya dipenuhi oleh kedua orangtuanya. Namun, seiring waktu berjalan, Harun mengalami berbagai hal yang membuat ia yakin akan kemampuannya untuk membujuk orang lain.

Harun adalah anak yang pintar. Anak yang pintar pastilah kreatif, dan anak kreatif pastilah bandel. Dan Harun adalah anak yang bandel sekali. Pernah satu kali ketika ia masih kelas empat SD, Harun dan Arjuna nyolong rambutan di tanahnya Pak Haji Amir. Pak Haji Amir dan ayah Harun bisa dibilang adalah saingan di desa mereka. Ada ketegangan di antara dua orang itu, dan Pak Haji tidak sungkan-sungkan memperlihatkan ketidak senangannya kepada ayah Harun. Nah, saat Harun dan Arjuna mencuri rambutan itu, Pak Haji Amir datang dan memergoki mereka. Pak Haji mengambil tongkat dan mengejar ke pohon rambutan itu. Arjuna yang memiliki fisik lebih baik dari Harun berhasil kabur sementara Harun tertangkap basah. Pak Haji saat itu ingin menghajar Harun, namun Harun yang menangis segera memohon Pak Haji agar tidak menghukumnya. Harun hanya ingat saat itu kepalanya serasa ringan dan tiba-tiba saja Pak Haji menyuruh Harun pulang.

Pernah juga, ketika Harun masih kelas enam SD, ia dan Arjuna dan teman-temannya bermain ke desa tetangga. Mereka di sana ‘ngadu’ bola. Mereka menang. Namun pihak tuan rumah tidak terima dan mulai menyerang mereka. Harun merasa ketakutan, namun Ia merasakan lagi sensasi kepala yang serasa ringan, lalu entah dengan keberanian dari mana, ia pasang badan lalu berteriak dan minta semuanya tenang dan jangan berkelahi. Anehnya, semua orang yang tadinya sedang kalap jadi terdiam dan perkelahian pun terhindarkan.

Ada lagi kejadian yang baru-baru ini. Harun suatu ketika belajar kelompok di rumah temannya yang bernama Adi di desa tetangga. Ayah Adi adalah Kepala Kodim yang bertubuh tinggi besar dan berpengaruh bukan saja di desanya sendiri, tetapi juga di desa sekelilingnya, berhubung jabatannya. Ayah Adi tinggi besar dan hitam, namun memiliki isteri yang cantik bernama Ibu Ambar. Harun, Adi dan teman-teman belajar kelompok hingga sore. Selesai belajar mereka sepakat bermain petak umpet. Maklum, anak satu SMP.

Kebetulan Adi jaga, lalu Harun dan yang lain berpencar. Tidak terasa, Harun tiba di halaman belakang dan berjalan ke samping rumah. Di samping rumah ada pohon jambu besar. Harun mendapat ide untuk naik ke sana. Akhirnya Ia sampai di cabang yang besar yang menempel di dinding rumah. Ternyata cabang itu menempel di dinding yang sebelahnya ada jendela yang tidak berkaca. Otomatis Adi melihat jendela itu. Tak disangka, ternyata itu adalah jendela kamar mandi. Dan lebih tak disangka lagi, Ibunya Adi sedang mandi di dalam situ!

Harun terkejut mulanya, namun akhirnya menyadari bahwa ia mendapatkan suguhan menarik dari dalam kamar mandi itu. Ibunya Adi adalah perempuan Jawa berkulit kuning langsat. Tubuhnya kecil imut setinggi 155 cm, dengan pinggul agak lebar namun dadanya begitu mancung dan kokoh dihiasi pentil dan areola kecoklatan. Jembutnya lebat namun dicukur rapi sehingga tidak berantakan. Badannya bersinar karena basah dan diterangi lampu neon kamar mandi. Serta merta Harun konak.

Harun begitu menikmati ketelanjangan ibunya Adi sehingga tak disadarinya bahwa Pak Bambang sudah di bawah pohon. Ketika Pak Bambang menegur Harun setengah berteriak, Harun menjadi begitu kaget sehingga hampir jatuh. Ibunya Adi berseru kaget dari dalam kamar mandi, sementara Pak Bambang mulai marah-marah dan menyuruh Harun turun.

Harun ketakutan dan gemetar, namun kepalanya serasa ringan lagi dan kali itu Harun mengetahui bahwa ia harus membujuk Pak Bambang agar tidak marah. Dengan terbata-bata Harun menenangkan Pak Bambang dan minta untuk melupakan kejadian ini. Beberapa saat kemudian Pak Bambang pergi begitu saja. Harun menoleh ke kamar mandi dan tampak Ibu Ambar sedang melilitkan handuknya sambil menatap jendela dengan sinar kemarahan.

Harun yang kepalanya masih terasa ringan segera mendekati jendela dan berkata, “Bu Ambar mandi saja. Ga apa-apa kok. Anggap aja Harun ga ada.”

Tiba-tiba saja tatapan Ibu Ambar seakan kosong sejenak. Kemudian perempuan itu membuka handuknya dan melanjutkan untuk mandi. Harun kembali konak. Ingin rasanya ia masuk kekamar mandi, namun ia masih merasa takut dan deg-degan sehingga akhirnya ia merasa cukup puas dengan hanya menonton perempuan itu mandi sambil ngeloco hingga akhirnya ia menyemprotkan maninya di dinding rumah.

Ya, Harun merasa bahwa ia memiliki bakat untuk mempengaruhi orang lain. Ia harus berusaha mengasah ketrampilan ini. Ada dua pilihan bagi Harun. Satu, adalah belajar secara otodidak dan kedua, adalah untuk mencari guru. Pilihan pertama tentu akan menjadi sulit, karena belajar macam ini membutuhkan percobaan-percobaan dan pastinya banyak kegagalan. Pilihan kedua tentu menjadi mudah, namun masalahnya, kepada siapakah ia harus berguru?

Akhirnya selama seminggu Harun terus putar otak untuk melatih ketrampilannya ini. Dicobanya di rumah untuk mempengaruhi pembantu-pembantu atau bahkan orang tuanya untuk memenuhi keinginannya yang sepele seperti memijitinya, mengambilkan minum dan lain-lain, namun Harun tidak mengalami sensasi kepala yang berasa ringan sehingga ia tidak berhasil dalam percobaannya. Tidak ada kelinci percobaannya yang mengalami tatapan kosong seperti ibu Ambar sehingga ia berkesimpulan bahwa kekuatannya muncul bilamana ia sedang dalam keadaan ketakutan. Namun, untuk mencapai situasi di mana dirinya sampai ketakutan sangatlah riskan. Bisa saja ia coba untuk menjadi bandel, tapi tidak ada kepastian bahwa nanti kekuatannya muncul di saat dibutuhkan. Bila ia ada di situasi yang berbahaya dan kekuatannya tidak timbul, tentunya segala sesuatunya akan menjadi rumit dan mengancam keselamatannya sendiri. Harun menjadi semakin pusing mencari akal untuk mengasah ketrampilannya ini.

***

Namun, akhirnya solusinya itu datang sendiri. Suatu hari, waktu itu malam minggu, Harun dan lima orang temannya bermain ke desa tetangga. Saat itu Arjuna tidak ikut, dan Harun juga memakluminya. Bila Harun memiliki nasib yang sama dengan Arjuna, yaitu memperoleh ibu kandung sebagai obyek seks, maka dipastikan Harunpun akan emoh bermain keluar. Lebih baik di dalam rumah saja dan menggarap ladang ibunya.

Desa tetangga sedang ada layar tancap. Banyak sekali orang, baik muda maupun tua yang datang kesana. Bukan hanya dari desa itu sendiri, melainkan dari berbagai desa sekitar daerah itu. Layar tancap diadakan di sebuah tempat luas di sebuah bukit tak jauh dari desa itu. Berbagai pedagang musiman muncul di situ. Tukang makanan, minuman, pakaian bahkan Bandar judi koprok juga memeriahkan layar tancap itu.

Harun senang sekali pergi ke layar tancap. Banyak sekali perempuan baik yang masih gadis ataupun yang sudah menikah, tua maupun muda, kurus maupun gemuk bahkan bau maupun harum datang ke situ. Apalagi banyak juga perempuan bisyar maupun bispak yang datang memeriahkan suasana malam minggu.

Malam itu, Harun berencana untuk merasakan perempuan untuk pertama kalinya. Bila Arjuna sudah tidak perjaka, tentunya Harun juga harus melepas keperjakaannya. Teman-teman Harun pun ditraktir untuk segalanya malam itu, maka mereka merencanakan untuk mencari bispak atau paling tidak bisyar dan untuk menggarap mereka di tempat sepi bergantian. Ada yang jaga, dan ada yang eksekusi, sehingga nantinya segala sesuatunya terkendali dan aman.

Harun yang ditemani tiga orang teman sekelas, yaitu Hambali, Azhari dan Moko, juga dengan dua orang kakak kelas bernama Dhimas dan Robi, akhirnya berkenalan dengan enam orang gadis muda yang seusia SMU. Sebenarnya, pada mulanya enam orang gadis itu tidak memandang sebelah mata kepada mereka yang hanyalah anak SMP, namun setelah Harun dengan royalnya mentraktir semua dengan makanan dan minuman, maka enam orang gadis itu menjadi tertarik.

Ketika mereka baru saja mengakrabkan diri, segerembolan pemuda SMU – yang dari gelagatnya kenal dengan enam orang gadis itu- mendatangi mereka dan mulai mencari masalah. Singkat kata, tiba-tiba saja terjadi perkelahian yang tidak seimbang antara sekitar sepuluh anak SMU melawan enam orang anak SMP. Harun yang terkena beberapa kali hajaran mulai merasakan kepalanya mengalami sensasi ringan, segera berlari ke tengah lalu berteriak,

“BERHENTI…!!!”

Secara mendadak perkelahian berhenti begitu saja. Semua yang terlibat memandang Harun dengan tatapan kosong, sementara orang-orang yang menyaksikan perkelahian tersebut juga melongo dengan penuh tanda tanya mengenai apa yang terjadi.

“Kalian pergi dari sini!!!” kata Harun kepada gerombolan anak SMU itu. Gerombolan anak SMU itu akhirnya pergi dengan terdiam seribu bahasa, diikuti oleh pandangan semua orang yang ada di situ. Orang-orang yang menyaksikan semua ini kemudian mengalihkan pandangan mereka kearah Harun, kini dengan pandangan yang sedikit kagum bercampur heran.

Sementara itu, Harun yang menyadari kini adalah kesempatan baik, segera memanggil dua orang gadis tercantik dari kumpulan enam orang gadis yang baru ia kenal itu. Atik dan Jannah. Dengan menggandeng kedua gadis itu, Harun lalu mengajak teman-temannya dan teman-teman gadis itu untuk meninggalkan tempat itu.

Setelah berjalan beberapa lama, mereka sampai di sebuah padang rumput yang dikelilingi pohon-pohon rindang. Disebut padang sebenarnya tidak bisa juga, karena hanya seluas kolam renang mini Olympic. Tapi tempat itu bagus sekali karena tertutup pepohonan di sekelilingnya.

Harun bertekad untuk pulang sebagai lelaki dewasa yang bukan perjaka lagi. Dan mungkin karena tekadnya itulah yang membuat ia merasakan sensasi ringan di kepalanya itu tidaklah hilang melainkan terus ada, bahkan kini kepalanya sedikit terasa mendengung.

Setelah menyuruh teman-temannya berjaga di sekeliling padang rumput itu di bawah bayang-bayang pohon, tentu masing-masing merekapun ditemani seorang gadis, maka Harun menarik Atik dan Jannah yang pasrah saja dituntun ke tengah padang rumput kecil itu. Sinar rembulan yang Purnama di langit yang cerah berbintang yang menerangi padang rumput itu, membuat kedua gadis itu terlihat jelas oleh Harun.

“Buka baju kalian sampai telanjang,” perintah Harun dengan suara yang tercekat karena perasaannya sungguh bercampur aduk saat itu. Tegang, senang, sedikit takut dan nafsu berkecamuk dalam dadanya sehingga membuat Harun seakan susah bernafas karena dikuasi oleh perasaan-perasaan gado-gadonya itu.

Atik dan Jannah kemudian perlahan membuka pakaiannya hingga telanjang. Atik lebih tinggi dari Harun dan memiliki tubuh yang ramping dan dada yang kecil namun padat. Sekitar 34 A. kedua pentilnya yang merah kecoklatan tidak menonjol melainkan tampak bagaikan menyatu dengan daerah areola di sekitarnya. Selangkangan Atik dihiasi oleh jembut yang masih jarang dan tampak halus keriting. Kulit Atik putih sekali, mirip sekali dengan kulit Ibunya Harun. Dengan rambut panjang ikal hampir sepinggul dan hidung yang lumayan mancung, sungguh seakan Atik adalah gadis sampul majalah remaja.

Jannah adalah gadis imut yang setinggi Harun dan walaupun tidak gemuk, namun karena tubuhnya imut maka tampak seperti lebih berisi disbanding Atik. Rambut Jannah sebahu dengan muka yang agak chubby dihiasi lesung pipit. Kulit Jannah coklat muda dengan buah dada yang lebih besar dari Atik, sekitar 34B namun dengan pentil yang coklat agak tua menyembul sedikit saja dari daerah areolanya. Pinggul Jannah lebih lebar dari Atik pertanda berbakat memiliki anak yang banyak. Namun selangkangannya memiliki bulu yang walaupun juga masih jarang, namun sedikit lebih banyak daripada Atik.

Burung Harun sudah tegak. Dengan bergegas ia membuka bajunya hingga telanjang. Harun membawa tikar yang tadi di pegang oleh Hambali. Kini ia mengambil tikar itu lalu membukanya di tengah padang rumput kecil itu. Harun menyuruh kedua gadis itu tiduran di tikar bersebelahan satu dengan yang lainnya. Atik dan Jannah mengikuti perintah Harun. Kini kedua gadis yang telanjang bulat itu tidur di hadapan Harun.

Harun kemudian menindih Atik lalu menciumi bibirnya. Atik hanya terdiam saja sementara Harun melumat bibir gadis itu. “Mbak Atik, balas dong,” perintah Harun.

Atik lalu membalas ciuman Harun dan juga memeluk kepala Harun. Harun menikmati ciuman pertamanya. Bibir Atik yang basah dan hangat mengirimkan sinyal-sinyal erotis di seluruh tubuh Harun yang masih perjaka. Bau parfum Atik yang lembut menambah sensasi birahi yang perlahan bertambah tinggi yang berakibat kontol Harun mengeluarkan sedikit cairan sebagai pelumas menandakan bahwa Harun siap bertempur sampai kecrotan terakhir.

Harun mulai melancarkan ciuman ke dada Atik yang kini tampak hampir rata dengan dada perempuan itu karena akibat gravitasi bumi. Kulit putih Atik begitu lembut di bibir Harun. Disedotnya pentil kanan gadis itu yang membuat Atik mulai merasakan birahi juga walaupun dalam keadaan bagaikan terhipnotis. Atik mulai meremasi kepala Harun yang saat ini sedang menggarap bukit sebelah kanannya.

Harun kemudian mengalihkan serangan ke payudara kiri Atik. Payudara yang masih belum terlalu besar itu ia jilati, ciumi dan sedoti dengan penuh nafsu. Kedua payudara gadis muda itu kini mulai muncul bekas-bekas cupangan dan juga tampak basah terkena air liur Harun yang tak dapat dikontrol. Harun kemudian mengarahkan ciumannya turun ke perut Atik. Atik mendesah-desah dan desahan itu semakin keras seiring semakin dekatnya mulut Harun ke mulut bagian bawah Atik.

Lidah Harun menjadi liar ketika bersentuhan dengan bulu kemaluan Atik. Harun dapat mencium bau tubuh gadis itu semakin jelas ketika kepalanya makin dekat dengan organ intim si gadis. Bau tubuh yang tercium begitu natural dan lembut.

Atik ingin berteriak. Ingin sebenarnya gadis itu menolak perbuatan lelaki muda yang baru dikenalnya itu. Namun entah kekuatan apa yang membuatnya takluk kepada lelaki muda ini. Sementara, ciuman Harun makin lama membuat kemaluannya basah karena perlahan Atik mulai merasakan nafsu birahi menguasai tubuhnya. Lidah Harun yang menari-nari di atas tubuhnya bagaikan menyengat kulit mulusnya yang putih itu dan mengirimkan pesan-pesan birahi yang dinikmati oleh otaknya.

Akhirnya lidah itu menyusuri bibir vagina Atik. Atik mendengus keras merasakan lidah yang hangat dan basah itu menyapu bibir memeknya yang basah. Jauh di lubuk hatinya, Atik tidak mau menyerahkan mahkotanya kepada remaja yang lebih muda darinya, namun tubuhnya tidak bisa menolak kemauan anak itu. Dua butir air mata mengalir jatuh dari kedua mata Atik. Atik menangis tanpa suara melainkan hanya desahan birahi ketika lidah itu mulai menyelip di antara bibir memeknya dan menjelajahi area yang belum pernah disentuh oleh lelaki manapun.

Harun merasakan bibir memek Atik yang basah dan hangat di ujung lidahnya. Hidung Arjuna mencium bau tubuh Atik dengan sangat jelas menguar dari dalam lubang kemaluan gadis muda itu. Arjuna menggunakan dua jarinya membuka memek yang basah itu dan melihat ada selaput putih di dalam lubang itu. Astaga! Gadis ini masih perawan. Tadinya dikira Harun Atik dan kawan-kawannya adalah bispak karena para gadis itu datang dengan baju yang ketat dan seksi, ternyata ia salah. Tampaknya para gadis ini adalah gadis yang baik-baik.

Harun menjadi tak tahan lagi melihat ini. Ia segera membuka lebar kedua kaki gadis itu lalu mengarahkan kontolnya yang sudah tegang dari tadi, dan menaruhnya tepat di lubang kencing Atik. Harun mendorong pantatnya ke depan. Namun penisnya yang sebesar 14 cm itu tidak berhasil masuk. Berkali-kali ia mendorong pantatnya namun tidak berhasil sementara Atik mulai meringis kesakitan ketika dirasakannya benda tumpul berusaha memasuki liang persenggamaannya yang masih perawan itu. Harun menyentakkan pantatnya kuat-kuat dan tiba-tiba kepala penisnya masuk kedalam lubang sempit milik Atik itu.

“Auw…!” teriak Atik kesakitan. Harun berusaha mendorong penisnya untuk masuk lebih jauh, tapi seakan ada perlawanan dari dalam lubang sempit itu. Mungkin harus dipaksa lebih keras, pikir Harun.

Harun kini merebahkan badannya di atas Atik, kedua tangannya diselipkan sehingga kini memegang kedua pantat Atik kuat-kuat. Dengan segenap kekuatannya Harun mendorong pantatnya kedepan sambil menggunakan kedua tangannya untuk menarik kedua pantat Atik.

Dalam satu gerakan cepat, kontol Harun kini ambles masuk ke dalam lubang vagina Atik, merobek selaput keperawanan gadis itu. Rasa sakit yang hebat itu seakan menyadarkan Atik sehingga Atik tiba-tiba teriak sambil berontak, “Aduh!! Lepasin!”

Dalam kenikmatannya Harun tidak menyadari bahwa sensasi perasaan ringan di kepalanya tadi hilang sehingga ia tidak dapat mengkontrol Atik. Kini ia menyadari bahwa Atik sedang berusaha berontak dan ia agak kesulitan menahan gerakan gadis yang memang lebih tinggi darinya itu. Di lain pihak, Jannah tampak baru sadar dan dengan tatapan bingung sedang berusaha menutupi auratnya sambil mencari pakaiannya.

Begitu takutnya Harun sehingga kini sensasi kepala ringannya kembali. “Semua diam!!” bentak Harun.

Atik dan Jannah kini memandang kosong kembali. Harun menyuruh Jannah tidur lagi di sebelah mereka. Sementara dilihatnya Atik yang tadi menangis kini terdiam pula. Airmata telah membasahi mata dan pipi gadis itu. Namun tubuh gadis itu menjadi santai sekarang. Dirasakannya kontolnya dicengkeram lubang silinder yang sempit dan basah lagi hangat sekali.

Harun mulai mengocoki kemaluan Atik itu perlahan-lahan sambil menikmati tiap detiknya. Perasaan ngilu dan nikmat ia alami ketika batang kontolnya menggesek dinding kemaluan Atik tiap kali ia mengocoki memek yang baru saja ia perawani itu. Namun tubuh Atik tetap terdiam dan tak bereaksi, walaupun Atik saat ini mulai mendesah, dan juga memek gadis itupun sudah basah kuyup oleh cairan kewanitaan dan juga darah keperawanan.

“Atik. Mulai saat ini kamu adalah milik aku. Kamu harus membalas entotanku juga. Kamu harus mengimbangi aku dan menikmati hubungan badan denganku.”

Atik kini menatap Harun dan berkata lirih, “Aku adalah milik kamu…” Lalu gadis itu merangkul kepala Harun dengan kedua tangannya dan dengan kedua kakinya ia merangkul kedua kaki pemuda yang baru memerawinannya itu.

Harun adalah anak pintar, ia takut bila nantinya akan kejadian kekuatannya hilang lagi, maka ia berpaling ke arah Jannah dan berkata, “Kamu juga milikku. Apapun yang terjadi, kamu tidak boleh pergi sampai aku beritahu. Kamu harus tunggu perintahku dulu.”

Jannah menatap Harun dengan pandangan kosong. Namun Jannah mengangguk tanda mengerti, sehingga Harun menjadi lebih nyaman. Lalu Harun mulai mengkonsentrasikan pikirannya kepada persetubuhannya dengan Atik.

Atik dan Harun berdua mulai saling mengentot. Atik berdesah-desah kenikmatan sementara Arjuna mendengus-dengus sambil mengenyoti dua buah payudara Atik dengan rakus. Selangkangan mereka beradu berkali-kali menimbulkan bunyi tamparan yang keras. Harun merasakan memek Atik yang sempit, licin dan hangat itu mencengkram batang kontolnya terus menerus.

Mereka bersatu dalam birahi. Kedua tubuh yang kini penuh keringat saling berpacu dalam petualangan cinta, bau alat kelamin tercium jelas di udara. Mereka tenggelam dalam nikmatnya dunia. Tarian cinta mereka makin lama makin cepat karena semakin mendekati tujuannya pula.

Tiba-tiba saja Atik berteriak keras dan merangkul Harun erat-erat.
“Aduh… enak, Mas!”

Harun merasakan rangkulan Atik begitu eratnya sehingga sedikit membuatnya sesak, sementara selangkangan gadis itu bergetar bagaikan kejang yang membuat memeknya juga membuka menutup secara cepat seakan menyedoti kontol Harun yang sedang berada di dalamnya.

Harun akhirnya tak kuat juga. Ia balas memeluk gadis itu rapat-rapat dan mulai membenamkan kontolnya dalam-dalam di liang surgawi milik Atik. Kontolnya berkali-kali memuntahkan pejunya di dalam lubang memek Atik. Akhirnya mereka berdua terdiam kelelahan beberapa saat.

Ketika terbangun dari nikmatnya orgasme di dalam memek perempuan, Arjuna menyadari bahwa kepalanya sudah tidak mengalami sensasi ringan lagi. Dengan cepat ia melihat ke arah Jannah. Namun Jannah masih terdiam di sana sedang memandanginya yang menindih Atik. Harun melihat bahwa dalam diam Jannah menangis karena air matanya telah membasahi pipinya dan juga dada gadis itu sesunggukan.

Harun melepaskan diri dari Atik untuk duduk. Kontolnya yang mengecil telah keluar dari sarang kenikmatan. Sedikit demi sedikit keluarlah peju Harun dari dalam lubang memek Atik. Sementara, Atikpun menangis tanpa suara, namun tidak melakukan apa-apa.

Harun memandangi wajah Jannah yang cantik itu. Ada sinar ketakutan dalam mata gadis itu. Harun sangat mensyukuri bahwa ia adalah anak yang pintar. Buktinya, perintah yang ia sampaikan kepada Jannah tetap dilaksanakan walaupun ia sudah tidak mengalami sensasi di kepalanya.

Harun kemudian menindih Jannah yang kini sesunggukan tanpa suara. Harun ingin melihat bila tanpa menggunakan kekuatannya apakah ia bisa menggauli gadis ini. Apakah bisa, hanya dengan perintah yang tadi ia lakukan Jannah mengijinkan ia menggarap tubuh gadis itu?

“Sekarang aku akan meniduri kamu, Mbak Jannah.” lalu Harun mulai menciumi gadis ini. Dilahapnya wajah cantik Jannah dengan rakus. Lidah Harun dapat merasakan asinnya air mata gadis itu yang ada di pipinya. Jannah sesunggukan dan terdiam sementara Harun asyik melumati wajah gadis itu dengan air liurnya.

“Peluk aku, Mbak. Ayo.” Harun ingin melihat reaksi gadis ini. Apakah gadis ini akan mengikuti perintahnya atau tidak. Tadi Harun memerintahkan bahwa gadis itu adalah miliknya, bila perintah ini tetap lekat pada gadis ini, maka mau tidak mau gadis ini harus mengikuti apapun kemauannya.

Walaupun tetap menangis tanpa suara, Jannah memeluk Harun yang sedang menindihnya. Harun gembira sekali. Rupanya bila sekali saja orang sudah dipengaruhi olehnya, maka orang itu tetap akan mematuhinya terus.

“Sekarang kita ciuman dan Mbak harus mencium aku dengan penuh nafsu.” Harun mencium bibir Jannah yang langsung saja membalas dengan hot. Jannah mengecup dan menjilati bibir Harun bagaikan sudah biasa berciuman. Singkat waktu, mereka berdua sudah saling bertukaran lidah dan menjilati satu sama lain. Harun yang tadi keringatan mulai keringatan lagi. Jannah pun kini keringatan. Kedua bibir mereka saling berpagutan sementara Jannah mengelus kepala Harun dengan bernafsu.

Bau tubuh Jannah tercium agak kuat. Berbeda dengan Atik yang memiliki bau badan yang lembut dan seakan perlahan menyerang hidung, bau badan Jannah tercium jelas dan serta-merta menusuk hidung Harun. Bukan bau yang memuakkan, namun termasuk bau yang menggiurkan.

Harun mengangkat tangan kanan Jannah dan melihat ketiak yang mulai ditumbuhi bulu halus. Bau badan gadis ini begitu kuat menyerang hidungnya membuat kontolnya kini sudah tegak lagi dimabuk birahi. Harun membenamkan wajahnya di ketiak gadis ini. Bulu-bulu halus menggelitik hidung Harun. Kepala Harun menjadi seakan mabuk kepayang dan pusing tujuh keliling akibat nafsu yang seakan tak terkontrol.

Dari sini ia tahu, bahwa ia lebih menyukai Jannah dibanding Atik. Baru baunya saja sudah membuatnya begini, apalagi yang lain yang lebih enak.
Harun mulai mengulum-ngulum bulu ketek Jannah yang masih jarang dan halus itu. Sementara Jannah kini telah berhenti menangis karena sedang menggeliat kegelian. Sambil mengenyoti ketiak gadis itu, Harun melihat mata gadis ini. Mata itu sudah tidak memperlihatkan sinar ketakutan melainkan mulai menyinarkan pandangan sayu seakan minta dientot.

Harun lalu mulai meremasi kedua payudara Jannah yang besar itu. Pentil gadis ini yang tadinya hanya menyembul sedikit, kini menyembul dan panjangnya kurang lebih sama dengan pantat bolpoin. Masih lebih kecil di banding pentil ibunya Harun, namun setidaknya bila dibandingkan dengan pentil Atik yang amat kecil maka pentil ini lebih nikmat dikulum dalam mulutnya.

Sambil meremasi kedua tetek Jannah, Harun asyik menjilati ketiak gadis ini. Bulu halus ketiak Jannah sudah rebah karena basah oleh keringat sendiri dan juga air liur Harun. Bau tubuh gadis ini sekarang seakan memenuhi udara. Baik dari ketek maupun kemaluannya, bau tubuh Jannah keluar bagaikan angin topan menerjang bumi.

Kemudian Harun mulai menciumi tetek kanan Jannah. Ia cupang dan sedoti payudara itu sehingga meninggalkan bekas cupang di sana-sini. Lalu dikulumnya pentil tetek kanan Jannah. Ia suka sekali sensasi memegang pentil di dalam mulut. Dijilatinya secara berputar yang membuat Jannah mulai mendesah lebih keras dan terkadang mengerang. Lalu disedotnya pentil itu kuat-kuat karena gemas. Jannah meremas kepala Harun dengan keras.

Setelah dada kanan Jannah sudah mulai bau mulut Harun sendiri, dirambahnya bukit yang sebelah kiri menggunakan lidah dan mulutnya. Kembali dada itu menjadi berhiaskan bekas cupang di sana-sini. Begitu bernafsunya Harun sehingga hampir tiap jengkal gundukan payudara Jannah dicupanginya, seakan ingin menunjukkan bahwa daerah itu adalah daerah kekuasaannya.

Setelah puas menjelajahi dada Jannah, Harun lalu membuka paha Jannah lebar-lebar dan mulai menjilati jembut Jannah yang memiliki bulu lebih banyak dari Atik. Bau tubuh gadis ini tercium santer di daerah selangkangannya menyebabkan Harun tak bisa menahan diri untuk mulai menjilati kemaluan gadis itu. Dengan dua jarinya ia buka bibir memek Jannah lalu mulai menjilat dan menghisapi memek yang sudah basah kuyup itu.

Cairan vagina Jannah memiliki rasa yang sedikit tajam dengan campuran masam dan getir ditambah bau yang menusuk hidung. Namun semuanya ini malah membuat Harun lebih bersemangat menjilati kemaluan Jannah. Tak bosan-bosannya lidahnya memasuki lubang memek gadis itu, terkadang menyedoti klitorisnya ataupun terkadang menjilati bagian dalam bibir luar memek itu.

Hanya lima menit Harun melahap vagina Jannah, Jannah sudah orgasme untuk pertama kali. Memeknya dibanjiri cairan bening hangat yang membasahi selangkangannya maupun mulut dan dagu Harun. Harun berusaha menjilati dan mengecap semua cairan Jannah karena begitu nikmatnya cairan itu di mulutnya.

Setelah Jannah sudah santai lagi, maka Harun memposisikan kontolnya di liang senggama Jannah, lalu menindih gadis itu dan menyelipkan kedua tangannya di kedua pantat Jannah. Jannah pun mengengkangkan kakinya lebar-lebar dan dengan kedua tangannya memegang kedua pantat Harun.

“Satu… dua… tiga…” Kata Harun memberikan aba-aba.

Pada hitungan ketiga, Harun menghujamkan kontolnya kuat-kuat sambil menarik pantat Jannah, di lain pihak Jannah juga menarik pantat Harun. Jannah merasakan batang yang keras itu dalam satu gerakan telah menggagahinya. Bahkan selaput daranya pun robek dalam hitungan sepersekian detik saja. Rasa sakit melanda memeknya sementara ngilu rasanya ada benda keras membelah memeknya dan memenuhi lubang kencingnya itu.

Jannah memeluk Harun rapat-rapat sambil berteriak, “Adaauuw. Sakit, Mas!!!”

Untuk beberapa saat mereka berpelukan tanpa bergerak. Berhubung Jannah setinggi Harun, maka Harun kini dapat mencium bibir gadis itu sambil ngentot. Mereka berciuman beberapa saat. Jannah dapat mencium bau memeknya di mulut Harun, namun Jannah tidak peduli. Sambil merangkul dan meremas kepala Harun ia saling mencium dan menjilat dengan Harun.

Kedua tubuh mereka kini basah kuyup oleh keringat campuran antara keringat mereka berdua. Sementara kedua bibir mereka sudah basah selain karena keringat juga oleh ludah mereka yang saling bertukaran. Udara malam memang dingin, namun panas tubuh yang mereka berdua hasilkan bagaikan udara di sauna saja.

Harun merasakan pinggul besar Jannah mulai bergoyang-goyang sehingga kontolnya kini mulai dikocok oleh memek Jannah. Harun membalas entotan itu. Mula-mula mereka bergoyang tidak seirama dan perlu beberapa saat agar gerakan pantat mereka dapat sinkron. Akhirnya mereka mengentot dalam suatu irama yang sama.

Sambil terus berpagutan, Harun asyik mengentoti tubuh Jannah yang sekal dan padat itu. Nikmat sekali bergumul dengan gadis ini karena seakan tubuh gadis ini diciptakan pas untuk Harun. Saat mereka bergaul ini, bibir bertemu bibir, dada bertemu dada dan kelamin saling bersatu. Sungguh pas rasanya. Dada Jannah yang besar itu tergencet dada Harun. Harun dapat merasakan pentil dan gundukan payudara Jannah seakan berusaha melawan tindihannya.

“Aku cinta kamu, Mbak…” kata Harun disela-sela cumbuannya terhadap pasangannya itu.

“Mbak juga cinta kamu, Mas. Mbak milik kamu, kan?”

Mereka bercumbu lagi dengan buas. Lebih hot dari sebelumnya karena mereka berdua sudah mengutarakan perasaan masing-masing. Lidah mereka saling bersilat dan berusaha menjilat, bibir mereka asyik saling memagut bagaikan ular yang berusaha mencaplok mulut lawannya. Mereka berangkulan erat seakan tak ingin dipisahkan. Sementara kedua kelamin mereka saling mengocok satu sama lain dengan nafsu liar.

Memek Jannah lebih rapat dari Atik. Mungkin karena tubuh Jannah yang lebih kecil. Begitu kencangnya kontolnya digenggam otot vagina Jannah sehingga Harun merasa bahwa ia tak lama lagi akan keluar. Dipercepatnya hujaman kontolnya dalam memek Jannah sementara kini bibirnya telah mencaplok leher kiri Jannah dan mencupangnya sekuat mungkin. Jannah melenguh penuh kenikmatan.

Jannah merasa geli dan nikmat ketika mulut Harun menggarap lehernya dengan penuh birahi. Lidah Harun menggelitik lehernya dan bahkan cupangan Harun menyebabkan rasa ngilu yang nikmat yang menjalar dari memek sampai ke otak yang membuat pertahanannya jebol.

“Mas, enak banget…!”

Harun merasa Jannah dengan tubuh sekalnya merangkulnya sangat kuat dan selangkangan gadis itu berkedut-kedut kelojotan dan memeknya mencengkram kontolnya begitu keras dan seakan menyedoti kontolnya dengan cepat dan keras dan vagina yang sudah basah kuyup itu mengeluarkan cairan hangat yang lebih banyak lagi yang membanjiri lubang memek dan mengguyur kontolnya yang tegang.

Sambil mencupang keras-keras, Harun balas merangkul Jannah sekuat tenaga lalu membenamkan kontolnya sejauh mungkin di dalam lubang peranakan gadis itu, lalu menyemburkan sperma yang sedari tadi minta dilepaskan ke dalam rahim gadis itu. Harun merasakan kontolnya berkedut-kedut berkali-kali, bahkan kayaknya lebih banyak dibanding sebelumnya.

Ketika badai orgasme reda, Harun tidak melepaskan dirinya dari Jannah melainkan tetap menindih gadis itu lalu mengecupnya di bibir sekali. Jannah tersenyum dan menatap Harun yang baru saja mengecupnya lalu mengecup balik. Akhirnya mereka berciuman lagi selama beberapa saat.

Tiba-tiba terdengar gelak tawa seorang lelaki tua. Tahu-tahu di samping mereka berdiri seorang lelaki paruh baya ubanan berusia sekitar 50 tahunan dan rambutnya kelabu karena rambut hitamnya banyak terhias uban di sana-sini. Lelaki itu sedang bertolak pinggang sedang tertawa melihat mereka berdua. Wajah lelaki ini tegas dan kokoh walaupun tidak terlalu ganteng, namun dengan jenggot kelabunya dan pancaran sinar matanya yang kuat, memberikan kesan penuh kekuatan dan kewibawaan.

Harun melihat berkeliling untuk mengechek kenapa temannya tidak mencegah orang ini masuk, namun lelaki itu berkata, “Koncomu wis ta’ sirep kabeh! Tidak ada gunanya minta bantuan.”

Harun ketakutan dan merasakan kepalanya ringan lagi. Maka ia berkata, “Pergi!”

Lelaki itu tiba-tiba terdiam. Harun merasa sudah berhasil menghalau lelaki itu. Namun Harun kaget ketika lelaki itu tertawa lagi. Kata lelaki itu, “Bagus! Bakat kamu lebih besar dariku, bahkan aku sempat dibuat kaget sebentar. Mmm, anak muda, aku adalah Ki Asmoro Dewo. Siapakah gurumu?”

“Guru? Maksud Ki Asmoro?”

“Yang mengajarimu ilmu sirep yang membuat kamu bisa mendapatkan dua gadis cantik ini.”

“Aku tidak punya guru.”

Ki Asmoro Dewo menatap Harun lekat-lekat. Lalu ia mengangguk pelan. “Bakat yang tidak ada bandingannya. Baiklah, semenjak saat ini, aku angkat kau jadi muridku.”

Harun adalah anak pintar. Dia melihat bahwa seluruh temannya disirep hingga tidur oleh lelaki ini. Sementara, Harun belum menguasai kekuatannya, ia perlu guru. Dan akhirnya, guru itu datang sendiri kepadanya. Maka mulai saat itu, Harun menjadi murid Ki Asmoro Dewo.

***

BAB TIGA : HARUN BELAJAR ILMU SIREP

Ki Asmoro Dewo rumahnya agak jauh. Di sebuah desa yang berada hampir di puncak gunung. Sementara desa tempat tinggal Harun ada di daerah lembah gunung tersebut. Perjalanan ke atas sana memakan waktu hampir empat jam yang melelahkan.

Sebenarnya Harun sering mendengar nama Ki Asmoro Dewo. Namun kebanyakan orang memanggil gurunya sebagai Ki Dewo saja. Konon, orang ini sangat sakti dan tidak ada orang di daerah gunung ini yang mampu mengalahkan kedigdayaannya. Banyak sekali orang yang berkunjung ke rumah Ki Asmoro Dewo. Bahkan orang-orang dari Jakarta banyak yang datang minta bantuannya.

Rumah Ki Asmoro Dewo sangat besar dan memiliki kamar yang banyak. Rumah ini bahkan lebih besar disbanding rumah ayah Harun. Rumah inipun memiliki corak tradisional Jawa yang sangat kental, pintu yang diukir dengan gaya Jepara, tempat lampu tradisional, dinding bata merah dan lain sebagainya. Kalo diperkirakan, maka rumah ini pasti lebih mahal dibanding rumah ayah Harun.

Ki Asmoro Dewo memiliki banyak kendaraan. Berbagai motor, sebuah mobil sedan, tiga buah mobil van dan juga dua buah Truk. Harta Ki Asmoro Dewo memang banyak. Dapat hampir dipastikan bahwa kekayaan Ki Asmoro Dewo lebih banyak dibanding Harun.

Namun, yang mengagumkan dari Ki Asmoro Dewo bukanlah harta kekayaan material yang ia punyai. Melainkan, Ki Asmoro Dewo punya banyak isteri. Ada 7 perempuan yang diakui oleh Ki Asmoro Dewo sebagai isterinya. Usia isteri-isterinya beragam. Yang paling tua berusia hampir sama dengan Ki Asmoro Dewo dan yang paling muda berusia 17 tahun. Semua isterinya cantik-cantik. Bukan sekedar cantik yang membuat lelaki menoleh dua kali, tetapi cantik yang membuat para lelaki tidak ingin melepaskan pandangan sekali sudah melihat. Harun merasa beruntung sekali mempunyai guru seperti ini. Harun sangat ingin masa depannya akan sama seperti gurunya, dikelilingi oleh wanita-wanita super cantik.

Melihat bakat Harun adalah menyirep orang, maka Ki Asmoro Dewo mengajarkan Harun dengan porsi ilmu sirep lebih banyak dibandingkan ilmu-ilmu lain yang dimilikinya. Namun, bukan berarti ilmu-ilmu lain itu tidak diturunkan, hanya saja Ki Asmoro Dewo ingin agar anak itu antusias belajar kepadanya. Sangat jarang ditemui anak berbakat dan Harun sangatlah berbakat. Ki Asmoro Dewo yang tidak memiliki anak lelaki, sangat ingin meneruskan segala ilmu yang didapatnya susah payah kepada anak itu.

Dari 7 isterinya ia mempunyai 14 anak perempuan dan 3 anak lelaki. Sayangnya ketiga anak lelakinya itu meninggal di usia yang masih bayi. Sudah 5 tahun ini isteri-isteri Ki Asmoro Dewo tidak melahirkan anak lagi. Bahkan, Siti, isteri yang paling muda dan yang paling akhir dikawininya tidak pernah hamil. Ada seorang lagi isterinya yang tidak punya anak, Hanifah yang berusia 32 tahun yang ia nikahi 25 tahun yang lalu. Dulu Ki Asmoro Dewo berpikir bahwa isterinya itu mandul, namun kini Ki Asmoro Dewo bahkan mulai berpikir lain. Mungkin ia sendiri yang sudah mandul.

Ilmu yang diturunkan Ki Asmoro Dewo, selain ilmu sirep adalah ilmu santet, ilmu pelet atau pengasih dan ilmu beladiri. Harun pergi ke rumah Ki Asmoro Dewo tiga kali dalam seminggu, yaitu selasa, kamis dan sabtu. Setiap sabtu, Harun akan menginap sampai minggu siang.

Ki Asmoro Dewo berpesan, karena ilmu sirep sangatlah kompleks dan sulit, maka untuk setahun ilmu ini belum boleh dipraktikan, dan Harun harus sabar mendalami ilmu ini dulu. Untung saja Harun sudah mempunyai dua orang kekasih, yaitu Atik dan Jannah. Sehingga tiap hari minggu, salah satu dari mereka akan datang ke rumah Ki Asmoro Dewo untuk melayani Harun. Ki Asmoro membolehkan Harun “bertamasya seksual” dari jam 7 pagi sampai jam 9 pagi. Salah satu trik Ki Asmoro agar muridnya betah belajar darinya. Dan ilmu sirep itu bisa dilatih oleh Harun dengan mencoba mempraktikan ilmunya kepada kedua gadisnya itu.

Harun sangat menyukai semua pelajaran-pelajaran dari Ki Asmoro Dewo, walaupun ilmu sirep menjadi kecintaan Harun. Ternyata, ilmu ini dibagi berbagai tingkatan. Tingkatan pertama adalah sirep tidur, yang membuat orang tertidur. Tingkatan ke dua adalah perbawa, yaitu mempengaruhi orang lain agar mengikuti kemauan si pemilik ilmu. Tingkatan terakhir adalah cuci otak, di mana seseorang akan dibuat berubah 180 derajat sehingga akan memiliki Pribadi yang berbeda.

Sirep beda dengan ilmu pelet, karena ilmu sirep adalah ilmu yang digunakan untuk kepentingan sendiri, sementara ilmu pelet adalah ilmu yang dapat dipakai agar orang lain yang dapat menikmati. Ilmu sirep memerlukan kehadiran sang pemilik ilmu dihadapan korban, sedangkan pelet dapat dikirim dari jarak jauh, seperti halnya santet. Walaupun hasil akhirnya sama, yaitu membuat seseorang terpengaruhi oleh ilmu tersebut.

Harun belajar dengan giat sekali selama setahun. Ilmu sirep hampir ia kuasai 80 persen dalam setahun, sesuatu yang tidak pernah disangka baik Harun sendiri maupun gurunya. Ini dikarenakan bakat Harun yang memang tiada duanya dibidang sirep selain itu, ia mempunyai dua orang gadis yang dapat dijadikan kelinci percobaan.

Atik dan Jannah sebenarnya menyesal telah memberikan keperawanan kepada seorang bocah yang lebih muda daripada mereka. Namun mereka berdua adalah gadis pedesaan. Mereka mau tidak mau harus nrimo bahwa kegadisan mereka sudah hilang. Mereka sedikit bersyukur bahwa bocah ini adalah anak lurah yang kaya. Selain itu, bocah ini juga bukan playboy yang sekali hisap sari madu langsung dibuang. Harun mendatangi kedua gadis ini dan minta mereka tiap minggu mendatangi rumah gurunya bergantian untuk berkasih-kasihan di sana.

Atik dan Jannah menanyakan masa depan mereka kepada Harun dan Harun meyakinkan bahwa ia kan menikahi kedua gadis itu bila usia mereka bertiga telah dewasa dan boleh menikah. Kedua gadis ini sedikit terhibur akan janji si bocah. Namun Atik yang bercita-cita ingin ke Jakarta dan menjadi artis, di lain pihak merasakan bahwa mimpinya itu sudah sirna karena telah diperawani oleh Harun. Oleh karena itu, Atik merasakan sedikit perasaan getir terhadap Harun.

Setiap kali giliran Atik yang menemani Harun, gadis ini melayani Harun dengan tidak bersemangat, sehingga tiap kali Harun harus menggunakan kekuatannya agar gadis ini mau melayani permainan seksnya dengan antusias. Berbeda dengan Jannah, yang makin lama makin pasrah atas kemauan Harun. Jannah selalu membalas setiap aksi Harun dengan sepadan. Setiap kali disetubuhi, tanpa disuruh oleh Harun, Jannah selalu mengerang-erang penuh kenikmatan, selalu ikut menggoyangkan pantatnya, ikut meremas-remas dan membalas ciuman dan jilatan Harun. Sementara, Atik tidak pernah melakukan semuanya tanpa disuruh.

Pernah Harun tidak menggunakan kekuatannya ketika bersetubuh dengan Atik, Harun malah mendapati bahwa seakan ia sedang mengentoti boneka perempuan yang diam saja. Paling banter Atik hanya memeluk Harun dan mengerang-erang ketika orgasme. Tapi tak pernah Atik menciumi Harun dengan penuh nafsu. Gadis itu hanya pasrah membuka pahanya lebar-lebar dan diam saja ketika kontol Harun merojok-rojok kemaluannya.

Hal ini agak membingungkan Harun sehingga ia bertanya pada gurunya. Dan Ki Asmoro Dewo berkata, “Nang (singkatan Lanang). Manusia itu berbeda-beda tabiat dasarnya. Ada orang yang nrimo, ada orang yang sedikit nrimo namun dapat berubah menolak dan ada orang yang pada dasarnya berwatak kuat dan menganggap hidup ini adalah perjuangan. Nah, gadismu yang bernama Atik ini adalah orang memiliki sedikit sifat nrimo namun masih ada jiwa penolakan yang cukup kuat dari dalam dirinya.

“Untuk dapat membedakan tiga sifat ini, maka kita dapat melihat gaya mereka ketika kita sirep. Gadis yang pada dasarnya nrimo, setelah kita sirep lalu digagahi, sehabis itu dia akan menerima kelakukan kita sebagai hal yang lumrah. Kamu ingat Jannah? Setelah kamu gagahi kalian berciuman. Ini tanda dia terima kamu. Gadis yang memiliki watak cukup kuat walaupun ada rasa nrimo di dalam dirinya, setelah digagahi akan menunjukkan penyesalan yang dalam. Kamu ingat Atik? Dia menangis ketika selesai kamu gagahi. Namun sepanjang persetubuhan kalian dia tidak banyak melawan.

“Nah, untuk tipe ketiga. Ini yang agak-agak sulit dan bahaya. Walaupun kamu berhasil menyirep perempuan ini dan kamu gagahi, sepanjang persetubuhan kalian, dia tetap berusaha menolak dengan perkataannya, walaupun tubuhnya tidak dapat menolak kekuatan sirep. Setelah selesai digagahi, maka orang ini akan merasakan duka yang dalam, sehingga kemungkinan waktu orang ini ditinggal sendiri, maka ia akan bunuh diri…”

Harun mendengarkan perkataan gurunya dengan perlahan. Kata Harun, “Guru, kalau demikian, berarti gadis yang memiliki watak yang kuat tidak boleh disirep dan digagahi?”

Gurunya tertawa keras. Katanya, “Bukan begitu. Bisa saja jadi milik kamu, tetapi tidak bisa dengan langsung sirep untuk menguasai. Kamu harus menyirep dengan perlahan. Sedikit demi sedikit kamu sirep sambil kamu rayu, namun jangan pernah menggagahi sebelum orang itu benar-benar takluk padamu. Memang, untuk mendapatkan gadis semacam ini menjadi milikmu adalah sesuatu yang susah, namun bila kamu berhasil, maka gadis macam inilah yang akan menjadi milikmu yang paling berharga.”

Mendengar ini Harun menjadi lebih bersemangat belajar ilmu sirep dan ilmu lainnya. Ilmu beladiri pun disukai Harun. Perawakan Harun yang dulunya sedikit gempal, kini setelah setahun belajar berubah menjadi kekar. Apalagi Harun dalam kurun waktu setahun itu juga bertambah tinggi. Sehingga Harun perlahan menjadi seorang anak muda yang ganteng dan bertubuh atletis. Hanya saja dalam kurun waktu itu, ada sedikit kesedihan dari Harun ketika Arjuna, kawan karibnya pindah ke Kalimantan untuk menikah. Namun, kesibukannya di tempat Ki Asmoro Dewo dapat mengobati hatinya yang lara.

Selain itu, Harun berusaha untuk mengambil hati Atik perlahan. Ia sering membeli benda-benda untuk perempuan kepada kedua gadisnya. Baju dalam, bando, buku novel dan lain-lain. Khusus untuk Atik, ia berusaha mengurangi waktu persetubuhan yang hanya dua jam itu menjadi satu jam. Satu jam selebihnya ia berusaha berbincang-bincang untuk mengenal lebih jauh, terkadang ia menyelipkan pujian atas kecantikan perempuan itu dan juga kepintaran gadis itu. Karena memang dibanding Jannah, Atik memiliki IQ yang lebih tinggi. Banyak pembicaraan mengenai politik dan social yang Harun dan Atik bicarakan.

Lama-kelamaan sedikit senyum menghiasi wajah Atik ketika gadis itu mengunjungi Harun. Bahkan Atik mulai memandang wajah Harun ketika bocah itu menggagahinya. Namun selebihnya, Atik masih tidak banyak menimpali aksi Harun dalam persetubuhan.

Perkembangannya yang perlahan dengan Atik selalu dilaporkan kepada gurunya. Gurunya memberikan masukan, “Kamu lebih mementingkan pendekatan seperti pacaran. Ini bukannya salah, namun memang menjadi agak lama. Seperti yang dulu aku ajarkan, kamu harus coba sedikit juga menyirep gadis ini. Contohnya, ketika kamu bicara dengan dia mengenai masalah sehari-hari, kamu dalam hati coba katakan ‘kamu tertarik pada pembicaraanku karena kamu tertarik padaku’. Karena, seperti ceritamu, kalian sangat antusias ketika saling berbicara. Kalian berdua nyambung. Ini adalah ketertarikan yang satu sama lain rasakan.

“Dengan memberikan sedikit sugesti bahwa ketertarikan itu bukan hanya karena minat yang sama dalam pembicaraan, melainkan karena ketertarikan kepada lawan jenis, maka sedikit demi sedikit, alam bawah sadar perempuan ini dapat kamu bengkokkan menuju kamu secara lebih cepat lagi dibanding hanya dengan pendekatan biasa.”

Mendengar ini, Harun lalu mencoba saran gurunya itu ketika giliran Atik untuk menyambanginya tiba. Sambil keduanya berbicara mengenai politik dan korupsi di kamar yang khusus disediakan bagi Harun, Harun menggunakan kekuatannya untuk menanamkan sugesti kepada alam bawah sadar Atik. Setelah sejam mereka berbicara, dan sepanjang itu pula Harun mensugestikan ketertarikan Atik, Harun mulai menarik badan Atik dan merangkulnya. Dikecupnya bibir gadis itu, dan saat itu Harun merasakan bahwa Atik mengecup balik.

Harun kaget lalu melepaskan bibirnya untuk menatap mata Atik. Atik menundukkan kepalanya sementara wajah putihnya merah padam. Wah, benar juga kata guru, pikir Harun. Harun tersenyum lebar sambil memegang dagu Atik. Ditariknya keatas dagu itu sehingga wajah Atik kini sejajar dengan wajahnya. “Kamu cantik sekali, dewiku…” pujinya.

Atik menatap mata Harun dengan malu-malu. Harun mengecup bibirnya lagi. Atik membalas ciuman itu perlahan. Mereka berciuman cukup lama. Akhirnya Harun melucuti pakaian Atik hingga bugil. Setelah Harun juga telanjang, ia mulai menciumi payudara gadis itu. Atik mendekap kepala Harun dengan satu tangan, sementara mata gadis itu terpejam. Nafas gadis itu mulai memburu.

Harun mencumbui payudara Atik cukup lama. Setelah itu, ia menyelomoti vagina gadis itu yang sudah becek dan mengeluarkan bau sedap kelamin gadis muda. Kini kedua tangan Atik mendekap kepalanya.

Setelah merasa cukup, Harun memasukkan burungnya ke dalam sangkar kehormatan Atik, lalu menindih gadis itu. Atik memeluk Harun dengan kaki dan tangannya. Desahan Atik terdengar. Lebih keras daripada waktu mereka bersetubuh sebelumnya. Harun menarik kepala Atik ke kepalanya karena Atik saat itu masih lebih tinggi darinya, untuk mencium bibir gadis itu.

Atik membalas kecupan Harun, namun saat lidah Harun masuk ke mulut wangi gadis itu, Atik tidak balas dengan lidahnya, melainkan hanya balas membuka menutup mulutnya jadi seakan mengenyot lidah Harun.

Sampai lama mereka ngentot, akhirnya Atik memeluk Harun kuat-kuat sambil mengerang setengah berteriak ketika ia orgasme. Memek Atik yang berkedut-kedut membuat Harun tak kuat, apalagi kini, Atik sudah sedikit membalas cumbuannya, maka Harun ejakulasi di dalam lubang memek Atik.

Harun senang sekali dengan kemajuan ini. Walaupun Atik belum penuh nafsu melayaninya, namun ada perubahan yang terasa pada sikap Atik. Apalagi di seluruh sesi ini Harun tidak menggunakan kekuatannya pada Atik untuk melayaninya. Maka mulai hari itu, tidak perlulah ia menyirep kedua gadisnya dalam berhubungan seks.

Harun terus-menerus mengirimkan sugesti kepada Atik ketika mereka berbincang-bincang sebelum melakukan hubungan suami isteri. Sementara, dengan Jannah, Harun sudah sangat nyaman tanpa melakukan apa-apa lagi. Harun berbincang-bincang dengan Jannah paling banter lima belas menit. Ini juga karena ia penasaran seperti apa hobi Jannah, kesukaan Jannah, keluarga Jannah dan lain-lain. Namun setelah lima belas menit, Harun akan memeluk Jannah dan Jannah akan meledak nafsunya dan seringkali menyerang Harun duluan dengan ciuman-ciuman penuh nafsu.

Jannah lebih aktif juga dalam menanyakan keinginan Harun. Jannah selalu bertanya pertanyaan seperti apakah Harun suka kalau Jannah potong rambut, potong bulu-bulu tubuh, suka posisi ini atau itu dan lain-lain. Juga Jannah tidak malu mengatakan bahwa gadis itu lebih suka posisi ini atau itu.

Perkembangan Atik tidak lagi terlalu lambat. Tapi tidak bisa dibilang cepat juga. Pada bulan kelima Harun berguru pada Ki Asmoro Dewo, Atik sudah mencium sambil memainkan lidah dan juga sudah menggoyang pantatnya ketika dientot. Namun belum ada nafsu liar bagaikan Jannah di dalam diri Atik. Belum pernah Atik menyerang duluan.

Namun dilain pihak, Harun lebih menyukai Atik dalam hal berbincang-bincang. Bahkan, Harun kadang curhat mengenai hal-hal di rumah, seperti ayahnya yang dingin dan jarang di rumah, ataupun ibu Harun yang tampak sedih selalu. Juga, Atik lebih concern mengenai pola makan Harun, atau bila Harun mendapatkan luka di tubuh akibat latihan bela diri yang keras dari Ki Asmoro Dewo. Sedangkan Jannah tampaknya lebih suka menjadi budak seks Harun dan bersedia bersebadan dalam posisi apapun yang disukai Harun tanpa banyak rayuan dan bujukan.

Setelah setahun lewat, Harun menanyakan kepada gurunya apakah ilmu sirepnya sudah boleh ia gunakan kepada orang lain. Kata Ki Asmoro Dewo, “Nang (lanang), kini ilmu sirep kamu hanya aku yang dapat mengalahkan. Ini juga dikarenakan kamu belum sempurna menguasainya. 3 tahun lagi bahkan akupun akan tunduk oleh ilmu sirep kamu. Oleh karena itu, kamu boleh menggunakan ilmu itu. Namun ingat, berhubungan dengan perempuan, ilmu ini harus kamu hati-hati menggunakannya. Jangan sampai satu desa kamu gagahi semua perempuannya. Bila terjadi, kamu sendiri yang akan celaka.

“Jangan kamu sia-siakan perempuan yang sudah kamu gagahi. Nanti kamu akan kualat sendiri. Itu mengapa isteriku hanya tujuh dan semuanya kunikahi. Hati-hati sama orang yang baik hati dan rajin beribadah, jangan kamu isengi. Ilmu kamu belum sempurna dan masih dapat terlihat kekurangannya di mata orang-orang pintar. Hati-hatilah. Selain itu, ilmu-ilmu lainnya belum kamu kuasai juga. Bahkan ilmu santet kamu juga belum berarti apa-apa. Seperti yang aku katakan, ilmu yang paling dalam sebagai penjagamu adalah ilmu santet. Maka kamu harus latih terus. mulai sekarang, tiap kali kamu ke sini, latihan ilmu sirep kamu akan dikurangi, dan waktu belajar ilmu santet maupun silat akan diperbanyak.”

Harun meninggalkan rumah gurunya dengan hati berbunga-bunga. Dengan penuh kebahagian, ia mulai merencanakan untuk dapat menggauli Asih, ibu kandungnya itu.

***

BAB EMPAT : HARUN MENCOBA ILMUNYA

Kini kekuatan sirep Harun sudah dapat dikendalikan sepenuhnya. Sehingga tak perlu rasa takut lagi yang memicu keluarnya kekuatan ini. Ki Asmoro Dewo telah mengajarkannya bagaimana untuk selalu menjaga agar kekuatan itu selalu siap. Sekarang, setiap saat dirasakan Harun ada perasaan ringan di kepalanya. Oleh karena itu, Harun harus selalu menjaga perkataannya agar tidak sering memberikan kata-kata perintah agar tidak mencurigakan orang. Kata-kata seperti “ke laut aja loh” tidak bisa dikatakan oleh Harun, karena kemungkinan besar orang yang dibecandai olehnya akan benar-benar pergi ke laut.

Melatih kekuatan pikiran dengan suatu kesadaran bahwa mulutnya harus dijaga adalah sesuatu yang sangat sulit. Dengan susah payah, akhirnya Harun dapat menguasai kecenderungan ngomong asal njeplak. Kemampuan Harun menjaga omongannya ini berimbas ke hal lain. Guru-guru sekolah memuji Harun bahwa Harun sudah tampak lebih dewasa dan bertanggung jawab, orangtuanya memuji Harun sebagai anak penurut dan teman-temannya, bahkan yang lebih tua, merasakan ada wibawa tersendiri dari Harun yang seakan memancar dari dalam dirinya.

Harun sampai di rumah jam 7 malam. Hari itu hari Minggu. Tadi baru saja ia pulang dari rumah Ki Asmoro Dewo dan ijin untuk menggunakan ilmu sirep sudah diberikan. Dengan senyum nakal dan sedikit jahil, ia masuk ke rumah dan mulai menebarkan ilmunya.

Harun makan malam bersama kedua orang tuanya dilayani oleh pembantu mereka yang bernama Ijah, seorang perempuan berusia 40 tahun. Ketika makanan sudah habis, Harun mulai menggunakan kekuatan pikirannya untuk mensugesti seisi rumah agar mengantuk. Tiba-tiba saja bapak dan ibu Harun menguap yang disusul oleh Ijah. Harun tertawa dalam hati dan mengundurkan diri ke kamar.

Lima menit kemudian Harun mengirimkan sugesti ke seisi rumah agar tertidur sampai pagi tanpa peduli dengan apa yang terjadi di sekelilingnya. Perlahan Harun pergi ke kamar orangtuanya. Dengan hati dag dig dug, Harun membuka pintu kamar orangtuanya lalu masuk kedalam kamar. Harun menyalakan lampu kamar. Dilihatnya ayahnya dan ibunya tertidur bersebelahan dalam selimut. Suara dengkur ayahnya terdengar mengisi ruangan.

Harun membuka selimut sehingga seluruh tubuh ibunya terlihat. Ibunya sedang memakai daster bunga-bunga. Harun berkutat dalam pilihan antara ngentot ibunya saat itu atau tidak. Dipandangnya wajah putih dan cantik milik ibunya itu. Hidung yang mancung dengan rahang yang tinggi seperti yang dimiliki peragawati Ratih Sanggarwati, namun bibirnya begitu sensual seperti miliknya Soimah sementara mata lentiknya bila terbuka suka terkejap-kejap bagaikan mata gadis genit.

Dibelainya pipi ibunya. Begitu halus wajah ibunya. Bahkan lebih halus daripada wajahnya Atik. Memang ibunya lebih banyak merawat tubuh, sehingga mana ada gadis desa yang dapat mengalahkan keindahan tubuh ibunya itu. Dikecupnya bibir ibunya. Bibir ibunya basah dan hangat. Bau nafas ibunya yang bersih dan hangat terasa di hidung Harun. Disedotinya bibir ibunya itu sambil dikecupnya sesekali. Bunyi bibir Harun yang mencipoki bibir ibunya terdengar jelas dibarengi suara dengkur ayahnya yang berada di sebelah mereka berdua.

Tak terasa, Harun telah beringsut sehingga kini menindih ibunya. Harun menikmati cumbuan sepihak ini. Kedua tangannya memegang pinggir kepala ibunya, sementara bibir ibunya dengan rakus ia jilati, sedoti dan kecupi. Kadang-kadang ia menjepit bibir bawah ibunya dengan kedua bibirnya sambil mengenyoti bibir bawah itu.

Harun menjadi makin bernafsu. Ia mulai menjilati seluruh wajah cantik ibu kandungnya itu. Bagaikan anjing haus, kedua pipi ibunya asyik digesek-gesek lidahnya, begitu juga dengan mata, jidat, dagu bahkan rambut hitam ibunya yang memancarkan bau shampoo.

Setelah wajah ibunya basah oleh air liur Harun, Harun mulai menarik tali kanan daster ibunya hingga melewati pundak. Tetek kanan ibunya yang tidak memakai BH terlihat separuh, dengan puting payudara yang tiba-tiba tegak telanjang. Harun semakin buas dan segera memasukkan pentil itu ke dalam mulutnya. Disedotinya pentil itu sambil tangan kanannya meremasi tetek kiri ibunya yang masih tertutup daster. Sungguh kenyal dan empuk ditangan. Kulit ibunya begitu harum. Wangi melati sedikit tercium.

Harun sudah tidak tahan lagi. Ia berdiri di samping tempat tidur, kemudian menarik daster ibunya ke atas. Agak susah karena ibunya sedang tidur. Dengan agak kasar ia memiringkan ibunya sehingga bagian belakang daster dapat tertarik ke atas. Setelah beberapa menit yang melelahkan, kini daster ibunya sudah menggerombol di atas dada, sehingga bagian payudara ke bawah terbuka. Tubuh putih dan seksi ibunya itu kini tampak jelas diterangi lampu kamar. Selangkangan ibunya ditutupi oleh celana dalam putih. Bibir memeknya terlihat. Harun menarik CD itu cepat-cepat hingga sampai pergelangan kaki. Lalu kaki kanan ibunya ia angkat sehingga celana dalam ibunya tergantung hanya di pergelangan kaki yang kiri.

Harun mendorong kedua paha ibunya lebar-lebar sehingga ibunya ngangkang. Kaki kiri ibunya menindih kaki kanan ayahnya yang sedang asyik tertidur. Kini Harun dapat melihat Jembut ibunya tampak rapi dalam bentuk segitiga kecil yang tak terlihat bila pakai celana dalam, karena dipotong sehingga bulu kemaluan itu tidak akan menyembul di pinggiran celana dalam. Harun lalu terjun ke selangkangan ibunya untuk mulai menciumi daerah intim ibunya itu.

Vagina ibunya begitu harum. Tampaknya ibunya merawat bagian intim itu. Entah ibunya pakai parfum untuk memek ataukah rajin minum jamu khusus wanita. Dengan nikmatnya Harun mulai menjilati kemaluan ibu kandungnya itu. Lidahnya membelah bibir luar memek ibunya sehingga menyelip ke dalam merasakan hangatnya memek perempuan. Harun mengorek-ngorek bagian dalam vagina ibunya dengan lidahnya. Dirasakannya vagina ibunya lembab dan hangat. Lidah Harun menemukan klitoris ibunya. Disapukannya lidahnya ke itil ibunya itu berkali-kali. Lama kelamaan liang surgawi ibunya mulai lembab dan semakin hangat.

Suatu saat Harun merasakan memek ibunya itu kini sudah basah oleh cairan yang bening dan membawa bau yang berbeda. Harun sudah berpengalaman, ia tahu bahwa bau badan perempuan akan tercium lebih jelas dari memek yang basah oleh cairan intim. Tahulah Harun kini bau badan ibunya yang sesungguhnya. Selama ini, ibunya selalu memakai parfum mahal sehingga tak pernah ia tahu bau tubuh ibunya itu. Apalagi ibunya hanya berolahraga ketika latihan aerobic, yang mana dilakukan di dalam kamar sendiri, sehingga Harun tak pernah tahu.

Bau tubuh ibunya berbeda dari bau tubuh Atik atau Jannah. Atik dan Jannah sendiri memilik bau badan yang berbeda. Hanya saja, ada sedikit kesamaan dalam aroma mereka yang tak dapat Harun beberkan dengan kata-kata. Nah, bau itulah yang tidak ada dalam bau tubuh ibunya. Bila ingin digambarkan, bau tubuh ibunya itu lembut namun keras, tidak menyerang tiba-tiba, namun perlahan tapi setelah itu menguasai tiap relung indera penciumannya. Sungguh bau yang sangat enak dan anggun.

Harun menggeleng-geleng karena kontolnya sudah berdenyut tidak karuan. Ia segera merapatkan selangkangannya ke selangkangan ibunya, ditaruhnya kontolnya di lubang memek ibunya, lalu dengan satu gerakan cepat ia menindih tubuh ibu kandungnya sambil mendorong pantatnya maju ke depan.

“Sleeeeeb…!” Sensasi kontolnya yang perlahan memasuki vagina ibunya dan sepanjang jalan menggeseki dinding memek ibunya sungguh tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Lubang itu begitu hangat dan licin karena basah oleh cairan kewanitaan ibu apalagi sempit rasanya, hampir seperti peretnya dinding Jannah waktu pertama kali ia setubuhi. Harun ingat ketika ia melihat ibu dan ayahnya bersenggama, ayahnya memiliki kontol yang berukuran kecil. Mungkin ini sebabnya liang senggama ibunya begitu sempit.

Harun menarik kontolnya lalu menusukkan lagi di dalam memek ibunya. Kembali dirasakannya vagina ibunya mencengkram erat kontolnya. Sebelum setengah kontolnya masuk, Harun mencabut kontolnya. Harun jadi penasaran, Harun mencari senter dan ternyata ada di meja rias. Diambilnya senter itu lalu disorotnya lubang vagina ibunya dengan satu tangan dan tangan lain membuka bibir memek ibunya. Dengan susah payah, Harun melihat di pertengahan liang senggama ibunya, liang surgawi ibunya memang tampak kecil, berbeda dengan liang senggama Jannah maupun Atik, yang setelah berkali-kali disetubuhi Harun, menjadi lebar.

Harun pernah dengar bahwa tiap wanita punya memek yang berbeda ukuran maupun bentuknya, ternyata ukuran lubang pun berbeda, terutama karena benda apakah yang pernah melewati lubang itu. Dilihatnya perut ibunya dan ada luka memanjang disana yang sudah lama sembuh. Rupanya ibunya dioperasi Caesar ketika melahirkan Harun. Masuk akal lah bila ibunya masih memiliki liang yang sempit.

Harun menjadi bersemangat. Aku harus merasakan liang surgawi ini! Namun apakah sekarang, ataukah nanti ketika Harun berhasil membuat ibunya takluk? Bila ia menyetubuhi ibunya ketika ibunya sedang disirep, maka lama kelamaan lubang itupun akan longgar, Harun merasa bahwa bila ingin menaklukkan ibunya, seperti si Arjuna menaklukan ibunya, salah satu point penting adalah menunjukkan kelebihan dirinya dibanding ayahnya. Ya, saat pertama kali menghujam memek ibunya, harus pada saat ibunya sadar, agar ibunya dapat merasakan besarnya kontol Harun.

Akhirnya Harun memutuskan untuk nanti saja. Maka kini ia mencolokkan lagi kontolnya di dalam lubang kencing ibunya yang masih basah, namun kontolnya ditaruhnya melintang di belahan bibir kemaluan ibunya lalu mulai menggeseki bibir memek itu tanpa penetrasi. Walaupun hanya menggesek saja, Harun merasakan nikmat juga. Apalagi fakta bahwa ibunya masih memiliki liang yang begitu sempit menambah nafsu Harun.

Ditindihnya tubuh ibunya yang sedang tertidur lelap itu. Berhubung ia lebih pendek dari ibunya, maka dengan mudah mulutnya menemukan pentil tetek ibunya hanya dengan menekuk kepalanya ke bawah. Sambil menyedoti tetek ibunya itu, Harun mulai menggowesi memek ibunya dengan batang kontolnya. Mulutnya bergantian mencucupi dada kiri dan kanan ibunya. Diselomotinya kedua payudara ibunya yang mancung itu dengan lahap. Dengan hati-hati, Harun menahan diri untuk tidak mencupangi kedua buah dada yang indah itu melainkan hanya menjilat, mencium saja, sementara sedotan khusus ia lakukan dipucuk puting ibunya saja.

Perlahan ibunya mulai mendesah dalam tidurnya. Kemaluan ibunya kini sudah basah karena lendir pelumas dari dalam memeknya sendiri dan membasahi batang kontol Harun yang keras dan penuh vitalitas lelaki muda. Walaupun ibunya tertidur lelap akibat sirep, namun bukan berarti ibunya tidak bereaksi terhadap serangan Harun, ibu Harun memeluk kepala anaknya itu dengan kedua tangannya sementara kedua kakinya melingkari kedua kaki anaknya dari luar sementara dalam desahannya, perempuan itu menggumamkan sesuatu yang tak jelas terdengar, namun dari nada yang dikeluarkan, Harun berpikiran bahwa tentu ibunya sedang mimpi basah.

Libido Harun sudah semakin meninggi, pantatnya bergoyang cepat sekali dan tekanannya menjadi lebih kuat, membuat kontolnya menggeseki memek ibunya dengan keras. Tubuh ibunya dan tubuhnya berkeringat karena aktivitas ini. Pelukan ibunya pun makin erat, sementara dapat Harun rasakan pinggul dan pantat ibunya kini bergerak-gerak seirama dengan pinggul dan pantat Harun. Harun kini mabuk birahi sehingga mulutnya kini terpaku dalam menyedoti puting ibunya yang sebelah kanan saja.

Akhirnya Harun sudah sampai puncaknya. Ia segera berdiri mencabut kontolnya lalu memuntahkan sperma di atas perut ibunya. Setelah itu, Harun mengusapi perut ibunya dengan tissue yang diambil dari meja rias sehingga perut itu bersih. Dengan perasaan sumringah, Harun meninggalkan kamar itu.

***

BAB LIMA : PERKEMBANGAN BARU

Hari berganti. Segalanya berjalan seperti biasanya. Harun berangkat ke sekolah pada pagi harinya setelah sarapan dengan ayah dan ibunya tanpa ada kejanggalan apapun. Aksi Harun semalam tidak seorangpun yang tahu kecuali Harun sendiri. Ibu Harun masih tampak seperti biasanya, berbincang-bincang sopan baik dengan ayahnya maupun dengan Harun. Ibunya masih menunjukkan wajah yang sedikit sendu. Sayang sekali wajah yang cantik itu jarang menunjukkan kebahagiaan, pikir Harun.

Di sekolah Harun sedikit tidak bersemangat mengikuti pelajaran-pelajaran. Baru pada pelajaran terakhir yaitu Bahasa Indonesia, sedikit semangat Harun tergugah. Guru Bahasa Indonesia adalah seorang perempuan berusia 35 tahun bernama Bu Fenti. Harun selalu suka mengikuti pelajaran ini.
Bu Fenti adalah wanita yang cantik dan pintar. Bu Fenti selalu memakai jilbab coklat yang senada dengan seragam gurunya. Walaupun pakaiannya tertutup rapat, namun dada yang terlihat menyembul di balik pakaian seragam itu sedikitnya menyiratkan betapa ranumnya payudara Bu Fenti. Kulit muka dan tangan Bu Fenti tidaklah putih. Malah cenderung agak gelap kecoklatan. Namun tampak kulit wajah dan tangan itu sangat halus dan seakan ada kilau yang memancar dari kulit coklat itu.

Wajah Bu Fenti sendiri sangatlah menarik. Hidungnya tidak pesek, namun tidak juga mancung seperti hidung orang Eropa. Hidung itu tampak simetris di tengah wajah yang oval, dipagari oleh tulang pipi yang tinggi. Mulutnya tipis namun tidak kecil, matanya sedikit sayu. Raut mukanya begitu indah dilihat. Tinggi badannya agak lebih pendek dari ibunya, hampir sepantaran Harun. Sungguh, perempuan yang cantik khas sekali Indonesia.

Tidak jarang Harun membayangkan bagaimana bentuk tubuh gurunya itu kalau tanpa ditutupi pakaian. Terkadang pula ketika ia menyetubuhi kedua gundiknya, ia membayangkan sedang bersetubuh dengan gurunya ini. Walaupun seringkali, terutama ketika menyetubuhi Atik, Harun juga membayangkan bersetubuh dengan ibunya sendiri.

Harun memperhatikan Bu Fenti lekat-lekat tanpa mendengarkan seksama apa yang perempuan itu katakan. Ingin sekali ia mengetahui Bu Fenti lebih jauh, apa yang sedang dipikirkan perempuan itu. Apakah ia sedang memikirkan seseorang yang khusus yang telah mengisi hatinya.

Bu Fenti adalah janda. Suaminya dahulu adalah kepala sekolah ini. Namun, dua tahun lalu ada skandal perselingkuhan lelaki itu dengan guru wanita baru. Guru muda cantik berkulit putih bernama Lani. Walaupun sebenarnya bagi Harun, Bu Fenti jauh lebih cantik daripada guru muda itu. Akibat skandal itu, Bu Fenti menceraikan suaminya, sementara suaminya mengundurkan diri dan pindah ke kota lain dengan Bu Lani yang akhirnya dinikahinya. Dari mantan suaminya itu, Bu Fenti mempunyai seorang anak gadis yang kini berusia 15 tahun bernama Yessi, kakak kelas Harun yang sekarang duduk di kelas 3 SMP.

Saat itu adalah waktu untuk membaca, kelas tinggal lima belas menit lagi. Teman kelas Harun mendapat giliran untuk membaca dari buku cetak. Suasana kelas hening. Harun memperhatikan bahwa Bu Fenti sedang tampak melamun. Harun memperhatikan perempuan cantik itu lekat-lekat. Seluruh konsentrasinya ditujukan pada perempuan itu.

Tiba-tiba saja didengarnya Bu Fenti berkata, “Ah, bosen! Mau mati rasanya di sini…”

Harun lebih terkejut lagi ketika menyadari bahwa mulut Bu Fenti tidak bergerak. Tiba-tiba saja suara itu hilang. Harun yang cerdas segera mengerti bahwa entah bagaimana ia dapat mendengarkan pikiran gurunya. Mungkin karena konsentrasi yang penuh yang ia berikan. Patutlah ini dicoba lagi, pikir Harun.

Ki Asmoro Dewo pernah berkata bahwa pikiran orang lain dapat didengar oleh seorang ahli sirep yang memiliki latihan puluhan tahun, namun terkadang ada orang juga yang memiliki bakat bawaan. Mungkin ini yang Harun miliki. Bakat. Bukankah ia sebelumnya juga punya bakat menyirep bawaan tanpa latihan? Mungkin sekali. Harun berpendapat bahwa ia sebenarnya memiliki bakat laten yang terpendam dalam membaca pikiran. Sangatlah masuk akal, bahwa latihan kebatinannya selama ini akhirnya memunculkan bakat itu ke permukaan. Harun menjadi Bahagia sekali. Bakat ini yang nantinya pasti akan menjadikan salah satu kepandaian yang berguna sekali.

Dengan khusuk dan penuh konsentrasi, Harun menatap wajah Bu Fenti lagi. Bu Fenti yang merasakan sedang diperhatikan, balas menatap Harun. Sedetik jantung Harun berdegup kencang, namun anak ini menenangkan hati dan tidak menatap ke arah lain melainkan tetap mempertahankan pandangannya.

Kembali Harun mendengar pikiran Bu Fenti, “Si Harun… selalu menatapku… matanya itu… seakan menembusku…”

Bu Fenti bergidik menatap mata Harun yang sedang mengawasinya. Perasaan ini ternyata dapat juga dirasakan oleh Harun. Ternyata selain membaca pikiran, Harun juga dapat merasakan apa yang dirasakan target konsentrasinya ini.

Harun bertanya-tanya dalam hati apakah ia bisa mempengaruhi pikiran Bu Fenti. Bukan dengan sirep atau perintah, melainkan dengan memberikan suatu ‘visi’ atau suatu gambaran di benak targetnya itu. Maka, Harun mulai berkonsentrasi untuk membayangkan bahwa hanya mereka berdua yang berada di kelas ini.

Betapa kagetnya Bu Fenti ketika merasakan bahwa keadaan kelas hening. Hanya ada dirinya dan Harun di kelas itu. Selebihnya hanyalah gelap. Bu Fenti merasakan takut yang amat sangat. Apakah yang sedang terjadi?

Harun dapat merasakan ketakutan Bu Fenti. Wah, mungkin terlalu jauh permainannya ini. Oleh karena itu, Harun mulai melepaskan ‘pengaruhnya’ dari Bu Fenti, lalu Harun memandang ke arah jendela kelas, seakan menghindarkan tatapan pada Bu Fenti. Namun, Harun tetap berkonsentrasi untuk membaca pikiran Bu Fenti.

Bu Fenti mendadak kembali berada di ruangan kelas dengan seluruh muridnya. Kelas kembali terang. Perempuan ini menjadi bingung. Apakah yang tadi terjadi? Pikirnya. Mengapa tadi ia merasakan hanya berdua di kelas ini? Apa maksud semua ini?

Bu Fenti merasa bahwa mungkin ia sudah terlalu lama menjanda. Mungkin di bawah sadarnya ia mengharapkan hidupnya diisi lelaki lain. Tapi mengapakah tahu-tahu ia memikirkan si Harun? Harun hanyalah anak SMP. Tak pernah dalam hidupnya Bu Fenti merasakan ketertarikan kepada murid-muridnya, dan, iapun tak pernah membayangkan si Harun.

Bu Fenti memperhatikan Harun yang sedang menatap jendela. Anak itu pasti melamun. Ingin ia menegur Harun yang sedang bengong itu. Wajahnya yang tampan tampak agak seperti orang bloon bila sedang melamun.

Harun berdebar, ia mendengar pikiran Bu Fenti. Bu Fenti tampaknya menganggap Harun ganteng. Wah, pucuk dicinta ulam tiba, pikir Harun. Ini adalah sesuatu yang dapat dijadikan landasan untuk tindakan berikutnya.

Harun menunduk lalu memejamkan mata. Dengan konsentrasi penuh, ia berusaha mengirimkan bayangan ke Bu Fenti. Ia membayangkan sedang berdua dengan Bu Fenti dan saling berangkulan mesra di depan kelas.

Bu Fenti terkejut. Ia menjadi heran kenapa dirinya membayangkan sedang berangkulan dengan Harun di depan kelas. Ia masih dapat melihat seluruh muridnya, namun di lain pihak pikirannya bagai bercabang dan samar-samar bayangan dirinya dan Harun berpelukan melintas di pikirannya.

Bu Fenti merasa jengah. Ia tak pernah berpikiran kotor seperti ini. Apakah salahnya sehingga mempunyai pikiran aneh seperti ini? Selama ini, ia telah berhasil meredam nafsu seksualnya semenjak bercerai. Seks bukanlah sesuatu yang menjadi tujuan hidupnya. Tentu saja seks itu sangat nikmat, namun bukan suatu kenikmatan yang menjadikannya pecandu. Tampaknya, usaha meredam nafsu ini akhirnya jebol juga.

Bu Fenti memejamkan mata lalu berusaha menyingkirkan bayangan si Harun dari benaknya. Namun ketika matanya terpejam, otaknya malah dengan jelas memperlihatkan adegan mesum itu lagi. Kini dalam benaknya, Harun tiba-tiba memagut bibirnya. Anehnya, ia membalas ciuman anak itu dengan bernafsu.

Saat adegan itu dibayangkan Harun, Harun juga mengirimkan sensasi erotis ke dalam pikiran Bu Fenti, sekalian ia mengirimkan sugesti bahwa Bu Fenti mulai bernafsu. Untuk anak remaja, usaha ini sangatlah hebat. Haruns selain mengirimkan gambar-gambar erotis, juga mengirimkan sensasi erotis dan bahkan sugesti sekaligus. Harun tak tahu, bahkan gurunya sekalipun tidak dapat melakukan itu.

Hasilnya sungguh dahsyat. Bu Fenti merasakan memeknya mulai basah, seluruh tubuhnya seakan dikerubungi semut. Dalam benaknya, ia dan Harun berciuman penuh nafsu. Lidah Harun menyerang kedalaman mulutnya, sementara kedua tangan Harun yang mendekapnya, membelai-belai punggungnya dengan belaian kasar penuh birahi.

Tubuh Bu Fenti gemetar menahan sensasi sensual yang seakan menyergapnya tanpa mampu ia kendalikan. Harun dalam benaknya kini mulai merabai kedua payudaranya yang masih tertutup pakaian. Memek Bu Fenti kini sudah basah dan membuat celana dalamnya menjadi basah juga. Bu Fenti jarang sekali membayangkan hal-hal yang erotis seperti ini, namun hari ini tiba-tiba saja berkhayal intim dengan salah satu muridnya.

Tiba-tiba saja bel berbunyi. Dengan salah tingkah, Bu Fenti meminta petugas piket untuk memimpin doa, lalu akhirnya para murid keluar kelas setelah member hormat. Bu Fenti masih merasakan celana dalamnya basah dan menunggu murid terakhir keluar kelas. Ia memasukkan barang-barangnya ke dalam tas dengan perlahan. Ketika selesai, ia memandang ke arah bangku murid dan dengan kaget mendapati Harun sedang asyik membaca buku.

“Harun. Kamu kok masih di sini?”

“Harun mau tunggu sampai matahari ga terik lagi, Bu. Boleh ya?”

Wajah Harun tampak memelas dan Nampak tulus. Apalagi timbul dalam hati Bu Fenti perasaan sayang yang aneh. Bu Fenti akhirnya mengangguk memperbolehkan Harun, ia hendak berdiri meninggalkan kelas, namun ada sesuatu yang menahannya. Ia menatap Harun. Ia memperhatikan wajah anak itu yang sedang tampak konsentrasi membaca. Wajah anak itu belumlah dewasa, namun makin lama dilihat wajah itu makin menarik. Memang wajahnya tampan, namun sebenarnya bukanlah tampan seperti model di Jakarta. Tampan seperti orang Jawa umumnya. Namun anehnya, Bu Fenti seakan ingin memperhatikan anak ini terus.

Bu Fenti tidak tahu bahwa Harun terus mengirimkan bayangan wajah Harun kepadanya, juga dengan sugesti bahwa Bu Fenti semakin lama semakin tertarik kepada Harun, selain itu emosi dan perasaan Bu Fenti juga dipengaruhi sehingga timbullah perasaan sayang yang datang tiba-tiba.

“Bu? Harun boleh minta bantuan?”

Bu Fenti terkejut karena ia sedang melamun mengenai Harun ketika Harun menanya pada dirinya. Bu Fenti terdiam sebentar. Ada perasaan dalam dirinya bahwa Harun sedang membutuhkan sesuatu, dan sebaiknya ia menghampiri anak itu dan duduk di sampingnya.

“Boleh saja.” kata Bu Fenti dan tanpa sadar berdiri dari tempat duduknya. Ketika Bu Fenti berjalan melewati pintu, tiba-tiba ada perasaan aneh yang menyuruhnya untuk menutup pintu. Maka ia menutup pintu, lalu wanita itu mendatangi bangku samping Harun dan kemudian duduk di sebelahnya.
Harun kemudian mulai berbicara. Ia curhat mengenai ayahnya yang tidak peduli kepada dirinya. Juga tentang ibunya yang dingin di rumah. Tentu saja hal mengenai ayahnya itu benar adanya, namun ibu Harun tidaklah sedingin yang digambarkan Harun. Harun mulai berakting sedih. Sedikit air mata bercucuran ketika ia mengatakan bahwa ia merasakan bagaikan anak yatim yang tidak disayangi orangtua.

Bu Fenti merasa trenyuh lalu mendekap kepala Harun dan mulai menghibur anak itu. Harun memeluk Bu Fenti erat-erat sambil sesunggukan di dadanya. Tiba-tiba benak Bu Fenti kembali dikuasai birahi. Tubuh Bu Fenti sedikit bergetar karena menahan nafsunya itu. Hidung Bu Fenti yang sedikit mengenai rambut Harun mencium bau matahari khas anak remaja. Namun kali ini, bau itu sangat memabukkan dan membuat memeknya basah lagi.

Saat itu Harun dapat memasuki pikiran Bu Fenti dalam sekali. Ia dapat merasakan benaknya menyentuh benak Bu Fenti. Benak itu bagaikan suatu bola besar dengan warna-warni yang menghiasnya. Ada warna yang mengatur emosi, ada warna yang mengatur perasaan, ada warna yang mengatur logika. Harun menyentuh benak Bu Fenti pada bagian logikanya, lalu menanamkan di dalamnya bahwa apapun yang dilakukan Harun adalah wajar.

Kemudian Harun mengangkat wajahnya lalu menciumi bibir Bu Fenti yang basah dengan bernafsu. Bu Fenti yang sudah tidak dapat mengontrol logikanya lagi hanya membiarkan saja bibir kecil Harun menyelomoti bibir tipis sensual miliknya. Harun menyuntikkan sugesti lagi bahwa Bu Fenti akan menjadi liar ketika Harun mencumbunya.

Bu Fenti membalas ciuman itu dengan penuh nafsu. Lidah Harun yang telah menjilati bibirnya kini disambut juga dengan lidahnya. Mereka saling bertukaran lidah dengan penuh nafsu. Dalam ketergesaannya, Harun mulai melucuti baju seragam Bu Fenti sambil terus berpagutan. Dibukanya kemeja seragam itu lalu dibuangnya ke lantai ketika telah dilucuti.

Di balik kemeja seragamnya, masih ada singlet wanita yang secara cepat pula dilolosi. BH hitam Bu Fenti membungkus payudara yang bulat. Tampaknya 36B. Harun lalu menarik Bu Fenti berdiri untuk membuka roknya sehingga kini akhirnya Bu Fenti hanya mengenakan BH dan CD hitam saja.

Tubuh Bu Fenti yang tidak terlalu tinggi tampak padat. Lengan Bu Fenti tampak sedikit gemuk, khas wanita dewasa Indonesia. . Ada sedikit lemak di perutnya, namun tidak buncit. Ada garis selulit di perutnya yang menandakan ia pernah melahirkan. Bagian di sekitar pusarnya tampak sedikit menonjol yang melebar ke samping ke arah pinggulnya yang menyebabkan pinggul Bu Fenti tampak berisi dan tidak terlihat tulangnya. Ada garis lemak di atas pahanya yang membuat kesatuan pinggul dan panggulnya tampak sangat manusiawi namun sensual. Di tambah lagi kulit tubuhnya yang ternyata lebih putih dari wajahnya. Wajah dan tangan Bu Fenti seringkali tertimpa matahari sehingga berwarna coklat kegelapan, namun kulit tubuh Bu Fenti memiliki warna yang lebih terang. Bahkan, kulit dadanya tampak hampir kuning langsat. Sungguh bagaikan lukisan indah seorang maestro. Karena warna kulit Bu Fenti tidak tampak loreng-loreng, melainkan pada berbagai tempat seperti tangan, leher dan wajah memiliki suatu gradasi warna dari terang ke gelap yang sempurna sekali.

Tatapan Bu Fenti penuh nafsu memperhatikan Harun yang kini sedang melucuti baju sambil menatapnya. Bu Fenti pun mulai membuka BHnya. Akhirnya payudara yang bulat itu terlihat juga. Kedua payudara yang berwarna lebih putih dari bagian tubuh lainnya itu benar-benar hampir bulat. Kedua pentil Bu Fenti terletak tepat di tengah payudaranya. Daerah areolanya yang berwarna coklat gelap juga memiliki gradasi yang makin terang di pusatnya menjadi coklat muda. Namun pentilnya tampak berwarna seperti lingkar luar areola, coklat gelap juga. Besarnya payudara itu rupanya tersembunyi karena ukuran BH yang kecil yang dipakai Bu Fenti sehingga menekan payudara itu ke dalam. Kedua bulatan payudara itu cukup besar dan gemuk sehingga satu tangan Harun tak dapat menutupi satu payudara Bu Fenti.

Kemudian Bu Fenti membuka celana dalamnya sehingga kini jembutnya yang lebat terlihat. Bau tubuh Bu Fenti mulai tercium di hidung Harun ketika Harun mulai mendekati Bu Fenti dengan perlahan. Ketika jarak mereka sangat dekat, mereka berdua saling menubruk dan berciuman lagi. Harun hanya perlu mendongakan wajah sedikit ke atas karena Bu Fenti hanya lebih tinggi sedikit darinya.

Dengan penuh nafsu mereka berdua saling meremas dan berciuman. Lidah mereka beradu lagi dengan cepat. Air liur mereka bertukaran cepat, membasahi rongga-rongga mulut masing-masing dan bahkan juga sekitar bibir mereka.

Kedua tangan Harun mulai meremasi payudara Bu Fenti. Bu Fenti mulai mengerang-ngerang dalam ciuman mereka. Tangan kiri Harun menjelajah ke bawah dan mendapatkan celah kenikmatan di balik semak belukar yang kini sudah basah kuyup oleh cairan kewanitaan Bu Fenti.

Kedua tubuh mereka kini berkeringat pekat. Peluh bahkan masuk ke mata kanan Harun dan membuat matanya itu perih. Kelas yang tanpa kipas angin dan AC memang sudah panas, apalagi kini dua tubuh mereka yang telanjang sedang berdekapan yang mengantar panas tubuh satu sama lain. Harun menyukai bau tubuh Bu Fenti yang sedikit menyengat namun bersahabat dengan hidungnya.

Harun melepaskan ciumannya dan kini merambah ke bawah kea rah tetek kanan Bu Fenti. Bu Fenti mengangkat tangan kanannya untuk mendekap kepala Harun. Bau tubuh Bu Fenti tercium jelas ketika ketek perempuan itu membuka. Saat itu, bibir Harun sedang berada di bagian atas payudara kanan Bu Fenti. Harun melirik ke samping kiri atas dan melihat ketek Bu Fenti yang dihiasi bulu-bulu halus yang menghiasi pertengahan ketek itu. Bulunya tidak lebat, namun dapat terlihat membentuk garis-garis tipis yang tidak begitu lebat namun membentuk bayangan hitam di celah ketiak itu.

Harun memegang tangan kanan Bu Fenti dengan tangan kirinya lalu mengangkat tangan Bu Fenti itu. Ia segera menjilati ketek yang basah itu dengan buas. Bulu-bulu halus itu membelai lidahnya yang basah dan mengirimkan sinyal birahi yang begitu kuat.

Tak tahan lagi, Harun mendudukkan Bu Fenti di atas meja, lalu membuka paha perempuan itu lebar-lebar, lalu menghujamkan penisnya ke dalam gua yang terlarang itu.

Vagina Bu Fenti tidaklah serapat Atik atau Jannah, bahkan dibanding juga dengan ibunya. Namun bukan berarti terasa longgar. Melainkan cukup ketat juga membungkus kontolnya yang sudah tegang sedari tadi.

Sambil menghujami kemaluan Bu Fenti dengan penuh semangat, Harun mengenyoti payudara kanan Bu Fenti. Bu Fenti kini mengerang keras sambil mendekap tubuh muridnya itu dengan eratnya. Suara selangkangan beradu yang sebelumnya tidak pernah terdengar di kelas ini, kini memenuhi ruangan, memantul dari dinding-dinding, disaksikan oleh papan tulis dan pernak-pernik kelas yang lain.

Bu Fenti seakan merasa di surga. Sudah lama ia tidak diberi nafkah batin. Dan kini muridnya sendiri menafkahinya di dalam kelas! Bu Fenti tidak memikirkan apa-apa lagi, berhubung logikanya sudah dikuasai oleh Harun. Perempuan ini terhanyut dalam kenikmatan ragawi yang sedang direngkuh bersama dengan Harun.

Kini Harun asyik menyelomoti tetek yang sebelah kiri, sementara tangan kirinya meremasi tetek kanan Bu Fenti yang sudah basah oleh campuran keringat mereka berdua ditambah dengan air liur dari mulut Harun.

Saat itu Harun dapat mendengar suara langkah kaki pria mendatangi kelas. Ada yang mendengar mereka, rupanya. Bu Fenti mengerang keras sekali. Harun dengan sigap segera berusaha berkonsentrasi dan memusatkan pikiran untuk memasuki benak orang yang sedang datang.

Rupanya penjaga sekolah. Harun dapat mendengar pikiran orang itu. Pak Priyo mendengar teriakan perempuan dari kelas ini. Kedengarannya seperti Bu Fenti yang cantik itu. Maka Pak Priyo tergopoh-gopoh mendatangi. Namun, tiba-tiba saja ia tidak mendengar apa-apa lagi. Bahkan, kini ia lupa kenapa ia ada di tempat ini. Bukankah tadi ia berencana untuk makan siang? Dengan linglung, Pak Priyo berjalan menjauhi kelas itu tanpa tahu bahwa Harun telah mempengaruhi benaknya.

Bu Fenti yang tidak tahu apa-apa kini sedikit lagi mencapai klimaks. Pantatnya bergoyang bagaikan tornado. Ada suatu dorongan untuk menuntaskan birahinya secepatnya. Selangkangannya kini menumbuki selangkangan Harun dengan kecepatan dan kekuatan yang dahsyat.
Harunpun sudah hampir sampai di batas kekuatannya. Kontolnya yang merasakan dinding basah memek Bu Fenti juga sudah ingin sekali memuntahkan spermanya. Pantatnyapun mengimbangi gerakan dan kekuatan Bu Fenti. Bunyi selangkangan mereka beradu kini membahana. Nafas mereka sudah ngos-ngosan, peluh sudah memandikan tubuh mereka.

Dan akhirnya, diiringi jeritan kenikmatan Bu Fenti dan bentakkan kepuasan dari Harun, Harun menyemprotkan spermanya dalam liang senggama ibu gurunya itu yang sedang kelojotan karena mengalami orgasme setelah sekian lama guanya tidak ada yang mengunjungi.

Selama beberapa menit setelah orgasme, Bu Fenti tidur di atas bangku. Harun yang kontolnya telah mengecil, duduk di hadapan gurunya itu.
Bu Fenti akhirnya berdiri. Ia memandang Harun dengan mata penuh pertanyaan.

“Ibu tahu kamu yang membuat Bu Fenti jadi begini. Entah dengan cara apa, Ibu tidak tahu.”

Harun terkaget. Ia kemudian membaca pikiran Bu Fenti, dan anehnya, perempuan ini tidak marah. Malah ada rasa suka dari Bu Fenti. Bu Fenti adalah tipe perempuan yang ingin dikuasai oleh lelaki, dan entah bagaimana caranya, Harun berhasil menguasai perempuan ini.

Harun berdiri. Ia Mengecup bibir Bu Fenti cukup lama, dan kemudian mereka berdua bergegas memakai baju untuk lalu meninggalkan tempat mereka memadu kasih.

***

BAB LIMA : KAKEK GURU DATANG

Malam itu hujan deras. Rumah Ki Asmoro Dewo telah basah diterpa hujan dan angin yang kencang. Bulan bersembunyi di balik awan gelap, menjadikan bumi tanpa penerangan. Bahkan lampu depan rumah Ki Asmoro Dewo tidak membantu penglihatan karena kalah oleh gelapnya malam. Kilat menyambar-nyambar di udara, menebar ancaman yang mendebarkan dada, namun kilas cahaya ketika ia menyambar untuk beberapa saat menerangi bukit itu. Tanah bukit sudah gembur oleh air yang meluap turun ke bawah. Jalan setapak tergenang air. Pohon dan semak mandi hujan. Daun-daun tertunduk diterpa air hujan yang tidak berbelas kasih. Bukan waktu yang baik untuk berpergian.

Namun sesosok bayangan manusia bergerak perlahan di jalan setapak itu. Sesekali tubuhnya terlihat dalam kilasan cahaya yang sekejap menerangi dari kilat yang menyambar-nyambar ditengah hujan yang lebat itu. Seorang lelaki yang memakai ponco hijau tua yang kuyup oleh air hujan. Kepalanya selain dilindungi topi ponco itu, juga memakai topi caping lebar. Tangan kanannya menggenggam tongkat kayu berat yang menjadi penopang tubuhnya ketika berjalan. Lelaki itu berjalan perlahan, entah karena takut kepeleset atau memang dia orang yang sabar dan tak tergesa-gesa.

Butuh waktu yang cukup lama sampai orang itu sampai di serambi rumah Ki Asmoro Dewo. Ia memasuki serambi itu lalu mengetuk pintu sesudah membuka capingnya. Ia hanya mengetuk beberapa kali dan lalu menunggu di depan pintu sambil bertelekan tongkatnya yang kini dipindahkan ke tangan kiri.

Lelaki itu sudah tua. Rambutnya sudah putih semua. Wajahnya penuh keriput yang seakan menunjukkan bahwa usianya sudah sangat lanjut. Matanya jernih namun dalam. Pandangannya seakan menembus sanubari orang yang membalas tatapannya. Walaupun tua dan keriput, tubuhnya tidaklah rapuh melainkan tegap, walaupun kurus.

Akhirnya pintu dibuka. Ki Asmoro Dewo sendiri yang membukanya. Ketika melihat tamunya, Ki Asmoro Dewo serta merta berubah mukanya menjadi kaget yang secara cepat pula berubah menjadi raut yang gembira sekali. Tampang Ki Asmoro Dewo kini bagaikan seorang anak yang baru dibelikan hadiah dari orangtuanya.

“Guru!!”

Ki Asmoro Dewo segera menyambut gurunya dengan mencium tangan kanan lelaki itu. Guru Ki Asmoro Dewo hanya tersenyum sekilas, namun matanya memancarkan perasaan kasih sayang kepada muridnya. Ia hanya mengangguk melihat penyambutan muridnya itu. Lalu, Ki Asmoro Dewo dengan sedikit membungkuk menyilahkan sang guru untuk masuk tanpa memperdulikan pakaian yang basah maupun sandal yang penuh lumpur.

***

Ki Asmoro Dewo ketika mudanya adalah seorang anak berbakat. Anak indigo, sebutannya. Kemampuannya dalam berkelahi sudah terlihat semenjak usia delapan tahun. Selain itu, ia memiliki suatu wibawa dan kharisma bawaan sehingga disegani teman-temannya. Karena itu ia memiliki bakat dalam mempengaruhi orang lain. Bakat yang hampir sama dengan Harun. Hanya saja kalau dibandingkan, maka Harun memiliki bakat yang lebih besar.

Karena bakat inilah Ki Sangga Jagat memilih Ki Asmoro Dewo sebagai muridnya. Nama asli Ki Asmoro Dewo adalah Dewanto. Setelah Dewanto menguasai hampir seluruh ilmu Ki Sangga Jagat, maka ia diberikan gelar Ki Asmoro Dewo. Ini dikarenakan kecenderungan Dewanto dalam bertualang asmara, sehingga ilmu yang dikuasainya dengan sempurna adalah ilmu yang berhubungan dengan asmara. Seperti pelet dan sirep.

Hal ini sangat disayangkan Ki Sangga Jagat. Ki Sangga Jagat memiliki dua orang murid. Ki Asmoro Dewo adalah murid ke duanya. Murid pertamanya bernama Pardji. Seluruh ilmu beladiri dan santet dikuasai murid pertamanya ini. Sirep dan pelet dikuasainya juga, walaupun tak sehebat adik seperguruannya. Yang membuat Ki Sangga Jagat sedih adalah sebelum ‘lulus’ dari pendidikan dengan Ki Sangga Jagat, Pardji menunjukkan watak aslinya. Watak orang yang kemaruk harta dan kekuasaan. Pardji membuka sebuah praktek dukun diam-diam. Sebenarnya bila praktek ini untuk kebaikan, maka Ki Sangga Jagat tidak akan melarang, namun Pardji menspesialisasikan untuk menyantet orang.

Akhirnya Pardji diusir oleh Ki Sangga Jagat. Kemudian Ki Asmoro Dewo diajarkan seluruh ilmu pribadinya. Namun, entah karena bakat yang kurang ataupun karena memang tidak jodoh, ilmu pamungkas Ki Sangga Jagat tidak dapat dikuasai Ki Asmoro Dewo. Sudah puluhan tahun Ki Sangga Jagat mencari murid ketiga, namun tidaklah mudah mencari seorang anak dengan bakat yang besar. Ki Sangga Jagat sadar, ia harus mencari seorang anak yang memiliki bakat luar biasa untuk dapat memakai ilmu ini.

Ilmu Ki Sangga Jagat bukanlah ilmu temuan sendiri, melainkan ilmu yang sudah ada semenjak jaman kerajaan Jawa dahulu kala. Bila dirunut pada silsilah perguruan, para pendahulunya adalah para punggawa kerajaan-kerajaan besar. Ada yang menjadi salah satu perwira dari Panembahan Senopati di Kerajaan Mataram, ada yang menjadi perwira pada jaman Joko Tingkir berkuasa di Kerajaan Pajang. Bahkan, tertulis pada permulaan silsilah bahwa pendiri perguruan ini adalah salah satu panglima dari Kerajaan Majapahit yang mengundurkan diri karena pengaruh Gajah Mada yang haus kekuasaan.

Sementara, ilmu perbawa dan sirep disempurnakan ketika salah seorang pendahulu Ki Sangga Jagat itu menjadi bawahan Panembahan Senopati. Kono menurut catatan di daun lontar itu, Panembahan Senopati menghadiahkan ilmu perbawa dan sirep kepada pendahulu Ki Sangga Jagat sebagai hadiah atas jasanya yang besar kepada kerajaan.

Ilmu asal perguruan terutamanya adalah beladiri dan kebatinan. Konon ilmu ini adalah ilmu campuran antara silat keraton Majapahit dan ilmu dari negeri Cina yang didapatkan dari salah seorang perwira yang datang ke singosari untuk menghukum Kertanegara karena memotong telinga utusan dari Cina. Seperti tertulis di sejarah, Raden Wijaya menggunakan pasukan dari Cina ini untuk menghukum kerajaan Kediri (dengan Jayakatwang sebagai penguasanya) yang memberontak dan membunuh Kertanegara. Ketika perang usai, Raden Wijaya menusuk dari belakang dan mengocar-kacirkan pasukan dari Cina. Banyak perwira yang tertinggal di Jawa. Salah satunya, menurunkan ilmunya pada pendiri perguruan yang akhirnya menjadi panglima kerajaan Majapahit karena kedigdayaannya. Nama pendiri itu adalah Ekawira. Sebelum berguru kepada perwira Cina, ia sudah menjadi perwira di kerajaan Singosari di bawah Raden Wijaya. Ilmu silatnya adalah ilmu silat asli Jawa bercampur dengan ilmu kebatinan Hindu turn temurun dari keluarga. Setelah bertemu gurunya, perwira China bermarga Thio, maka diajarkanlah ilmu silat China yang melatih fisik dan tenaga dalam. Ilmu kebatinan dan Ilmu beladiri fisik inilah yang menjadi dasar ilmu Ekawira.

Pada dasarnya, ilmu perbawa dan sirep dari Panembahan Senopati dapat dengan mudah menyatu dengan ilmu perguruan dikarenakan ilmu kebatinan yang menjadi salah satu tiang dasar ilmu perguruan ini. Kalau sebelumnya, ilmu kebatinan dipakai untuk meyakinkan ilmu beladiri (seperti ajian-ajian), kini ilmu kebatinan itu bercabang sehingga menjadi ilmu yang dapat mempengaruhi orang lain bukan secara kontak fisik, melainkan dengan mempengaruhi pikiran secara langsung.

Perguruan ini tidak mempunyai nama. Karena memang tidak ada padepokannya. Pada mulanya ilmu ini diturunkan untuk keluarga saja. Namun, pada akhirnya, untuk melestarikan ilmu ini agar tidak punah, mau tidak mau ilmu ini harus diberikan kepada orang yang memang mempunyai bakat silat. Namun terutama, bakat dalam kekuatan pikiran. Hanya dengan gabungan antara kekuatan fisik dan kekuatan pikiran, maka ilmu pamungkas dapat dipakai.

Kembali kepada Ki Sangga Jagat. Ia mendapatkan kabar dari murid keduanya bahwa telah menemukan seorang anak yang memiliki bakat besar dalam menggunakan kekuatan pikiran. Maka, mungkin inilah saat yang tepat untuk menurunkan ilmu pamungkas kepada pewaris yang berjodoh. Bila anak ini memang berbakat besar dan mampu mempelajari ilmu itu, maka cincin kekuasaan perguruan akhirnya dapat ia berikan, dan ia akan mengundurkan diri.

Untuk itulah ia datang jauh-jauh dari Gunung Kawi ke rumah murid keduanya. Untuk mewariskan ilmu pamungkas perguruan. Untuk melestarikan ilmu yang sudah berabad-abad diturunkan dan disempurnakan. Dengan begitu, amanat para pendahulunya dapat dijalankan dengan baik.

***

Di halaman belakang, Ki Sangga Jagat berbicara dengan murid keduanya. Mereka duduk di pavilion sederhana yang terletak didepan sebuah kolam ikan kecil.

“Pardji kini menyebut dirinya Ki Jagatsudana. Kamu tahu maksud dia apa?”

Ki Asmoro Dewo menggeleng.

“Sudana itu adalah bahasa Sansekerta berarti pembunuh. Kalau kamu mendengarkan ketika aku dulu mengajarkan bahasa-bahasa Sansekerta, maka seharusnya kamu tahu. Wong di pikiranmu itu cuma ada Wedhok… sebenarnya, banyak sekali dasar ilmu kita yang menggunakan ajian-ajian dengan bahasa Sansekerta. Namun memang orang harus ada bakat dan minat untuk mempelajarinya. Kedua hal ini, memang kamu kurang. Nah Jagatsudana itu berarti pembunuh jagat. Jagat mana yang ia maksud? Ya jelas itu adalah aku. Si Pardji gendheng itu sudah berani-beraninya menantang aku!”

“Guru. Kenapa kita tidak labrak saja dia?”

“Ngawur! Aku ini sudah hampir seratus tahun. Kamu suruh aku perang dengan dia? Kamu kira dia itu berani begitu karena sudah bisa mengalahkan aku satu lawan satu? Dia itu sudah punya padepokan yang isinya begundal-begundal semuanya. Dia itu dari dulu penjahat. Tidak ada etika yang berlaku baginya. Sudah pasti ia akan main keroyok. Lagipula, dia ini sudah menjadi paranormal bagi pejabat negeri ini. Jadi, anak buahnya bukan hanya memiliki ilmu kanuragan, bahkan ada pula yang pakai senjata api. Belum lagi kalau si pejabat itu ikut turun tangan, bisa masuk bui kita…”

“Lalu, apa yang kita harus lakukan, guru?”

“Kita harus bersiap dan memupuk kekuatan. Kamu bilang kamu sudah punya murid yang berbakat. Aku mau lihat dia. Segera panggil dia ke sini. Nanti aku akan nilai apakah anak itu dapat menjadi pewaris ilmu pamungkas perguruan kita..”

“Baik, Guru.”

Saat itu, Hanifah, salah satu isteri Ki Asmoro Dewo datang membawa kopi. Hanya Hanifah yang masih bangun. Dan mendengar bahwa guru suaminya datang, ia segera merapikan diri lalu membuatkan minuman.

Ada cerita unik yang hanya para isteri Ki Asmoro Dewo yang tahu. Dan tidak semua isteri itu tahu. Siti, isteri termuda tidak tahu cerita ini. Dahulu, Ki Sangga Jagat seringkali datang menyambangi murid keduanya ini. Bahkan dari awal-awal perkawinan muridnya. Pada mulanya Ki Asmoro Dewo tidak memiliki anak sampai perkawinannya berusia empat tahun. Akhirnya tahun keempat, isteri pertama Ki Asmoro Dewo melahirkan anak pertama mereka.
Pernikahan kedua terjadi, untuk dua tahun Ki Asmoro Dewo tidak mempunyai anak, namun setelah dua tahun maka pernikahan itu dikaruniai seorang anak. Dan terus terjadi sampai pernikahan ke enam Ki Asmoro Dewo. Intinya, untuk beberapa tahun, sang isteri tidak hamil, baru kemudian hamil dan melahirkan.

Kini, 2 orang isteri Ki Asmoro masih belum punya anak. Yaitu Hanifah dan Siti. Sudah lama Hanifah ingin punya anak, namun tidak bisa. Tahun lalu, akhirnya lima isteri Ki Asmoro yang sudah punya anak bercerita, bahwa sebenarnya Ki Asmoro kemungkinan besar mandul. Ke lima isteri Ki Asmoro itu ternyata pernah berhubungan seks dengan gurunya Ki Asmoro, dan tak lama kemudian mereka hamil. Jadi, anak mereka kemungkinan besar adalah anaknya Ki Sangga Jagat.

Hanifah merasa kecewa bahwa rahasia ini ia ketahui belakangan. Selama ini, memang ia jarang sekali menemui Ki Sangga Jagat ketika orang itu berkunjung. Karena, Hanifah sebenarnya adalah perempuan pemalu. Namun ia juga merasa jengkel kepada para madunya itu karena membagi cinta dengan lelaki lain.

Kini, ternyata Ki Sangga Jagat datang lagi ke rumah mereka. Dari ujung kamar tamu, ia mengintip untuk melihat sang guru, sebelum ia membawakan kopi di nampan. Wajah Ki Sangga Jagat tampak penuh keriput tanda sudah uzur. Seluruh rambutnya berwarna putih. Kalau dari cerita suaminya, sang guru kemungkinan berusia Sembilan puluh tahun, namun kalau dilihat tubuh lelaki tua itu masih kurus dan tegap. Seakan usia yang lanjut tidak berpengaruh pada kesehatan badannya.

Ki Sangga Jagat melirik sebentar ke arah Hanifah yang sedang mengintip. Hanya sekitar dua detik, lalu mata itu beralih lagi ke arah suaminya yang sedang membelakanginya. Namun dua detik itu sungguh dahsyat dirasakan Hanifah. Hanifah merasakan dadanya berdebar-debar entah kenapa. Namun ia berusaha menepis perasaannya lalu berjalan mengantarkan kopi.

***

Hanifah tidak dapat tidur. Cuaca gerah sekali. Ia hanya memakai kain sebagai pembalut tubuh karena udara yang panas. Kipas angin tidak dinyalakan karena ia memang tidak suka tidur kena kipas angin. Hujan telah reda, tapi entah kenapa kamar ini panas. Lampu kamar yang masih menyala mungkin menyebabkan udara lebih panas lagi, namun ia sudah terlalu malas untuk mematikan lampu itu.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul dua malam. Dari yang ia dengar, sudah setengah jam lalu suami dan guru suaminya itu berhenti berbicara. Seperti biasanya, suaminya masuk ke kamar Siti, isteri paling mudanya. Sementara, sang guru dipersilahkan untuk masuk kamar tamu oleh suaminya.

Hanifah sangat mencintai suaminya yang ia nikahi ketika berumur 17 tahun. Saat ia berumur 16 tahun, ia sedang dalam kesusahan besar. Ia kabur dari rumah karena ibunya telah menikah lagi dengan ayah tiri yang jahat dan cabul. Hampir saja ia diperkosa. Sebelum terjerumus ke dunia malam, ia bertemu dengan Ki Asmoro Dewo yang menawari pekerjaan sebagai pengasuh anak di rumahnya.

Singkat cerita, setahun kemudian mereka menikah karena ada gejolak asmara di antara mereka berdua. Ki Asmoro Dewo adalah figure kebapakan yang ngemong dan sabar. Lama kelamaan Hanifah menjadi sangat hormat dan menyayangi lelaki itu. Ketika Ki Asmoro Dewo mengutarakan niatnya untuk menikahinya, ia langsung bersedia.

Menjadi satu dari 7 orang isteri dari lelaki yang sama adalah suatu beban. Terutama di bagian seks. Ia tidak dapat memiliki lelaki yang dicintainya itu sepenuhnya. Ia harus berbagi. Apalagi kini sudah ada isteri muda. Bisa dihitung dalam satu bulan, ia hanya disentuh beberapa kali. Hanifah tidak menyesal kawin dengan Ki Asmoro Dewo. Hanya saja banyak malam yang Ia lewatkan dengan rasa sepi yang menyedihkan, karena ia belum punya anak. Lima isteri yang lain sudah memiliki anak sehingga hari-hari mereka tidaklah terasa begitu sepi dan menyedihkan.

Tiba-tiba gagang pintu berputar perlahan. Ia memang tidak mengunci pintu dengan harapan malam ini sang suami akan datang menyambanginya. Dengan harap-harap cemas ia melihat pintu perlahan terbuka. Perlahan sosok di balik pintu terlihat sedikit demi sedikit.

Betapa kagetnya ketika ia melihat Ki Sangga Jagat yang membuka pintu. Hati Hanifah berdegup keras. Entah kenapa ia tidak berteriak kaget, seakan lidahnya kelu. Ia melihat Ki Sangga Jagat hanya memakai sarung. Kulit lelaki itu tampak memiliki bercak-bercak khas orang yang sudah tua, keringat lelaki itu terlihat membasahi badannya yang kurus. Lelaki itu tersenyum kepadanya.

Seakan sedang bermimpi, atau malah sedang menonton film, Hanifah melihat perlahan sekali Ki Sangga Jagat menutup pintu dan menguncinya, lalu berjalan perlahan menghampiri tempat tidurnya. Berhubung selimut masih tergeletak di kakinya, maka kini Hanifah seakan merasa tanpa perlindungan apapun, kain yang ia kenakan bagaikan tak berarti terhantam pandangan mata lelaki uzur yang seakan menelanjanginya.

Ki Sangga Jagat duduk di pinggir tempat tidur, melepaskan giginya dan menaruh gigi itu di dalam gelas air putih yang ada di samping tempat tidur yang selalu disiapkan oleh Hanifah. Ada rasa jijik yang dirasakan Hanifah melihat ini. Lalu, Ki Sangga Jagat merebahkan diri di samping Hanifah dengan miring menghadap perempuan itu. Lalu tiba-tiba lelaki tua itu mulai mengenyoti leher Hanifah dengan mulut ompongnya sambil setengah menindih tubuh kirinya.

Tanpa mampu berteriak minta tolong, Hanifah merasa ketakutan yang amat sangat. Ia merasakan mulut tanpa gigi itu menyedoti lehernya. Geli sekali terasa ketika gusi telanjang itu melahap lehernya dengan buas. Seluruh tubuh Hanifah menggigil akibat rasa takut dan rasa geli yang bercampur aduk. Mulut ompong itu dengan penuh nafsu menggerogoti seluruh leher depannya sehingga ludah kakek itu kini mulai menyelimuti lehernya yang berkeringat. Hanifah memejamkan matanya erat-erat, berusaha untuk tidak melihat Ki Sangga Jagat yang sedang mencabulinya.

Hanifah merasakan tangan kiri si kakek mulai meraba-raba dadanya yang setengah tertutup. Kulit telapak si kakek terasa kasar dan kapalan menyentuh dada kanannya, meremasi bukit susunya yang putih dan tertutup kain. Lalu mulut ompong si kakek mulai mengenyoti dagunya. Begitu lembut, hangat dan basah mulut itu. Ada aroma tembakau dan kopi dari mulut si kakek.

Tak lama tangan kiri si kakek menyusup masuk dari atas kainnya dan kini tangan yang kasar itu bersentuhan langsung dengan tetek kanan Hanifah. Sensasi ini membuat Hanifah membuka mulutnya dan berdesah. Ia seakan melupakan kejijikan dan ketakutannya pada Ki Sangga Jagat. Momen ini dimanfaatkan dengan baik oleh Ki Sangga Jagat untuk melumat bibir perempuan cantik ini dengan mulutnya yang ompong.

Hanifah merasakan ada lidah yang tebal dan kasar masuk kemulutnya, sementara bibirnya diemut oleh bibir yang basah dan lunak. Saat bibir si kakek melumat bibirnya dan tangan si kakek meremasi payudaranya yang sudah telanjang, Hanifah sudah terbuai oleh nafsu birahi yang tiba-tiba saja melandanya. Kemaluannya mulai basah karena cairan persenggamaan yang perlahan keluar dari mahkotanya itu.

Sudah beberapa minggu Hanifah tidak dinafkahi oleh Ki Asmoro Dewo. Sudah lama sekali dirasa Hanifah tidak disentuh lelaki. Kini tiba-tiba saja nafsu yang terpendam selam ini seakan jebol keluar, meruntuhkan dinding pertahanannya, membuatnya lupa akan segala hal. Hanifah kini balas melumat lidah Ki Sangga Jagat. Kedua tangannya memeluk perlahan tubuh kurus si kakek.

Ki Sangga Jagat bergerak merangkak di atas isteri muridnya itu, sambil terus berciuman, kedua tangannya membuka kain Hanifah yang hanya dilipat di pinggir saja. Lalu ia juga membuka sarungnya secara cepat dan melemparkan sarung itu sekenanya saja. Ketika mereka berdua telanjang, Ki Sangga Jagat menindih Hanifah.

Hanifah merasakan kontol Ki Sangga Jagat terjepit antara tubuhnya dan tubuh si kakek. Ia merasakan burung si kakek begitu panjang dan besar. Lebih besar dan lebih panjang dibanding milik suaminya. Memikirkan ini, memek Hanifah menjadi bertambah basah sehingga membasahi selangkangan mereka berdua.

Hanifah merasakan mulut si kakek meninggalkan mulutnya. Dengan sedikit kecewa perempuan itu membuka matanya. Ia melihat Kakek itu sedang memandangi tubuh telanjangnya sambil meremasi kedua payudaranya

“Cantik tenan sampeyan, nduk.” Lalu dengan buasnya, Ki Sangga Jagat melahap toket kiri Hanifah. Sementara, tangan kiri si kakek tetap meremasi payudara kanannya. Tangan kanan si kakek kini mengusap-usap vagina Hanifah yang sudah banjir dengan cairan lengket dan hangat dari kemaluannya.

Hanifah merasakan geli yang nikmat ketika gusi ompong si kakek menyedot-nyedot pentil tetek kanannya. Remasan tangan kiri si kakek makin liar seakan ingin mencopot teteknya yang sebelah kanan, namun sensasi tangan kanan si kakek yang mengusapi klitorisnyalah yang membuat kepalanya pusing tujuh keliling saking nikmatnya.

Beberapa saat kemudian si kakek melepaskan tindihannya di tubuh Hanifah lalu duduk agak ke bawah. Si kakek membuka kedua kaki Hanifah lebar-lebar. Hanifah tersipu malu melihat dirinya terbuka lebar seperti itu di hadapan Ki Sangga Jagat.

Lalu Ki Sangga Jagat mulai menjilati kemaluan Hanifah yang basah oleh keringat dan cairan vagina. Hanifah merasa di awing-awang ketika lidah kasar Ki Sangga Jagat menyapu bibir memeknya dengan lahap. Dengan bantuan tangannya, kakek itu membuka bibir memek Hanifah, lalu menjilati bagian dalam memek perempuan itu.

Hanifah yang selama ini mendesah-desah, kini mulai mengerang-erang. Pada mulanya ia takut kedengaran oleh suaminya, namun ia berfikir, guru suaminya tentu ilmunya lebih hebat lagi dari suaminya, sehingga kemungkinan besar malam ini suaminya sudah tertidur pulas disirep gurunya sendiri. Oleh karena itu, Hanifah mulai melepaskan gairahnya tanpa malu-malu dan takut lagi.

“Iya, ayo, Ki. Jilat terus tempikku. Minum cairan tempikku, Ki. Nikmati kemaluanku, Ki. Bersihin memekku pake lidahmu, Ki. Aaaaah… enak, Ki. Teruussss… teruuuussss…”

Setelah beberapa menit, Hanifah merasakan orgasme yang dahsyat. Kepalanya bagaikan berkunang-kunang dan seluruh tubuhnya seakan ikut menjerit, ketika ia menjerit dalam kenikmatan, “Aku sampai, Ki…!!!”
Hanifah memejamkan matanya untuk beberapa saat karena kecapekan.

Namun, Ki Sangga Jagat baru saja mulai. Kakek itu menghujamkan kontolnya ke dalam memek Hanifah lalu menindih perempuan itu. Hanifah membuka matanya karena kaget. Memeknya sakit sekali karena diterobos dalam satu kali tusukkan. Kontol besar Ki Sangga Jagat bagaikan membelah dua selangkangannya. Lubang memeknya seakan penuh diganjal oleh batang yang besar.

Hanifah memeluk erat-erat si kakek sambil mengeluh kesakitan. “Auw! Sakit, Ki…”

Ki Sangga Jagat tidak bergerak melainkan mulai menciumi bibir Hanifah lagi. Hanifah dalam kesakitannya membalas ciuman yang menggelikan dari Ki Sangga Jagat. Lama-kelamaan ia mulai menikmati sensasi disedot-sedot oleh mulut yang ompong itu. Bau khas kelelakian keluar dari tubuh Ki Sangga Jagat. Bau yang sering tercium keluar dari kuli-kuli atau buruh-buruh di pasar. Bau yang selama ini bagi Hanifah menjijikan. Selama ini ia hanya menyukai bau tubuh suaminya. Apalagi suaminya yang kaya itu memakai wewangian mahal. Namun kini, aroma lelaki tulen yang dimiliki oleh guru suaminya itu malah membuat Hanifah bernafsu lagi.

Hanifah membalas ciuman lelaki itu. Lidah mereka saling menjilat-jilat, seakan bersilat dan bergulat, bergumul berusaha merasakan saripati ludah satu sama lain. Kedua tubuh mereka kini berkeringat deras. Tubuh harum Hanifah menempel di tubuh kakek yang bau keringat lelaki. Ki Sangga Jagat mulai perlahan mengocoki memek perempuan itu dengan kontolnya yang besar.

Telah lima isteri muridnya yang ia gauli. Ia tahu dari pengalaman bahwa kesemuanya memiliki memek yang sempit bagi kontolnya. Kontol muridnya memang tidak sebesar dan segagah dirinya, dan juga sperma muridnya tidak sekuat dirinya. Seluruh anak yang dilahirkan isteri muridnya adalah anaknya. Begitu bodohnya Ki Asmoro Dewo, pikir Ki Sangga Jagat.

Makin lama kocokan Ki Sangga Jagat makin cepat dan kuat. Cairan vagina Hanifah sedari tadi kembali berlimpah keluar dari lubang kenikmatannya memudahkan gesekkan antara batang kontol si kakek dengan dinding liang surgawi Hanifah.

Hanifah sudah berteriak teriak dalam kenikmatan, “Yang keras, Ki. Encuki sing kuwat, Ki. Encuki aku, Ki.”

Sementara selangkangan Ki Sangga Jagat sudah berkali-kali menghantam selangkangan Hanifah dengan keras menimbulkan suara benturan khas orang sedang ngentot. Hanifah serasa di langit ke tujuh saat ia merasakan memeknya kini bertubi-tubi dirojoh-rojoh kontol si kakek, di lain pihak mulut ompong si kakek juga sedang asyik mengenyoti lehernya yang penuh cairan campuran keringat dan ludah, ditambahi kedua tangan si kakek yang tak kenal lelah meremasi, memelintir dan mengusapi kedua payudaranya yang indah itu.

Ki Sangga Jagat sudah lama tidak mengentoti vagina sempit seperti ini. Isterinya di rumah ada tiga orang, dan memek mereka sudah tidak serapat dulu karena tiap hari digenjot oleh kontolnya yang besar. Kini, ia bermaksud untuk tinggal di sini untuk sementara, selain untuk melatih murid baru, juga untuk meniduri isteri-isteri muridnya. Apalagi si Siti yang masih 17 tahun, pasti masih legit.

Memikirkan si Siti, Ki Sangga tak tahan lagi, sehingga akhirnya dengan lenguhan panjang, kontolnya menyemburkan spermanya dalam-dalam ke liang senggama Hanifah. Hanifah yang nafsunya juga sudah di kepala, ketika merasakan siraman peju guru sang suami, kembali orgasme. Kali ini orgasmenya bahkan lebih dahsyat dari sebelumnya.

Kedua insan itu akhirnya terkapar kecapekan di tempat tidur setelah mencapai klimaksnya.

***

BAB ENAM : MEMPERDALAM ILMU

Akhir-akhir ini kehidupan rumah tangga Seto dan Asih semakin memburuk. Seto merasakan kebosanan yang amat besar setiap kali berdekatan dengan isterinya. Begitupula dengan Asih, perempuan ini merasa muak tiap kali berdekatan dengan suaminya. Entah kenapa setiap kali mencium bau tubuh suaminya itu, ingin rasanya ia muntah.

Selain itu, Asih akhir-akhir ini mulai merasakan sesuatu yang aneh tiap kali berdekatan dengan anak lelaki satu-satunya. Ada perasaan deg-degan dan malu tiap kali anaknya berbicara dengannya. Seringkali Harun hanya memakai celana pendek tanpa baju, dengan berkeringat masuk ke rumah. Asih tahu anaknya itu berguru kepada Ki Asmoro Dewo, dari penglihatan Asih, tampaknya anaknya belajar silat dari lelaki itu.

Walaupun Asih masih lebih tinggi sedikit dari anaknya, namun tubuh anaknya semakin hari semakin kekar, ototnya makin lama makin mengembang indah. Seringkali Harun selesai latihan silat di luar, masuk ke rumah dan berbincang dengan Asih yang biasanya sedang berada di ruang keluarga, entah menonton atau sekedar membaca majalah. Asih dapat menangkap bau tubuh anaknya yang berkeringat itu, dan entah kenapa memeknya menjadi basah dan tubuh Asih serasa merinding.

Tidur malam pun selalu dihiasi dengan mimpi dirinya dicumbu oleh anaknya itu. Harun yang hanya memakai celana pendek akan mendatangi kamar tidurnya. Anehnya pada mimpi ini, Seto tidak ada di kamar tidur mereka. Lebih aneh lagi, mimpi Asih selalu sama.

Asih hanya memakai kain batik saja yang melilit tubuhnya. Ia sedang berbaring tengkurap di tempat tidurnya. Harun memasuki kamarnya lalu berkata, “Ibu mau dipijit?”

“Boleh, nang. Ibu lagi pegal-pegal nih.”

Lalu perlahan Harun akan duduk di sampingnya lalu mulai memijit bahunya. Pijatan Harun sungguh lembut, sedikit lebih keras dari mengusap, namun tidak terlalu keras seperti pijatan biasa. Asih merasakan tangan Harun yang kasar menggesek dan menekan kulit bahunya yang terbuka sehingga menyebabkan kemaluan Asih mulai basah.

Kipas angin di kamar dimatikan. Sehingga udara begitu panasnya. Tak lama Asih dan Harun berkeringat. Jemari Harun terus mengusapi bahu telanjang Asih yang basah oleh keringat. Kulit halus bahu Asih yang kini licin oleh keringat memudahkan telapak dan jemari Harun untuk membelai dengan lancar.

“Harun pijat punggung ya, Bu…” Tanpa menunggu jawaban, kedua tangan Harun menangkap ujung atas kain di bagian punggung Asih lalu menarik kain itu ke bawah. Akhirnya simpul kain yang terletak di depan tak mampu menahan tenaga betotan Harun yang mengakibatkan kain di bagian punggungnya mulai terbuka sedikit demi sedikit. Asih dapat merasakan angin menciumi punggungnya yang mulai terbuka. Ketika kain sampai di pinggang, tangan Harun mulai memijit punggungnya.

Pijat mungkin bukan kata yang tepat, karena kedua tangan Harun terbentang membuka dan menekan punggung telanjangnya lalu telapak itu menggosok punggungnya naik turun secara perlahan. Harun membelai-belai punggungnya dengan usapan-usapan penuh nuansa erotis.

Asih menikmati telapak kapalan anaknya membelai punggungnya yang basah itu. Kulit halus punggungnya menikmati usapan demi usapan. Ia merasakan begitu nikmatnya telapak yang kasar itu menggeseki punggungnya. Nuansa erotis belaian itu menyebabkan vagina Asih menjadi banjir. Sampai ketika kedua tangan itu menyusup masuk ke bawah, melampaui kedua lengannya dan memegang kedua buah payudaranya dari samping, barulah naluri keibuan Asih timbul.

“Jangan, Nang!” Asih berkata.

Dan mimpi itu berhenti. Asih pada saat ini tersadar, namun belum bisa langsung membuka mata. Setelah kurang lebih dua menit berlalu, maka Asih dapat membuka matanya dan mendapatkan dirinya sedang tengkurap dengan suami yang tidur ngorok di sampingnya. Ia berkeringat walaupun kipas angin menyala. Dasternya tertutup rapat, namun Asih merasakan kulit punggungnya seakan baru saja ada yang membelai. Bukan mimpi. Ada sensasi di kulitnya yang seakan baru saja diusap orang. Asih merasakan kebingungan yang tak dapat dijelaskan.

Harun adalah penyebabnya. Asih tidak tahu bahwa setiap malam, anaknya akan menyirep seisi rumah, lalu mulai beraksi. Harun memasuki alam bawah sadar ibunya dan memasuki mimpinya. Sementara, Harun sendiri mendatangi ibunya, membalikkan tubuh ibunya hingga tengkurap, lalu membuka daster ibunya yang memiliki tali yang tipis dan panjang sehingga mudah diloloskan dari lengan, lalu memeloroti daster itu hingga di pinggang.

Harun terus menginvasi mimpi ibunya, sementara dalam keadaan nyata, ia menggerepei punggung ibunya itu. Kipas angin yang mati adalah karena dimatikan oleh Harun. Ini membuat mereka berdua berkeringat. Hal mana yang sangat disukai Harun, karena tubuh ibunya yang berkeringat seakan bercahaya karena memantulkan lampu kamar yang selalu Harun nyalakan ketika ia memasuki kamar orangtuanya ketika sedang berusaha mengkondisikan ibunya agar menerimanya.

Namun, ibu Harun adalah tipe orang yang penuh perjuangan. Walaupun sudah sebulan Harun menginvasi pikiran ibunya, namun tiap kali kedua tangannya menggenggam payudara yang kencang milik ibunya itu, naluri keibuan dan juga logika dari ibunya, menghapus segala invasi yang ia lakukan dalam benak ibunya itu. Setiap kali ini terjadi, Harun akan menyirep ibunya agar tidak segera bangun, walaupun dalam keadaan sadar, lalu membenarkan daster ibunya, menyalakan kipas angin, lalu akhirnya mematikan lampu dan keluar dari kamar.

Sebenarnya apa yang dilakukan Harun sulitlah dilakukan orang-orang yang jago hipnotis ataupun sirep. Karena korbannya sudah sadar, namun secara fisik, indera orang itu ditutup, sehingga tidak merasakan bahwa pakaian yang dipakai diutak-atik, tidak mendengar kegaduhan Harun bangun dari tempat tidur ataupun mematikan lampu dan lain sebagainya.

Walaupun Harun kecewa bahwa selama sebulan ia belum dapat maju-maju dalam usahanya, namun sebenarnya Harun seharusnya senang, andaikan dia tahu, bahwa hanya sedikit orang yang memiliki kemampuan seperti dirinya. Bahkan sesungguhnya Ki Asmoro Dewo kemampuannya tidaklah mencapai seperti apa yang dimiliki oleh Harun.

Paginya ada utusan dari gurunya datang menyampaikan kabar dari gurunya untuk segera mendatangi rumah gurunya itu. Maka Harun menyampaikan pesan bahwa ia akan datang setelah sekolah. Sebenarnya Harun agak sebal, karena ia sedang berusaha mendapatkan celah agar ibunya mau menerimanya secara seksual, namun, tidak pernah gurunya menyuruhnya datang seperti ini. Tentu ada sesuatu yang sangat penting. Sehingga akhirnya Harun pikir tak ada salahnya juga hari ini ke tempat gurunya.

***

Singkat cerita, akhirnya Harun bertemu dengan kakek gurunya. Kakek gurunya menceritakan riwayat murid pertamanya yang menjadi jahat dan murtad. Selama perbincangan mereka, Ki Sangga Jagat menggunakan ilmunya untuk memasuki pikiran cucu muridnya itu. Ilmu ini tidak dapat dikuasai oleh Ki Asmoro Dewo sehingga Harun tidak pernah mengetahuinya.

Namun, Ki Sangga Jagat kini ketemu batunya. Ketika ia berusaha membaca pikiran cucu muridnya itu, ia seakan ketemu tembok yang menghalangi pandangan. Berkali-kali ia coba tembus, namun tidak berhasil. Harun sebaliknya, ketika pertama kali kakek gurunya berusaha memasuki pikirannya, ia merasakan ada suatu arus tajam yang memasuki benaknya. Seakan pisau yang menembus pikirannya. Serta merta, Harun mencoba untuk menangkis serangan ini, namun tidak berhasil pada kali pertama dan pisau itu terus menusuk, sehingga akhirnya Harun membayangkan bahwa kepalanya dilindungi oleh suatu medan tak terlihat yang tidak dapat menembusnya. Dan dengan medan tak terlihat ini, serangan Ki Sangga Jagat tidak dapat lanjut, bahkan terdorong sehingga berada di luar dinding perisai yang dibuatnya itu.

Ki Sangga Jagat yang saat itu sedang bercerita mengenai murid murtadnya, untuk sementara berhenti bicara. Ia memicingkan matanya dan menatap cucu muridnya tajam-tajam. Harun merasakan pisau ini kini seakan bertambah besar dan berusaha merobek dinding perisainya. Namun, untungnya serangan itu tidaklah mampu menembus pertahanan Harun.

Harun tahu ia sedang diserang oleh kakek gurunya, ia ingin sekali mengetahui maksud kakek gurunya itu. Maka sambil mempertahankan perisai pertahanannya, ia mulai mengkonsentrasikan diri untuk mendengar pikiran gurunya.

Inilah perbedaan mendasar dari kakek guru dan cucu muridnya itu. Apa yang dimiliki oleh Ki Sangga Jagat adalah ilmu ciptaan manusia. Ilmu ini sifatnya menyerang, maka dirasakan Harun bagaikan pisau yang membelah benak dan berusaha membaca pikiran setelah mengobrak-abrik benak orang tersebut. Bila ilmu ini belum sempurna, maka korban dapat saja menjadi terluka, contoh yang paling banyak terjadi adalah korban menjadi berubah sifatnya menjadi pendiam dan introvert, biasanya orang bilang korban cuci otak, namun sebenarnya adalah karena diserang oleh ilmu yang tidak sempurna.

Sementara, Harun memiliki bakat. Ia dapat masuk ke dalam benak orang dan menyerang seperti halnya seperti yang ia lakukan pada ibunya, namun serangan ini lebih lembut. Pertama-tama, ia mendengarkan dahulu pikiran orang, lalu ia dapat mencari celah untuk merubah pikiran ini perlahan-lahan.
Jadi, bila untuk membaca pikiran korban Ki Sangga Jagat harus menyerang terlebih dahulu, Harun di lain pihak, mendengarkan pikiran korban, baru nanti dapat memutuskan untuk menyerang atau tidak.

Hanya sedikit sekali orang yang dapat mendengarkan pikiran orang lain. Seperti kita ketahui, otak memiliki gelombang dalam frekuensi khusus yang berbeda tiap insannya. Gelombang otak ini adalah interaksi antara syaraf-syaraf otak yang bermiliar jumlahnya, tiap jalur yang dibuat adalah apa yang kita sebut memory. Sehingga, ketika kita berfikir, kita sebenarnya memanfaatkan jalur-jalur sinoptik antara syaraf-syaraf tsb.

Harun adalah satu dari segelintir orang yang mampu mendengarkan gelombang otak, sehingga dapat membaca pikiran orang lain. Namun, kata ‘membaca’ pun sebenarnya tidaklah tepat. Karena Harun sebenarnya melihat kilasan gambar-gambar dan juga merasakan gelombang emosi sang korban. Manusia sebenarnya, ketika sedang berfikir, sebagian besarnya adalah kumpulan memory yang terdiri dari gambar-gambar ditambah nuansa emosi ataupun sensasi indera. Contoh, ketika kita membayangkan peti mati, rata-rata orang sebenarnya membayangkan ‘gambaran’ peti mati, ditambahkan ada emosi seperti: takut atau sedih. Sama halnya bila kita memikirkan buah apel, kita sebenarnya membayangkan gambaran buah apel, ditambah dengan sensasi rasa apel itu di lidah.

Dan inilah yang membuat Harun lebih mampu penetrasi lebih jauh ke benak orang, tanpa melakukan serangan. Ia hanya mendengarkan pikiran orang lain, sehingga mampu melihat apa yang dilihat korbannya, mampu merasakan apa yang dirasakan korbannya.

Kini, Harun dapat merasakan emosi kakek gurunya. Kakek gurunya terkejut, kagum dan gembira. Harun kini tahu bahwa kakek gurunya itu ingin mengajarkan ilmu wasiat dari perguruan mereka. Sebuah ilmu yang sangat dahsyat, yang begitu susah dipelajari orang normal, namun bila dipelajari orang yang berbakat, maka akan dapat menjadi sesuatu yang mengerikan.

“Bagus. Kamu dapat menghalangiku untuk membaca pikiranmu. Mulai saat ini, aku yang akan mengajarkanmu ilmu perguruan kita,” kata Ki Sangga Jagat tanpa mengetahui bahwa cucu muridnya telah membaca pikirannya.

***

Mulai saat itu, Harun belajar langsung kepada kakek gurunya. Ilmu silat dan ilmu kebatinan kakek itu terbukti sangat mumpuni. Dan dalam kurun waktu setahun saja, Harun sudah dapat maju pesat sehingga bahkan ilmu kebatinannya sudah jauh di atas gurunya, Ki Asmoro Dewo. Sedangkan dalam ilmu silat, tentu lebih perlahan perkembangannya, Karena ilmu silat adalah sesuatu yang harus ditimba sedikit demi sedikit. Harun mengetahui seluruh teknik latihan, teknik berkelahi dan teknik pernafasan. Namun, untuk menjadi seorang yang digdaya, paling tidak membutuhkan waktu lebih dari lima tahun.

Baiklah kita untuk tidak memfokuskan diri kepada perkembangan ilmu kedigdayaan Harun, dikarenakan segala pelatihan ilmu bila ingin diperlihatkan sebenarnya tidaklah diperlukan dalam suatu cerita. Maka Bab selanjutnya akan lebih memfokuskan kepada interaksi Harun dengan orang-orang disekitarnya.

BAB DELAPAN : SITI

Semenjak berguru dengan Ki Sangga Jagat, Harun semakin sering bertandang ke rumah Ki Asmoro Dewo. Dalam seminggu, ia menyambangi rumah gurunya sampai 4 kali. Bila hari biasa, maka Harun akan langsung ke rumah gurunya itu seusai sekolah, lalu kembali pulang sekitar pukul sembilan malam. Cukup melelahkan, namun lama kelamaan, ilmu silat dan kebatinan yang diajarkan kakek gurunya itu mulai menunjukkan faedahnya. Tubuh Harun semakin bugar sehingga latihan-latihan itu tidak membuat tubuhnya kelelahan.

Yang menarik bagi Harun selain ilmu-ilmu yang diajarkan, kenyataan bahwa Harun akhirnya mengetahui rahasia keluarga Ki Asmoro Dewo. Ternyata semua anak gurunya itu sebenarnya adalah hasil hubungan gelap para isteri gurunya dengan kakek gurunya.

Harun segera berusaha mencari tahu mengenai Siti, isteri terakhir gurunya yang baru berusia 17 tahun. Jarang sekali Harun bertemu isteri-isteri gurunya. Selain karena rumah gurunya yang luas, juga karena gurunya agak protektif dengan hartanya yang satu ini. Bahkan, makan malam tidak pernah semua isteri gurunya ikut makan bersama dengannya dan kakek gurunya. Paling hanya Hanifah. Dari pikiran Hanifah inilah Harun mengetahui perhubungan gelap para isteri gurunya dengan kakek gurunya.

Pernah suatu saat, ia bertemu Siti. Gadis tujuhbelas tahun ini memiliki tinggi yang sejajar dengan Harun, namun, gadis ini sedikit agak gemuk. Gemuk, bukan gendut. Namun dari tubuh yang chubby ini, terlihat dua buah gundukan payudara yang besar menyembul di dadanya. Kemungkinan besar cup C atau bahkan mungkin D. Kulit Siti berwarna putih. Wajahnya manis. Ada sedikit kumis tipis di ujung atas bibirnya yang menambah manis senyumannya. Rambutnya panjang sebahu. Lengannya memiliki bulu-bulu halus. Suara yang dimilikinya sedikit nyaring namun membuat lelaki bernafsu mendengar kata-kata yang terujar dari bibirnya yang merah dan sedikit tebal sensual.

Harun mengetahui juga bahwa hanya Ki Asmoro Dewo yang pernah meniduri gadis ini. Sementara, Harun dapat membaca pikiran kakek gurunya ketika sedang berbicara dengan Siti. Kakek gurunya bernafsu mendapatkan perempuan ini. Dapat dirasakan Harun berkali-kali kakek gurunya berusaha menanamkan gambar-gambar erotis ketika sedang berbincang dengan Siti. Namun, Harun yang juga kepincut perempuan ini, segera memodifikasi gambar ini sehingga di benak Siti gambar itu berupa Harun dan Siti yang bercumbu liar.

Kakek gurunya bingung. Harun dapat membaca pikiran kakek itu, dan Ki Sangga Jagat sedang curiga bahwa cucu muridnya yang pintar itu berusaha menyabotase usaha yang ia lakukan. Namun, Harun selalu memasang muka tak bersalah, bahkan seringkali Harun meninggalkan ruangan agar menghilangkan kecurigaan kakek gurunya. Namun, Harun kini menguasai ilmu baca pikiran dengan sangat sempurna. Bahkan dalam jarak lebih dari dua ratus meter, ia dapat membaca pikiran orang dan menanamkan sugesti ke orang tersebut. Sehingga, pertarungan mendapatkan Siti dilanjutkan oleh Harun, bahkan dari ruangan lain!

Selama enam bulan usaha Ki Sangga Jagat berusaha mendapatkan Siti selalu gagal. Ki Sangga Jagat mendapatkan bahwa pikiran perempuan ini cukup kuat. Ia sudah tidak curiga lagi dengan cucu muridnya, melainkan merasa bahwa Siti adalah orang yang memiliki karakter sangat kuat sehingga susah dipengaruhi, dan tampaknya perempuan ini sedang naksir berat dengan cucu muridnya.

Di lain pihak, Siti selama enam bulan ini menjadi gundah. Ia tak dapat menyingkirkan Harun dari pikirannya. Ia selalu membayangkan Harun mencumbui dirinya. Mungkin inilah yang dinamakan cinta. Memang, Siti menikah dengan Ki Asmoro Dewo bukan karena cinta, melainkan karena perintah orang tuanya. Orang tuanya berhutang budi besar sekali kepada lelaki ini. Keluarganya yang seharusnya sudah hancur ke jurang kenistaan, telah ditolong sehingga kini keluarga Siti menjadi keluarga terpandang dan kaya di kampung halamannya sana, di daerah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Pada bulan keenam ini, tepat ketika hari Sabtu di mana ia sedang menginap. Harun memutuskan untuk menyirep seisi rumah. Ia penasaran apakah ia mampu menyirep guru dan kakek gurunya juga. Patut dicoba ilmu kebatinannya sudah sampai mana. Bila ketahuan pun, Ia dapat berdalih bahwa ini adalah usaha untuk menyempurnakan ilmu dengan melatihnya. Ada ajian-ajian dalam ilmu kebatinan, namun, Harun dapat menyirep tanpa ajian-ajian itu. Harun mendapati bahwa bila ia menggunakan ajian, ia merasakan bahwa tenaga pikirannya dikeluarkan lebih besar, karena ada unsur paksaan, namun bila ia menggunakan kekuatan pikirannya tanpa ajian, tenaga pikiran yang dikeluarkan lebih kecil. Bahkan, terkadang dari percobaan-percobaan yang ia lakukan pada Atik dan Jannah, ia merasakan bahwa kekuatan bakat dari pikirannya lebih memiliki ikatan yang sangat kuat dibanding dengan ajian-ajian. Perbedaan secara jelas adalah, ajian-ajian itu bersifat keras dan memaksa, sementara kekuatan pikiran Harun bersifat lembut dan seakan menanamkan suatu sugesti sehingga si korban melakukan perintahnya bukan karena paksaan, melainkan karena merasa bahwa memang itu yang diinginkan si korban sendiri. Bagaikan tenaga dalam, ajian-ajian bagaikan Gwa Kang, atau tenaga kasar, kekuatan pikiran bagaikan Lwee Kang, atau tenaga lembut.

Jarang sekali Harun menggunakan ajian-ajian. Ia sebenarnya enggan mempraktikan ajian-ajian tersebut. Namun, pelajaran kebatinan tidak hanya ajian-ajian. Ada juga cara melatih konsentrasi dengan samadi, cara mempertahankan ikatan pikiran, cara mengendalikan kekuatan pikiran, yang selalu diterapkan ketika Harun sedang ‘mengerjai’ korbannya.

Maka, Harun malam itu menggunakan kekuatan pikirannya dan menebarkan sirep ke seisi rumah. Tingkat ilmu Harun sudah sangat tinggi setelah setahun ditempa oleh Ki Asmoro dan enam bulan ditempa oleh Ki Sangga Jagat, sehingga saat melepaskan kekuatan pikirannya, ia dapat merasakan satu demi satu orang yang telah terkena ilmunya itu.

Ketika memasuki benak Ki Sangga Jagat, Harun mengalami kesulitan. Memang mudah membaca pikiran kakek gurunya, namun, untuk dapat memasuki benak lelaki tua itu secara perlahan susah sekali. Kekuatan Harun bagaikan terhadang suatu tembok kokoh yang tidak dapat ditembus. Sementara, Harun dapat mengetahui bahwa kakek gurunya kini sedang curiga pikirannya sedang diserang. Harun tahu bahwa Ki Sangga Jagat kini merapal ajian benteng pertahanan agar tidak mudah diserang. Harun tahu bahwa kakek gurunya itu agak kalut, lelaki tua ini khawatir bahwa Ki Jagatsudana sedang menyerang dirinya.

Untungnya Harun tahu ajian benteng pertahanan ini dan di mana letak kelemahannya. Menggunakan kelemahan ini, Harun akhirnya berhasil perlahan menembus benak kakek gurunya. Sugesti kantuk yang dahsyat ia kirimkan. Setelah pertarungan tanpa suara antara pertahanan Ki Sangga Jagat dan Harun berlangsung hampir setengah jam, akhirnya kakek gurunya tertidur pulas. Harun yang kini keringatan karena mengeluarkan segala daya pikirnya selama setengah jam, akhirnya merasa plong.

Tak lama, rumah gurunya sunyi senyap. Harun lalu memasuki benak Siti yang ikut terpengaruh sirep sehingga tertidur pulas. Harun membangunkan Siti dari tidurnya menggunakan kekuatan pikirannya.

Siti mendusin. Ia sedang tidur bersama Ki Asmoro Dewo. Lelaki tua itu mendengkur pelan di sisinya. Setelah kesadarannya terkumpul beberapa saat kemudian, Siti menyadari bahwa rumah keadaanya hening. Sangat hening sehingga sedikit membuat bulu kuduknya merinding. Bahkan jangkrik tak terdengar bersuara di luar. Waktu bagai berhenti.

Tiba-tiba saja benaknya memikirkan Harun. Harun yang ganteng walaupun wajah kekanakannya masih ada sedikit, namun raut wajahnya yang selalu menunjukkan kedewasaan yang aneh. Harun yang kala latihan silat hanya mengenakan celana saja sementara tubuh bagian atasnya yang berkeringat memperlihatkan otot-otot yang telah terlihat menonjol dan indah.

Ada sesuatu di benaknya yang menyuruh Siti untuk keluar dari kamar ini, lalu pergi ke kamar Harun. Tidak boleh! Kata suara lain di benaknya. Kamu adalah isteri Ki Asmoro Dewo! Tapi… ada suara lain yang mengatakan bahwa di rumah ini selingkuh itu sudah jadi kebiasaan. Bukankah isteri yang lain berselingkuh dengan Ki Sangga Jagat?

Tapi bukan berarti selingkuh itu boleh dilakukan, kata suara yang satunya lagi. Selingkuh itu dosa. Tapi suara yang lain lagi mengatakan bahwa bila tidak ada orang yang tahu, bukankah tidak ada yang dirugikan? Apalagi akhir-akhir ini Ki Asmoro Dewo minta anak dari Siti. Semua isteri lelaki itu telah memiliki anak, bahkan Hanifah kini sudah hamil empat bulan. Hanya Siti yang masih kering.

Siti mengalami perang batin yang hebat. Ia tidak tahu bahwa perang batin itu bukanlah dialami oleh dirinya sendiri, melainkan perang antara dia dan Harun yang sedang menanamkan pengaruhnya langsung ke benak Siti.

Dengan gemetar, Siti mendapatkan dirinya bangkit dari tempat tidur, keluar dari kamarnya dan kini telah sampai di depan kamar Harun. Lampu masih menyala. Siti mengetok pintu,

“Siapa?” suara Harun bertanya.

“Ini Mbak Siti, dik.”

Terdengar suara langkah kaki perlahan dan pintu di buka. Harun hanya mengenakan sarung yang dililit di pinggang, sementara tubuh atasnya yang berkeringat tidak tertutupi sehelai kain pun. Siti terperanjat dan tak mampu untuk berkata-kata. Sitipun baru menyadari, ia hanya memakai kain batik dan di balik kain ini tubuh moleknya hanya berbalutkan BH dan CD berwarna hitam. Pengaruh Harun memang hebat, sehingga perempuan inipun tidak ingat bahwa sebenarnya pakaiannya kurang pantas dilihat lelaki yang bukan suaminya.

“Ada apa, Mbak?”

Siti sedikit gelagapan. Ia tak tahu harus berkata apa. Namun tiba-tiba benaknya seakan berbisik, bilang saja lagi ga enak badan dan minta dipijat. Siti yang sedang panik lalu menjawab, “eh.. begini, dik. Mbak lagi nggak enak badan, mau minta tolong dipijit…”

Baru selesai berkata begitu, Siti sudah mengutuk dirinya sendiri dalam hati. Mana ada perempuan baik-baik yang minta dipijit di tengah malam? Namun kata-kata telah terucap dan apa boleh buat, Siti tak dapat menarik kembali kata-katanya.

“Oh? Silahkan masuk, Mbak. Harun senang kalau bisa membantu Mbak…”

Dalam benak Siti ada perang batin. Namun kala ia melihat wajah Harun, seluruh tubuh Siti seakan berteriak dan memaksa benaknya untuk takluk kepada nafsu ragawinya. Apalagi kini Harun tersenyum, Siti merasakan bahwa ada gejolak membara di dadanya, dan memeknya mulai basah perlahan-lahan.

Bagaikan dituntun oleh tangan yang tidak terlihat, Siti masuk ke dalam kamar Harun. Harun menyuruhnya duduk di tempat tidur anak itu yang sebenarnya hanya cukup untuk satu orang. Harun duduk di belakang tubuh Siti yang sedang duduk di tepi tempat tidur.

Tanpa berkata-kata, kedua telapak tangan Harun menyentuh pundak halus Siti. Siti merasakan tangan yang keras dan kapalan mulai memijiti pundaknya yang hanya tertutup dua buah tali BHnya saja. Gesekkan kulit ke kulit mengirimkan sinyal birahi ke sekujur tubuh Siti. Siti memejamkan matanya. Kedua telapak tangan Harun dengan lembut memijat, terkadang mengelus pundak Siti dengan irama yang perlahan seakan tak ingin cepat-cepat selesai. Tak ada ketergesaan, tak ada paksaan.

Terkadang telapak itu memijat ke lengannya, namun gerakan kedua telapak tangan itu makin lama makin lebih sering mengelus, membuat Siti berkali-kali menegukkan ludah agar membasahi kerongkongannya yang kering. Nafas Siti mulai memburu.

Kurang lebih sepuluh menit Harun memijiti pundak dan lengan Siti, kini kedua telapak itu berhenti memijat dan hanya mengelusi sambil meremas pelan pundak dan lengan Siti yang putih dan kenyal itu. Walau udara dingin, namun kulit Siti mulai mengeluarkan keringat.

Kini telapak tangan Harun mulai mengelusi punggung atas Siti, di area yang masih terbuka dan belum tertutup kain. Yaitu sekitar belikat. Terkadang belikat Siti diremasnya perlahan, terkadang jemari Harun sedikit menyusup ke antara lengan dan belikat namun ditarik kembali. Siti merasakan geli sedikit, namun geli ini bagaikan menyetrum memeknya dengan dahsyat karena memeknya kini mulai banyak mengeluarkan cairan.

Suatu kali jemari Harun menyusup sehingga meraba ketiak Siti yang sudah basah oleh keringat. Rambut ketiak Siti yang halus dan jarang ditekan oleh jemari Harun.

Siti menjerit kecil dan berkata, “Jangan, dong. Geli.”

“Tempat lain aja?” tanya Harun.

Siti mengangguk malu tanpa menjawab dengan kata-kata.

Harun menurunkan sedikit telapaknya yang sedang menekan ketiak Siti, sehingga belum keluar dari liang ketiak perempuan itu. “Di sini?”

Siti menggeleng pelan.

Harun menurunkan jemarinya lagi. “Di sini?”

Siti menggeleng.

Harun menggoda Siti beberapa kali dengan menurunkan telapaknya sedikit demi sedikit. Sehingga tahu-tahu telapaknya sudah ada ditempat di mana kain batik membungkus tubuh Siti. “Di sini boleh?”

Siti hanya diam saja yang menunjukkan bahwa perempuan itu tidak geli.

“Tapi, Mbak, mana kerasa dipijit kalau di sini? Di sini kan kainnya digulung. Ya sudah, Harun buka saja biar pijitannya terasa.”

Kain batik Siti diikat dengan cara ujung satu di taruh di sebelah kiri badan dari arah depan, lalu sisa kainnya disampirkan menggulung tubuhnya searah jarum jam, sehingga ujung kain yang satu sampai di sebelah kanan badan. Ujung itu lalu dimasukkan ke dalam kain yang sudah membungkus terlebih dahulu kemudian kainnya di gulung sehingga tidak mudah melorot. Namun, Siti tidak menyadari bahwa karena ia tadi tidur, sebenarnya gulungan kainnya sudah tidak mencengkram tubuhnya seketat ia pertama kali mengikat kain itu. Harun sengaja membuat Siti terperangkap dalam perang batin sehingga untuk pakaianpun tidak diindahkan lagi.

Tanpa menunggu jawaban, kedua telapak tangan Harun meremas kain Siti sedikit di bawah gulungan kain di bagian atas, lalu dengan gerakan cepat Harun menarik kain itu sehingga kain Siti serta merta melorot ke bawah sehingga melingkari pantat Siti.

Siti kini duduk dengan tubuh bagian atas hanya tertutup BH hitam dan sedikit CD bagian atas pantatnya terlihat juga oleh Harun yang sedang duduk di belakangnya. Siti kaget namun tidak tahu harus berbuat apa karena nafsunya juga mulai bertambah.

Lalu kedua tangan Harun mulai mengelusi lengan Siti lagi. Kini tangan itu menjelajah ke lengan bawahnya. Kedua tangan Siti sedang bersidekap di atas kedua pahanya, posisi lumrah wanita jawa. Selain k[edua tangan Harun yang berjalan dari lengan atas ke bawah secara perlahan itu, dilain pihak Siti merasakan setiap senti tangan itu bergerak, maka tubuh Harun pun mendekat tiap senti ke punggungnya. Dari sudut matanya Siti melihat kedua kaki Harun yang tadi bersila telah terbuka dan perlahan menggeser ke depan melingkari kedua kaki Siti, walau belum menyentuh.

Ketika kedua tangan Harun mencapai pergelangan tangan Siti, punggung Siti yang hanya berbalut BH itu mulai menempel pada dada bidang Harun. Nafas Siti mulai memburu. Ketika kedua tangan Siti diremas oleh kedua tangan Harun, Siti merasakan tubuh mereka sudah erat, dan tiba-tiba saja pipi kirinya ditempel oleh pipi kanan Harun.

Siti merasa lemas dalam nafsunya yang membara, tubuhnya seakan tak dapat ditopangnya lagi sehingga dalam sekejap Siti merebahkan diri dalam dekapan Harun di belakangnya. Sementara kedua tangan Sit mulai meremas kedua tangan Harun.

Siti menolehkan kepalanya kepada Harun. Harun pun menolehkan kepalanya. Satu detik mereka berpandangan. Dua pasang mata yang menahan gejolak asmara saling menyorot satu sama lain. Dalam satu detik itu, semuanya telah terjelaskan. Satu detik itu mampu membuat mereka berdua saling mengerti. Satu detik itu telah meyakinkankan mereka berdua akan apa yang nantinya terjadi. Satu detik yang penuh gelombang nafsu birahi. Dua buah hati yang penuh gejolak asmara saling menautkan diri satu kepada yang lain.

Siti yang chubby itu tampak cantik sekali. Kulitnya yang putih dan semok kini mulai berkeringat sehingga membuat tubuh perempuan itu seakan mengkilat terkena sinar lampu kamar. Harun sudah sangat horny melihat kemolekan tubuh perempuan ini. Apalagi bau tubuh perempuan ini tercium samar-samar yang bercampur dengan wangi sabun wanita. Harun menggerakkan kepalanya maju. Bibirnya menyentuh bibir Siti. Siti merasakan nafsu yang demikian hebatnya sehingga ketika bibir keduanya bertemu, Siti secara buas membuka mulutnya dan melahap bibir remaja lelaki itu. Lidah siti bergerak bagaikan ular mengamuk yang segera dibalas dengan lidah Harun. Mereka berdua asyik berpagutan, saling mengecup, berciuman, menjilat dan bertukaran lidah.

Kedua tangan Harun kini menyusuri kedua lengan Siti dan bergerak ke atas. Sambil tetap berciuman dengan buas, Harun menarik tali BH Siti ke bawah. Siti membantu dengan meloloskan kedua tangannya dari tali itu. Harun kemudian memegang mangkuk BH perempuan itu dari samping, lalu menariknya ke bawah, sehingga kedua payudara Siti terlepas dari kedua mangkuk BH itu. Kini kedua tetek Siti tampak menyembul telanjang, bahkan karena BH itu masih berada di bawah kedua bukit indah itu, menyebabkan kedua buah dada Siti tampak makin menyembul seakan ingin tumpah keluar.

Kedua tangan Harun kini meremasi kedua buah tetek putih Siti yang besar dan bulat itu. Masing-masing telapaknya tak dapat penuh menutupi bukit kembar itu karena besarnya. Jempol dan telunjuk Harun memilin-milin puting merah muda Siti yang kini sudah mancung. Pentil Siti belum besar karena belum punya anak, namun pentil itu kini berdiri tegak akibat birahi. Pentil Siti berdiameter seperti ujung belakang pulpen pilot, dan panjangnya hanya dua senti, namun areolanya cukup besar, seukuran dua kali logam seribuan yang lama. Lebih besar dari areola Jannah maupun Atik.

Siti melenguh penuh nafsu ketika ia merasakan kedua payudaranya diremas-remas dan pentilnya dipelintir jari Harun. Ia bertambah nafsu dan berusaha menyedot keras-keras mulut dan lidah Harun yang masih menyelomoti mulutnya sendiri. Ludah mereka telah bercampur, bahkan terkadang sedikit liur mereka saling berpautan di antara lidah mereka sehingga seakan membuat jembatan air liur di antaranya.

Harun tiba-tiba mendorong Siti ke kasur lalu menarik celana dalam perempuan itu. Harun sendiri telah membuka sarungnya sehingga kontolnya yang besar yang telah tegang dari tadi dapat dilihat Siti. Harun mendapati memek Siti telah basah kuyup oleh cairan kewanitaan. Foreplay yang sebentar itu ternyata sudah membuat kedua insan bukan muhrim itu tidak mampu lagi menahan gejolak libido masing-masing.

Harun melebarkan kedua kaki Siti, lalu menuntun kontolnya sehingga kini sudah menempel di luar memek Siti yang penuh dengan jembut yang lebat yang tidak pernah dicukur. Ketika sedikit kepala kontolnya memasuki lubang kenikmatan Siti, Harun segera memposisikan diri di atas Siti. Kedua tangannya memegang pergelangan perempuan itu, lalu menarik kedua tangan Siti ke atas sehingga kedua tangan Siti terbuka ke atas memperlihatkan ketiak perempuan itu yang dihiasi bulu-bulu halus yang jarang namun ikal.

Begitu seksi dan cantiknya Siti, Harun merasa amat beruntung dapat melihat isteri termuda gurunya itu dalam posisi pasrah seperti ini. Harun menusukkan kontolnya perlahan. Siti mengerutkan wajahnya ketika merasakan kontol besar itu mulai menerobos liang senggamanya. Kontol Harun lebih besar dari kontol suaminya, sehingga memek Siti bagaikan diselusupi tongkat besar yang seakan merobek liang senggamanya. Untungnya lubang kencingnya itu sudah basah kuyup oleh cairan kewanitaannya sehingga kontol Harun dapat perlahan-lahan memasuki kemaluannya.

“Addduuuuuh… besar sekali tititmu, Run.” kata Siti ketika setengah kontol Harun sudah menggagahi mahkotanya itu. “Memek Mbak serasa penuh sama tititmu…”

Harun merasakan nikmat sekali ketika ia merasakan perlahan-lahan liang kewanitaan Siti dijelajah batang kontolnya. Dinding memek Siti begitu rapat sehingga seakan menggenggam kontolnya kuat-kuat. Dinding yang hangat dan licin namun sangat rapat sekali.

Bau tubuh Siti kini telah tercium dengan jelas. Bau yang sangat tajam keluar dari memeknya yang sedang diselusupi tongkat wasiat Harun. Belum lagi kontol Harun ambles sepenuhnya, Harun merasakan kepala kontolnya mentok. Ia merasakan ada lubang lain di ujung memek Siti. Ini pasti lubang ke rahim Siti. Siti merasakan perutnya sedikit mules ketika kontol Harun tertahan di lubang rahimnya.

“Aduh… perut mbak mules, Run… sudah… jangan ditekan lagi… belum pernah ada yang masuk sejauh ini…”

“Kontol Guru pasti kecil, ya, Mbak? Gedean aku ya, Mbak?”

“Kontol kamu besar sekali, Run. Mbak semaput rasanya.”

“Tenang aja, Mbak… nanti pasti lebih enak.”

Lalu Harun menindih Siti. Ia mendekap tubuh perempuan itu, lalu dengan tangan kanan memegang ubun-ubun perempuan itu. Setelah sebentar mengambil ancang-ancang, ia menarik sedikit kontolnya lalu menghujamkan keras-keras pantatnya di selangkangan Siti sehingga menimbulkan bunyi tumbukkan yang keras.

Siti menjerit ketika merasakan kepala kontol Harun tiba-tiba menerobos ujung lubang memeknya dan melewati lubang itu sehingga kini seluruh kontol Harun ambles pada kemaluan Siti. Kepala kontol Harun berhasil melewati ujung liang senggama Siti dan kini sudah berada di rahim perempuan itu. Rasanya seakan menembus ulu hati Siti dan menimbulkan rasa nyeri.
Harun tidak bergerak.

“Diam dulu, Mbak… biarkan memek Mbak terbiasa dengan kontol Harun. Lama-lama nanti enak, kok.”

Mereka berdua terdiam dengan Harun menindih Siti. Keduanya tersengal-sengal. Siti memejamkan mata sambil mengernyit. Harun lalu mulai menciumi wajah Siti. Selang beberapa saat Siti membuka matanya dan mencium balik. Akhirnya mereka berpagutan lagi. Kini perlahan karena Siti masih merasakan perih di ujung liang senggamanya.

Tak berapa lama keduanya mulai berciuman secara buas lagi. Memek Siti mulai terbiasa dan mengeluarkan cairan lagi. Sehingga akhirnya Harun merasa memek itu kembali hangat dan licin. Perlahan Harun mulai menggoyangkan pantatnya maju mundur. Siti merasakan nikmat bercampur ngilu ketika batang Harun mulai menggerus dinding memeknya perlahan. Dapat dirasakannya otot Harun yang keras menggeseki dinding memeknya yang sempit itu senti demi senti. Barulah Siti dapat merasa sekujur dinding memeknya itu hidup bahwa liang senggamanya memiliki syaraf-syaraf yang bila digesek-gesek akan mengirimkan sinyal kenikmatan tiada taranya. Baru sekali inilah ada lelaki yang mampu menggagahi seluruh dinding vaginanya.

Harun mulai mabuk birahi. Kontolnya dijepit dinding lunak yang basah, licin dan hangat. Dinding yang mengeluarkan cairan pelumas yang memiliki bau yang khas. Bau memek Siti tercium jelas, dan bau itu juga keluar dari ketiak berbulu yang tak jauh dari hidungnya. Harun melepaskan ciumannya dari Siti sehingga mendadak air liur mereka bagaikan tali tipis tertarik sampai putus. Harun meluruskan tangan kiri Siti sehingga seakan Siti sedang mengacungkan tangan. Hidungnya mencium bau tubuh Siti yang sedikit asam dan khas. Lalu Harun mulai menjilati ketek berbulu Siti yang sudah lepek karena keringat.

Tubuh Siti begitu nikmatnya. Perempuan gemuk ini enak sekali ditindih, bagaikan menindih sofa yang liat dan empuk. Memek perempuan ini begitu rapat dan licin dan hangat. Keringat perempuan inipun memiliki rasa yang legit. Asam, asin dan seakan manis bercampur di lidah Harun ketika lidahnya itu menyusuri ketek putih dan berbulu halus itu. Bulu-bulu ketiak Siti yang jarang seakan menggelitik lidah Harun. Hidung dan lidah Harun bergantian menyapu ketiak itu sehingga keringat Siti bercampur ludah Harun menyebabkan daerah itu seakan dibanjiri cairan.

Lalu Harun mulai mengenyoti ketek perempuan itu keras-keras. Siti merasa geli namun penuh birahi. Ia merasakan ketiaknya disedoti sementara kontol Harun terus-menerus menghujami memeknya sehingga seluruh tubuh Siti terasa linu dan nikmat.

Harun mulai mengarahkan kepalanya ke tengah. Mulutnya terus mengenyoti Siti tanpa pernah terlepas. Dari ketek, Harun mengenyoti ke payudara kiri. Mulutnya Harun seakan tidak ingin meninggalkan tubuh molek Siti. Sampai akhirnya pentil kiri Siti ia kenyoti juga. Siti kini serasa di ank ke tujuh. Sensasi payudaranya disedoti Harun membuat kenikmatan yang ia rasakan menjadi bertambah tinggi. Sementara tangan Kiri Harun asyik meremasi tetek kanan Siti. Mulut Harun tidak hanya menyedoti pentil Siti, seluruh payudara besar milik Siti pun secara rakus digerogotinya. Tak lama payudara kiri Siti sudah bertambah cupangan di sana-sini.

Tak berhenti sampai di situ, Harun mulai menjelajah ke dada sebelah kirinya. Mulutnya terus menempel di tubuh isteri gurunya itu. Belahan dadanya pun habis dicupangi, dijilati dan disedoti. Sehingga akhirnya Harun menyedoti pentil kanan Siti. Kini tangan kanan Harun yang meremasi payudara kiri Siti. Siti mulai menjadi liar. Badannya ikut bergoyang sesuai irama goyangan Harun. Pantatnya maju ketika ia merasakan kontol Harun menghujam. Kedua selangkangan mereka kini berbenturan keras sehingga suara mereka ngentot memenuhi ruangan. Siti juga mengerang dan mendesah secara keras, tak peduli dunia luar.

“Enak… shhhhh… aaahhhh… kontolmu enak, Ruuuun… pinter ya kamu… ayo nenen yang keras… ayoooo… tusuk yang keras… entot mbak yang keras, Ruuuun…”

Seluruh dada Siti kini basah oleh campuran keringat dan air liur selain cupangan yang sangat banyak menghiasi daerah itu. Kini Harun sedang asyik menjilati ketiak kanan Siti yang semakin mengeluarkan keringat dan bau yang khas perempuan itu.

Harun kini menumbuki memek Siti dengan keras karena sudah sebentar lagi sampai. Demikian juga Siti. Akhirnya, mereka berdua berteriak nikmat dan mengalami orgasme bersamaan. Harun menyetorkan spermanya tepat di dalam rahim Siti.

Mereka akhirnya tidur dalam keadaan telanjang.

***

BAB SEMBILAN : PERKEMBANGAN DENGAN IBU

Bulan-bulan berikutnya Harun menikmati tubuh Siti dengan aman setelah menyirep semua orang yang ada di rumah Ki Asmoro Dewo. Walhasil, Siti hamil dua bulan berikutnya yang disambut dengan senang oleh suaminya. Ki Sangga Jagat, di lain pihak menjadi tahu bahwa cucu muridnya yang bertanggung jawab. Bukannya marah, ia malah memuji Harun ketika mereka hanya berduaan saja.

Oleh karena itu, Ki Sangga Jagat akhirnya pergi dari situ, karena ia merasa bahwa ilmu Harun sudah sempurna. Harun hanya perlu melatih semua ilmunya dengan tekun, maka dalam hitungan sepuluh tahun lagi, ilmu Harun hampir tidak ada orang lagi yang bisa mengungguli.

Namun, Harun belumlah puas. Dari awal mula, Ia hanya memiliki satu tujuan. Yaitu untuk mendapatkan ibunya sendiri. Sejauh ini, usahanya tidak berhasil. Ia belum berhasil menginvasi mimpi ibunya. Mungkin ini saatnya untuk menginvasi pikiran ibunya ketika ibunya masih sadar.

Maka mulailah Harun menjalankan rencananya. Ketika Sangga Jagat tidak lagi berada di rumah Ki Asmoro Dewo, praktis tidak banyak yang harus dipelajari Harun. Maka semakin jaranglah Harun bertandang ke sana. Siti merasa sedih, namun ia masih harus memikirkan jabang bayinya, sehingga untuk masalah ini tidaklah terlalu dipikirkan.

Harun mulai sering berada di rumah. Pulang sekolah ia langsung ke rumah. Kecuali akhir pekan di mana ia menghabiskan waktu bersama Jannah dan Atik. Di rumah, Harun mulai menghabiskan waktu bersama ibunya. Tak banyak kerjaan yang dilakukan ibunya, berhubung ibunya adalah isteri seorang yang kaya. Ibunya menghabiskan waktu dengan membaca, menonton TV, ataupun beraerobik. Segala macam pekerjaan rumah sudah ada pembantu yang melakukan.

Kini, Asih mendapati anaknya sering berada di rumah. Mereka berdua menjadi lebih akrab karena Harun senang sekali berbicara dengan Asih. Namun, Asih lama kelamaan merasa takut akan kedekatan mereka berdua. Tiap kali ia berbicara dengan Harun, pikirannya melayang-layang membayangkan Harun mencumbunya. Pertama-tama hanya berpelukan dan membelai-belai, lama kelamaan ia membayangkan Harun mencium pipinya, bahkan akhir-akhir ini Asih suka membayangkan berciuman bibir dengan anaknya.

Asih juga masih ingat bahwa mulai beberapa bulan lalu, ia selalu mimpi bermesraan dengan anaknya ketika ia tidur. Apakah artinya semua ini? Apakah karena ia sudah lama tidak mendapatkan kepuasan batin dari suaminya?

Lama kelamaan Asih merasa bahwa ia merindukan Harun bila Harun tidak di sisinya. Ia seakan dapat mencium aroma tubuh anaknya itu ketika anaknya sedang bersekolah. Di rumah, Harun seringkali latihan silat dengan hanya memakai celana pendek, setelah itu Harun akan masuk rumah dan berbincang dengan Asih. Aroma tubuh Harun dapat tercium jelas. Bila Harun tidak ada di rumah, seakan-akan Asih masih dapat mencium aroma itu. Asih tidak tahu bahwa Harun dapat mengirim sugesti dari jauh, sehingga sebenarnya Harunlah yang membuat Asih memikirkan ini semua.

Di pihak lain, ada dorongan dalam diri Asih untuk berpakaian seksi di depan Harun. Sejauh ini Asih dapat menolak keinginan itu. Namun akhirnya, akhir-akhir ini, Asih memberanikan diri memakai daster tipis selama di rumah. Sesuatu yang tak pernah ia lakukan. Ketika Harun melihat ibunya, Harun memuji Asih sebagai wanita yang cantik, yang mana membuat Asih berbunga-bunga.

Hari ini Asih memutuskan untuk tidak memakai BH. Sudah sepekan ini hatinya seakan menjerit untuk meminta agar melepaskan BH. Asih berusaha menolak keinginan ini. Namun, tiga hari yang lalu, Asih ingat, ketika Harun baru selesai latihan silat, dan Asih sedang menonton TV, Harun tiba-tiba saja duduk di sampingnya. Badan anak itu penuh keringat dan bau tubuhnya tercium dari jauh. Hari itu, Harun duduk merapat sehingga lengan kanannya yang basah oleh keringat bertempelan dengan lengan kiri Asih yang telanjang, karena dasternya adalah yang bermodel tali tanpa lengan.

Ada kejutan listrik di kulit Asih ketika kulit basah anaknya menempel di kulitnya. Dalam keterkejutannya, Asih tidak memperhatikan Harun yang sedang asyik mengoceh di sampingnya. Bayangan dirinya bercumbu dengan Harun sekilas tampil di pikirannya yang berusaha ia tekan jauh-jauh. Malamnya Asih masturbasi di kamar, membayangkan kulit hangat anaknya dan cumbuan bibirnya di bibir Asih. Ketika Asih tidur, dalam mimpinya, Harun meminta ibunya agar jangan memakai BH. Besoknya, Asih tidak menanggapi mimpi itu.

Asih menunggu sore hari ketika Harun selesai berlatih sambil membaca majalah. Kembali Harun duduk di sampingnya. Kedua lengan mereka bersentuhan. Asih pura-pura membaca majalahnya terus.

“Serius amat… baca apa sih?” Harun merubah posisinya, tangan kanan Harun yang tadi bersentuhan dengannya, kini diselusupkan ke belakang tubuh Asih yang tidak menyender sofa, namun belum bersentuhan dengan tubuh Asih. Sementara, Harun mencondongkan tubuhnya sehingga wajahnya melongok dari belakang tubuh ibunya untuk melihat majalah, ini menyebabkan dada kanan Harun menyentuh lengan kiri Asih.

Asih merasa tersetrum lagi ketika dada bidang anaknya menempel di lengan kirinya. Kata Asih, “Ini… rubrik tokoh dan peristiwa,” kata Asih sambil menarik majalah ke atas dan tubuhnya agak doyong ke belakang agar dapat dibaca anaknya. Gerakan kecil ini membuat Asih sedikit menyandar badan anaknya, sehingga kini samping bahu Asih pun menempel dada Harun. Daster Asih modelnya belahan rendah di punggung. Sehingga belikatnya telanjang dan menempel sebagian di dada kanan Harun.

Harun belagak tertarik lalu dengan tangan kiri memegang tepi majalah seakan ingin membaca lebih jelas sementara tangan kanannya disusupkan dari antara tubuh dan lengan ibunya untuk memegang majalah dari sisi satunya lagi.

“Oh iya… sekarang baru jelas tulisannya…” Kini Harun merangkul ibunya dari samping walau kedua tangannya memegang majalah. Berhubung ibunya lebih tinggi sedikit, maka dagunya menyentuh pundak kiri ibunya. Asih merasakan tubuhnya lemas dan tidak sengaja bersandar kebelakang. Asih dapat merasakan nafas hangat anaknya di bahu sebelah kiri dan memeknya mulai basah. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Entah berapa lama kedekatan mereka hingga akhirnya Asih tidak tahan lalu pamit untuk ke tempat tidur. Di sana ia masturbasi dengan penuh nafsu.

Malamnya Asih bermimpi lagi akan kemesraan mereka berdua. Dalam mimpi itu, ia tidak pakai BH di balik dasternya. Akhirnya, hari ini Asih tidak memakai BH dibalik dasternya.

Asih serba salah menunggu Harun sore harinya. Duduknya tak tenang walau memegang majalah, tak dipandangnya majalah itu. Akhirnya ia duduk bersandar di sofa, karena ia merasakan tubuhnya tidak bertenaga lagi menahan gejolak.

Harun akhirnya datang. Ia langsung duduk di samping ibunya lalu belagak ingin ikut baca juga. Perlahan Harun menyusupkan tangan kanan ke belakang tubuh ibunya. Mengejutkan Harun, ibunya bergerak mengingsut dan tahu-tahu menyenderkan kepalanya di kepala Harun. Bau harum tubuh ibunya tercium di hidung Harun.

Harun berusaha berkonsentrasi, namun tidak bisa. Kedua tangannya memegang majalah. Di sebelah bawah tangan ibunya, sehingga kini kedua tangan ibunya menindih kedua tangan Harun yang berkeringat. Harun berusaha membaca pikiran ibunya, dapat diketahui ibunya sedang horny, namun di dalam pikiran ibunya, ibunya hanya menyukai kedekatan fisik ini. Walaupun ingin bercumbu, tapi ibunya tidak mau lebih dari sentuhan saja. Oleh karenanya Harun tidak berusaha melakukan pendekatan lebih jauh. Ia merasa, usaha mendapatkan ibunya masih jauh dan perlu kesabaran lebih.

Harun menikmati saja kulit halus ibunya yang menempel di kulitnya. Punggung halus ibunya yang menempel di dadanya. Tangan halus ibunya yang menempel di tangannya. Wangi shampoo ibunya yang dapat dicium hidungnya dari rambut ibunya. Setidaknya kini hidung Harun dapat menempel di rambut ibunya yang hitam lurus dan panjang itu. Harun bernafas di rambut ibunya.

Sore itu sejuk, tapi kedua ibu dan anak itu berkeringat. Harun keringatnya sudah membasahi tubuh karena tadi dia baru latihan silat, sementara keringat Asih mulai keluar juga terlebih karena dekapan anaknya. Asih dapat merasakan nafas anaknya yang memburu seakan mengendusi rambutnya dengan penuh nafsu.

Asih memejamkan mata. Ia ingin lebih tapi di lain pihak ini semua tidak boleh terjadi. Setidaknya mereka berdekapan dan ini sedikitnya mengobati kerinduan Asih. Bau lelaki yang memancar dari tubuh anaknya telah membuat kemaluannya basah kuyup oleh cairan kewanitaannya. Asih bertekad untuk tidak melanjutkan hubungan ini lebih jauh.

Entah berapa lama mereka berdekapan. Keduanya tahu bahwa mereka bukan sedang membaca majalah. Toh halamannya tetap yang itu saja tanpa dibalik-balik. Suara langkah pembantu yang mendatangi ruangan itu membuat mereka berdua akhirnya memisahkan diri sambil masing-masing merasa kurang puas. Ada rasa birahi yang masih menggantung di sana.

Harun berusaha mengontrol diri. Setiap sore setelah ia mendekap ibunya, ia pergi ke rumah Atik atau Jannah. Dan setelah menyirep seisi rumah, ia lalu menggauli salah seorang pacarnya dengan buas sambil membayangkan bagaimana rasanya menyetubuhi ibunya sendiri.

Telah sebulan lewat, dan perhubungan dengan ibunya tetap hanya sebatas mendekap. Namun perbedaannya, akhirnya keduanya tidak perlu pura-pura membaca lagi. Suatu sore, ibu Harun sedang pusing dan tidur-tiduran di tempat tidurnya. Harun masuk kamar ibunya dan menanyakan keadaan perempuan itu. Asih hanya bilang bahwa ia sedikit pusing. Harun membaca pikiran ibunya dan mendapati bahwa Ibunya ingin didekapnya seperti biasa tapi bingung untuk mengutarakannya.

“Mungkin karena masuk angin,” kata Harun, ”seharusnya jangan tidur tanpa selimut memakai daster tipis ini. Nanti ibu kedinginan. Biarlah Harun yang membantu.”

Lalu Harun menghampiri ibunya di tempat tidur. Ibunya tidur miring menghadap jendela, dan Harun menaiki tempat tidur lalu berbaring miring menghadap punggung ibunya. Harun tahu ibunya deg-degan namun menanti dekapannya.

Harun lalu mendekap ibunya dari belakang. Kali ini kontol dalam celananya menempel di pantat ibunya yang terbalut celana dalam dan daster. Berhubung ibunya masih lebih tinggi sedikit, maka hidung Harun menempel di bahu ibunya yang halus. Dadanya mendekap punggung ibunya dan kedua tangannya melingkari tubuh ibunya dan kedua telapaknya memegang telapak tangan ibunya.

Asih kaget mendapati kontol anaknya begitu besar dan keras menekan pantatnya. Ternyata jauh lebih besar dari milik suaminya. Tubuh penuh keringat Harun menempel di tubuh belakang Asih mengirimkan sensasi nakal ke sekujur tubuh perempuan itu. Hidung Harun berkali-kali mengendus kulit bahu Asih dalam-dalam. Asih merasakan seluruh tubuhnya kelu karena nafsu birahi.

Harun mengecup bahu kanan ibunya. Asih terkejut. Ia tahu bahwa seharusnya anaknya tidak boleh menciumnya seperti itu, seberapapun besar keinginan mereka berdua akan hal itu terjadi.

“Jangan, Run. Kamu ga boleh cium Ibu seperti itu.”

“Emang ga enak, ya, bu?”

“Bukan begitu, Run. Kamu anggap apa ibumu ini? Hormati ibu, nak…”

Tapi tidak ada nada marah di suara ibunya. Harun kemudian menempelkan bibir dan hidungnya di punggung bagian tengah antara belikat ibunya lalu menghirup bau tubuh ibunya dalam-dalam sambil mengeratkan dekapannya.

“Run, sadar. Ini ibumu, nak…”

Tapi tidak ada juga perlawanan. Harun terus menghirup aroma tubuh ibunya dalam-dalam. Ibunya sungguh wangi. Walaupun belum mandi sore, dan bau sabun dari mandi pagi telah hilang, tapi ibunya memiliki aroma tubuh yang jarang dimiliki wanita lain. Tidak ada bau asem atau apek. Bau tubuh ibunya sangat lembut dan manis, aroma itu akan perlahan mengisi lubang hidung, namun lama kelamaan meniadakan bau-bau lain di udara. Sehingga aroma tubuh ibunya itu seakan menguasai indera penciuman Harun dan menyerang otak Harun dengan tanpa perlawanan. Aroma tubuh ibunya seakan suatu candu yang berhasil meruntuhkan segala kekuatan dan logika Harun.

Harun mulai mengecupi punggung telanjang ibunya yang tak tertutup daster dengan bernafsu. Suara kecupan bibirnya berkali-kali terdengar cepat dan semakin keras. Kulit ibunya begitu halus dan licin dan putih. Seakan diciptakan untuk dinikmati kaum lelaki. Punggungnya bagai pualam maha indah yang mengeluarkan suatu rangsangan yang tak dapat ditolak. Punggung yang kini bertubi-tubi diciumi Harun secara buas.

Suara ibunya protes tidak lagi diindahkan Harun. Lagipula protes itu terdengar tidak sungguh-sungguh, seakan ibunya mengatakan itu hanya sebagai suatu keharusan saja, suatu kalimat yang seharusnya dikatakan seorang ibu, namun, tidak ada nada perintah tegas yang memperkuat perkataannya.

Lidah Harun mulai menjilati punggung mengkilat ibunya. Rasanya begitu halus di lidah dan memiliki rasa yang tak dapat dijabarkan dengan kata-kata. Tubuh ibunya bukan tubuh manusia, bagi Harun inilah wanita paling cantik dan indah yang pernah ia temukan. Wanita yang memiliki pesona bidadari. Harun yakin bidadari yang dilihat Jaka Tarub bahkan tidak mampu bersaing dengan ibunya.

Asih kini hanya terdiam dan hanya bisa mendesah. Lidah kasar anaknya membuat kulit punggungnya merasakan suatu perasaan ngilu yang menggairahkan. Asih harus merapatkan selangkangan karena memeknya sangat gatal minta digesek-gesek. Apalagi beberapa saat kemudian Asih merasakan Harun mulai mengenyot-ngenyot punggungnya. Mulai dari bahu, belikat dan punggung yang tidak tertutup pakaian tidak luput dari hisapan Harun. Kontol Harun mulai menekan-nekan belahan pantat Asih, berusaha mencari celah kenikmatan yang kini sedang basah kuyup dan bergetar oleh nafsu binatang.

Namun ketika tangan kanan Harun mulai merambah nakal, dan tahu-tahu menyelusup masuk dari atas daster dan menggenggam payudaranya, Asih tiba-tiba berteriak marah, “Hentikan! Tangan kamu ga boleh begitu!” Nada perintah yang tegas dan penuh amarah terdengar. Harun terdiam beberapa saat. Tangannya ditarik. Keheningan melanda kamar itu. Asih berusaha menenangkan nafas. Harun masih mendekapnya dari belakang, tangan kanan Harun sekarang memegang pinggulnya. Harun sedang berusaha membaca pikiran ibunya. Ternyata ibunya mempunyai batas jelas, bahwa perempuan ini tidak mengijinkan lebih jauh dari mendekap dan mencium saja.

Akhirnya, Harun merasa bahwa tidak ada rotan, maka akarpun jadi. Ia mengetes reaksi ibunya dengan mencium bahunya lagi. Kali ini tidak ada reaksi. Maka Harun mulai menciumi bahu dan punggung ibunya lagi. Pantatnya ia tekan lagi ke pantat ibunya. Perlahan ia menggoyangkan pantatnya, tidak tergesa-gesa, sambil terus menyerang punggung telanjang ibunya.

Kemudian Harun memberanikan diri menciumi lengan ibunya sambil menatap wajah ibunya dari samping. Ibunya terdiam sambil memejamkan mata. Dengan tangan kanannya yang tadi di pinggul, Harun menggenggam telapak kanan ibunya. Ibunya membalas menggenggam. Harun mengangkat tangan kanan ibunya hingga mencium telapak tangan ibunya. Kemudian ia kembali menciumi bahu ibunya.

Asih menggerakkan pantat dan kakinya sehingga kini kaki kanan Harun dijepit kedua kakinya, sementara kontol Harun kini menempel di pantat kirinya. Asih menggerakkan pantatnya sesuai irama goyangan Harun, sehingga kini Harun seakan sedang mengentoti pantat kiri ibunya. Gerakan ini membuat paha Harun juga seakan menggeseki vagina Asih yang masih berbalut celana dalam.

Harun dapat merasakan hawa panas di selangkangan ibunya yang menunjukkan sebenarnya ibunya horny pula. Namun, ibunya hanya mengijinkan mereka saling menggesek kelamin dengan baju masih terpasang. Whatever. Bagi Harun ini adalah kemajuan.

Aroma punggung dan bahu ibunya sudah bercampur dengan bau mulutnya sendiri karena setiap jengkalnya sudah pernah dijilat, dikenyot dan dicupangnya. Maka dari itu Harun memberanikan diri dan mulai menciumi leher jenjang ibunya.

Ibunya melenguh pelan dan kedua telapaknya menggenggam erat kedua telapak anaknya sambil menaruh kedua tangan itu di dadanya yang montok, mengakibatkan Harun lebih erat lagi memeluk Asih dari belakang. Harun dapat merasakan kekenyalan payudara ibunya di telapak tangannya yang bergenggaman dengan telapak ibunya.

Lidah Harun mulai menyapu leher jenjang dan putih milik ibunya. Ibunya menggeleng-gelengkan kepala tanda mulai meningkat birahinya. Barulah ketika Harun menyedot leher ibunya itu, ibunya berteriak kecil lalu menjepit paha kanan Harun dengan kuat. Akhirnya Asih orgasme.

Harun masih asyik menyelomoti leher ibunya dan asyik menggesekkan kontolnya di pantat ibunya, ketika tiba-tiba ibunya menjauhkan diri, lalu menolak kedua tangan Harun.

“Sudah!” bentak ibunya. “Kamu jangan kayak binatang! Keluar dari kamar!!”

Harun membaca pikiran ibunya dan mendapati bahwa ibunya sungguh-sungguh serius dan ada niatan untuk mengusir Harun dari rumah ini. Akhirnya, walaupun kentang, Harun mematuhi permintaan ibunya.
Sabar, pikir Harun. Semua ada waktunya.

***

BAB SEPULUH : PERUBAHAN TAK DISANGKA

Setelah itu, Asih selalu menghindari berduaan dengan Harun. Bila hanya mereka berdua di rumah, Asih akan mengunci diri di kamar. Harun walaupun dapat membaca pikiran ibunya dan menanamkan sugesti erotis ke benak ibunya, namun watak ibunya yang keras dan teguh tetap menolak hubungan gelap dengan anak sendiri.

Harun sudah putar otak ke sana kemari namun tidak ada ide baru yang muncul untuk dapat meningkatkan hubungan dengan ibunya ke arah yang lebih panas. Bahkan hubungan yang telah diusahakannya berbulan-bulan, kini menjadi renggang dan usahanya itu bukan bertambah maju malah bertambah mundur.

Benak ibunya kini memang telah terbiasa dengan pikiran erotis, bahkan ibunya tidak berusaha menolak bayangan dirinya berciuman hot dan berpelukan dengan Harun. Ibunya juga mulai masturbasi dengan membayangkan disentuh, diraba dan dicium anaknya. Namun, benak ibunya agak kompleks jalan pikirannya. Di suatu pihak, ibunya mulai menikmati membayangkan kebersamaan dengan Harun, namun di lain pihak, benak itu yakin bahwa kenikmatan ini seharusnya hanya dalam pikiran saja, dan tidak boleh sama sekali diaktualisasikan dalam kehidupan nyata.

Namun, dua minggu kemudian, ada kejadian yang menyebabkan segalanya berubah di dalam keluarga mereka. Perhubungan antara Harun dan ibunya yang tampaknya tak akan bergerak lebih jauh, akhirnya berubah karena ada faktor dari luar.

Saat itu hari Kamis. Seto, ayah Harun, pagi-pagi berangkat sebelum Harun bangun. Ketika Harun bangun dan selesai mandi, Harun melanjutkan dengan sarapan. Ibunya sedang sarapan juga. Mereka ditemani oleh Bi Ijah yang melayani mereka.

“Ibu,” kata Harun membuka pembicaraan. “akhir-akhir ini ayah sering pergi pagi-pagi dan pulang malam, terkadang bahkan lebih dari sehari. Apakah ayah sedang membuka usaha baru?”

Asih tersenyum pahit dan menggeleng. “Tidak, nak. Usaha ayahmu di kota sedang mengalami banyak permasalahan. Ayahmu sedang berusaha untuk mengatasi permasalahan ini.”

Harun yang tidak mengerti mengenai bisnis hanya mengangkat bahu dan kembali menikmati sarapannya. Yang tidak ia ketahui adalah permasalahan bisnis ini adalah permasalahan yang akan mengubah segalanya bagi keluarga mereka.

Seto tidak pulang hari itu, bahkan Jumat pun tidak. Barulah pada sabtu siang, Seto pulang ke rumah. Namun kali ini, ia ditemani serombongan orang. Orang-orang itu tampak berpotongan tukang pukul dan memiliki tampang yang seram. Ada lima orang yang ikut dengan Seto. Empat orang diantaranya berusia antara dua puluh sampai tigapuluh tahun. Yang satu lagi tampak berusia empat puluh tahun, yang sepertinya adalah pemimpin para tukang pukul lainnya.

Begitu orang-orang ini masuk rumah, Harun sudah mengetahui bahwa bahaya besar telah mendatangi. Empat orang yang lebih muda itu memikirkan hal-hal keji untuk mengeruk keuntungan dari Seto, ayah Harun! Namun, orang yang paling tua, memiliki tampang keji dan culas, tetapi memiliki benak yang kuat. Tidak mudah Harun membacanya.

Belum sempat Harun berusaha konsentrasi lebih kuat lagi untuk membaca si tua, Seto sudah berkata dengan nada gembira, “Tole! Perkenalkan! Ini Ki Jagatsudana! Orang pinter yang sakti dan terkenal se-Nusantara!”

Bagaikan petir di siang bolong, berita ini mengagetkan Harun sehingga jantungnya seakan mau copot! Ternyata ada musuh bebuyutan perguruan Harun tepat di depannya.

“Ngaco!” kata begundal-begundal pengiring Jagatsudana, ”Yang Mulia Ki Jagatsudana ini PALING sakti dan PALING terkenal!”

Seto mengangguk-angguk sambil meminta maaf. Lalu menyilakan para tamunya duduk di ruang tamu. Harun pun ikut duduk, namun agak jauh dari mereka. Para tamu dan ayahnya duduk di bangku yang mengelilingi meja berukir, sementara Harun duduk di salah satu bangku kayu yang rapat ke dinding, sehingga para tamu memunggunginya.

Ki Jagatsudana dan begundalnya tidak terlalu memperhatikan Harun yang dianggap bocah bau kencur, sehingga keberadaan Harun dianggap sepi saja. Lalu kata Seto, “Asih! Kemari, Bu! Ada yang mau Bapak kenalkan!”

Ketika Asih masuk ruang tamu, Harun menjadi muak, karena keempat begundal itu segera berpikiran jorok melihat perempuan cantik, putih dan seksi seperti ibunya itu. Berbagai angan-angan mesum mereka menyetubuhi ibunya membuat Harun merasa limbung.

Pada saat itu, tiba-tiba Harun merasa pikiran Ki Jagatsudana tidak tertutup lagi. Rupanya kecantikan ibunya membuat benak Ki Jagatsudana segera merubah dari posisi defensive menjadi offensive. Ki Jagatsudana mengirimkan perintah kepada ibunya untuk menuruti kehendak lelaki itu. Harun yang tidak siap menjadi tidak tahu apa yang harus dilakukan dan terus mendengarkan saja.

Ibunya berjalan ke arah para tamu, sementara benak ibunya kaget melihat seorang lelaki yang lama-kelamaan kelihatan gagah sekali di matanya. Ada bisikan dalam hatinya untuk menyerah kepada lelaki itu, ada godaan dalam hatinya untuk memberikan mahkotanya kepada lelaki itu…

Harun panik. Tetapi ia mendapatkan suatu kemajuan. Ki Jagatsudana ketika sedang berusaha menguasai mental seseorang, seketika itu juga, melonggarkan penjagaan atas benaknya sehingga Harun dapat membaca pikiran lelaki itu.

Kini niatan lelaki itu sudah dapat diketahui Harun. Ki Jagatsudana sedang ingin menguras harta ayahnya. Selama ini Ki Jagatsudana menjadi kaya bukan karena menjadi paranormal yang memberikan jasanya kepada para client dan dibayar mahal oleh para kliennya, melainkan justru kekayaan para kliennya yang ia sedot. Ki Jagatsudana menggunakan kekuatan pikirannya untuk mempengaruhi para korbannya, sehingga bukan saja harta mereka lenyap sebagian, bahkan seringkali para isteri dan anak si korban menjadi santapan si lelaki bejat ini. Entah berapa banyak isteri orang yang ia hamili, Ki Jagatsudana sendiri tidak tahu.

Harun bergidik. Namun ia sedikit merasa lega karena mental ibunya yang kuat itu, masih melakukan perlawanan terhadap usaha cuci otak Ki Jagatsudana. Sepanjang pembicaraan sore ini antara ayah, ibu dan Ki Jagatsudana, dari luar tidak terlihat ada yang mencurigakan. Tetapi bila orang dapat mendengarkan pikiran seperti Harun, maka mengetahui bahwa Ki Jagatsudana sedang berdaya upaya mengalahkan tekad Ibunya.

Ketika malam, maka pembicaraan dilanjutkan di meja makan, sambil menyantap makan malam yang mewah. Karena Seto sudah menyuruh orang untuk menyiapkan makanan yang lezat. Sebelum makan, Asih pamit untuk mandi. Demikian pula Harun karena sebenarnya ia ingin melindungi ibunya.

Dan benar saja, ketika ibunya mandi, Ki Jagatsudana yang bertekad untuk meniduri Asih malam ini, terus mengirimkan perintah-perintah untuk menyerah kepada benak ibunya. Harun merasakan ibunya seakan-akan mulai melemah, oleh karena itu, Harun dengan nekad mulai ikut masuk ke dalam benak ibunya dan memberikan sugesti sebaliknya. Setiap kali Ki Jagatsudana mengirimkan gambar dirinya sedang bermesraan dengan ibunya, Harun menyisipkan perasaan mual kepada ibunya. Sehingga ibunya menjadi bingung, terkadang ia merasakan suatu perasaan birahi (yang ditanam Jagatsudana), namun di lain pihak Ia merasakan ingin muntah bila melihat wajah lelaki itu (yang ditanam Harun dalam benaknya).

Ki Jagatsudana bingung. Belum pernah ia menghadapi wanita sekuat ini. Memang banyak sekali wanita bermental kuat. Namun yang bermental baja seperti Asih ini dapat dihitung dengan jari. Biasanya untuk jenis yang ini, maka hanya perkosaan yang bisa dilakukan untuk menikmati tubuhnya. Sayang sekali, bahwa jenis yang seperti ini biasanya akan bunuh diri bila kehormatannya diambil paksa.

Akhirnya untuk sementara Ki Jagatsudana tidak menyerang Asih lagi, yang membuat Harun lega. Sayangnya, penghentian serangan ini justru membuat benak Ki Jagatsudana tertutup lagi. Harun tidak tahu lagi apa yang dipikirkan musuhnya itu. Maka Harun menenangkan diri dengan semedi, sebelum makan malam dimulai, untuk bersiap-siap menghadapi malam nanti yang dipastikan akan ramai.

Dalam meditasinya, Harun merenungkan banyak hal mengenai pertempuran yang akan terjadi nanti malam antara dia dan Ki Jagatsudana sekalian.

Pertama, ia adalah anak remaja yang belum sepenuhnya dewasa. Walaupun bakatnya besar, dan untuk soal ilmu kebatinan, mungkin ia menang melawan ki Jagatsudana, tetapi soal ilmu silat, sudah pasti ia akan kalah dari Ki Jagatsudana. Bila mereka berdua bertempur, Harun tidak yakin ilmu kebatinannya mampu menembus barikade yang menutupi pikiran Ki Jagatsudana. Jadi, perlawanan frontal sebaiknya dihindarkan.

Kedua, Ada lima orang yang akan jadi lawanannya. Sehingga, selain kualitas yang kalah, secara kuantitas ia kalah jauh malah. Lagi kesimpulannya, perlawanan frontal adalah bunuh diri.

Ketiga, malam ini, bila tak ada perlawanan dari tuan rumah, maka kelangsungan keluarga Seto akan berakhir. Dari penerawangannya pada benak musuh-musuhnya, Ki Jagatsudana akan menghipnotis ayahnya untuk memberikan semua hartanya kepada lelaki bejat itu, kemudian akan menggagahi ibunya.

Ayahnya akan hancur, sementara ibunya yang memiliki mental baja, akan berakhir dengan tragis, bila akhirnya Ki Jagatsudana sudah capek menyerang secara mental dan memutuskan untuk menyerang secara fisik atau dengan kata lain memperkosa ibunya.

Harun merasa tak berdaya. Keringat menetes dari kulitnya, padahal udara di kamar tidurnya tidaklah panas. Ia merasa takut berhadapan langsung dengan musuhnya, sementara ia tidak punya pengalaman bertempur melawan musuh sama sekali. Selama ini ia hanya latihan dan latihan saja. Kemampuan pikirannya yang menjadi andalannya pun ia rasakan tidaklah cukup. Harun tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Suara pintu dibuka. Asih, ibunya masuk. Ibunya baru mandi dan kini mengenakan baju yang biasanya dipakai untuk pengajian. Lengkap dengan jilbabnya. Ibunya tampak cantik. Namun, ada sesuatu dalam sinar matanya. Ada sirat ketakutan di sana. Harun berusaha membaca pikiran ibunya, Harun dapat merasakan bahwa ibunya diselimuti perasaan cemas akan tamu-tamu ayahnya. Insting wanita yang kuat. Oleh karena itu ibunya memakai baju tertutup seperti ini.

“Sudah saatnya makan. Ayo temani ibu ke ruang makan.” Ada nada tegas, namun bukan perintah. Lebih ke permohonan. Ibunya merasa aman bila di samping Harun.

Entah kenapa. Harun merasa sedih, karena merasa tak akan mampu melindungi ibunya melawan paman gurunya itu. Namun, suara kecil di dalam batinnya berteriak keras. “Apapun yang terjadi, aku harus berusaha! Aku harus berusaha melawan kejahatan! Aku harus berusaha berjuang demi keluarga!”

Akhirnya Harun bangkit berdiri lalu menemani ibunya ke ruang makan.

***

BAB SEBELAS : PERTARUNGAN HIDUP DAN MATI

Tubuh Harun gemetar ketika berjalan, namun ia menahannya. Ia tidak ingin ibunya melihat bahwa anaknya yang ia andalkan sedang ketakutan. Maka dengan segala kekuatannya ia berusaha menekan rasa ketakutannya itu jauh ke dalam lubuk hatinya yang sedang berdebar keras memompa darahnya ke sekujur tubuhnya.

Justru di saat seseorang sedang mengalami takut akan kematian, di sanalah ia dapat merasakan kehidupan pada puncaknya. Setiap nafas yang ditarik dan dihembuskan, setiap detak jantung yang berdebar di rongga dadanya, setiap peluh yang menetes, setiap tiupan angin di kulit, setiap langkah kaki yang berderap, barulah secara sadar dirasakan bahwa kehidupan itu begitu indahnya, begitu kompleks, begitu rapuhnya…

Demikianlah Harun baru merasakan apa artinya hidup dan sebesar apakah berharganya hidup. Perasaan itu membuat Harun ingin bergegas meninggalkan rumah itu saat ini juga. Untuk berlari jauh demi menyelamatkan diri. Namun, keluarganya membuat kakinya menjejak lantai keras-keras, sekeras kemauannya untuk membela keluarganya habis-habisan. Tak peduli ada seribu Ki Jagatsudana di depan mata, sampai darah terakhir menetes, barulah perjuangan ini akan berakhir…

Para tamu dan Seto telah duduk di meja makan. Sisa dua bangku lagi, bangku di kiri dan kanan Seto kosong. Lelaki-lelaki bejat itu berusaha untuk menempatkan Asih di samping Ki Jagatsudana. Dengan cepat, Harun memasuki pikiran Seto lalu memerintahkan ayahnya itu untuk bergeser ke samping kanan. Harun secara cepat pula menaruh ibunya di antara ayahnya dan dia.

Ki Jagatsudana tampak terkejut. Ia sudah memasuki pikiran Seto sebelumnya dan tidak ada niat apapun untuk pindah kursi. Namun di detik terakhir lelaki itu bergerak dan membuat istrinya kini tak dapat dijangkaunya lagi. Dicobanya untuk masuk ke dalam pikiran Seto lagi, dan dengan terkejutnya Ki Jagatsudana melihat bahwa pikiran Seto sudah berubah, Seto bergerak menggeser agar isterinya diapit keluarga. Padahal sebelumnya Seto tidak mempunyai pikiran apa-apa mengenai hal ini.

Ada sesuatu yang aneh di sini. Apakah ada orang pintar di daerah ini yang tidak ia ketahui? Ia mendengar dari orang-orang bahwa adik seperguruannya Ki Asmoro Dewo ada di daerah ini, namun tidak mungkin bocah itu berani melawannya. Namun, kalau benar si bangsat itu yang menjadi biang keladinya, maka bayarannya akan mahal sekali!

Ki Jagatsudana meramkan mata dan mulai berkomat-kamit. Harun merasakan kepalanya seakan ada yang menyerang. Sambil berusaha bertahan ia mencoba melihat pikiran ayahnya untuk mencari tahu apa yang sedang dilakukan oleh musuhnya ini.

Benak ayahnya tampak mulai menutup seakan mau tidur. Rupanya Ki Jagatsudana sedang menyirep seisi ruangan. Harun mulai pura-pura tertidur, ia mengirimkan gambaran palsu kepada benak musuhnya agar yang diterima Ki Jagatsudana adalah Harun juga terpengaruh sirep itu. Rupanya sirep itu hanya ditujukan kepada keluarga Harun, karena para begundalnya tidak terpengaruh.

Ketika ayah dan ibunya tertidur, Harun juga pura-pura tertidur.

“Bagus, mereka sudah tidur semua… Dodo, Anwar, Ujang dan Adi, siapkan senjata… tampaknya kita didatangi tamu.”

Harun dalam posisi yang seakan tidur di meja makan, mendapati benak Ki Jagatsudana terbuka, karena lelaki itu sedang melakukan ‘scanning’ dengan mata batinnya untuk melihat apakah ada Ki Asmoro Dewo di sekeliling rumah itu. Sementara itu, para begundalnya berdiri dan meloloskan golok dari balik baju mereka.

Melihat kesempatan bagus, Harun segera menaruh gambaran palsu di benak musuhnya itu, ini adalah jebakan yang baik menggunakan rasa takut musuhnya sendiri.

Ki Jagatsudana merasakan ada seseorang di luar rumah, dan orang itu tampak memiliki mata batin yang kuat, karena tak dapat diserang secara batin.

“Serang! Ada orang di depan rumah!” perintah Ki Jagatsudana kepada begundal-begundalnya.

Anak buah lelaki itu berlarian ke depan. Sementara Ki Jagatsudana meraih pisau di meja lalu mendekati Asih. Harun mendapati pikiran lelaki itu yang sekarang tidak terjaga sama sekali memperlihatkan rencana untuk menggunakan keluarga Harun sebagai sandera, bila ternyata musuh Ki Jagatsudana, entah itu Asmoro Dewo atau bukan, ternyata mengalahkan begundal-begundal miliknya, dan bahkan lebih sakti daripadanya. Untuk itu keluarga Harun dapat digunakan sebagai barter nyawa.

Harun melihat bahwa musuhnya sedang lengah. Oleh karena itu ia segera menginvasi pikiran empat begundal-begundal itu. Mereka berempat telah sampai di depan rumah dan tidak mendapati siapa-siapa. Namun, tiba-tiba saja, teman yang disamping mereka berubah menjadi manusia serigala. Ini tentu saja ulah Harun, yang mempengaruhi pikiran mereka. Selain membuat pandangan para begundal itu berubah, Harun juga membuat hati mereka menjadi nekat. Bukannya takut melihat ada manusia serigala di samping mereka, mereka malah kalap saling menyerang satu sama lain.

Mendadak saja keempat orang itu saling berbacokan satu sama lain. Ki Jagatsudana kaget mendengar bunyi pertempuran di luar. Ia segera berusaha membaca pikiran para begundalnya. Harun tentu saja segera melakukan intercept, dan membuat apa yang dilihat mata batin Ki Jagatsudana berbeda dengan kenyataan. Yang dilihat Ki Jagatsudana adalah empat orang anak buahnya sedang asyik mengeroyok Ki Asmoro Dewo dan orang itu sekarang sedang keteteran di serang bahkan mulai ada luka di sana-sini.

“Hahahahah! Asmoro Dewo! Dari dulu ilmu silatmu cuma segini saja!”

Harun di lain pihak mulai mempengaruhi para begundal itu agar berkelahi semakin jauh dari rumah, sementara di mata Ki Jagatsudana ke empat begundalnya sedang mengejar Asmoro Dewo yang sedang terpontang panting kabur. Dalam kenyataannya, setelah hampir satu kilo empat orang itu berlari sambil bacok-bacokan, mereka jatuh ke sungai yang tak jauh dari situ dan mati tenggelam.

Ki Jagatsudana tertawa terbahak-bahak dan segera meminum anggur yang ada di meja langsung dari botolnya. Rencananya setelah makan malam selesai mereka akan minum anggur, namun kini botol itu ditenggak habis oleh lelaki bejat itu.

Kini Harun sudah dapat konsentrasi karena tidak mempengaruhi empat orang begundal-begundal itu. Di tambah lagi, Anggur Perancis yang dipunyai ayahnya itu sangat keras buatan tahun 1920. Kini Ki Jagatsudana tidak peduli lagi dengan pertahanan mentalnya, melainkan mulai berpesta sendirian di ruang makan itu. Maka perlahan-lahan kekuatan pikiran Harun sudah mulai menyelimuti pikiran Ki Jagatsudana, walaupun lelaki itu belum menyadarinya.

Ki Jagatsudana baru sadar kembali bahwa Asih, wanita idamannya itu sedang tidur di meja makan. Dengan tergesa-gesa ia menarik jilbab pink Asih sehingga copot dan rambut hitam ibunya yang panjang hingga pangkal lengannya tertarik paksa sehingga menjuntai-juntai selama beberapa saat. Dijenggutnya Asih lalu dinikmatinya wajah perempuan yang indah itu.

“Harum tenaaaan… bangun sampeyan!” perintah lelaki itu.

Asih tiba-tiba terbangun dan seketika itu juga kaget bukan kepalang. Ia mendapati dirinya sedang dijambak Ki Jagatsudana yang sedang berdiri di sampingnya, sementara baik suami maupun anaknya tampak terkulai di meja makan.

Asih ingin berteriak, namun tiba-tiba saja Ki Jagatsudana menariknya ke belakang keras-keras sehingga perempuan itu terhempas ke lantai bersama kursi yang jatuh. “Jangan berisik! Lihat pisau ini!”

Dari lantai Asih melihat lelaki itu menaruh pisau yang digenggamnya di leher anak satu-satunya, Harun. “Jangan sakiti anakku!” teriak Asih sambil mengeluarkan air mata.

“Tenang saja, manis. Kalau kamu mau menurut, maka tidak ada yang akan aku lukai,” kata Ki Jagatsudana dengan perlahan sambil menghampiri Asih bak singa yang mengincar mangsanya di hutan.

Harun yang telah ’memegang’ benak musuhnya, belum melakukan apa-apa, melainkan melihat dulu apa yang akan musuhnya lakukan. Selain itu, kenyataan bahwa ibunya akan diperkosa membuat Harun menjadi horny dan rudalnya tahu-tahu sudah keras.

“berdiri!” bentak Ki Jagatsudana. Asih berdiri. “Buka bajumu!”

Asih terdiam sejenak, namun karena takut anaknya akan disakiti, akhirnya dengan tangan gemetar ia membuka pakaiannya. Dengan sedikit susah, kedua tangan Asih menjangkau resleting yang ada di belakang gaun pinknya yang lebar itu. Gaun itu biasa disandingkan dengan jilbab. Gaun yang lebar dan tidak menunjukkan aurat sama sekali. Gaun panjang semata kaki.

Setelah resleting sudah ditarik penuh, maka tali pinggang Asih kendorkan. Perlahan lalu Asih menarik pakaiannya sehingga sedikit demi sedikit tertarik ke bawah. Harun yang penasaran, mengintip. Kebetulan posisi tidur pura-puranya adalah menelungkupkan kepala di kedua tangan di meja, sehingga dengan sedikit mengubah posisi badannya, ia dapat melihat ibunya dan punggung Ki Jagat Sudana.

Perlahan-lahan bahu putih ibunya yang dihiasi tali BH terlihat. Perlahan pakaian itu terbuka lagi ke bawah memunculkan sedikit demi sedikit bagian dada Asih. Akhirnya setelah melewati cup BH, pakaian itu terjatuh ke lantai. Kulit ibunya putih namun agak kekuningan, sehingga tidak Nampak pucat, melainkan berkilauan menantang ditingkahi oleh lampu kamar makan.

BH dan celana dalamnya berwarna hitam yang sangat kontras dengan warna kulit tubuhnya yang ramping itu. Tonjolan dadanya yang masih berbungkus BH hitam itu menjadi lebih berkesan untuk dilihat. Lekuk bukitnya tampak makin terlihat dan makin menggairahkan. Apalagi dada itu kini naik turun disebabkan rasa takut, yang juga mengakibatkan peluh mulai berjatuhan.

Setelah Asih mandi, perempuan itu memutuskan untuk tidak memakai parfum, agar supaya tidak menarik nafsu para tamunya itu. Apalagi, Asih pun mandi tanpa menggunakan sabun. Bagi Asih, siapa tahu para tamunya itu tak menyukai bau badannya yang tanpa sabun ataupun parfum.

Namun, di malam yang sepi itu, angin dari pintu depan yang tidak tertutup rapat oleh para begundal, masuk dengan kencangnya, membanting pintu itu. Udara malam itu masuk terus ke dalam ruangan makan yang ada tidak jauh dari ruang tamu, pertama-tama menghantam badan Asih yang setengah telanjang dan berkeringat, kemudian angin itu bertiup lanjut ke arah Ki Jagatsudana dan Harun.

Bau tubuh Asih yang lembut tertiup jelas ke arah dua lelaki itu. Sontak kontol Harun berdenyut penuh nafsu, dan demikian pula Ki Jagatsudana. Nafsu sudah memuncaki kepala kedua lelaki itu.

Namun, hanya seorang yang memiliki kepala dingin. Dialah Harun. Dalam nafsunya, Harun mendapati musuhnya yang bernafsu itu kini sudah lupa daratan, suatu keadaan yang mampu ia gunakan. Maka, sesaat sebelum Ki Jagatsudana menerkam ibunya, kekuatan pikiran Harun yang sudah membungkus benak Ki Jagatsudana, kini sekuat tenaga dikerahkan untuk menggempur benak musuhnya itu.

***

BAB DUA BELAS : KEMENANGAN HARUN

Bila ditelaah secara lebih jauh, kemenangan seseorang bukan selalu berarti bahwa orang itu lebih hebat segalanya dari lawannya. Tetapi sang pemenang mampu menggunakan segala kesempatan yang baik, untuk memaksimalkan kemampuannya untuk meraih kemenangan itu. Itu yang biasa terjadi. Ada pula kemenangan yang diraih secara keberuntungan, ini yang tidak biasa terjadi. Biasanya orang yang karena beruntung dapat menang, maka akan sulit mengulangi kesuksesan itu. Lain halnya dengan orang yang menang karena kecerdikannya memanfaatkan peluang, atau point pertama tadi.

Demikianlah kemenangan Harun atas Ki Jagatsudana. Ini adalah kemenangan karena kecerdikan dan kesabaran. Dua hal yang tidak diterapkan Jagatsudana. Apakah kemenangan ini sepenuhnya karena kehebatan Harun? Tidak juga. Bila Jagatsudana tidak takabur, tentu saja tidak akan terjadi.

Yang jelas, kekalahan ini seakan sudah digariskan. Pertama, Ki Jagatsudana bertemu dengan ayah Harun, menganggap ayah Harun ini orang bodoh, lalu memutuskan untuk memanfaatkannya. Ia tidak tahu bahwa anak orang ini memiliki kemampuan yang tiada duanya dalam hal kebatinan. Kedua, dari semenjak melihat Asih, Ki Jagatsudana sudah mabok kepayang akan birahi kepada perempuan ini, sehingga banyak sekali mengurangi kemampuan batiniahnya. Ketiga, Ki Jagatsudana yakin bahwa di rumah Seto si goblok itu, dia tidak ada tandingannya.

Di lain pihak, Harun yang walaupun harus memerangi rasa takutnya, akhirnya mampu berpikir dan mencari strategi. Bukan strategi yang direncanakan jauh hari, melainkan strategi yang digunakan sesuai dengan perkembangan keadaan. Inilah kecerdikan yang jarang dimiliki paranormal lainnya.

Ya, kalau anda berfikir bahwa setelah kejadian ini Harun menjadi paranormal, maka tebakan anda benar sekali. Saking hebatnya Harun, maka banyak sekali orang-orang Jakarta yang datang ke tempat padepokan Harun. Banyak kisah yang diceritakan ketika Harun sudah dewasa dan menjadi paranormal kawakan, salah satunya “Akibat Ke Dukun”, yang dilaporkan oleh saudara Pemanah Rajawali dengan baik sekali.

Tentu saja saya tahu, para pembaca sudah mulai gerah, karena penutup bab sebelum bab ini, tidak dilanjutkan secara sequential di bab yang ini. Untuk itu saya mohon maaf, karena permulaan bab terakhir ini, saya rasa perlu saya tulis, sebagai mata rantai cerita lainnya, dan juga sebagai cooling down saya sendiri. Akhir bab sebelumnya yang fantastis hampir membuat saya edi tansil.

Baiklah kita mulai dari pada saat Harun menghancurkan benak Ki Jagatsudana. Ketika seluruh logika dan akal Ki Jagatsudana tertutup nafsu birahi saat melihat Asih yang cantik itu setengah telanjang di hadapannya, maka itulah saat yang sangat tepat untuk menyerang. Dan Harun tahu itu.

Harun yang sudah menggenggam benak Ki Jagatsudana, segera mengerahkan kekuatan pikirannya dan meremas benak musuhnya itu sekuatnya. Untuk hal ini, belum pernah ia lakukan dan ia tidak tahu konsekuensinya. Yang jelas, ketika akal Ki Jagatsudana yang tidak siap itu diremas dengan kekuatan Harun, benak itu hancur.

Betul, pikiran Ki Jagatsudana lenyap dari kepribadiannya. Ki jagatsudana hanya sempat berteriak kurang dari satu detik, untuk lalu terdiam. Harun tidak tahu bahwa ia memakai hampir seluruh kekuatannya ketika melakukan ini. Jadi, Ia tidak tahu bahwa ia dapat membuat seseorang menjadi tanpa kepribadian seperti itu.

Harun mendapati bahwa Ki Jagatsudana masih hidup secara ragawi, namun kepribadiannya kosong. Seluruh ingatan hidup ki Jagatsudana masih ada dan membekas di otak, namun pribadinya sudah hilang. Tidak ada ‘aku’ di dalam Ki Jagatsudana. Ki Jagatsudana sudah sirna.

Harun kemudian mempunyai ide yang brilian. Hanya orang sejenius Harun yang bisa memikirkan ini. Situasi Ki Jagatsudana bisa dibilang seperti orang yang sedang dicuci otaknya, hanya saja belum lengkap prosesnya. Proses pengosongan otak sudah selesai, kini menunggu pembentukan Pribadi yang baru.

Maka Harun menanamkan ide. Semacam menanamkan program computer, ke dalam otak tanpa kepribadian itu. Namun, sebelum memprogramnya, Harun menyirep ibunya dulu, karena waktunya belum pas. Setelah ibunya tertidur di lantai maka Harun mulai proses pemrograman itu.

Ternyata untuk membentuk Pribadi yang dapat berfikir sendiri, cukuplah lama dan susah. Perlu sekitar 5 jam untuk melakukannya, karena Harun harus mencoba dulu, bila kurang maka akan mencoba lagi yang lain dst. Dan setelah selesai, Ki Jagatsudana menjadi Pribadi yang baru, yaitu seorang manusia yang menuruti semua perintah dari Harun.

Kemudian Harun menyuruh ibunya berdiri, walaupun ibunya masih tertidur. Ibunya berdiri dengan mata terpejam. Ingatan ibunya direset sehingga seakan-akan kejadian ibunya buka baju baru saja terjadi. Kemudian Harun menyadarkan ibunya.

Asih yang mengalami modifikasi memory, dalam benaknya baru saja disuruh buka baju oleh Ki Jagatsudana. Rasa takut yang sama menghujamnya persis seperti yang 5 jam lalu terjadi.

“Kamu sangat cantik, sayang…” suara Ki Jagatsudana membahana tanpa emosi, membuat Asih bergidik. Lelaki itu menghampiri anak lelakinya lalu berkata, “Bangun bocah!”

Harun terbangun dan melihat ibunya yang setengah telanjang. Asih berusaha menutup tubuhnya. Harun berusaha menolehkan mukanya.

“Perempuan jalang! Kalo kamu menutup tubuh kamu, saya akan potong anakmu!”

Dengan panik Asih membuka kedua tangannya. Ia melihat anaknya yang memejamkan mata, dan merasa sedikit lega.

“Buka matamu, bocah! Kenapa malu melihat badan ibumu sendiri! Kalo kamu tidak mau, saya gorok lehermu!”

Harun menggeleng-geleng, namun Asih melihat bahwa leher anaknya mulai memerah tanda terluka.

“Harun! Buka saja, nak. Jangan mati konyol!”

Harun akhirnya membuka matanya. Ia menatap lantai, namun atas desakan Ki Jagatsudana, akhirnya Harun menatap tubuh ibunya erat-erat. Asih pun sudah tidak berusaha menutupi tubuhnya yang setengah telanjang.

“Jalan ke kamar tidurmu!”

Maka Asih mendahului kedua lelaki itu dan berjalan ke kamar tidurnya. Ki Jagatsudana membawa serta Harun yang ditodong dengan pisau pada bagian lehernya. Setelah sampai di kamar tidur, Asih disuruh membuka semua pakaian dalamnya.

Rasa takut yang melanda Asih, membuat udara serasa panas. Badan wanita itu sudah mulai dihiasi peluh ketika sampai di kamar tidur. Kipas angin masih dalam posisi mati, sehingga ketika Ki Jagatsudana menutup pintu, keadaan ruang tidur tidak membantu sama sekali dan Asih mulai mandi keringat.

Harun merasakan burungnya berdenyut-denyut ketika melihat ibunya membuka BH dan dua buah payudara ibunya yang bulat dengan puting mengacung keras ke atas terpampang jelas. Apalagi ketika ibunya membuka celana dalamnya dan menunjukkan jembutnya yang rapi tercukur menghiasi bibir kemaluannya yang mengintip sedikit dari selangkangan.

“Bocah! Ternyata kamu kurang ajar juga! Lihat burung kamu itu tegak melihat tubuh indah ibumu sendiri! Dasar bocah mata keranjang!”

Asih melihat celana Harun, dan memang terlihat cetakan panjang dibagian depan celananya itu. Harun terangsang melihat dirinya.

“Buka celanamu!”

Harun terlihat kaget. Ia menggeleng-geleng, namun pisau Ki Jagatsudana secara cepat mengancam selangkangannya.

“Kalo kamu malu, biar kupotong saja burungmu! Kamu sudah nafsu melihat tubuh ibumu sendiri, ngapain malu? Tunjukkin nafsumu pada ibumu!”

Asih merasakan kata-kata Ki Jagatsudana demikian tak sopan. Tapi entah kenapa, tubuhnya merasakan birahi juga. Semenjak anaknya bangun, Asih pertama kali merasa malu, namun mengingat mereka berdua sempat dekat tidak selayaknya ibu dan anak, bahkan sudah saling masturbasi, Asih mau tidak mau merasa terangsang juga. Apalagi selama ini ia sering memikirkan keintiman mereka dalam bayangan dan melakukan masturbasi juga dengan membayangkan keintiman itu.

Asih merasa serba salah. Ketika anaknya diancam akan dipotong burungnya, Asih segera berkata, “Buka saja, sayang. Ikuti kemauan lelaki ini. Jangan melawan. Sayangi nyawa, nak.”

Maka Harun membuka celananya dan Asih terkaget juga melihat kontol anaknya yang besar dan menghitam. Kontol suaminya panjangnya hanya 13 senti, namun kontol anaknya tampaknya sekitar 17 senti dan gemuk. Anaknya masih remaja. Bagaimana nanti kalau sudah dewasa? Pikiran ini membuat memek Asih mulai basah oleh cairan vagina, selain oleh keringatnya yang sudah banjir dari tadi.

“Kamu suka lihat ibu kamu telanjang, bocah?”

Harun tidak menjawab. Tiba-tiba Ki Jagatsudana menempelengnya sehingga jatuh.

Asih berteriak, “Jawab saja, nak…”

“saya… ti… ti… ti…” kata Harun terbata-bata. Tentu saja semua ini sandiwara. Harun dengan tenaga pikirannya mengendalikan Jagad Sudana. Jagad Sudana kini adalah boneka yang dapat sekehendak hati dikendalikan oleh Harun.

“Kalo kamu bohong sekali lagi, saya sayat leher kamu!”

“Tidak apa-apa, nak… jawab saja…” perintah Asih.

“Apa kamu suka lihat Ibumu telanjang?”

“Iya!”

“Bangun dari situ dan hampiri ibumu. Bilang ke ibumu kamu suka apa?”

Perlahan-lahan Harun menghampiri ibunya yang sedang berdiri di kaki tempat tidur. “Ibu…”

Hening.

Ki jagatsudana berteriak, “Perempuan sundal! Kalo anakmu ngomong, ya kamu jawab juga! Memangnya dia bicara sama tembok? Ulang lagi, bocah!”

“Bu…”

“Ada apa, nak?”

“Harun suka melihat ibu…” suara Harun seakan tercekat.

Takut dimarahi lagi, Asih segera menimpali, “Melihat apa, nak?”

“Melihat ibu telanjang seperti ini…”

“Kenapa, nak?”

“Karena ibu cantik…”

“Terima kasih, nak…”

Lalu hening karena Asih juga tidak tahu harus bilang apa lagi. Ia tidak yakin maunya Ki Jagatsudana itu apa.

“Bocah, kontolmu itu tegang. Pasti kamu nafsu sama ibumu kan? Ayo bilang ke ibumu! Dasar bocah ga tau sopan santun!”

“Ibu…”

“Ya, anakku…”

“Aku nafsu sama ibu…”

“Nafsu sama ibu?”

“Nafsu sama apanya Ibumu?” potong Ki Jagatsudana. “Perempuan, minta anakmu untuk menjelaskan.”

“Kamu nafsu sama ibu? Bagian mananya ibu yang kamu nafsu?” kata Asih perlahan dan sedikit tercekat, karena vaginanya sudah basah kuyup mengeluarkan bau tubuhnya yang mulai birahi.

Hening sejenak. Harun menelan ludahnya seakan berpikir lalu berkata, “Iya, bu… kalau dekat begini… Harun bisa mencium bau tubuh ibu tanpa sabun dan parfum. Harun sukaaaaaa banget… nafsuuuuuu bangeeeeet…”

“Perempuan! Tidur di kasur! Buka tanganmu! Biar anak durhakamu ini mencium bau tubuh kamu. Masa’ sukanya sama bau keringat? Dasar gemblung! Biar bocahmu semaput sama bau ketekmu!”

Asih menghempaskan diri di tempat tidur. Badannya sudah lengket karena keringat. Setidaknya dengan tidur keringat dipunggungnya dapat diserap seprai. Baru saja Asih mengangkat kedua tangannya, Harun telah ada di sampingnya dengan tubuh sedikit gemetar menahan gejolak yang seakan ingin meledak saat itu juga. Asih melihat wajah anaknya yang berbinar-binar. Seakan-akan anaknya itu adalah manusia yang paling Bahagia di dunia ini.

Dan memanglah sebenarnya kali ini Harun merasakan kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Harun merasa telah sampai ke surga. Surga dunia. Orang bilang surga ada di telapak kaki ibu, namun menurut Harun, surga adalah ibu kandungnya. Dan sudah lama sekali Harun ingin memiliki surga ini. Kini, surga yang begitu ingin ia dapatkan tergolek pasrah di sampingnya tanpa busana, dengan peluh yang membasahi sekujur tubuh yang indah itu, sehingga mengeluarkan wangi tubuh yang begitu merangsang yang memenuhi rongga hidung Harun dan mengirimkan sinyal birahi ke otaknya.

Mata Harun dengan rakusnya menjelajahi lekak lekuk tubuh ibunda kandungnya yang telanjang bulat itu. Dua buah gunung kembar yang mancung dengan puting menonjol begitu menantang kejantanan Harun. Kulit putih dan mengkilat karena keringat bak berlian yang telah diasah sampai berbinar mewah dan anggun. Perut ibunya yang rata, tidak berotot, namun rata. Tidak buncit sedikitpun. Perut yang dihiasi lembah kecil pusar yang seakan kedalamannya tak terukur oleh matanya. Dan di bawah perut, terhampar permadani yang rapi tercukur, sebagai dinding pertahanan yang menjaga lubang rahasia milik ibunya, yang terlihat sedikit dari sudut pandang Harun. Dua bibir luar vagina ibunya yang menutup memperlihatkan garis panjang yang hanya terlihat ujung atasnya karena sisanya tertutup oleh kedua paha ibunya yang basah penuh keringat.

Entah berapa lama Harun menatapi keindahan tubuh ibunya yang tanpa busana sehelaipun itu, ketika akhirnya kedua mata Harun bentrok dengan kedua mata ibunya. Tanpa disadari, pikiran ibunya merembes masuk ke dalam pikiran Harun. Harun dapat merasakan pertentangan dalam benak ibunya itu.

Di satu pihak, memperhatikan Harun menatapi tubuh telanjangnya, membuat Asih sedikit demi sedikit bertambah birahinya, namun di lain pihak, Asih tahu bahwa apa yang sekarang terjadi, dan apa yang nantinya akan terjadi, adalah hal yang sangat tabu. Bagi masyarakat, ini semua adalah suatu dosa besar. Bahkan, bagi Asih sendiri pun, hal ini adalah sesuatu yang tidak pernah ia inginkan. Hanya saja, belakangan ini, ada suatu kekuatan yang membuat ia menjadi nafsu kepada anaknya sendiri.

Asih tahu bahwa Harunpun bernafsu kepada dirinya. Pengalaman kemarin ketika mereka asyik memasturbasi satu sama lain menunjukkan ini. Asih dapat melihat dari gelagat, perilaku dan bahkan perlakuan Harun yang semakin menunjukkan perasaan cinta bukan hanya cinta kepada ibu kandung, melainkan cinta yang diselubungi nafsu, cinta seorang lelaki kepada perempuan. Cinta yang mengandung intonasi seksual.

Asih tahu semua ini tidaklah pada tempatnya. Dan bila situasinya berbeda, tentu ia tidak akan menjadi sepasrah ini. Asih terlalu mencintai Harun untuk membiarkan anak itu melakukan hal-hal yang tabu kepada dirinya. Karena hal seperti ini tentu akan berdampak pada jiwa seorang anak. Pokoknya, Asih akan berjuang sekuat tenaga untuk menolak Harun bila Harun meminta hal tabu kepada dirinya, walaupun sebenarnya Asih sendiri menginginkannya juga.

Tetapi semuanya sekarang berubah. Nyawa anaknya kini terancam. Ketika Asih melihat Harun dilukai, walau hanya sedikit oleh lelaki jelek yang tidak bermoral itu, naluri keibuan yang dimiliki Asih langsung keluar. Asih tidak ingin anak yang ia lahirkan, ia rawat sampai kini besar menjadi seorang remaja yang ganteng dan maskulin, menghadapi marabahaya. Asih akan melakukan apa saja demi kelangsungan hidup anaknya ini. Dan tampaknya, Asih akan terpaksa melakukan hal yang selama ini ia anggap tabu, hal yang selama ini dengan sekuat tenaga telah ia coba untuk menolaknya. Namun, yang dilain pihak, sesuatu yang ia juga ingin rasakan. Sesuatu yang menyentil perasaan keingintahuannya. Sesuatu yang membakar kenakalan dalam dirinya. Sesuatu yang ia harapkan namun sesuatu yang menakutkan di saat yang sama.

Terancamnya nyawa Harun, kini seakan memudahkan segala sesuatu. Asih tidak perlu lagi berdebat dengan diri sendiri. Tak perlu lagi memikirkan moralitas. Tak perlu lagi memikirkan norma-norma masyarakat. Tak perlu lagi menuding diri sendiri sebagai pelacur. Karena apa yang akan terjadi, semuanya adalah demi kehidupan anaknya. Semuanya demi cinta. Segala sesuatu yang salah, akan menjadi benar, atas nama cinta. Karena kesalahan akan menjadi pengorbanan dan kenikmatan yang nantinya diharapkan bukanlah tujuan, tetapi akibat yang dimulai dari: CINTA.

Ibu dan anak itu berpandangan cukup lama. Si anak membaca pikiran ibunya tanpa setahu si ibu. Namun sang Ibu, menatap penuh cinta kepada anaknya dan untuk pertama kalinya di malam itu, ia memberikan senyum yang sangat manis kepada anaknya. Wajah Harun yang penuh rasa cabul menjadi berubah. Harun pun akhirnya tersenyum. Dan jauh di lubuk hati Harun, ada sedikit penyesalan. Karena kini ia tahu bahwa ibunya sangat mencintai dirinya. Cinta yang tulus. Bukan nafsu yang selama ini Harun rasakan kepada ibunya. Mata Harun yang tadi nanar karena birahi, kini menjadi teduh. Ada sedikit penyesalan di matanya. Namun, ibunya berkata dengan suara lirih,
“Ibu tresno kamu, Le…”

***

BAB TIGA BELAS : KASIH IBU KEPADA HARUN

Ki Jagad Sudana mendengar suara lirih Asih yang membisikkan kata-kata yang nadanya seharusnya didengar keluar dari mulut seorang kekasih. Namun kini diucapkan oleh seorang ibu kepada anak kandungnya. Bila Ki Jagad Sudana masih menjadi diri sendiri, tentunya dia akan terpengaruh juga, menjadi terangsang karena ini. Namun, kini Ki Jagad Sudana hanya seorang manusia yang pada dasarnya boneka yang dimiliki Harun, sehingga nuansa erotis yang sangat kental di kamar itu, tidak berpengaruh apa-apa terhadapnya.

Lalu terdengar suara pelan Harun menjawab perkataan ibunya, “Harun mencintai Ibu sudah sedari dulu. Karena Ibu adalah perempuan yang paling cantik, paling baik, paling indah yang Harun kenal. Harun ingin memiliki Ibu sepenuhnya. Jiwa dan raga Ibu. Harun ingin menyatu dengan Ibu…”

Dengan perlahan Harun menopang tubuhnya dengan kedua tangannya tanpa menyentuh ibunya, walaupun ia masih duduk di samping ibunya. Kedua tangannya bertumpu di samping kiri kanan tubuh telanjang ibunya. Harun lalu secara perlahan, sambil menikmati bau tubuh ibunya yang memancar keluar dari ketiak yang terbuka, sedikit demi sedikit menurunkan tubuhnya mendekati tubuh bugil ibunya.

Lama kelamaan wajah ibu dan anak itu semakin mendekat. Masing-masing merasakan hawa panas yang memancar keluar dari kulit wajah mereka. Nafas mereka pun semakin dirasakan satu sama lain. Udara terasa lebih panas berkali lipat karena mereka berdua menyadari bahwa hubungan mereka mulai berubah dari yang seharusnya menjadi yang tak seharusnya.

Akhirnya bibir mereka menempel perlahan. Mereka belum membuka mulut karena sentuhan bibir mereka terasa menyengat. Bagaikan terkena setrum listrik ribuan volt, yang mengirimkan sinyal elektrik penuh birahi yang menguasai seluruh jaringan tubuh mereka. Bahkan gejolak nafsu birahi mereka membuat badan mereka gemetar perlahan karena mengantisipasi sebuah kenikmatan yang sangat tabu.

Harun merasakan bibir basah dan hangat milik ibunya mengecup balik bibirnya. Ada perasaan yang berbeda, dibanding mencium ibunya ketika ibunya tertidur. Kini ibunya terbangun dan mencium balik. Berbeda juga ketika waktu itu Harun menciumi punggung ibunya, karena saat itu hanya punggung ibunya yang boleh diakses oleh Harun. Fakta bahwa ibunya balas mencium membuat Harun begitu Bahagia, ia sendiri kesulitan untuk mengungkapkan perasaan ini.

Pertama-tama bibir mereka menempel perlahan. Bagaikan sentuhan angin dikulit, suatu sentuhan yang sangat ringan tanpa tekanan. Seakan hendak melewati saja tanpa ada tekanan dan paksaan. Namun, sentuhan itu sedikit demi sedikit bertambah tekanannya, karena Harun mulai menekan bibir ibu kandungnya dengan bibirnya. Namun, Harun ingin mengingat malam ini selamanya, sehingga Harun tidak mau tergesa-gesa, tidak mau kenikmatan yang pertama kalinya akan ia rasakan dengan ibunya dengan cepat berakhir. Harun ingin menikmati detik demi detik kebersamaannya dengan ibunya dengan penuh penghargaan.

Akhirnya Harun dan ibunya mulai mengecupi bibir satu sama lain. Kecupan yang masih ringan, perlahan dan berbunyi pelan. Suara kecil kecupan itu hanya mereka berdua yang mendengar, ditingkahi oleh suara nafas mereka yang sedikit demi sedikit mulai menjadi cepat secara gradual. Kemudian Asih mulai tidak tahan dan menggunakan kedua tangannya untuk mendekap wajah anak kandungnya, sementara bibirnya mulai bertambah keras mengecupi bibir anaknya dibarengi dengan kedua tangannya yang mulai menarik kepala anaknya agar semakin menekan.

Perubahan gerakan yang sebenarnya biasa saja, justru bagi mereka berdua yang sedang asyik, menambahi bumbu dalam masakan birahi yang sedang mereka berdua goreng bersama. Harun merasakan ada suatu desakan kecil dari ibunya, dan juga dari dalam hatinya sendiri, untuk menambahkan kecepatan dan ketegasan dalam cumbuannya kepada ibunya.

Maka Harun sambil mengecup keras bibir ibunya, ia membuka mulutnya perlahan dan menggunakan sedikit ujung lidahnya untuk menyapu bibir ibunya. Lidah Harun merasakan bibir basah ibunya begitu hangat dan nikmat. Asih yang merasakan jilatan anak kandungnya pada bibirnya, menjadi bertambah horny, dan tanpa disengaja mengeluarkan suara bergumam dari dalam mulutnya yang tertutup ditambah dengan dengusan dari hidungnya selama beberapa saat, sebelum akhirnya mulai membuka mulut mungilnya dan mengeluarkan lidahnya pula untuk menyambut serangan lidah anaknya.

Pada pertama kali kedua lidah mereka bersentuhan, Harun merasakan bagai dalam dunia mimpi. Sudah ribuan kali ia memimpikan berciuman dengan ibunya, namun baru kali ini dirasakan. bagi Harun, inilah saat paling Bahagia yang pernah ia rasakan selama hidupnya. Untuk merasakan lidah ibunya yang hangat, basah dan licin, bersentuhan langsung dengan lidahnya sendiri, adalah pengalaman yang mengalahkan sensasi nikmat lainnya di dunia.

Harun memulai ritme berciuman dengan lidah, atau French Kisss, dan ibunya mengikuti irama itu. Kedua mulut ibu dan anak itu saling mengecup, mencium, menempel, membuka dengan irama yang begitu padu, seakan mereka sudah lama sekali melakukan ini berdua. Harun begitu menikmati mencumbu mulut ibunya, karena sambil berciuman, ibunya terus menerus mengeluarkan suara bergumam bahkan desahan tiap kali membuka mulutnya.

“Mmmmmmuaahhhhh… hhhhmmmhhh… aaahhh… hmmmmmm… ahhh…”

Kedua lidah mereka saling menjilat. Bibir mereka saling berpagutan. Kadang kala Harun asyik meleletkan lidah cukup lama, agar dapat menjilati lidah, bibir bahkan rongga mulut ibunya. Bahkan sempat, Lidah Harun menyusuri gigi depan ibunya baik atas dan bawah, dengan nakal menjelajah gusi ibu kandungnya, atau menjilati lidah ibu kandungnya dengan penuh nafsu. Di lain saat kedua bibirnya asyik mengenyoti bibir ibunya, baik atas maupun bawah.

Perlahan Harun mulai menindih tubuh ibunya. Asih melepaskan tangan dari wajah Harun dan memeluk tubuh penuh keringat anaknya. Ia merasakan kedua kaki anaknya menyelusup ke antara kakinya, hingga Asih membuka kedua kali dengan menarik betis ke atas. Perlahan tapi pasti beban tubuh Harun bertumpu pada tubuh telanjang Asih. Dada Harun menempel pada dada ibu kandungnya itu. Asih merasakan batang kontol Harun menindih perut bawahnya, tepat bersemayam di atas jembutnya yang sudah basah baik oleh keringat dan juga cairan kewanitaannya.

Harun menyelipkan kedua tangannya ke balik punggung ibunya dibantu dengan Asih yang sedikit mengangkat tubuh sambil memeluk punggung Harun sehingga mudah bagi Harun memeluk ibunya. Harun kini menindih ibu kandungnya sambil saling berpelukan erat. Sementara, keduanya terus asyik berciuman. Keringat mereka kini menjadi bercampur.

Sekarang mereka mulai dikuasai oleh nafsu birahi yang melenyapkan segala pikiran logis mereka. Bahkan Asih sudah lupa bahwa Ki Jagad Sudana masih ada di sana menonton mereka berdua. Bila saja Asih tidak dikuasai nafsu seperti ini, tentunya ia akan curiga kenapa Ki Jagad Sudana yang begitu galak dan vocal tadi, kini terdiam seribu bahasa. Ki Jagad Sudana kini sedang tidak diperintah oleh Harun, berhubung Harun juga sedang dikuasi nafsu seksual seperti ibunya dan lupa dengan segala-galanya. Yang ada di pikirannya adalah ibunya. Hanya menggauli ibunya menjadi focus pikirannya.

Kini Harun mencumbu ibunya bak setan yang kelaparan. Tangannya memeluk erat ibunya sambil kepalanya bergoyang ke kanan ki kiri menikmati cumbuan dua pasang bibir yang sudah basah oleh campuran liur mereka. Asih mengelusi punggung dan bagian belakang kepala anaknya, sementara ia sendiri menggoyangkan kepala sesuai irama tubuh anaknya. Suara kecupan keras ditingkahi oleh desahan, gumaman bahkan erangan kecil Asih membahana di kamar tidur yang seharusnya menjadi peraduan dirinya dan suaminya.

Entah berapa lama mereka asyik bercumbu dengan berciuman. Sampai akhirnya Harun melepaskan ciumannya lalu menatap ibunya dengan penuh nafsu sejenak. Kemudian perlahan Harun mulai menjilati leher ibunya yang penuh keringat. Asin peluh ibunya tidak membuat Harun jerih, melainkan bertambah nafsu karena sekarang ia dapat merasakan tubuh ibunya pada lidahnya. Setiap jengkal leher ibunya habis ia jilati, kecupi dan kenyoti. Sehingga tak lama leher jenjang dan putih ibunya bertambah hiasan cupang merah di sana sini.

Tak puas sampai di situ saja, Harun mulai menurunkan kepalanya kebahu kiri ibunya. Sepanjang jalan lidahnya menyapu kulit penuh keringat ibunya, sambil terkadang menghadiahi kulit mulus dan halus itu dengan hiasan cupang merah dalam perjalannya ke pangkal lengan. Ketika sudah mendekati ketiak ibunya, Harun memegang tangan kiri ibunya yang sedang mendekapnya, lalu menarik tangan itu ke atas sehingga ketiak ibunya terbuka lebar.

Ketiak ibunya sungguh indah bukan kepalang. Kulit ketiaknya sedikit lebih putih dari kulit tubuh yang lainnya. Namun, ada sedikit bulu-bulu halus keriting mencuat keluar di tengah ketiak ibu kandungnya itu. Ketiak itu basah total, bahkan bulu ketiak ibunya tampak lepek karena basah oleh peluh yang sedari tadi mengalir keluar. Bau tubuh ibunya membuat Harun seakan pusing tujuh keliling dimabuk asmara.

Serta merta Harun menggagahi ketiak kiri ibunya itu. Asih merasa geli, namun nafsu birahi mengalahkan perasaan geli itu. Asih merasakan betapa tabunya lidah anaknya menggelitiki bulu ketiaknya yang tidak begitu lebat itu, namun betapa menggairahkan perasaan itu. Di satu pihak ia tahu hal ini tidak seharusnya dilakukan, tapi dilain pihak, fakta bahwa ini adalah sesuatu yang melawan norma dalam masyarakat, malah justru menambah daya kekuatan birahi yang ia rasakan.

Harun menikmati rasa di lidahnya, saat bulu keriting dan halus yang diselimuti bau tubuh ibunya itu dijepit oleh lidah dan rongga atas mulutnya. Lidahnya ia mainkan membelai-belai bulu ketiak ibunya, sambil sesekali ia menyedot-nyedot bulu ketiak ibunya itu seakan ingin menghisap sari pati dan esensi dari keindahan ibunya. Lalu ketiak ibunya ia jilati bagaikan anjing sedang minum susu di mangkuk. Seluruh daerah ketek ibunya itu telah dijelajahi lidah, bibir dan mulutnya.

Kemudian akhirnya bibir Harun menyusuri gundukan payudara kiri ibunya. Asih kini mulai mengerang-ngerang tanpa kenal rasa malu mengantisipasi kedatangan mulut nakal anaknya di daerah dadanya. Untuk pertama-tama, Harun sengaja tidak menyerang pentil ibunya secara langsung, karena ia ingin menjelajahi bukit dari bawahnya dahulu.

Harun menjilati dan mengenyoti gundukan tetek ibunya dengan rakus dan penuh nafsu. Seluruh keringat ibunya yang masih mengalir keluar ia selomoti seakan ia sedang haus dan ingin minum air keringat yang dihasilkan ibunya. Dan memanglah Harun sedang haus. Haus akan cinta ibu kandungnya. Haus akan cinta seorang lelaki dan perempuan. Haus akan cinta dan berahi.

Sementara, tangan kiri Harun kini sudah tidak mendekap ibunya. Tangan itu ia tarik untuk mulai membelai-belai dan meremas perlahan payudara sebelah kanan ibunya. Asih memegang tangan kiri Harun dengan perlahan seakan menyemangati anaknya untuk terus melakukan itu. Sementara tangan kanan Asih masih mendekap kepala anaknya yang sedang asyik menikmati payudaranya.

Otot payudara ibunya begitu lembut dan kenyal. Bagi lelaki yang berpengalaman, tentunya di kepalanya ketika melihat buah dada wanita yang mancung seperti tetek Asih, maka dalam benaknya akan membayangkan tetek itu memiliki otot yang kuat sehingga mampu berdiri mengacung dan menantang. Tetapi, bagi yang berpengalaman seperti harun akan tahu, bahwa payudara wanita yang indah itu memiliki kumpulan otot yang begitu lembut namun kenyal. Tidak seperti bayangan di otak para perjaka yang belum matang.

Harun begitu menikmati betapa mulusnya kulit ibunya itu. Putih, halus dan bersinar. Bagaikan porselein dari cina namun terbuat dari sutera. Sungguh perpaduan yang akan membuat semua lelaki normal di dunia ini bertekuk lutut di depan perempuan bak dewi yang turun dari kahyangan.

Memikirkan itu, Harun begitu trenyuh. Ia akhirnya mendapatkan perempuan secantik ibu kandungnya. Benar-benar seperti bidadari yang baru turun dari kahyangan. Harun baru tahu kenapa Jaka Tarub begitu tidak tahu malunya mencuri selendang sang bidadari, karena kinipun Harun menggunakan tipu muslihat agar bidadari yang adalah ibu kandungnya sendiri, dapat jatuh ke tangannya. Bila ini adalah cerita silat, maka Harun tentunya adalah salah satu pendekar pemetik bunga, dan kini adalah saat di mana ia memetik bunga yang terindah di dunia.

Dengan satu gerakan yang tidak bisa dibilang anggun, Harun akhirnya memasukkan pentil tetek ibunya kedalam mulutnya yang membuat Asih mengerang keras penuh nikmat. Dirasakan harun pentil ibunya mengeras di lidahnya. Harun menyedot pentil itu keras-keras karena gemas dan birahi. Bagaikan bayi kelaparan, Harun mengenyoti tetek ibu kandungnya yang sudah tidak memiliki susu lagi.

Cukup lama Harun mengenyoti payudara kiri ibu kandungnya sambil meremasi buah dada yang sebelah kanan. Lama kelamaan ada sedikit cairan yang keluar. Rasanya sedikit pahit namun Harun dapat merasakan bau tubuh ibunya pada cairan tubuh itu. Bau yang begitu ia kenal karena tadi lama menikmati ketiak ibunya. Cairan tetek ibu, itu menurut pikiran Harun.

Tak lama buah dada yang sebelah kanan menjadi bulan-bulanan harun juga. Kini payudara kiri yang sudah dipenuhi liur Harun gentian di emek-emek oleh tangan kanan Harun. Harun menjilati dan mengenyoti belahan dada ibunya untuk kemudian menjelajah bukit sebelah kanan itu di mulai dari dasar payudara itu. Sehingga kini hampir seluruh dada telanjang ibunya yang tadinya penuh keringat kini bercampuran juga dengan air liur si bocah hipersex, selain berhiaskan cupangan di sana sini.

Cukup lama juga Harun menikmati buah dada ibunya yang sebelah kanan. Membuat ibunya tak mampu menahan gejolak birahinya. Kontol Harun yang tadi bersandar di jembut ibunya, kini sudah melintang di depan bibir memek ibunya. Asih kini menggerakkan pantatnya maju mundur, menyebabkan klitorisnya kini menggeseki batang kontol Harun bagian bawahnya.

Harun menikmati sensasi baru ini, bagian bawah kontolnya merasakan bibir memek ibunya yang sempit itu sedikit membuka sehingga ia dapat merasakan kehangatan yang menguar dari vagina ibunya. Vagina ibunya sudah basah total. Tampaknya tidak ada lagi bagian yang kering sekujur tubuh ibunya. Entah karena keringat, air liur Harun atau cairan pelumas dari dalam lubang kenikmatan Asih sendiri.

Sekarang bau tubuh ibunya dan bau tubuh Harun sudah menguasai kamar. Bau tubuh ibunya yang makin santer tercium keluar dari selangkangan ibunya. Bau tubuh yang membuat kontol Harun berdenyut-denyut siaga, seakan berkata, “Mana lubangnya?!!”

Ketika Harun mulai menyedoti pentil tetek kanannya, Asih menjadi kalap, sambil menggenggam kontol Harun yang besar itu dengan tangan kanannya, ia setengah berteriak berkata, “Harun anakkuuuuu… masukkan burungmu ke dalam tempik ibu, naaaaakkkkk…”

Harun sambil terus mengenyot tetek ibunya, mengangkat pantatnya, sementara kontolnya masih digenggam ibunya. Ibunya lalu menarik kontol itu, di usap-usapkannya ujung kontol Harun sepanjang celah memeknya sehingga bibir luar memeknya itu membuka karena tersibak Palkon Harun, dan menyebabkan palkon Harun mulai diselimuti cairan kewanitaannya, membuat kepala kontol harun yang besar terminyaki dengan baik.

Lalu Asih memposisikan kontol itu di lubang vaginanya. Sedikit palkon anaknya terbenam di lubang sempitnya yang sudah basah.

“Tekan, sayangku…” kata Asih penuh dengan birahi.

Harun lalu menekan pantatnya. Kontolnya susah payah masuk sedikit demi sedikit di lubang vagina ibunya yang terasa panas dan licin namun sangat sempit. Terdengar bunyi plok! Dan kepala kontol Harun melewati celah vagina ibunya dan masuk ke dalam lubang memeknya.

“Aduuuuuuh…” jerit Asih, ”Tahan dulu… belum pernah ada yang sebesar ini masuk sebelumnya. Bahkan kamu dulu lahir di cesar… tunggu dulu… sakiitttt…”

Asih merasakan benda tumpul besar menghujam vaginanya dan membuat lubangnya terpaksa menelan benda besar itu sehingga lubang kecil vaginanya seakan direnggangkan secara paksa. Sementara itu, Harun merasakan vagina ibunya sempit sekali, hampir mirip ketika ia memerawani Atik dan Janna. Walaupun vagina ibunya tidak sesempit anak perawan, namun cukup sempit sehingga membuat Harun lupa diri.

Dinding vagina ibunya dengan keras menjepit palkonnya. Dinding itu begitu ketat namun hangat dan licin. Selama semenit Harun dapat menahan gejolak, namun akhirnya ia merangkul ibunya kuat-kuat lalu menghujamkan kontolnya dalam-dalam.

“Aaaaahhhhhh…” teriak Asih ketika kontol besar Harun menghujam keras ke dalam lubang memeknya. Hebatnya lagi, ia merasakan ujung kontol Harun bahkan keluar dari lubang vaginanya sehingga mencapai permulaan rahimnya.

Sensasi ini belum pernah seumur hidup dirasakan Asih. Ada benda yang mengganjal lubang memeknya bahkan sampai ke rahim. Asih merasa penuh. Terombang-ambing antara sakit dan nikmat yang belum pernah ia rasakan.

Harun merasakan hal yang lain. Ini adalah cita-citanya dan ternyata terjadi. Oleh karena itu ia untuk sementara diam membeku, untuk merasakan seluruh sensasi saat itu. Seluruh batang kontolnya sudah ambles di dalam vagina ibunya. Seluruh dinding vagina ibunya itu kini menjepit kontolnya erat-erat. Namun, lama kelamaan ia sadari bahwa dinding itu seakan membuka menutup. Walaupun tidak terlalu keras terasa, tetapi tetap terasa. Dinding memek ibunya membuka menutup seirama denga nafas ibunya yang memburu.

Lama lama Harun menjadi gelap mata lagi karena nafsunya memuncak lagi. Dinding vagina ibu kandungnya itu bagaikan memijat kontolnya. Daerah paling rahasia dan intim yang dimiliki ibunya, dan yang hanya boleh dikunjungi bapaknya, kini secara tak bermoral telah ia masuki. Bahkan organ intim ibunya itu kini memijati kontolnya yang penuh dengan nafsu bejat.

Sambil terus mengenyoti payudara ibunya, -karena tinggi badan ibunya yang lebih tinggi daripadanya membuat saat mereka bersetubuh seperti ini, mulut Harun menjadi sejajar dengan dada ibunya yang membuat menetek sambil bersebadan merupakan posisi yang sangat pas- Harun mulai memompa perlahan memek ibunya dengan kontolnya.

Asih sudah mulai terbiasa denga besarnya kemaluan anaknya itu. Dan kini membiarkan anaknya menggesekkan kontolnya di dalam lubang memek ibunya itu secara perlah. Kini kedua tangan Asih kembali mendekap anaknya, dengan satu tangan membelai rambut anaknya yang sedang meneteki payudara kanannya.

Lama kelamaan Harun merasakan liang surgawi ibunya itu menjadi semakin licin. Sehingga usahanya untuk menggenjot ibunya menjadi semakin mudah. Akhirnya ia mulai mengentoti ibu kandungnya hingga terdengarlah suara selangkangan berpadu. Kini Harun telah betul-betul berhubungan seksual dengan ibu kandungnya.

Adalah sesuatu yang tidak ada bandingannya di dunia ini, menurut Harun, bersetubuh dengan ibu kandung sendiri. Rasanya mengalahkan saat ia menyetubuhi wanita-wanita lain. Entah kenapa persetubuhan ini seakan menjadi puncaknya. The ultimate fuck. Mungkin karena Harun telah pulang lagi ke tempat dulu ia berasal. Sembilan bulan ia tinggal di dalam rahim ibunya, kini, kemaluannya telah pulang ke rumah. Kembali berkunjung setelah sekian tahun berpisah. Sebuah reuni yang dipenuhi nafsu yang begitu nikmatnya dirasakan.

Ki Jagad Sudana menatap kekosongan, sementara seharusnya ia memperhatikan yang terjadi di atas tempat tidur. Seorang anak sedang asik menggagahi ibu kandungnya sendiri. Mereka mendesah, mengerang, bergumul dalam luapan asmara diiringi alunan music selangkangan beradu.
Dalam puncak asmara, kedua insan ibu dan anak itu akhirnya berteriak sambil menikmati orgasme pertama mereka saat bersebadan. Harun menyemproti rahim ibunya dengan bakal anak di dalam cairan pejunya.

***