WINDY 4

Di balik meja kerja, kuelus pelan batang kontolku yang sepertinya akan nganggur dalam dua bulan ini. Hanya istriku yang bisa kupakai, sedangkan Tanti dan Windy lagi halangan. Sungguh apes sekali. Tanti sedang nifas habis melahirkan, sedangkan Windy lagi hamil muda. Dua-duanya tak bisa melayaniku.

Namun ternyata nasibku tidak jelek-jelek amat karena sekitar dua minggu kemudian, Tanti tiba-tiba mengirim sms, “Ada waktu? Suamiku dinas ke luar kota besok, 3 hari.”

Tanpa menunggu lama, segera kukirim jawaban. Kusanggupi untuk datang. Kucoba membayangkan tubuh montok Tanti yang sekarang memiliki bayi berusia dua bulan. Yang pasti dia jadi tambah gemuk, tapi bokong dan payudaranya pasti juga tambah besar. Ah, jadi tak sabar rasanya pengen merangkul dan menggelutinya. Istriku yang bertanya kapan aku akan pulang, terpaksa kubohongi lagi.

“Maafkan aku, Sayang. Bukan aku nggak suka padamu, tapi aku juga penasaran pengen nengok lubang yang lain.” batinku dalam hati.

Jadilah pada sabtu sore sepulang kerja, aku langsung meluncur ke kota M. Tanti menyambutku dengan memakai baju hamil seperti daster panjang selutut, perutnya masih endut. Tapi tidak seendut bongkahan payudaranya yang seperti mau meledak saja. Disanalah tanganku langsung mengarah untuk membelai dan mengusapnya ringan.

“Makan dulu yuk,” ia mengajakku masuk.

Di meja makan, ia ikut duduk menemaniku sambil ngobrol ngalor-ngidul, menanyakan kabar masing-masing setelah hampir 3 bulan tak ketemu. Selama itu pula tanganku tak henti-henti meremas dan membelai-belai anggota tubuhnya yang bisa kujangkau. Tanti bergidik agak risih, namun sama sekali tidak menolak. Yang ada ia malah menggodaku.

“Gitu ya… dapat yang baru, yang lama jadi dilupain,” komentarnya karena aku sibuk menghamili Windy, jarang sekali menengoknya.

“Eh, bukannya gitu,” aku berkilah. “Kan kasihan dia kalau nggak hamil-hamil.”

Tanti tersenyum, “Kapan hari dia nelepon, katanya sudah isi 2 bulan.”

Aku mengangguk mengiakan, “Jadi nggak bisa dipakai deh,” kataku bercanda.

“Yee… pikirannya memek mulu,” Tanti mencubit perutku.

Kubalas dengan mencubit puting susunya, dan Tanti langsung ambruk ke dalam pelukanku. “Tan, aku kangen.” bisikku sambil membelai mesra dua bongkahan payudaranya.

“Ahh… a-aku juga, Mas.” Ia mendesah, “Tapi bisa kan kita nggak langsung main?” tanyanya meminta.

“Kenapa?” kupandangi wajahnya yang kini tampak bulat menggemaskan.

“Tolong pijitin kakiku sebentar ya, betisku rasanya pegel banget nih.” katanya.

Aku mengangguk, “Jangankan betis, semua juga aku mau. Asal setelah itu dikasih yang ini,” Kucolek sedikit lubang memeknya yang masih tertutup kain daster dan celana dalam tipis.

Tanti tertawa dan selanjutnya mengajakku pindah ke kamar. “Kalau pijitanmu enak, nanti kukasih bonus.” bisiknya menggoda.

“Apaan?” tanyaku sambil mengikutinya naik ke atas ranjang.

“Ada deh, pokoknya pijit dulu kakiku.” Dia tersenyum dan menyingkirkan majalah yang tergeletak disitu ke atas meja, lalu membaringkan diri di ranjang. Dia duduk dengan menyusun bantal di kepala ranjang sebagai sandaran, sementara kakinya selonjor ke arahku.

“Kamu tambah seksi, Tan,” bisikku tak berkedip menatapnya, terutama tonjolan payudaranya yang seperti tumpah ruah tak terkendali.

”Cepetan sini…” tangannya melambai. “duh, pegel banget kakiku, pijitin yang enak ya,” pintanya memelas.

Aku nyengir saja melihatnya dan mulai memijit betisnya bergantian. Kaki itu sekarang jadi agak gemuk, namun tetap terlihat putih dan mulus. Karena posisi Tanti agak merenggang, dan juga baju hamilnya yang menutupi hanya sebatas lutut, otomatis CD nya jadi kelihatan. Gundukan itu terlihat tebal dan sangat enak untuk dipandang, jadi ngaceng kontolku. Tapi aku tak ingin terburu-buru, toh nanti aku akan tetap dapet juga. Maka aku tetap konsentrasi memijat betisnya.

Cukup lama aku melakukannya sampai Tanti meminta agar pahanya dipijit juga. Namun baru aku mau memindahkan tangan, dia tiba-tiba berkata, ”Bentar, Mas. Aku buka celana dulu, soalnya rasanya ketat banget di sekitar pinggul, nggak nyaman.”

Tanpa berpikir macam-macam, kubantu memelorotkan celana dalam tipis itu. Lalu Tanti agak menaikkan baju hamilnya, ditariknya sampai ke paha atas hingga menampakkan pinggul dan bulatan bokongnya yang bulat kencang. Tak berkedip aku menatap dan mulai memijat, namun kali ini dengan agak resah karena kemaluan Tanti jadi terlihat jelas.

Belahannya agak berbeda dari yang dulu; sekarang seperti agak terbuka lebar. Warnanya juga jadi lebih gelap, namun tetap saja sangat merangsang nafsuku. Tanpa sadar, aku pun menelan ludah. Sementara di bawah, Tanti terus menikmati pijatanku sambil memejamkan mata. Sama sekali tak tahu kalau batang penisku sudah mulai mengeras tak terkendali.

Tapi aku tetap memijat. Biarlah kontolku ngaceng, akan kusimpan buat nanti. Aku tak berniat menyetubuhi Tanti sekarang, biarlah dia relaks dulu sebelum berkutat melayaniku. Biar kami bisa sama-sama puas. Toh malam ini aku bebas melampiaskan nafsuku.

Sampai suara merdu Tanti memecah lamunanku, ”Mas, mau ngerasain minum ASI nggak?” tanyanya pelan.

“Hah?” aku masih belum ngeh.

“Kalau mau coba, nih punyaku.” Dia menunjuk tonjolan payudaranya yang seperti semangka besar. Kuperhatikan ada noda tepat di puncaknya yang membusung indah.

“Bocor ya, Tan?” tanyaku antusias.

“He-eh,” Dia mengangguk. “ASI-ku banyak banget, sedang bayiku minumnya dikit. Jadinya ya gini ini, bocor kemana-mana. Ayo kalau mas mau, daripada terbuang percuma,”

”Memang boleh?” tanyaku bego.

”Asal nggak mas habiskan aja,” dia tersenyum.

Terus terang, aku memang penasaran. Terakhir kuingat minum ASI adalah satu tahun yang lalu, saat istriku masih menyusui buah hati kami. Rasanya saat itu begitu nikmat, netek langsung dari sumbernya yang begitu empuk dan kenyal. Aku ketagihan. Dan sekarang Tanti akan memberiku hal yang sama, yang tentu saja tak akan sanggup untuk kutolak.

”Mau dong, Tan,” jawabku pada akhirnya, penuh semangat.

”Bentar, aku buka baju dulu.” Tanti bangun dan melepas daster pendek yang ia kenakan, juga sekalian behanya yang seperti kerepotan dalam menyangga.

Kulihat perutnya masih nampak gendut, dengan bekas-bekas parut melingkar-lingkar luas disana-sini. Di atas sedikit, tonjolan payudaranya yang selalu kukagumi, sekarang jadi dua kali lipat lebih besar dari yang terakhir kulihat. Putingnya juga lebih besar dan benar-benar dalam posisi tegak mengacung. Warnanya sudah berubah, agak lebih cokelat gelap sekarang. Memang lebih bagus yang dulu, tapi tetap saja ada keseksian tersendiri melihatnya gemuk seperti ini. Jadi makin keras saja batang penisku.

Tanti lalu naik ke atas ranjang dan berbaring. “Ayo, Mas.” Dia memanggil.

Aku pun segera memposisikan diri ke sampingnya, kuciumi dulu perutnya sambil sesekali menempelkan hidungku di lubang senggamanya yang mulai berair. Sengaja kugelitik-gelitik sedikit disana agar membuat benda itu jadi semakin lengket dan basah. Samar kuperhatikan biji itilnya yang tertutup jembut tebal, indah sekali meski sudah pernah dilalui bayi. Lama aku menatapnya sementara Tanti hanya tersenyum dan membelai lembut kepalaku.

”Sudah dulu, Mas. Ini susuku rasanya sudah ngilu minta disedot,” rengeknya.

Aku pun menarik tubuh dan berbaring di sampingnya, posisiku sedikit lebih rendah sehingga ketika Tanti mengangsurkan dadanya, putingnya tepat namplok di mulutku. “Hmmh… Tan!” Tanpa membuang waktu, segera kujilat dan kuhisap-hisap rakus sambil tanganku ikut meremas-remas gemas karena kebiasaan.

“Mass…” Tanti mendesis, tangannya semakin kacau membelai rambutku.

Kurasakan teteknya jadi sedikit agak keras, namun aku tetap menyukainya. Malah sambil menghisap, jariku juga memilin-milin putingnya yang menganggur. ASI-nya langsung muncrat kemana-mana, membasahi pipi dan rambutku. Aku tak peduli, malah semakin menyukainya. Cairan putih manis itu segera kutelan dan kuhisap rakus. Tanpa ragu aku mengemutnya karena puting Tanti memang jadi lebih enak untuk dikulum saat ini. Besarnya pas saat mulutku mencoba menangkupnya. Semakin lama, kurasakan cairan yang keluar jadi semakin banyak. Selain manis, rasanya juga sedikit asin dan gurih.

Aku pun terus menghisapnya, nenen seperti bayi, sampai akhirnya Tanti mendesah perlahan. ”Mas, s-sudah… geli,”

”Hmm… Hagi henagh gihh…” jawabku masih sambil nenen.

”Dilepas dulu dong…” Dia menjewer telingaku hingga cumbuanku pun terlepas. Mulutku belepotan oleh ASI, begitu juga dengan kedua puting Tanti. Kuraba-raba benda mungil itu, kuratakan seluruh cairannya ke seluruh bulatannya yang putih membengkak. Payudara Tanti jadi tampak mengkilap sekarang, basah oleh air susunya sendiri.

“Mas ada-ada aja deh,” dia tersenyum.

”Enak banget, Tan… mau lagi donk,” pintaku sambil pengen nyosor lagi, tapi Tanti lekas menahan kepalaku.

“Hei, nanti bayiku nggak kebagian,” bisiknya lembut.

Aku pun nyengir. Terpaksa kulampiaskan nafsuku dengan meraba dan meremas-remas benda besar itu, karena hanya itu yang bisa kulakukan. Sementara Tanti kini perlahan merangsek ke bawah untuk melepas celana panjangku. Penisku yang memang sudah mengeras sedari tadi, segera dicekal dan dipeganginya erat.

“Kangen aku sama ininya Mas,” bisiknya gemas.

Tadinya aku mau berdiri saja biar dia gampang dalam melakukannya, namun Tanti menyuruhku berbaring. Kuturuti apa kemauannya, kuperhatikan saat ia mulai mendekati selangkanganku dengan posisi tubuh miring. Perlahan lidahnya menjulur untuk mulai memainkan lubang pipisku, dijilati perlahan, sebelum kemudian mulai mengulum kepala kontolku. Awalnya perlahan, namun semakin lama menjadi semakin cepat, lalu kembali perlahan. Tangannya juga memainkan biji dan batang penisku saat mulutnya terus menghisap rakus.

“Ahh… Tan!” aku merintih keenakan, dan kulampiaskan dengan kembali memenceti tonjolan buah dadanya secara bergantian.

Puas dengan hisapan ringan, Tanti kemudian memasukkan kontolku perlahan ke dalam mulutnya. Ia mulai mengulum dan menghisap-hisapnya lembut sambil sesekali diemut-emut dengan sedikit kasar. Sungguh sangat nikmat, apalagi saat bijiku juga disedotnya kuat-kuat.

“Aughh…” aku mendesah menahan serangan nikmat ini, dan entah bagaimana ceritanya, posisi tubuh Tanti kini sudah berubah tanpa kusadari; memeknya kini berada tepat di depan mukaku.

Secara naluri, aku segera memiringkan tubuh sedikit. Tanganku mulai mengelus-ngelus untuk memainkan rambut kemaluannya, lalu melihat untuk mengintip belahannya yang agak melebar. Pelan jariku mengusap-usapnya, ingin kubalas rasa nikmat pada kontolku yang sedang dimanja oleh mulutnya.

Tanpa perlu repot-repot bergeser, aku mulai mendekat. Lembut kuciumi celah mungil yang begitu menggiurkan tersebut. Tanti agak melebarkan kakinya, seperti ingin memberi kemudahan padaku.

Mula-mula aku menciumi dengan lembut seluruh permukaan dan belahannya yang terasa manis dan sedikit asam, sebelum kemudian lidahku mulai menyeruak untuk menjilati lubangnya. Terasa agak lain, agak sedikit lembab dan lebih lebar dari biasanya. Namun aku terus menyodok-nyodok rakus dengan ujung lidahku, sampai kemudian itilnya kutemukan.

Dengan cepat aku berganti sasaran. Lidahku memutar-mutar di atas biji mungil yang terasa kaku itu, menghisap dan menjilatinya dengan gemas sampai membuat Tanti mengerang dan merintih lirih, yang mana itu semakin menambah nafsuku.

“Ehgm… Tan,” aku ikut bergidik, pasrah menerima hisapan dan emutan mulutnya pada batang penisku. Lidah basahnya seakan tiada lelah terus menjelajahi seluruh selangkanganku, mulai dari batang hingga bijinya, juga rajin membelai urat-uratnya yang sensitif.

“Mass…” Tanti juga sama pasrahnya menerima tarian lidahku, kini desahannya menjadi semakin kuat seiring pinggulnya yang kadang-kadang menggeliat mengimbangi rasa nikmat yang diterima pada itilnya. Lama-lama makin cepat… dan akhirnya tubuh itu mengejang menerima orgasmenya.

Kubiarkan dia bergetar pelan sebentar saat menyemburkan cairan cintanya, sebelum kemudian kutarik kembali tubuhnya agar kami bisa berbaring saling berhadapan. “Gimana, enak?” tanyaku sambil mengecup puncak payudaranya.

”Lebih dari yang kubayangkan,” angguknya puas.

“Sekarang giliranku, dimasukin ya?” kutunjukkan penisku yang masih menegang dahsyat.

Tanpa membantah, Tanti segera mengatur posisi tubuhnya. “Tahu nggak, Mas. Setelah melahirkan, gairahku jadi tambah meningkat lho. Mas harus siap-siap capek malam ini,” bisiknya manja.

”Kalau yang kayak gitu… tanpa disuruh pun, aku juga udah siap, Tan.” Segera aku berdiri di pinggir ranjang, sementara Tanti berbaring dan memposisikan memeknya tepat di depan kontolku. Kakinya menjuntai ke lantai.

“Siap ya, aku masukkan sekarang…” Lembut aku mengarahkan penis ke lubang basah yang tak sempit lagi itu, masuk dengan mudah, namun tetap kurasakan sensasi gigitan dan jepitannya yang masih tetap mantap. Yang beda hanya kelembapan dan kehangatannya yang kini terasa lebih, sehingga terasa nyaman saat menyelimuti batang penisku.

“Aghh…” kami melenguh secara bersamaan.

Sambil menyusu di bongkahan payudaranya, aku mulai menggerakkan pinggulku. Rasanya gimana gitu, beda banget dengan yang dulu. Kontolku jadi terasa licin dan lancar, berbeda sekali dengan sebelumnya yang begitu ketat dan kesat. Ternyata melahirkan membuat memek seorang perempuan jadi berubah total, namun tetap mempunyai sensasi enak yang sukar untuk dilukiskan dengan kata-kata. Dan aku tentu saja menyukainya.

Terus kugerakkan kontolku maju mundur secara lembut, tidak merasa perlu tergesa-gesa karena kami memang punya bayak waktu. Tanti juga tidak protes, malah seperti sangat menikmati. Sesekali agak kubungkukkan badanku untuk menciumi perut dan teteknya. Bunyi pompaanku di dalam lobang memeknya terdengar jelas, semakin menambah erotis suasana kamar yang sebenarnya sudah remang-remang.

Lama sudah posisi ini kulakukan, sampai akhirnya kucabut kontolku dan lalu naik ke atas ranjang. Kuminta Tanti untuk berbaring menyamping, yap… posisi favoritku, gaya samping.

Segera kuangkat lembut satu kakinya, dan dari arah samping, kumasukkan penisku ke lubang memeknya. Lalu kulanjutkan dengan memompa secara perlahan saja sambil mulutku mulai menciumi bibir dan lehernya, sebelum akhirnya mulutku berdiam dengan nyaman di atas putingnya, nenen susu disana.

Namun Tanti nampaknya kurang puas dengan sodokanku yang perlahan, ia merengek minta agar dipercepat sambil mengatakan bahwa memeknya gatal ingin digaruk. Maka aku percepat sedikit sodokanku sambil mulutku masih dengan rakusnya menghisap pentilnya yang besar, menikmati susu manis yang mengalir lancar dari sana.

Tak berapa lama, Tanti mulai mendesah dan mengerang. Badan dan pinggulnya sesekali menggeliat, sampai akhirnya dengan diiringi erangan nikmat, dia mengalami orgasme. Meski merasakan cairannya yang menyembur deras di batang kontolku, aku masih saja memompakan pinggul dengan cepat. Tanti berusaha mengimbangi dengan sesekali menggoyangkan pantatnya memutar.

Kunikmati ulahnya itu untuk menggiring denyut yang sudah familiar di daerah kontolku agar semakin cepat tercapai. Dan tak menunggu lama, spermaku pun muncrat keluar tak tertahankan lagi. Meledak membasahi lubang memek Tanti hingga membuatnya jadi semakin licin dan hangat.

“Hhh… Tan,” terengah-engah, aku lalu terkulai lemas sambil tetap mengemut putingnya satu per satu.

”Hmm… enak banget, Mas. Rasanya gairahku jadi terpuaskan.” bisiknya manja.

”Aku juga, Tan,” Kukecup bibir tipisnya. “Punyamu memang lebih longgar, tapi ada rasa lain yang lebih spesial.”

”Jadi nanti lagi ya?” Ia tersenyum menggoda.

”Tentu saja, mana cukup cuma main satu ronde sama kamu.”

Lalu kami berciuman dengan mesra. Tanpa perlu repot-repot berpakaian, kami tidur berpelukan di depan televisi. Kulihat di luar sudah sepi, hari sudah sangat larut rupanya. Sementara suami Tanti sedang dalam perjalanan menuju luar kota, aku juga ikut asyik menindih tubuh sintal istrinya. Sungguh perpaduan yang sangat menguntungkan.

Besoknya, aku bangun agak siang. Kulihat Tanti sedang duduk nonton TV di sebelahku, tubuhnya masih telanjang dan awut-awutan hasil pertempuran kami semalam. Aku pun bangkit dan memeluknya, lalu kukecup mesra pipinya.

”Hii… bau naga!” dia berseloroh.

“Sama,” kutindih dan kupepet kembali tubuh sintalnya yang hangat ke atas sofa. Cepat saja tanganku sudah menggerayang di atas gundukan dadanya yang super besar itu. “Lho, kok nggak ada susunya?” tanyaku bingung saat tidak ada ASI yang mengalir keluar meski sudah kupenceti putingnya berkali-kali.

“Sudah dihabiskan sama bayiku,” jawabnya sambil berusaha untuk bangkit.

Kuelus sebentar lubang memek Tanti yang masih nampak basah oleh sperma dan kuikuti dia yang melangkah pelan menuju dapur.

“Mau sarapan apa, mas?” tanyanya sambil mengenakan daster tipis semalam, tapi tanpa beha dan celana dalam.

“Terserah aja,” kupandangi tubuh sintal yang selalu bisa menggodaku itu, tak tahan aku kembali menelan ludah saat kulihat ia membuka kulkas di dekat meja makan dan agak membungkuk untuk mencari sayuran. Terlihat belahan memeknya mengintip sedikit, membuat pikiran nakalku jadi timbulke permukaan.

”Mandi dulu, Mas… ganti baju, sementara aku masak.” katanya sambil menunjuk handuk bersih yang tersampir di depan pintu kamar mandi.

”Nanti aja, lebih enak sarapan dulu,” jawabku sambil menghampiri dan meremas lembut bulatan pantatnya.

“Ihh…” Tanti bergidik, lalu membalikkan badannya sambil tertawa. ”Jahil amat sih, Mas.” katanya pura-pura marah.

”Salah sendiri… kenapa mamerin anggota tubuh kayak gitu. Lagian, aku pengen nih…” sahutku tertahan.

”Iya, aku juga… tapi sabar dong, Mas, kan aku mesti masak dulu…” kilahnya.

”Sudah, nanti saja deh masaknya… sekarang ada yang lebih penting.” serudukku ke tubuhnya.

”Huh, dasar Mas ini, nggak sabaran amat.” Ia menggelinjang saat kutarik tubuh mulusnya dan kututup pintu kulkas, lalu segera kuciumi bibirnya dengan gemas.

”Hmm…” Tanti membalasnya, lidah kami bertautan dengan cepat.

Tanganku meremas tetek besarnya sementara tangannya meremas batang penisku. Segera saja kulepaskan dasternya, lalu tubuhnya yang sintal itu kuangkat dan kubaringkan di atas meja makan yang kosong. Dengan berdiri di sampingnya, kuserbu teteknya dengan meremas-remas menggunakan tanganku dan melumatnya memakai mulutku, sesekali juga kumainkan dan kuhisap-hisap putingnya yang terasa manis.

Sementara tangan Tanti mulai meraih batang kontolku untuk dikocok-kocoknya ringan, lalu diarahkan ke mulutnya. Lidahnya dengan cepat mulai menjilati kepala penisku, juga batang dan biji pelerku dia jilati dan dia kulum-kulum halus. Tanti juga menghisapnya dengan ringan dan lembut. Lalu dia mulai mengulum dan menghisapnya semakin rakus, sampai aku yang masih sibuk menyusu di putingnya jadi turut tak mau tinggal diam.

Jariku segera menuju ke arah selangkangannya, kumainkan itilnya dan kusodok-sodok lobang memeknya dengan jariku. Tubuh Tanti menggeliat keenakan, namun kulumannya pada batang penisku masih tetap seperti biasa; perlahan namun mematikan, dengan jilatan lidah yang terus bergerak menggelitik saraf-saraf sensitifku.

Masih dengan penis di mulutnya, aku ikut menaiki meja. Posisi kami jadi 69. Kini lidahku mulai bergerilya menjilati memeknya yang sudah basah, kusapu lubang mungil yang ada disitu dengan rakus, sebelum mulai kumainkan itilnya yang besar dan menonjol dengan gemas. Kupilin-pilin dan kulumat benda bulat itu dengan ujung lidah hingga semakin membuat Tanti kelojotan tak karuan. Ditambah jariku yang kembali ikut berpartisipasi menyodok lobang memeknya, jadi makin seringlah ia menggeliatkan pinggulnya.

”Hmm… Tan!” Kurasakan pula hisapan pada kontolku menjadi semakin kuat. Enak sekali. Sebagai kompensasinya, itilnya semakin kulumat dengan cepat dan ganas.

Tanti terlihat sudah pasrah sepenuhnya. Sesekali terdengar desahannya, dengan badan terus menggeliat dan akhirnya mengejang saat menyemburkan cairan orgasmenya.

Aku segera turun dan berdiri di depannya. Kutarik kakinya hingga lubang memeknya kini berada di pinggiran meja. Masih ada sisa-sisa cairan yang merembes dari dalam sana meski sebagian besar sudah jatuh ke lantai. Kulebarkan kedua kakinya dan kuangkat ke atas dengan kedua tanganku, lubang memeknya kini terlihat melebar, siap menerima hujaman penisku. Segera saja aku menusuknya dengan memajukan pantatku ke depan.

Bless… tanpa perlu bersusah payah, amblaslah seluruh kemaluanku ke dalam lubang senggama itu, membuat tubuh mulus Tanti jadi bergetar sedikit.

”Mas…” Ia memanggil namaku, namun tanpa basa-basi aku segera memompa pinggulku dengan cepat, membuat desahan dan rintihannya jadi semakin kuat. Tetek besarnya yang indah terlihat bergoyang-goyang akibat sodokanku. Semakin kupercepat, semakin kuat juga benda itu bergoyang hingga akhirnya kupegangi agar tidak terus bertubrukan.

Tanti menikmati sambil mengaitkan kedua kakinya di bahuku. Pinggulnya juga tak tinggal diam, berusaha mengimbangi dengan berputar cepat seiring sodokanku yang menusuk semakin dalam. Kucondongkan badan untuk menciumi puncak payudaranya, lalu kujilati puting mungil memerah yang ada disana. Tanti menggeliat geli, geli tapi teramat nikmat.

”Ugh… enak, mas… enak banget… auw… yang cepat… ohh… terus… aughh…” rintihnya berkali-kali begitu kembali mengalami orgasme.

Aku lalu naik ke atas meja dan berbaring disana, kusuruh Tanti untuk naik ke atas tubuhku. Ia duduk membelakangiku, badannya condong ke belakang, sementara tangannya bertumpu di bibir meja. Kakinya jongkok, persis di atas batang penisku yang masih mengacung tegak. Sesuai aba-abaku, dengan perlahan Tanti menurunkan pinggulnya.

Jleeeb… dengan sempurna alat kelamin kami saling bertautan, dan tanpa membuang waktu ia pun mulai menggoyangkan pinggulnya naik turun.

Dari belakang, tanganku terulur untuk mulai meremas-remas bulatan teteknya. Kumainkan juga putingnya sambil kunaikkan kepalaku sedikit untuk menciumnya. Lama kami bermain dalam posisi itu sampai Tanti memajukan badannya hingga berada dalam posisi jongkok sempurna. Kembali ia menaik-turunkan pinggulnya, yang kuimbangi dengan ikut menggoyangkan pinggulku mengikuti iramanya. Kulihat, sambil memainkan pinggul, tangan Tanti mulai memainkan itilnya sendiri. Sementara tangannya yang satu lagi sibuk meremas dan mengurut-urut biji pelerku. Sungguh sangat nikmat dan begitu menakjubkan.

”Ahh… Tan!” aku merintih masih sambil berbaring, menikmati saja apa yang ia berikan. Sesekali mataku merem-melek keenakan, apalagi saat mulai kurasakan denyutan enak di batang penisku. Kulihat badan Tanti juga mulai bergetar cepat.

Namun sebelum dia sempat berteriak, croot… croot… croot… spermaku sudah menyembur duluan tanpa ampun berbarengan dengan orgasmenya. Tanti menikmatinya sambil diam, masih terus berjongkok di atas kontolku yang tetap menancap penuh pada lubang kewanitaannya. Kurasakan cairan mengalir membasahi alat kelamin kami berdua. Kupeluk dia dan kami terdiam menikmati sensasi orgasme yang begitu melelahkan itu, sebelum kemudian Tanti bangkit untuk mencabut batang kontolku yang mulai melemas. Ia menjilatinya sebentar untuk membersihkan sisa-sisa sperma yang mungkin masih menempel disana.

”Ugh… nggak bisa tunggu nanti ya, mas ini.” bisiknya manja.

”Hehe… kamu juga mau kan?” Kukecup bibir merahnya. ”Anggap aja ucapan selamat pagi.”

”Ih, konyol deh.” ia tertawa. ”Mandi yuk, habis itu bantu aku masak.” ajaknya.

Lalu kami berdiri. Aku sempat mengecup pipinya dan kubersihkan meja makan, sebelum kemudian mengikutinya ke kamar mandi. Dengan telaten Tanti mencuci kontolku, juga menyabuni seluruh tubuhku. Kubalas dengan ikut menyabuni tubuhnya, dan ujung-ujungnya aku jadi ngaceng lagi karena terus memegangi tetek besarnya. Setelah main sebentar, kami pun mengeringkan tubuh dan segera berpakaian.

Pagi itu kami sibuk di dapur. Kubantu Tanti memasak sarapan dan makan siang, yang ditutup dengan kembali saling bertindihan di atas meja makan. Sorenya Tanti pergi ke posyandu untuk imunisasi anaknya. Pulangnya segera kugarap ia di kursi ruang tamu karena aku memang tak tahan ditinggal lama-lama. Dan seperti malam kemarin, malam itu kami juga jarang tidur karena lebih sibuk membelai dan mengusap satu sama lain. Menjelang subuh, baru kami pulas.

Besoknya aku tidak berpakaian. Kuhabiskan waktu yang tersisa untuk terus bercinta dan bersetubuh dengannya karena sore nanti suami Tanti katanya akan pulang. Kutindih tubuh sintalnya hampir di mana saja; mulai dari sofa, di dapur, halaman belakang, kamar mandi, pokoknya puas-puasan deh. Kegiatan itu baru kami akhiri ketika matahari sudah naik tinggi ke angkasa.

Tanti mengantarku ke terminal. Sambil menunggu bis berangkat, kusempatkan menyusu sebentar kepadanya di toilet terminal. Setelah kenyang, barulah aku pamit. Tanti mengecup pipiku dan berkata, ”Sampai jumpa, Mas. Nanti kukabari lagi.”

”Kutunggu, Tan,” Dengan diringi lambaian tangannya, kutinggalkan kota M di panas yang terik itu.

Leave a comment